Sabtu, 18 Juli 2009

Kamis, 16 Juli 2009

Wabup Bilung

KiSetyoHandono


Betapa malangnya nasib bangsa Ngastina setiap lima tahun sekali. Pemilu yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat selalu diwarnai oleh prktik-praktik culas, apus-apus, pertikaian, politik uang, hingga terpilihnya tokoh yang ndak memiliki kompetensi di bidangnya, alias politikus ’blo’on’ yang miskin ilmu dan hanya kaya pergaulan dengan masyarakat sekelasnya. Akibatnya tentu saja lahirlah birokrat badut, mirip tayangan ’tukar nasib’. Yaitu adegan parodi yang telah diseting menjadi tontonan pembangkit empati antara kaum berpunya dengan kaum papa. Hasilnya yang kaya tentu saja lebih mengesankan nyali trenyuh dan enak ditonton . Sebaliknya si miskin akan menampilkan ’banyolan-banyolan alami’ lugu, kaku, dan wagu. Mereka disulap menjadi prefesional gadungan, bos gadungan, dan birokrat gadungan. Mereka nampak lucu, salah tingkah, serba wagu, ragu, lugu, panik, dan perasaan-perasaan mencekam yang semakin menambah tumpulnya nalar asli mereka.
Memang, mereka bukanlah profesional sejati. Mereka hanyalah korban demokrasi yang sengaja membungkus dirinya dalam kepalsuan. Mereka hanyalah alat perangkap kedaulatan rakyat untuk bahan pelengkap kebobrokan negeri yang nyaris hancur ini. Mereka tidak salah, mereka juga mempunyai hak mewakili komunitas di belakangnya. Dan mereka berhak menjadi apa saja termasuk menjadi, bupati, wakil bupati, presiden dan wakil presiden. Anda kan tau ta, kalau demokrasi itu dibangun dari suara terbanyak yang dikumpulkan dari modal uang dan janji-janji palsu. Jadi kalau ada orang bermodal banyak kemudian mereka dapat membeli suara rakyat, apa salahnya jika mereka jadi seorang pejabat. Soal kemampuannya tidak ada sama sekali, itu dipikir belakangan. Yang jelas, sekarang ini di samping ada politisi busuk, juga ada pemilih lebih busuk. Mereka mau memilih kalau ada uang masuk di kantongnya dalam jumlah besar. Mereka tidak mau berfikir mendalam tentang kemampuan politisi yang memberinya. Itulah barangkali yang harus dipikirkan oleh seluruh penyelenggara negara. Ketika mengangkat seorang pejabat pemerintahan, semisal bupati dan wakil bupati, seyogyanya diadakan uji kelayaan dan kepatutan. Jangan di kemudian hari, ternyata sang wabup hanyalah si badut, yang hanya pinter mbanyol, ngecuprus bakul umpluk, omongonya monotone, itu-itu melulu, nggak bermutu karena memang miskin referensi dan prestasi. Terakhir adalah ternyata hanyalah potolan SD, dan tukang angkut pasir.
Tidak jauh dari kisah itu. Ki Lurah Togog nampak sungkowo di beranda rumah kriditan yang nampak gawang pintunya ’mengkap-mengkap’. Yang jelas dia bersedih bukan lantaran rumah kreditan yang belum lunas, akan tetapi dia memikirkan Si Mbilung yang tengah menjadi rasanan banyak pejabat. Dia dirasani bukan karena kebijakan yang keliru, akan tetapi karena ketololannya yang tidak bertambah-tambah. Maklumlah Si Mbilung hanyalah berangkat dari tukang angkut pasir, buta hurup lagi. Dia jadi wakil bupati hanya bermodalkan bondo nekat, dari gaco andalan yang tiada satupun yang terdapat dari sebuah partai besar yang mengusungnya. Dia nekat karena tiada dua yang bisa diandalkan. Wis pokoknya’ kucing-kucing diraupi’.
Suatu hari dalam sebuah upacara kenegaraan, sang bupati tidak bisa hadir. Pihak protokoler terpaksa menunjuk Sang Mbilung untuk menjadi inspektur upacara. Sudah bisa Anda bayangkan betapa dalam dada sang wabub berdegup kencang membayangkan upacara yang dihadiri oleh ratusan peserta. Dia nampak bolak-balik bercermin dengan pakaian kebesaran wakil bupati. ”Hormat !! grak... tegaaak grak!!”, dia menirukan para komandan upacara saat memimpin upacara tujuhbelasan di kampungnya. Itupun dia hanya menyaksikan sesaat, saat truk pasirnya dihentikan polisi. Karena pada saat itu bendera sang saka tengah dikibarkan.
Beberapa saat upacara kenegaraan telah dilaksanakan. Beberapa acara telah ia jalankan sesuai dengan gladi resik sore kemarin. Kini tibalah saatnya sang inpektur upacara membacakan petuahnya. Sang ajudan mengulurkan naskahnya. Sang Wakil Bupati tergopoh-gopoh membuka naskah dengan tangan dan hati gemetar.
”Ah sialan, apa ini maksud angka 2 (dua) pada kata bapak, dan ibu ini” batin Sang Wakil Bupati, tidak memahami kode kata ulang, untuk menyebut bapak-bapak dan ibu-ibu...
Dia akhirnya membaca apa adanya yang terdapat dalam tulisan asisten pemerintah daerah
”Bapak dua, ibu dua, saudara dua, dan seluruh peserta upacara yang saya hormati....
Hadirin yang menyimak, nampak plenggang-plenggong belum mudeng dengan apa yang disampaikan wakil bupati. Beberapa saat kemudian gemuruh seluruh peserta tertawa terpingkal-pingkal ketika kata-kata tersebut meluncur tanpa beban dari naskah yang dibacakan wakil bupati.
Sesaat upacara hampir selesai. Komandan upacara mendapat aba-aba penghormatan kepada inpektur upacara. Sang Wabup segera meletakkan tangan kanannya pada ujung topi kebesarannya. Sang komandan menunggu wakil bupati menurunkan tangannya, baru berucap ”tegaaak grak!!”, tapi wakil bupati juga ndak paham dengan aturan itu. Kontan karena sang komandan tidak segera berucap, maka Sang Inspektur wakil bupati mengambil alih ”Tegaaaaak graaaaak ”
Melihat ketololan Mbilung, Ki Lurah Togog nampak jengkel, ia pukulkan tangan kanannya pada jidatnya, mulutnya yang dower ngomel ngalor ngidul, ia memutuskan lari sambil membuang sarung yang mambalut pantatnya. Pikirannya kalut, lupa kalau dia ndak pakai celana dalam..., hoalah Soroita...Soroito, Wabup tolol ora nggenah...