Minggu, 05 Desember 2010

Paradigma Guru Masa Depan Guru Selalu Belajar OLEH: SETYO HANDONO

Dalam pandangan lama, guru adalah pendidik yang bertugas mengajarkan ilmu kepada siswa di dalam kelas. Ia, adalah tokoh sentral, tokoh serba bisa dan sumber satu-satunya yang mampu menjawab semua masalah materi pelajaran yang terjadi dalam kelas. Guru jaman dulu adalah ‘digugu lan ditiru’, pameo lama yang mengesankan betapa otoritariannya seorang guru dalam memberlakukan ketaatan yang kaku kepada murid-muridnya.
Muhtar Buchori (Kompas, 12 Februari 2010) mengatakan, Belajar dari guru yang terus membaca( belajar : pen.), rasanya seperti minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi mau membaca (belajar), seperti minum air comberan.
Tulisan ini serasa membuka mata saya yang tengah terlena dari mimpi-mimpi indah di alam tidur. Saya membayangkan, sendainya di suatu kelas, gurunya mau belajar ( mau belajar mengurai kekurangan dirinya, mau belajar mengenali kebutuhan muridnya, dan mau belajar untuk menemukan solusi pembelajaran inovatif pada mata pelajaran yang diampunya) maka , alangkah dinamisnya sebuah kelas. Guru dan peserta didik sama-sama bersemangat untuk belajar, bertemu dalam satu ruangan. Maka terjadilah interaksi social yang penuh makna, Peserta didik pasti merasakan bahwa kebutuhan spiritualnya terpenuhi. Ia kemudaian akan mencatat dengan tinta emas, seluruh pribadi guru yang bersangkutan di sanubari, disepanjang hidupnya. Pameo ‘ digugu lan ditiru’ benar-benar bukan lagi keterpaksaan, akan tetapi merupakan penghargaan tertinggi, yang lahir dari sanubarinya.
Tulisan di atas harus dijadikan penyemangat bagi guru di Indonesia untuk segera berbenah diri dan instropeksi diri terhadapa semua yang sudah dan yang akan dilakukan. Intinya guru harus senantiasa rajin belajar , senantiasa membaca , senantiasa mengkaji dan senantiasa meneliti, agar kualitas keilmuannya semakin tinggi. Dengan demikian seorang guru akan memiliki ketajaman spiritual, yang menjadikan hati, pikiran, tutur kata, dan perilakunya selalu segar , sejuk, dan membahagiakan kepada peserta didik .
Buat saya pribadi,ketajaman spiritual seorang guru harus senantiasa hadir berdampingan dengan proses belajar dan mengajar di kelas. Ketajaman spiritual , akan melahirkan kerinduan untuk salalu bertemu, berpadu membangun makna dan melahirkan karya-karya nyata yang berharga , dan bermakna bagi hidupnya.
Guru profesional bagi saya bukan datang dari seberapa banyak penghargaan yang didapat. Akan tetapi seberapa dalam kepedulian kita terhadap kebutuhan peserta didik, sehingga mereka mampu membangun hidupnya penuh dengan makna.
Sebab penghargaan sering bersifat nisbi. Ia sering memperlihatkan wajah berserinya ketika tampil di panggung pentas, tetapi ketika ia kembali pada peraduannya, ia seringkali memperlihatkan bentuk aslinya. Guru professional adalah lahir dari kedalaman hati untuk ikhlas memberi dan membangun makna dalam kehidupan nyata. Ia ada, bukan karena ingin dihargai, akan tetapi ia selalu berkarya tanpa mengharap penghargaan.
Masih menurut Mochtar Buchori, seorang guru baru dapat disebut ”guru profesional” kalau dia memiliki learning capability, yaitu kemampuan mempelajari hal-hal yang harus dipelajarinya, hal-hal yang perlu dipelajarinya, dan hal-hal yang tidak perlu dan tidak dapat dipelajarinya. Kemampuan-kemampuan tumbuh dari pengetahuan tentang dirinya sendiri, siapa dirinya sebenarnya, dan mengetahui pula pribadi-pribadi bagaimana yang tidak mungkin dicapainya. Ditirunya, ya, tetapi dicapainya (verpersoonlijkt), tidak! Singkatnya, guru profesional adalah orang yang tahu diri. Orang yang senantiasa belajar mengistropeksi dirinya, agar selalu berkembang maju.
Saya mendapatkan kesan bahwa esensi profesionalitas guru adalah guru-guru yang mempunya semangat untuk senantiasa maju, guru-guru yang benar-benar ingin memahami tugasnya dan memperbaiki kinerjanya. Bukan guru yang senantiasa berusaha meningkatan kemampuan keuangannya, dan kementerengan hidupnya.
Guru profesional memang enak terdengar di telinga, tetapi serasa berat untuk dijalankan karena beban moral yang harus dijaga. Solusinya hanya satu!, berkaryalah dengan hati sanubari, tanpa mengharap kepada manusia disekitar, akan tetapi semata-mata karena iklhas lahir batin, maka kita akan menemukan makna hidup sebanyak-banyaknya. Isya Allah barokah dunia akhirat. Ingat!!, hidup tidak untuk dipikirkan, akan tetapi untuk dikerjakan.

Selasa, 03 Agustus 2010

Wayang Semprot LPG (Ledakan Paling Ganas) Ki Setyo Handono

Keinginan Drestarastra untuk bersatu dengan Pandawa mendapatkan apresiasi positif dari Maharsi Bisma. Ia pun segera mengajak diskusi kecil-kecilan dengan sluruh hadirin yang masih ada di sana.
“Sukur ta ngger…, sebenarnya saya sendiri sudah lama memendam perasaan ini. Saya sebagai orang tua sangat kecewa jika niat mulia ini tidak pernah terjadi… umur saya ingin aku habiskan untuk mencurahkan seluruh kasih sayang kepada anak-anakku semua, demikian juga aku juga melihat anak-anakku ingin berbakti kepadaku… tapi sampai sekarang belum juga terlaksana…” jelas Resi Bisma penuh dengan bijaksana
“Leres, betul …ngendika Sang Maharsi, saya ini sebenarnya juga sudah lama punya cita-cita menyatukan Kurawa dan Pandawa. Hanya saja saya belum berani blaka suta, matur terus terang…., jangan-jangan nanti saya dikira tumbak cucukan, nanti saya dikira cari muka, cari jabatan… betul paduka, sampai-sampai keinginan ini membuat TBC saya kambuh. Terus saya saban hari punya keinginan, kapan kalau suatu saat Maharsi Bisma rawuh siniwaka, meeting di Kurawa aku bakal menyampaikan semua ini dalam forum, ing mriku kula bade ngesokaken panguneg-uneging manah biar tidak membuat sesak di dada…” sahut Panembahan Durna mantap
“Oh, Subhanallooh, …jagaad dewa bathara, jebulnya ternyata tidak hanya aku saja ta yang punya niat baik seperti itu oh, Kaki Prabu!”
“Dhawuh Rama” jawab Drestrarastra
“Kaki Prabu mestinya kan masih ingat ta, ketika Pandhu mau meninggal dulu pernah mewasiatkan apa?”
“Berhubung anak-anak Pandhawa masih kecil-kecil maka pada waktu itu Negara Astina dititipkan hamba, Sang Maharsi…”
“Terus siapa yang jadi saksinya dan yang tanda tangan surat wasiat ketika itu?”
“Nun inggih, Prabu Matswapati, Prabu Drupada, Resi Abiyasa dan paduka Maharsi Bisma…”
“Isinya apa?”
“Kelak kalau anak-anak Pandhawa sudah dewasa negeri itu harus diserahkan kepada Puntadewa…”
“Terus sadarkah kamu kalau sekarang itu kamu mengingkarinya…..pendawa kamu sengsarakan urip-nya, kamu telantarkan hidupnya, kamu musuhi…”

Mata Drestrarastra terbelalak, mulutnya menganga, air matanya berlinang, tak disangka pertanyaan yang menyudutkan dirinya itu bagaikan ledakan LPG yang menyambar kepalanya “DUUARRRRRRR” seisi rumah lumat hancur berantakan, badan Sang Drestrarastra lemah lunglai meraih telapak kaki Sang Maharsi….
“Aduh Sinuhun… saya yang salah saya yang curang…huuuuuuuuu…., aduh yayi ratu…yayi ratuu…
“Dhawuh sinuwun…” jawab Dewi Gendari sambil berlinang air matanya
“Tuntunen aku yayi…yayi… aku kepingin nggoleki Pandhawa, oh Puntadewa, Wrekudara, Janaka, Pingsen dan Tangsen, kamu ada dimana anakku, ampunilah dosa pamanmu ya ngger….”

Drestrarastra segera turun dari dampar kencana dituntun Dewi Gendari keluar pergi meninggalkan istana mencari di mana keberadaan anak-anak Pandhawa. Gending Sampak Slendro nem seseg mengalun mengiringi kepergian Drestrarastra dan Dewi Gendari. Sementara di dalam istana yang tinggal hanya Patih Sengkuni dan Maharsi Bisma…
Bagi Sengkuni masalah ini termasuk Ledakan Paling Ganas (LPG). Betapa tidak, karena semua kebijakan yang dikeluarkan oleh Drestrarastra adalah hasil provokasinya. Termasuk di dalamnya adalah mengkhianati isi wasiat Pandhu dalam hal titipan Negara tersebut. Untuk itu sekarang dia bagaikan berada di depan mulut singa. Sang Bisma adalah ksatria pilih tanding yang memiliki kesaktian yang luar biasa, pastilah hari itu dia bakal dihukum berat oleh Sang Maharsi, oleh karena itu tiada pilihan lain dia harus memutar otaknya agar dia selamat dari jeratan hukum yang berat….

VIDEO ‘ PERSIS ARTIS’ Ki Setyo Handono

Resi Bisma ikut merasakan sedih ketika Drestarastra menangis di hadapannya. Diambilnya saputangan kumal dari saku celananya. Ia kemudian mengusap matanya yang tuna penglihatan. Air matanya meleleh deras membasahi pipinya yang keriput. Sementara tangannya bergerak mencari posisi tubuh Dewi Gendari yang ada di sampingnya
“Nyai Ratu, awakmu apa ya setuju jika Pandhawa dan Kurawa bersatu?”
“Inggih…, kakang adipati, saya setuju sekali… tapi apakah mereka mau kakang?”
“Maksudmu, apa dengan keadaan di sisni yang serba kekurangan ini mereka akan seneng?”
“Betul kakang, mereka terbiasa dengan kondisi modern, fasilitas lengkap, berstatus SBI lagi. Sementara kita terdaftar saja belum, apalagi SSN..”
“Ya, sudahlah Gendari, duduklah yang tenang. Terus panembahan Durna kepriye?”
“Saya bahagia dan mendukung, Resi…malah saya punya gagasan akan mendirikan sekolah keprajuritan terpadu berskala internasional berbasis iman dan takwa”
“Betul, aku merasakan jika persatuan kekeluargaan antara anak-anak Barata bubar, maka dunia ini akan menjadi runyam hancur berantakan. Oleh karena itu jika rencana ini terwujud, aku akan menyelenggarakan pendidikan gratis, murah, nginternasional, ora trima RSBI, yen perlu RSUD; Rintisan Sekolah Udan Duit, terus biaya kesehatan murah, obat murah, dokter murah, sandang pangan murah, wis.. pokoknya kalau Pendawa Kurawa bersatu, semua fasilitas untuk rakyat semuanya serba murah…, rakyat nggak perlu gontok-gontokan rebutan jabatan, kalau perlu pemilukada bakal aku hapus, sebagai gantinya nanti ada uji keleyakan dengan seleksi ketat, team pengujinya kredibel, akuntabel…” sahut Maharsi Bisma menyela.
“Oh lole…loleee, manuk puter mencok ning omah joglo, wong pinter senengane mangan wong bodho, duh grahat… duh grahat pejabat sambat urip ora kuwat gajine mung sak milyat, bojo papat kabeh njaluk tempat… oalah ndonya arep kiamat… Nun inggih sang maharsi, saya sungguh bahagia mendengar rencana ini, kelak kalau Pendawa dan Kurawa bersatu maka saya akan mendirikan sekolah militer terpadu bertaraf internasional juga, bahkan saya juga akan menyiapkan atlet-atlet panahan yang handal ..”
“Tapi ada satu catatan untuk Wak-ne Gondhel…”
“Apa Patih Sengkuni?”
“Sampeyan nggak boleh pilih kasih. Sebab selama ini sampeyan cenderung condong kepada anak-anak Pendawa. Mentang-mentang mereka kaya-kaya, cakep-cakep, dan pinter-pinter, …. itu namanya diskriminasi pendidikan, sampeyan nggak sadar bahwa hidup sampeyan itu ndik Kurawa, makan dan minum dari gaji negeri Kurawa, bahkan sampeyan telah ikut sertifikasi guru di Sukolima, itu namanya memakan gaji buta namanya…”
“Oh dasar Sengkuni udele bodong, lha ya wis sak mestine ta aku mulang mereka, lha mereka itu rajin belajar, tertib, nggak pernah bolos, dan cerdas lagi, sedangkan adik-adikmu kerjaannya hanya mbolos melulu, sedikit-sedikit demo, merusak, ngamuk, ngambek, apalagi itu Si Citraksa, dan Si Citraksi….”
“Lho!, anak dua itu kan berkebutuhan khusus, jadi jangan diperlakukan sama dengan Dursasana dan kawan-kawan…”
“Apalagi Si Dursasana, dia itu kerjaannya Cuma SMS-san. Kemana-mana petetang-peteteng pamer HP berisi gambar-gambar porno. Malah ini tadi dia nggak datang, pasti dia lagi chating di bawah pohon sana kan?, coba kamu intip, pasti dia lagi buka video mesum Luna Mayang, yang lagi gentayangan saat ini…, itulah anak-anak Kurawa, pikirannya ngeres, jorok, nggak mau maju seperti anak-anak pendawa…”
“Gimana mau maju, lha wong gurunya lebih banyak tugas di luar, sekolahnya sendiri nggak pernah diopeni….”
“Sudah…sudah… semuanya jangan saling berdebat, ayo sekarang kita mantabkan tekad kita untuk bersatu” pangkas Maharsi Bisma.
“Silakan Wak-ne Gondhel… aku nggak mau ikut-ikutan koalisi murahan ini..”
“Kamu mau kemana?”
“Mau gabung Dursasana, lihat video ‘persis artis’ “….

Koalisi Setengah Hati Ki Setyo Handono

Suasana menjadi hening ketika Resi Bisma ingin mengeluarkan kata-katanya.
“Anak prabu…., setiap kali aku datang kemari kamu kok kelihatan cemas, kuwatir, dan seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Terbukti dudukmu tidak tenang, wajahmu kelihatan pucat pasi. Ngger… mumpung para pinituwa lagi pada berkumpul, bicaralah apa adanya, e e e, siapa tahu diantara kita ini ada yang bisa mengurai masalahmu. Sudahlah anak prabu, berterusteranglah, jangan terbiasa menyimpan masalah, nanti akibatnya kurang baik lo….”
Tiba-tiba Drestrarastra menundukkan wajahnya menangis pilu. Sendhon Tlutur, laras slendro pathet nem membahana mengharukan…

Surem-surem diwangkara kingkin, lir manguswa kang layon , denya ilang memanise. Wadanananira landhu kummel kucem rahnya mratani, oooong………

“Oh Rama… tetungguling barata, betapa kengennya hati ini tatkala paduka lama tidak berkunjung kemari. Akan tetapi tatkala paduka sudah berada di tempat ini, hati ini laksana disasyat sembilu, sedih, pedih, kami bingung, stress berat, terus mau berbuat apa?, bunuh diri?, ngamuk bakar-bakar gedung, pendapa kabupaten,mobil, atau rumah dinas, oh tidak rama… saya tidak serendah mereka, saya masih punya sifat welas asih rama, tolonglah kami rama, tubuh ini seakan dibelenggu oleh api yang membara rama…”
“Oh… jagad dewa bathara, iya ngger semua manusia nggak ada yang tidak pernah merasakan kecewa, sedih, dan takut. Lebih-lebih jika menghadapi pemilu kada seperti akhir-akhir ini….”
“Lho Rama kok menyangkutpautkan dengan pemilukada ta, maksudnya gimana?”
“Eh hiya anak prabu, sekarang ini bumi Ngastina lagi panas membara. Orang-orang pemburu harta dunia berebut jabatan. Mereka menebar muslihat, obral janji, kipas sana kipas sini, menebarkan permusuhan, pura-pura dermawan, memproklamirkan diri bagai pahlawan. Dana hutang-hutangan milyaran rupiah, mereka hambur-hamburkan, menggalang dukungan dan menggalang kebencian kepada lawan. Siang malam relawan, alias makelar bayaran bergerilya mengobral fantasi sang kandidat ibarat pahlawan tanpa cacat, tubuhnya mengkilat bagai mobil yang baru dicat, bersinar tajam bagaikan kilat. Sigap trengginas bagaikan pesilat.Pokoknya fanatisme bayaran telah mengaburkan niat jahat dari sang kandidat, tak peduli, rakyat, pejabat atau aparat, mereka ngadat bakal disikat …”
“Wah nuwun sewu resi,…” sela Durna
“Hiya , ada apa adhi Resi”
“Politisi itu modalnya ada dua kok. Satu, obral janji, yang kedua ingkar janji. Jadi kalau jabatannya sudah di dapat, kita jangan mengharap janji-janji itu terpenuhi, pokoknya jangan percaya sama politisi…”
“Eh, saya kira nggak semuanya begitu. Cuma ya sedikit sekali yang tidak ber-money politik, dan ingkar janji seperti itu, tapi ya rata-ratalah mereka seperti itu. Sudah… sudah aku tak ngomong dulu sama anak prabu…, eh, anak prabu?, tolong ceritakan, apa yang membuatmu sedih?”
“Rama, setiap malam saya bermimpi kalau yayi Pandu tengah merangkul Puntadewa dan Duryudana. Meraka disaksikan oleh anak-anak Pandawa dan Kurawa. Hatiku trenyuh, haru, saya kepingin mereka membangun koalisi abadi, berbeda dengan para politisi tadi, saya bahagia sekali rama, jika Pandawa dan Kurawa bersatu…” sambil mengusap air mata
“Oh iya kaki prabu, rama doakan semoga niatmu tadi tidak hanya sebatas kolaisi setengah hati, tetapi benar-benar koalisi abadi…”
“Betul… betul Sang Maharsi, saya juga mendukung upaya koalisi ini. Sebab saya juga sudah lama menggagas masalah ini, tapi mesti setiap ada upaya untuk mewujudkannya pasti ada provokatornya…”
“Siapa dia ?”
“Ah, paduka pasti sudah mengenalnya, dia ada di sini kok. Sudahlah kita lihat saja pasti upaya ini akan teganjal lagi di tengah jalan..” BERSAMBUNG

WANA KANDHAWA Oleh: Ki Setyo Handono

Udara panas tiba-tiba menyembul membahana di musim hujan. Negara Hastina tiba-tiba menjadi ’sumuk’, Sang Prabu Drestarastra nampak membuka baju beskapnya, sambil mengibas-ibaskan tangannya, mengipas keringat yang membasahi dadanya. Semua yang hadir nampak terheran-heran, ndak biasanya sang prabu berlaku seperti itu. Biasanya beliau dikipasi oleh dua dayang yang selalu ada di sampingnya. Namun kali ini dua-duanya izin ’ngurus’ anaknya yang mengikuti ujian susulan, lantaran mereka tidak dinyatakan lulus UN (Ujian Ngastina).
Tepat jam 09.00 pagi, para undangan yang diundang oleh Prabu Drestarasta satu per satu hadir memasuki ruangan. Dewi Gendari segera menyambut Sang Maharsi Bisma, Begawan Drona, Duryudana dan Patih Sengkuni.
Berdasarkan jadwal protokoler kerajaan, hari itu mereka akan membahas dan mengevaluasi pelaksanaan UN yang baru saja selesai dilaksanakan di Ngastina. Lumayanlah, hasilnya jeblok sana-sini. Banyak siswa yang stres, guru yang kalang kabut, kepala dinas yang malu, dan kepala sekolah yang cemas. Mereka adalah pelaksana lapangan yang bertanggungjawab dengan taruhan prestis dan jabatan. UN telah menjadi indikator berhasil tidaknya pembelajaran di Ngastina. Sebuah keputusan yang melahirkan kontrasespsi (baca; kontra persepsi), kontraversi (baca: kontra dengan versinya MA), silang pendapat, bahkan tindakan boikot yang dilakukan oleh beberapa sekolah swasta di Ngastina. Bayangkan, sekolah bertahun-tahun, lha kok yang dijadikan tolok ukur kelulusan kok cuma empat pelajaran... Prabu Drestarastra benar-benar pusing tujuh keliling
Leng-leng ramyaning kumenyar, mangrengga ruming puri... ooong, mangkin tanpa siring halep nikang umah mas lir murubing langit tekwan sarwa manik...ooong
”Yayi ratu !”
” Nuwun wonten pangandika, kanda Prabu?”
”Apakah para undangan telah hadir semua, Gendari?”
” Betul kanda, mereka sudah hadir semua”
”Siapa saja yang hadir?”
” Putra paduka, Pangeran Adipati Anom Duryudana, ayahnda Talkandha, Maharsi Bisma, dan Begawan Drona.....”
” Oh, tidak ku sangka, ternyata para pejabat Ngastina begitu besar menghargai undanganku, lha terus Sengkuni apa ya telah hadir”
”Nun inggih sampun, malah dia agak duduk menjauh sinuwun....”
”Kenapa?”
”Inggih kanda, dia lagi main-main HP, mungkin ada teman yang menghubunginya”
”Ya.., biarlah tidak jadi apa. Nyuwun pangapunten kanjeng rama Bisma, izinkan saya menyampaikan selamat atas kedatangan paduka” sela Prabu Drestarastra
” Wah, iya anak prabu, atas segala doamu perjalananku selamat tiada halangan, mudah-mudahan kedatanganku menambah rekatnya hubunganku dengan anak prabu sekeluarga”
”Kalingga murda, mudah-mudahan doa rama menambah kekuatan kami dan semua rakyat di Ngastina, ... Begawan Drona, bagaimana perjalananmu kemari?”
”Oh, jograhat..jograhat waru gembol monyor, monyor, cah ujian padha nyonyor, pendidikan tambah asor, kepala dinas katon ndlosor, kepala sekolah jabatane nggleyor, hawloh... hawloh, awit pangestu Njeng Padukendra saya selamat dari bahaya, sembah saya nok, nok, non...”
”Ingsun terima sembah baktimu, semoga menambah kekuatan saya, dan menjadikanmu bahagia selama-lamanya Druna?”
”Aduh Sinuwun, terima kasih yang sedalam-dalamnya mudah-mudahan sabda paduka menjadi benih suci batin saya dan lestarinya pengabdian hamba kepada paduka..”
”Oh iya Dhi, nikmati dudukmu terlebih dahulu aku akan menyapa dulu Si Pangeran Adipati Anom. Ngger Adipati Anom, kamu jangan sampai meninggalkan kewajibanmu ya ngger, selaraskan semua ucapan dan tindak-tandukmu , ingat setelah Pemilukada nanti kamu bakal menggantikan kedudukan rama ya ngger..”
”Pangestu paduka kanjeng rama, siang malam team sukses telah berjuang untuk memenangkan saya, mereka telah sagolong sajiwa dengan rakyat . Bahkan survey membuktikan bahwa hamba mendapat dukungan paling kuat !”
”Itu baru teori di atas kertas, pembuktiannya nanti setelah pemilukada. Untuk itu ngger, kamu jangan bertindak anarkis jika nantinya kalah, apalagi menyewa perusak bayaran untuk merusak mobil dan gedung-gedung... jangan ya ngger kamu itu masih ketitipan iman dan taqwa ya..., itu bukan kelakuan manusia, tapi iblis laknat !”
”Kasinggihan dhawuh paduka, rama prabu”
”Anak prabu !!” tiba-tiba Maharsi Bisma menyela
BERSAMBUNG

Kamis, 08 Juli 2010

Wolak-waliking Zaman

Pemilu Kada telah menyisakan kepedihan dan kegembiraan. Bagi yang kalah taruhannya adalah malu, hutang, bahkan jabatannya melayang. Sebaliknya bagi yang menang, hutang, dan kursi jabatan terus bergoyang. Ibarat orang memanjat pohon kelapa maka angin dan badai silih berganti menerpanya. Dan semakin orang tinggi memanjat (duduk menjabat) maka pantatnya semakin kentara amat jelas. Wajah ganteng/ kecantikannya hilang. Untuk itu angin dan badai tak seindah ketika ia membalik rok wanita cantik. Jadi penguasa tak seindah melihat aurat wanita cantik.

Jangkaning Jayabaya dalam serat Sasmita Kaliyuga sudah meramalkan, Mbesuk wolak-waliking jaman bakal tumeka. Ratu dadi Kawula, kawula dadi Ratu. Bupati dadi rakyat. Artinya jaman ini sudah terbukti bahwa rakyat jelata akan menjadi pemimpin, pemimpin akan menjadi rakyat. Yang ber-SDM rendah akan menjadi pemimpin, sedangkan yang profesional akan tersingkir. Demikian halnya dengan jabatan bupati, akan tiba masanya di mana orang besar ; seperti bupati dijatuhkan dan rakyat jelata memimpin panggung politik di sebuah negara. Maka dapat dibayangkan apa jadinya dunia jika yang memimpin adalah orang yang tidak menguasai bidangnya. Kata Nabi, tunggulah kehancurannya.
Itulah kisah nyata di negeri Giyantipura. Sebuah fenomena yang telah hadir menghias mayapada. Sing jirih ketindih, Sing waras tambah nggragas,wong tani ditaleni, wong dora (seneng apus-apus) ura-ura (memberi wejangan dan dikagumi, disanjung, diberi jabatan) wong suci (jujur, takwa, berilmu)bilahi (mendapat tempat yang hina). Sedangkan wong adol duwit (menyuap untuk mendapatkan dukungan, keselamatan, untuk jabatannya) tambah laris. Sing mendele (bodoh, dan pinter omong) dadi gedhe,Sing nyekel banda lan panguasa nanging uripe sengasara, wusana bakal ana wong mati keliren ing sisihing pangan. Itulah ramalan jaman Kaliyuga yang diramalkan Jayabaya, jauh sebelum pemilu kada terjadi.
Memang!, jabatan adalah pekerjaannya nafsu manusia yang selalu melupakan dirinya. Jabatan politis sekedar analisa bisnis, mistis, ketokohan, keserakahan, dan harga diri. Mereka lupa dengan kekurangan dirinya. Akibatnya persis seperti tayangan ’tukar nasib’. Ketika berada di depan beneran, mereka tidak nyambung sama sekali dengan profesi yang tengah dilakoninya. Mereka nampak culun, lucu, wagu, dan jadi bahan ejekan. Malu????. Ah, siapa yang malu nggak bakalan dapat uang saku, itulah senjata pamungkasku.
Lebih jauh Jayabaya meramalkan; Si Bengkong gawe Gedhong.Si Begal padha ndugal, Si rampok padha keplok. Si bengkong adalah tamsil bagi orang yang suka berbuat curang, tidak jujur, pinter umuk, omong kosong, keminter, dsb. Mereka merasa paling hebat, paling berpengaruh, sok ramah, sok memasyarakat. Dalam hal ini Jayabaya mengatakan; Akeh wong ngaku-aku, njabane putih njerone dhadhu. Bahkan kalau perlu beli identitas lewat jalan pintas. Mulai ijazah hingga gelar. Tak heran jika di kemudian muncul problema Wong salah bungah, wong apik ditampik-tampik. Wong agung kasinggung (terbuang) wong ala kapuja (mendapat tempat terhormat) yang terjadi kemudian adalah lahirnya penguasa yang tidak menguasai profesinya. Pidatonya tidak ilmiah, tidak nyambung, dan itu-itu saja yang diomongkan. Itulah hebatnya demokrasi. Jabatan selalu berkonotasi dengan banyak kepentingan. Jangan pilih yang kuat dan cerdas, sebab dia akan menghalangi kepentingannya. Maka carilah pemimpin yang lemah, sebab mereka akan mudah kita kendalikan. Rebutlah kemenangan dengan membeli dengan harga yang lebih tinggi dari calon yang telah memberi. Rakyat pasti berpaling dengan harga yang tinggi.
Itulah genderang demokrasi yang tengah terjadi di negeri Giyantipura. Rakyat telah direcoki ’monkey dan money politik’. Mereka adalah badut-badut serakah yang bergelut memperebutkan harta kekuasaan. Wajahnya ramah, menawarkan ribuan berkah kepada masyarakat lemah. Senyumnya mempesona, bagaikan bulan purnama yang menyinari alam semesta. Pujanya berupa mantra obral janji. Bunganya berupa mimpi-mimpi perubahan, perbaikan dan kemajuan bersama bidadari merangsang mirip artis Cut.....BERSAMBUNG

Wolak-waliking Zaman

Video Puersis Artis

Betapa girangnya Cut Wilutama bisa badar menjadi bidadari kembali. Kontan, jagad pewayangan gonjang-ganjing. Tak tanggung-tanggung mulai dari tokoh masyarakat, hingga presiden angkat bicara tentang hal itu. Betapa tidak !, Cut Wilutama adalah pemain dan pemeran dalam kasus video mesum antara dirinya dengan Resi Kumbayana alias Begawan Durna ketika belia dulu. Dan kini video itu menyebar luas dan menggemparkan jagat pewayangan. Bahkan rating pemasarannya melebihi tayangan piala sepak bola dunia yang kini tengah mendunia. Dan itulah kisahnya kenapa dia dikutuk dewa menjadi harimau dan harus meninggalkan kahyangan.
Sebaliknya, bagi kalangan pengumbar syahwat, mereka menyambut gembira atas kemunculan bintang mesum Cut Wilutama, termasuk di dalamnya pengusaha dunia hiburan, cafe remang-remang, warnet dan lain-lain. Spontan, mereka saling berebut Sang Bathari Cut Wilutama untuk manggung di tempatnya. Taruh saja cafe HBI (Hubungan Boleh Intim) yang pernah merenggut nyawa beberapa purelnya sangat sengit memohon kedatangan Cut Wilutama ’goyang ngebor’ di kafenya. Sebab mereka paham bahwa generasi muda dan pejabat-pejabat di sana amat suka dengan pancingan-pancingan yang berbau mesum tersebut. Mereka pasti akan datang berduyun-duyun jika Cut Wilutama berhasil ia rebutnya. Bahkan untuk mengelabuhi masyarakat, cafe itu sengaja berdekatan dengan pertapan suci Astana Gadamadana. Sebuah ide gila agar tidak dilirik oleh aparat, dan sekaligus untuk menghancurkan kesucian pertapan. Sedangkan masyarakat pertapan sendiri belum menyadari bahwa keberadaan kafe-kafe tersebut akan merusak kesucian generasi muda dan masyarakat pertapan itu sendiri. Oleh karena itu mereka tenang-tenang saja. Karena dari luar memang tidak terlihat jika di dalamnya berisi fasilitas mesum tersebut.
Sementara itu kita tinggalkan dulu keberadaan kafe maksiat yang ada di Giyantipura. Kita saksikan kisahnya kembali Cut Wilutama yang sedang bertemu dengan Raden Samba.
”Kulup, Samba!”
”Nun inggih ibu bethari”
”Ulun seneng banget ketemu jeneng kita ngger, dasar pasuryane bagus, nanging sayang hingga saat ini kamu kok kelihatan bersedih, ada apa ta ngger?, apa kamu sedang ditinggal pacarmu, atau kuliahmu bermasalah?”
”Kasinggihan bathari, sedih saya karena lagi ditinggal oleh kekasih hati....”
”Oooalaaah, rak tenan ta apa sing sudah ulun sampaikan tadi, terus sapa pacarmu itu?”
”Dewi Haknyanawati bethari...”
”Lho !!, kowe aja edan lho Mba!!, itu kan bojonya kakangmu ta?”
”Iya Kanjeng Mami, eh pukulun bathari. Saya sudah terlanjur jatuh cinta padanya, dan diapun sudah menyatakan demikian, oleh karena itu hamba minta nasihat dari pukulun , bagaimana agar masalah ini dapat kami atasi”
”Ha...ha..ha.., gitu aja kok repot” jawab Bathari Wilutama, sambil membenahi BH nya yang hampir melorot menyibak seluruh payudaranya. Raden Samba agak terkesiap pandangannya melirik balon kembar yang mencuat di depannya. Dalam hati ia mengatakan ”Boleh juga nich gadis...”
”hai Samba!!”
”Oooh, dhawuh Kanjeng pukulun Bethari!”
”Ulun sanggup membantumu, akan tetapi ada dua syarat yang harus kamu patuhi. Yang pertama, kamu harus berjalan di dalam bumi, yang kedua, apabila nanti kamu sudah berjalan kamu tidak boleh melihat lampu penerangan yang aku bawa, matamu tidak boleh melihat ke kiri, ke kanan, dan ke belakang. Kalau ini kamu patuhi, maka cita-citamu ketemu dengan Dewi Haknyanawati bakal terkabul...”
”terus , bagaimana caranya??”
”You, kagak usah kuwatir, ulun punya aji-aji Cundamanik, nyoh, ini tampanana, insyaallah kowe engko bisa mlaku ana sajroning bumi kaya orong-orong...”
BERSAMBUNG

Badaring Bathari Wilutama Ki Setyo Handono

Ujian nasional telah lenyap dari ingatan para juru mudi pendidikan di Giyantipura. Euforia yang melimpahruah telah melupakan makna senyatanya dari pendidikan itu sendiri. Target kepala sekolah, kepala dinas, dan menteri adalah meluluskan anak sebanyak-banyaknya. Soal mutu, anak mau jadi apa, seakan luput dari teropong mereka. Mereka hanya ingin jabatan dan penghasilannya aman. Itulah kondisi pendidikan Giyantipura yang sudah berada dalam jurang kehancuran.
Sementara itu, perjalanan Raden Samba telah sampai di hutan Sukun, Pulung. Langkahnya nampak lunglai, wajahnya semakin kusut, perutnya merasakann lapar hingga merasakan pedih di ulu hatinya. Raden Samba nampak kelelahan, ia segera menghentikan langkahnya. Ia duduk di bawah pohon Gurda yang masih nampak kokoh, besar dan rindang. Ia memutuskan untuk bersemadi di sana.
Tidak beberapa lama, awan tiba-tiba gelap. Raden Samba nampak gugup dan takut. Maklumlah ia ndak biasa bertapa di tengah hutan. Paling kalau ia semedi pun sering ia lakukan di dalam kamarnya. Itu pun masih harus diiringi musik instrumentalia ’Silk Road’ yang membuatnya tertidur pulas. Tapi kali ini suasananya benar-benar berbeda. Ia berada di dalam hutan yang masih benar-benar virgin. Tidak ada tv, radio, apalagi internet. La wong signyal saja lemah sekali kok. Maka, nampaknya tidak ada plihan lain, kecuali ia harus memutuskan ’ndhaprok’ pura-pura semedi di bawah pohon Gurdha tersebut.
”Wah, gawat !, pohonya terlihat angker nich, banyak nyamuk lagi. Ah, peduli amir, pokoknya aku akan semedi ndik sini, kalau toh aku mati dimakan harimau, terserahlah, pikiranku sekarang lagi kacau, lagi suntuk ’impen-impenen’ dengan Dewi Haknyanawati yang kinyis-kinyis menggoda hatiku...” desah Raden Samba sambil menggelar selembar koran untuk alas duduknya.
Raden Samba segera duduk bersimpuh, sekejap-sekejap matanya terkesiap bangun. Hatinya berdebar-debar tatkala mendengar suara gemertak atau daun runtuh dan ranting-ranting yang patah. Hati dan pikiran Raden Samba benar-benar kalut dan takut. Bulu githoknya berdiri mengejang. Rasa percaya dirinya telah lenyap. Ia nampak menutup telinga dan wajahnya. Ndak mau rasanya ia berlama-lama di dalam hutan, ndak ada fasilitas komunikasi canggih di sana. Adanya cuma nyamuk dan serangga malam.
Raden Samba nampak berniat mengurungkan semedinya. Koran alas duduknya ia tinggalkan kusut berserakan, di bawah pohon Gurdha. Ia melangkah gontai berjalan menepi, ingin keluar dari dalam hutan. Namun baru saja kakinya beranjak, tiba-tiba dari kegelapan muncul bayangan binatang buas menghampiri dirinya. Raden Samba spontan berteriak ketakutan, ia lari terbirit-birit menerjang apa saja yang ada di depannya.
”Haumm....haummm, grrrrrrm”
”Wis, macan...., aku nyerah , terkamlah tubuhku, koyak-koyaklah kulitku, nggak ada gunanya aku hidup berlama-lama tanpa Haknyanawati... nyoh iki tubuhku, makanlah.... nyoh iki kepalaku.... klethak-en....”
Berkali-kali Raden Samba menyerahkan dirinya. Namun harimau raksasa yang ada di depannya nampak diam termangu ndak mau menerkam dirinya.
”Ya wis macan, yen kamu ndak mau menerkam diriku, baiklah..., sekarang aku akan memanah tubuhmu, nyoh ini rasakan.... jprettt!! ”
Tepat, anak panah menancap pada ulu hati harimau. Tubuhnya menggelepar jatuh di tanah. Dari lobang anak panah yang menancap tiba-tiba mengepul asap putih yang menggumpal seperti bayangan manusia....
”Hong wilaheng sekaring bawana peteng.... putra ulun ngger Samba.....”
”Lho !.... lho!, panjenengan sinten, Bethari??”
”Iya, ngger Samba, ulun iki Bathari Wilutama...”
”Lho, ingkang menjelma macan tadi siapa?”
”Lhooo, ya iya ulun ini ta ngger.....”
”Lho kok ....”
”Wis ... jeneng kita ra sah tekon sekarang, suk minggu ngarep wae tak jelasne”

BERSAMBUNG

Rukmuka dan Rukmala Ki Setyo Handono

Raden Gunadewa amat masgul dengan Raden Samba adiknya, ia jengkel kenapa sudah diberi nasihat tidak juga sadar hatinya. Ia pun kini memutuskan mengusir Raden Samba dari Astana Gadamadana.
”Yayi, perang sabil iku, nora lawan si kopar lawan si kapir, awit sajroning dhadha iku, ana prang bratayudha, luwih rame aganti pupuh-pinupuh, iya lawan dhewekira, iku sejatining prang sabil, wis yayi, kowe enggal muliha wae, aku arep tapa brata, aja mbok ganggu...”
”Ya, kakang, yen ngono aku nyuwun pangestu!!”
”Ora bisa yayi. Pangestu mono mung kanggo pawongan kang lumaku becik”
”Lha rumangsamu aku apa ora lumaku bener kakang!”
”Bener mung kanggomu dewe, nanging luput kanggone urip bebrayan”
”Lupute piye?”
”Kowe wis wani nerak pager ayu. Mbakyu Haknyanawati wis dadi garwane syah kakang Bomanarakasura, kenapa kamu masih pura-pura tidak tahu, begitulah kalau manusia tengah dikuasai oleh hawa nafsu...”
”Nanging aku iki putrane Prabu Kresna, titisane Dewa Wisnu lho”
”Aku ora ngrembuk menawa kowe titisane dewa utawa titisane Prabu Kresna. Nanging aku ngrembug bab kelakuanmu sing wis ora nuduhake sifat-sifate Dewa Wisnu.., sebab Rama Prabu ora tahu mulang kowe selingkuh kaya ngono kuwi”
”Yo wis kakang, sampeyan sajaknya ndak kasihan lagi padaku, bertapalah saja, pokoknya aku akan tetap kawin dengan Mbakyu Haknyanawati...”
”Weladalah Samba...Samba... pranyata kowe wis ora bisa ndak tuturi maneh,Yo.. yen wis dadi krenteging atimu, aku mung bisa aweh dalan. Kowe enggala ketemu karo Paman Janaka. Engko ndik kana curhata, matura kang persaja, aku yakin Paman Janaka bisa ngatasi semua masalahmu, wis kowe aja pamit , enggal budhala!!”

Ndak beberapa lama Raden Samba meninggalkan Raden Gunadewa. Ia segera berlari menjauh dari Astana Gadamadana. Raden Samba nampak berseri-seri. Ia bagaikan menemukan ide brilian, bertemu dengan pakar asmara cowboys in paradise. Otak ngeresnya semakin menggelora.
Sementara Raden Gunadewa nampak gontai , ia pusing dengan ulah adiknya. Ia-pun segera mengambil kitab kuna yang tergeletak di atas pusara Bathara Darma. Ia segera membuka bab piwulang yang berisi kisahnya Dewaruci. Tepat pada halaman 50 ia mendapati kisah Raden Bratasena –yang juga pamannya- berhasil menaklukkan Rukmuka dan Rukmala. Ruk bermakna rusak, Muka berarti hambatan atau penyakit yang berasal dari makanan dan minuman yang enak seperti hotdog(kirik panas), rawon, soto, sate gule, jangan blendrang, nasi uduk, hamburger, serta jabatan seperti; rektor, bupati, wabup, gubernur, menteri, presiden, dsb. Sedangkan Rukma berarti cassing , perhiasan, gemar cari muka, gemar mencari pujian, mementingkan penampilan daripada kualitas . Seandainya rektor, maka wajah kampusnya dulu yang di permak, soal kelas, media pembelajaran, kesejahteraan, keamanan, dan manfaatnya, tidak diperhitungkan sama sekali. Cari Wah, yang paling utama.
Bratasena tidak mungkin bisa mencapai visi membangun Islam yang Kaffah dan Kampus yang Islami jika Rukmuka dan Rukmala masih bersemayam di dalam hatinya. Indikatornya adalah jika kondisi kampus sudah tidak nyaman, antar karyawan tidak kompak, saling curiga, saling menjatuhkan, administrasi-surat-menyurat- amburadul, mutasi terjadi tanpa prosedur yang benar, pemecatan karyawan tanpa alasan(baca: dengan bahasa yang kasar dan menyakitkan) , komunikasi atasan dan bawahan terputus, hilangnya musyawarah senat, semakin rendahnya kepercayaan bawahan kepada atasannya, dan hilangnya fungsi Badan Pengawas Harian akibat masih kuatnya pengaruh Rukmuka dan Rukmala. Maka mereka pun menjelma menjadi Budaknya Penguasa Hutan. Sebuah penguasa yang memerintah tanpa itikad, etika, estetika, dan etiket (merk, nomer, ijin,komposisi, kegunaan dan status yang jelas)

Markus dan Cafe Mesum

Satu per satu pencoleng yang menggerogoti perekonomian bangsa berhasil diungkap oleh segelintir orang yang terluka hatinya akibat dendam jabatan. Ya !, ia adalah seorang jendral polisi negeri Giyantipura. Walau sebenarnya polisi di negeri itu sudah terkenal ’busuk’ sejak dahulu kala. Namun selama ini seakan aparat penegak hukum itu tidak pernah tersentuh oleh kritik dan sentuhan hukum, sehingga nyaris kebejatan korps mereka seperti langgeng ditelan oleh jaman. Namun ada pepatah, se rapi-rapinya bangkai disimpan, maka bau itu pasti tercium juga. Demikian juga kebusukan polisi Giyantipura akhirnya ya mobal alias membahana bau tak sedapnya. Bahkan kebrutalannya melebihi perampok ataupun teroris di negeri ini. Bayangkan saja, setiap orang yang berperkara- walau kalau dinalar sebenarnya korps ini tidak dirugikan- pasti deh urusan duwitnya semakin panjang. Makanya polisi di sini merupakan kepanjangan dari Perkara Orang Lain Sebagai Incam, alias polisi senengnya bukan kepalang kalau ada masalah hukum yang menimpa rakyat yang diayominya. Sebab dengan adanya sebuah perkara, maka Kasih Uang Habis Perkara. Hukum; Hubungi Aku Kasih Uangmu, Mulus. Hakim; Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. Jaksa; Mengajak Secara Paksa.
Kenyataannya sudah menjadi rahasia umum, mereka adalah makelar-makelar kasus, yang akan menjerat masalah masyarakat menjadi ’komoditi’ yang akan mempertebal kantong pribadinya. Bayangkan saja, pada suatu hari Raden Samba ketika itu tengah njagrag sepedanya di pinggir jalan, tiba-tiba tanahnya ambles, sepedahnya roboh. Priiit !!, polisi memberi tilang, sepedahnya dibawa ke kantor polisi, polisi minta uang untuk membebaskan motornya yang dibwanya. Ancamnya; ”Anda pilih sidang apa pilih aman, kalau pilih aman sediakan uang sekian” kata polisi sambil menunjukkan tiga jari telunjuknya. Itu soal yang biasa di kepolisian Giyantipura. Belum yang lainnya. Tak terhitung jumlahnya. Maka jangan heran jika ’pendapatan’ mereka melebihi tentara. Rumahnya megah, mobilnya mewah. Tanahnya luas, dan hidupnya bergelimang harta.
Biasalah komandan selalu minta jatah dari prjurit bawahnya. Itu sudah biasa bagi korps kepolisian Giyantipura. Mereka sudah membentuk link, atau mafia hukum, mafia politik, mafia perdagangan, mafia mesum, dan sebagainya. Tak heran jika apresiasi masyarakat pada mereka begitu rendah. Ya, semua karena ulah mereka sendiri. Maka jangan heran kalau kebejatan di negeri Giyantipura ini semakin menjadi. Kata kuncinya adalah polisi yang mengawali.
Sekarang kondisinya berbalik. Pas !, kata pakar kesehatan, bahwa orang sakit 90% akibat dari pikirannya sendiri yang salah. Jadi kalau jaksa dan polisi sakit ya semua itu juga karena ulahnya sendiri. Maka yang mempu mengobati ya mereka sendirilah. Sebab kalau orang lain yang mengobati/mengkoreksi penyakitnya, maka perbuatan itu pasti dibelokkan menjadi kasus hukum; mulai pencemaran nama baik hingga subversif. Satu per satu orang kritis itu mesti hidupnya semakin kritis. Lenyaplah mereka selama-lamanya.

Begitulah polisi di negeri Giyantipura, mereka melakukan mafia hukum dengan membuat perselingkuhan abadi di kafe mesum pinggir jalan. Mereka tidak mempunyai rasa malu lagi. Di tempat sepi oke, di keramaianpun aman. Itulah kafe mesum yang tidak bisa diusik oleh orang awam.
Baiklah kita tinggalkan dulu, polisi Giyantipura yang sedang manastisi akibat pisaunya mengenai dirinya sendiri. Kini kita lihat Raden Gunadewa yang kecewa dengan adiknya yang bernama Raden Samba.
Dia nampak pusing kepalanya. Padahal upaya untuk menyembuhkannya sudah diupayakan hingga negeri China lho. Tapi dasar anak yang nggak tahu diuntung. Sudah memakan biaya banyak tak juga diperoleh hasilnya. Eee... kemarin sore malah ngumpat-ngumpat Sin She-nya
”Gimana sih !!, Anda itu ndak propesional!!!, masak udah dibayar mahal-mahal.. status kesehatanku ndak naik-naik pangkat jadi lebih sehat. Sudah!!, tutup saja praktik pengobatanmu!!! Anda ndak propesional blas...”
Kontan seluruh korps Sin She se Tiongkok, kebakaran jenggotnya. Mereka naik pitam. Ra trima. Dirinya direndahkan, dihina dan dicacimaki. Kemudian merekapun segera nlepon Sang Gunadewa.
Sang Gunadewa-pun menjadi gerah hatinya. Sore harinya ia membawa ’tanda diam’ beberapa bungkus sate dan makan khas Giyantipura dipersembahkan pada mereka.
Bagaimana kisah selanjutnya, kita lihat di TKP !!!

PLONG !! Ki Setyo Handono

Raden Samba tidak kuasa mendengarkan nasihat yang diberikan oleh Raden Gunadewa kakaknya. Tekadnya sudah bulat. Pendiriannya tidak ingin lagi mencla-mencle memilih opsi A, B, atau C. Baginya, Haknyanawati adalah wanita titisan jawata yang sudah digariskan menjadi miliknya.
”Samba!”
”Iya kakang”
”Elinga ya dhi, Kakangmbok Haknyanawati itu sudah menjadi milik Kakangprabu Bomanarakasuro, yen kamu masih nekat memperistrinya itu namanya ngrusak pager ayu, dan ngobak-obak tirta kang wening. Kowe pada karo ngingu kemladhe, tanduran sing bakal ngrusak jiwa ragamu, elinga ya dhi, mesakna karo asmane keng Rama Prabu...”
”Kakang, aku mau kan wis kandha ta, wong iku yen wus nandang asmara, lara branta, nyawang donya iku mung katon peteng ndhedhet. Sing katon mung pasuryane Sang Dewi utawa Sang Pangeran...”
”Ooo, mengkono ya..., dadi termasuk omonganku mau ya ora mbok rungokne ya?”
”Wah, ya inggih...”
Raden Gunadewa nampak murung termenung. Dia memilih menundukkan mukanya sambil membaca mantra. Sementara Raden Samba nampak duduk ndak tenang. Sesekali ia lihat jam tangan dan HP-nya yang kelihatan baterainya mulai ’low’.
Aneh, bin ajaib. Baru saja Sang Gunadewa merapalkan mantranya tiba-tiba angin puting beliung (Penthil muter:red) membahana menyapu benda-benda yang ada di sekitar Astana Gadamadana. Dan lebih, nganeh-anehi lagi patung arca Bathari Dermi tiba-tiba menyatu dalam tubuh Raden Samba. Jleg!!!. Raden Samba tiba-tiba ’ngengleng, gendheng, kaya wong edan’. Tiba-tiba ia memeluk dan menciumi Raden Gunadewa. Kontan Raden Gunadewa ’girap-girap’, risih.
”Wah, bocah kok tambah manis, eseme ngujiwat,... dhuh nimas Haknyanawati, nyaketta pun kakang yayi... aja ngedoh pun kakang, nyaketa yayi, ayo ndak gendhong, ndak aras pipimu.....”
”Dhi, elinga ya, aku iki kakangmu...”
”Waduh, aku ora lali kok, aku eling, aku sadar menawa aku lagi nyanding karo kowe yayi.. ayo ta, aja adoh-adoh anggonmu lungguh, nyaketta, aku pingin ngrasakne kulitmu sing alus lencir gadhing.... byuh... byuh... bocah kok ayune ora ilok....”
”Dhi ... elinga ya dhi...., ayo ta bukalah matamu, tataplah aku, dan lihatlah siapa aku....”
”Aduh, kakang!!” tiba-tiba mata Raden Samba terbelalak. Ia sadar ternyata yang di depannya adalah Raden Gunadewa. Ia langsung duduk menyembah kakaknya.
”Adhiku cah bagus, Samba...”
”Inggih kakang..”
”Sajaknya, lara brantamu wis lumebu stadium parah yayi. Aku wis ora kuwagang maneh mbendung apa sing dadi kekarepanmu, mula saka iku, aku bakal nundhung sliramu jengkar meninggalkan pertapan ini. Lan kamu pergilah ke Madukara, temuilah Paman Janaka, insyaalloh, beliau akan membantumu...”

Raden Samba nampak tersenyum lega. Perasaannya terasa plong!. Buru-buru ia merapikan pakainnya. Ia melihat jarum jam telah menunjukkan angka tiga sore.
”Wah, sajaknya waktu sudah surup kakang. Aku marem sekali mendengar petunjukmu. Kalau begitu aku mohon pamit dan mohon pangestu...”
”Iya samba, pergilah kau. Tapi sorry aku tidak bisa memberimu pangestu. Sebab pangestu itu hanya pas diberikan kepada orang yang berniat mulia...”
”Tapi kakang, aku ini anaknya Dewa Wisnu lho”
”Bener, kowe putrane Sang Hyang Wisnu, akan tetapi kalau niatmu sudah menyimpang dari aturan, sama halnya saya merestui kejahatan, sudahlah you pergi saja, aku akan melanjutkan semediku....”
”Iya kakang, kalau begitu aku nyuwun pamit”
”Iya Samba, hati-hati” BERSAMBUNG

Bagaikan Jasad tanpa Roh Ki Setyo Handono

Astana Gadamadana nampak lengang. Angin dingin terasa pelan menyapa kulit. Udara panas semilir membahana mengabarkan mendung kelam siap menebarkan rinai hujan yang beberapa hari ini tak kunjung membasahi hamparan ilalang yang terlihat layu di bumi Astana Gadamadana. Sementara di kaki bukit terlihat sebuah negeri yang terlihat bagaikan kota mati. Korupsi di sana bagaikan budaya yang telah terpatri menjadi jatidiri. Mulai maling, begal, kecu, apus-apus, glembuk, gendam, riak, pamer, iri hati, semena-mena telah biasa dilakukan. Ibaratnya kalau ada pejabat- mulai dari RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, kepala sekolah, rektor, tentara, polisi, satpam, hansip, dan sebagainya- bagaikan jasad tanpa roh.
Sang Prabu Baladewa, ya Prabu Mandura yang menguasai negeri berantakan itu nampak bangga memamerkan tiga piagam penghargaan kepada wartawan yang diundang ke kantornya. ”Negeri ini semenjak saya jadi raja, banyak prestasi dan perkembangan yang luar biasa. Ini semua karena saya bertangan dingin, coba kalau tangan saya sudah panas, maka sampeyan akan takjub, negeri ini akan saya sulap menjadi negeri fantasi, mengalahkan negeri-negeri kumuh yang ada di dunia ini” pungkasnya sambil menunjukkan segebok piagam mulai dari Pukulun Narada, Pukulun Ganhesa, ketika wartawan ’menyondrek-nya’.
Memang!, sang prabu adalah tipikal narendra ’bertangan dingin’. Betapa tidak, prestasi orang lain, proposal orang lain, hak-hak orang lain, dan lahan orang lain, sering diserobotnya, kemudian diakui sebagai prestasinya. Hal itu dilakukannya dengan dingin-dingin saja. Itulah kenapa beliau sering mendapatkan gelar narendra bertangan dingin. Tak heran jika ketika dia muncul memamerkan segudang prestasinya, orang-orang bawahannya nampak dingin-dingin saja. ”Negeri ini jika tanpa saya, ibaratnya bagaikan badan tanpa roh” pungkasnya sambil mengakhiri wawancaranya. ”Wis omonga sak karepmu, sing penting aku entuk duwit” batin sang wartawan Trajutrisna -sambil mengantongi amplop-, ngeloyor pamit keluar.
Sementara itu kita lihat kembali Raden Samba yang tengah terkagum-kagum memnadangi sepasang patung yang tergolek di pasarehan Gadamadana.
”Ya, beginilah Samba, patung ini adalah jilmaan Bathara Wulan Derma dan Bathari Wulan Dermi yang dikutuk oleh Dewa akibat hubungan badan...”
”Lho kok saget kakang?”
”Hiya Samba, keduanya adalah sebenarnya kakak beradik seayah dan seibu. Karena waktu itu mereka tinggal serumah. Ia ditinggalkan oleh ayah dan ibunya yang bernama Bathara Darma, pergi melaksanakan dakwah kadewatan di luar daerah selama bertahun-tahun. Oleh karenanya ketika mereka menginjak dewasa, pengaruh kehidupan global itu menyeruak mempengaruhi hidupnya. Ayahnya hanya sempat ngasih fasilitas semisal uang, hp, laptop, komputer, internet, sepeda motor, rumah mewah, dan mobil. Nah inilah yang kemudian kasih sayang dari orang tuanya dalam tanda kutip, tidak terpenuhi. Internet dengan situs-situs porno-nya telah mengajari keduanya untuk hidup bebas. Bebas tidak berbusana dan bebas melakukan hubungan layaknya suami dan istri. Nah dari sinilah, keduanya ’konangan’ satpol PP yang tengah mendapatkan laporan dari tetangga sekitarnya. Kemudian oleh dewa keduanya dimasukkan sel, dan dipidana menjadi sepasang patung itu...”
”Wah, lha wong penak-penak dadi dewa trima dadi patung. Padahal dewa itu kan tempatnya kesusilaan, tempatnya kemuliaan, tapi kok bisa terjadi kakang”
”Itulah Samba, orang itu kalau sedang dikuasai oleh hawa nafsu, maka tak peduli siapa dia, apakah dewa, atau siapapun, ia akan terkulai menuruti nafsunya. Oleh karena itu aku sekali lagi mengingatkanmu, buanglah rasa cintamu dengan Kakang mbok Haknyanawati. Ingatlah bahwa dia itu sudah menjadi istri sah kakang Boma. Jangan kau mengotori air yang jernih, dan jangan kau merusak pager ayu., Kau itu anak narendra Dwarawati, jagalah nama baik ayahnda prabu......”
”Ha.. ha..ha..., kakang Gunadewa, orang itu kalau tengah jatuh cinta, semua menjadi gelap. Nasihat-nasihat tiada berguna lagi. Ibaratnya kalau hidupku tanpa Kakangmbok Haknyanwati, bagaikan jasat tanpa roh ..... pilih mati kakang !!” BERSAMBUNG
Perkelahian antara Setyaki dan Ditya Satrutapa tak bisa dihindarkan lagi. Ibaratnya bagaikan pertarungan antara cicak dengan buaya, semut dengan gajah, dan rektor melawan karyawan yang tidak berdaya. Sang Raksasa alias sang penguasa lebih didominasi oleh hawa nafsu untuk sekedar menutupi keculasan dan kerakusannya. Ditya Satrutapa sebagai pembantu raja (PR) 2 bagaikan orang yang kemaruk kekuasaan. Modusnya menggantung nasib bawahannya, alasannya menegakkan aturan permainan, ujung-ujungnya adalah ingin menyingkirkan orang-orang yang dianggap mengganggu jabatannya.
Trajutrisna kini benar-benar telah dikuasai oleh hawa nafsu selingkuh yang dikobarkan oleh Dewi Haknyanawati akibat dari kekurangpuasannya atas pernikahannya dengan Prabu Bomanarakasura. Sebagai ungkapan kejengkelannya itulah kemudian mempengaruhi Sang Prabu untuk mengeluarkan kebijakan ’ngawu-awu’ agar dibuatkan jalan tol antara Giyantipura hingga Trajutrisna. Proyek ngawur, yang tidak memberikan manfaat, kecuali keuntungan pribadi untuk memudahkan jalur selingkuhnya dengan Raden Samba.
Begitulah potret politik tingkat tinggi ala John Perkins yang berhasil diterapkan oleh Haknyanawati untuk mengelabuhi dan ngapusi para penguasa Trajutrisna agar dana yang ada di kas negara bisa mencair sehingga nafsu rakusnya bisa terpenuhi.
Sementara itu jauh dari pengamatan kita, tepatnya di puncak Astana Gadamadana tinggallah seorang ksatria, putra Prabu Kresna yang bernama Raden Gunadewa. Seorang ksatriya yang terlahir dari perkawinan Prabu Kresna dengan Dewi Jembawati. Dia terlahir cacat. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu seperti kera. Oleh karenanya ketika usianya menginjak dewasa, ia meninggalkan istana Dwarawati, untuk bertapa di tempat sepi, memohon kekuatan Dewa agar kelainan tubuhnya disembuhkan.
Pagi itu kebetulan Raden Gunadewa tengah menyalakan dupa untuk sarana ritualnya, namun tiba-tiba datanglah Raden Samba. Keduanya langsung berpelukan.
”Samba, padha raharja tekamu?”
”Pangestu paduka kangmas”
”Ayo silakan duduk dulu”
”Injih kangmas”
”Ndak sawang wiwit dari undak-undakan Astana Gadamadana sing kawitan, aku nyawang pasuryanmu katon sungkawa, sedih yang sangat mendalam. Ada apa Samba?”
”Kasinggihan kakang, kula nembe lara branta, jatuh cinta dengan seseorang yang telah bersuami”
”Lho!!, kepriye larah-larahe?”
”Inggih kakang, nalika semanten kula andherekaken Kakang Prabu Boma dhaup jadi manten di Giyantipura. Begitu manten jemuk, aku sama adimas Setyaka mengapit kedua mempelai. Namun ketika manten putri, yaitu Kakangmbok Haknyanawati datang, tiba-tiba memluk dan menyambah diriku. Aku kaget dan heran bukan kepalang. Aku bagaikan melihat bidadari yang tengah membangun taman asmara di dalam hatiku. Tiba-tiba birahiku meluap menyambut ’vitamin’ gratis yang menghunjam tubuhku. Aku membalas memeluknya erat-erat. Kontan seluruh undangan manten menjadi terheran-heran. Bahkan aku sempat dishoting oleh kru tv gosip, wah saya menjadi pembicaraan banyak orang”
”Terus apa yang kau rasakan sekarang?”
”Itulah kakang, sekarang aku tidak enak makan dan tidak enak tidur. Wajah Dewi Haknyanawati, selalau hadir menggoda hari-hariku. Aku lara wuyung, kedanan garwane kakang Prabu Bomanarakasura, bahkan dia selalu SMS setiap hari. Membuat hatiku menjadi semakin teredan-edan”
Raden Gunodewa nampak bersedih, naluri sucinya menentang sikap adiknya yang telah melanggar norma-norma susila.
”Samba?”
”Iya kakang”
”Aku mengingatkan kepadamu, hilangkan niatmu untuk berhubungan dengan Kakangmbok Haknyanawati, elinga dimas, itu semua akan mendapatkan siku dan sikara, yang menyebabkan hidupmu sengsara”
”Tapi kakang, aku telah berusaha untuk melupakan Kakangmbok Haknyanawati, namun usaha itu tidak bisa sama sekali. Bahkan bayangan itu menjadi semakin jelas, aku telah terbelenggu wajah yang cantik bagaikan bidadari. Haknyawati telah bersumpah untuk hidup bersamaku kakang”
”Samba, sekali lagi aku mengingatkan, bahwa kamu adalah anak raja Dwarawati. Putra Narendra yang harus menjaga nama baik ayahnda. Untuk itu janganlah kamu meninggalkan angger-angger yang telah ditetapkan”
Raden Samba seakan tidak mau mendengarkan nasihat kakaknya. Dia terlihat berjalan-jalan di sekitar pertapan Asatana Gadamadana. Namun ketika ia berada di samping kanan Sang Gunadewa, tiba-tiba matanya menatap sepasang arca.
”Kakang?, ini arcanya siapa kok kelihatan cantik seperti Haknyanawati?”
”Itulah yang akan saya ceritakan kepadamu. Sudahlah kamu istirahat dulu, aku akan bersemadi setengah jam saja. Nanti aku ceritakan kisah sepasang arca tersebut”

Samba Wuyung Ki Setyo Handono

ADIPURA- PURA

Hujan deras telah membasahi seluruh tanah di Trajutrisna. Terminal Selo Aji yang dulu digadang-gadang menjadi gapuro-nya Negeri Trajutrisna, kini berubah menjadi Selokan Aji. Sebuah pemandangan yang mirip seperti selokan yang penuh dengan limbah basah yang menjijikkan. Baunya tak sedap, kumuh dan jorok, tidak sesuai dengan gelar adipura yang didapatnya. Demikian juga dengan tempat-tempat umum yang lainnya seperti pasar, alon-alon, stadion, dan sebagainya, terkesan merana, tidak dirawat. Petugas , pemerintah daerah, dan masyarakat tidak peduli sama sekali dengan tempat-tempat tersebut. Belum ditambah lagi dengan budaya jam karet yang selalu menambah cemar nama rakyat Trajutrisna dari hari ke hari. Entahlah!, kenapa dari Bupati yang satu dan yang lainnya hingga Prabu Bomanarkosura seperti sekarang ini nggak punya nyali untuk merubah budaya memalukan ini. Mereka hanya tepat waktu saat perebutan kekuasaan belaka, tapi soal jam karet masih dipertahankan hingga sekarang. Kalau begitu apakah relevan gelar Adipura tersebut, ataukah hanya adipura-pura belaka. Toh nyatanya semua itu tidak ada baiknya?
Sinigeg, ingkang wus cinarita. Kita tinggalkan dulu pemandangan tak sedap di kota adipura, kota yang penuh dengan kepura-puraan. Kita lihat kembali bagaimana suasana di kerajaan Mandura. Di sana nampak sinuhun prabu tengah berbicara serius dengan Raden Harya Setyaka, membicarakan hilangnya Raden Samba yang meninggalkan Praja Parang Garuda tanpa meninggalkan pesan. Sang Prabu nampak murung, gundah hatinya dan malas untuk sekedar ngantor ke tempat dinasnya. Tentu saja, hal itu berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan dan agenda peresmian beberapa proyek prestisius yang diharapkan dapat menutup ’coreng-moreng’ prestasi pemerintahannya, akibat kecerobohannya selama ini.
Namun usaha ’julig’ yang berbau politik ’belah bambu’ yang diterapkan Sang Prabu Mandura itu menemui kegagalan yang amat memalukan. Betapa tidak!, setelah dipermalukan oleh kasus sertifikasi, dia ’ngamuk suramrata jayamrata’ semua pejabat yang dianggap rangkap sertifikasi disingkirkan, alasannya menjalankan peraturan dan takut kalau nanti penghasilannya melimpah ruah, dobel-dobel. Demikian juga bagi mereka yang berseberangan dengan kebijakannya, maka harus segera diganti atau di-non jobkan, alias menjadi karyawan biasa. Dan ndilalah, pada hari Jemuah Wage yang baru lalu para pejabat baru itu dilantik oleh sinuhun Prabu Mandura sendiri. Sang Prabu nampak ’kamisosolen’menyebut nama-nama para pejabat baru tersebut. Tentu saja hal itu menjadi tertawaan para undangan yang ’rawuh’. Kontan, Sang Prabu menjadi semakin grogi. Kata-katanya menjadi tersalah-salah.
Beliau memang menyadari kalau sekarang ia menjadi sorotan miring oleh seluruh staf-staf kerajaan. Hal itu lantaran karena kebijakannya yang tidak berpihak pada ,wong cilik’. Ia lebih suka berburu ’proyek’ mercusuar, menjilat kepada penguasa dan menginjak-injak anak buahnya. Berburu ambisi yang maha tinggi. Ibaratnya ia kini berada dalam ’lingkaran setan’, semua yang memandang dan yang berada di sekitarnya adalah iblis laknat. Mereka adalah jilmaan setan, demit, thuyul, banaspati, dan siluman. Kelihatannya saja mereka baik, tetapi di belakang akan menelikung bahkan membahayakan keselamatannya. Oleh karena itu Sang Prabu memilih mereka dengan pertimbangan yang memusingkan kepala juga. Maka tak heran jika para pejabat pilihannya tersebut banyak yang kelihatan tidak meyakinkan. Bahkan konon ada dari mereka yang harus ’murus’ lantaran stres yang amat mendalam karena memikul tugas yang bukan keahliannya.
Kita tinggalkan dulu adipura-pura yang ada di negeri Mandura. Kini kita akan melalanglang ke Kahyangan Pangudal-udal. Ndik sana Sang Resi Kanekoputra nampak tersenyum simpul membaca surat dari sohibnya ’Ki Lurah Ismaya’ yang kebetulan menjadi pimpro proyek Plaza Tamiya Mandura. Sebuah proyek casing untuk mengelabuhi masyarakat Mandura, agar memuji kepemimpinan Prabu Baladewa.
”Oh iya kakang Semar, ing ini bakal merusak tanah makam Astana Gadamadana?”
”Wah !, kalau itu bukan urusan kami raden. Kami hanya sebatas pembantu yang menuruti kemauan juragannya”
”Wis, yen ngono kowe balio wae, omongna karo Prabu Anom, menawa pawongan Mandura ora nrimakake proyek, yang didirikan tanpa melalui tender dan musyawarah iki diteruske...”
”Wah, itu namanya menghambat pekerjaan namanya. Saya pokoknya harus pulang kalau pekerjaan ini sudah berhasil”
”Oh, sekarang saya sudah tahu, kalau begitu niatmu di sini ingin merebut wilayah Mandura. Berarti kamu sudah menjadi bagian dari spartis. Wis urungkan niatmu itu. Aku wong Mandura ora trima”
”Wah nggih sak karep, lha wong Prabu Anom nggih darah Mandura kok”
”Wong Mandura nggak punya sifat jelek seperti ini. Nggak punya sifat perusak , apalagi merusak tanah makam para leluhur. Sekali lagi pulanglah !!” bentak Setyaki mulai naik darah
”Ora isa Raden, ibaratnya tekad sudah bulat, sekali melangkah pantang untuk surut mundur ke belakang”
”Yen ngono kowe pingin ngajak perang tanding? Hiya !!!”
”Yen kepeksa apa boleh buat”

Setyaki benar-benar hilang kesabarannya. Dia yang terkenal dengan sebutan Bimo Kunthing itu langsung melayangkan bogem mentah, tepat di cangkemnya Ditya Satrutapa. Croot, dheess !!!, Ditya Satrutapa menggelepar dan bangkit sambil mengusap ’saos’ yang keluar dari bibirnya.
”Oh Raden Setyaki, hayo terimalah balasanku ini” sahut Ditya Satrutapa, sambil membenahi kathok warok yang terlihat lepas kolornya. BERSAMBUNG

Oalah Cagak...cagak

Mendung pekat terlihat menggelayut merambah angkasa ngawiyat. Prabu Bomanarakasura nampak menapak gontai, melangkah menuju kahyangan Ekopratala, di mana ibunda Dewi Pertiwi bermukim di sana. Wajahnya nampak kusut, busananya nampak lusuh, dan rambutnya kelihatan tidak rapi lagi.Sementara uang sakunya tinggal beberapa perak saja. Maklum beberapa jam sebelum ia berangkat,ternyata uang cadangan di ATM ludes digarong orang. Ia hanya cengar-cengir menahan air liur melihat ada penjual bubur ayam kesukaannya lewat di depannya. Ia nampak bertahan menahan lapar sambil memegangi perutnya yang terdengar ’kemrucuk’. ”Ah sebentar lagi nyampai rumah, kok” batinnya menghibur.
Benar!, hanya sekejap saja Prabu Bomanarakasura sudah nyampai di dasar bumi lapisan pertama. Lumayan nggak terlalu dalam, tapi bebas dari gempa dan serangan-serangan tikus yang membahayakan. Jleg!, tiba-tiba tubuh tambun itu sudah berada di teritorial Ekopratala. Mata Prabu Bomanarakasura nampak ’kamitenggengan’ melihat pembangunan di kahyangan Ekapratala yang terkesan pesat. Namun perkembangan itu tidak diimbangi oleh kemajuan akidah sebagian masyarakatnya. Terbukti, banyak dari kalangan mereka yang masih mempercayai karomah dari seorang tokoh yang meninggal dunia. Mereka berbondong-bondong menyembah-nyembah kuburan dan mengambil sebagian tanah makam, kembang boreh dan bekas-bekas benda milik almarhum, digunakan untuk berbagai keperluan. Itulah keyakinan beragama mereka. Mereka terus mengembangkan agama dengan beragam asumsi-asumsi belaka. Sehingga nyaris agama yang disandangnya bergeser menjadi sebuah asumsi-asumsi yang menyesatkan tanpa dasar yang kuat. Maka ATM, merupakan kepanjangan Akidah Tanah Makam, sebuah keyakinan yang timbul dari pengkultusan tokoh sehingga mereka yakin kepada tanah makam di mana seorang tokoh bersemayam di dalamnya, walau ia sudah meninggal maka Arwahnya Tetap Manfaat, termasuk tanah, kembang boreh, dan apa saja yang pernah disentuh oleh sang tokoh tersebut. Mereka yakin kalau benda-benda tersebut dapat menyembuhkan, dapat membantu doa, dan dapat menolong di akhirat kelak.
Sementara itu tidak jauh dari pusat pemerintahan kahyangan Ekopratala, di sana berdiri megah sebuah perguruan tinggi dengan Anjungan Tamiya Mandiri, gedung mirip dengan sircuit mobil tamiya. Juga Anjungan Tanpa Musyawarah, alias sebuah gedung dengan konstruksi jalan tol yang dibangun secara sefihak tanpa melalui prosedur yang benar. Dan kini telah melahirkan opini kontraversional yang berkepanjangan. Bahkan kalau hujan Anjungan menjadi Trocoh Mubeng, alias basah semua. Akhirnya Anjungan Tanpa Manfaat, sebab ketika para mahasiswa berteduh di bawahnya maka mereka basah semua. Bahkan panitia pengajian Akhad Pagi-pun dibuat kebingungan. Sudah berkali-kali mereka harus boyong, memindah jamaah, namun ruangan mewah bernuansa casing tersebut ternyata tidak bisa memenuhi harapan. ”Majlis taklim kok membelakangi masjid” begitulah komentar sebagian jamaah.
Panitia gundah hatinya, semua gara-gara tujuh belas cagak yang berdiri berjajar menutupi podium . Konon tujuhbelas cagak adalah lambang sakral ’rakaat sholat’. Bahkan 17 cagak tersebutlah yang konsisten menjalankan amanat rektor tentang sholat berjamaah. Mereka selalu hadir tepat waktu, walau cuma berdiri kaku di halaman masjid. Mereka adalah figur –figur lambang yang melambangkan kondisi kampus yang sesungguhnya. Kelihatanya saja kompak tetapi kenyataannya ya seperti cagak-cagak tersebut. Mereka tak pernah bergandengan tangan, silaturahim, musyawarah, dan saling membantu menyejahterakan sesama. Mereka ya persis seperti cagak-cagak itu. Diam, angkuh, bergerak sendiri-sendiri, berasumsi sendiri-sendiri, dan mengeluarkan kebijakan atas inisiatif pribadi sendiri. Bahkan sekarang ada empat lampu yang mati di dalamnya. Pemaknaannya, apakah empat pejabat juga sudah mati juga???, ataukah pemaknaan rakaat menjadi berkurang empat?. Lambang bisa ditafsirkan macam-macam. Terserah siapa yang menafsirkan.
Yang jelas cagak adalah tetap cagak. Sebuah bangunan yang hanya diam membisu yang mewakili pemborosan alias berdiri hanya sekedar ’casing’ alias hiasan semata. Mereka secara manfaati, sama sekali jauh darinya. Jika itu merupakan lambang, maka sama dengan sholatnya diam terpaku, sholatnya orang yang sedang sakit pinggang, atau tujuh belas prajurit yang tengah menjaga sandal jamaah. Karena mereka berhenti di halaman saja??.
”Ah persyetan dengan cagak, ora ngurus, sak karepmu, aku arep mbacutke laku wae!” sergah Prabu Boma jengkel dengan keadaan kampus di Ekapratala. Ibarat orang sakit tidak diberi obat tetapi malah dibelikan bedak, baju, dan rumah mewah. Sakitnya tidak sembuh tetapi kejiwaannya semakin guncang menanggung hutang yang kian menggunung.
”Ulun wespadakake iki kaya putra ulun, Boma....”
”Nun inggih ibu..., sembah pangabekti kula konjuk”
”Iya ngger, ibu tampa sembah bektimu”
”Inggih, ibu ”
”Ora ngono n gger, kowe kok njanur gunung, ora ibu timbali kok ngabyantara ana kene, ana perlu apa ngger?”

CABUP (Calon Bubrah Pikirane) Ki Setyo Handono

Riris harda palwa nuting ranu, oooong dres ing karsaningsun dening kanyut , ling ira Gusti, wohing kamal mirah ingsun, ooong... esemira duking uni, ooong sidat agunging narmada sajroning aguling pangucaping janma nendra teka tansah dadi linduran kewala ooong...
Salah satu tokoh penting yang menanam budaya korupsi di negeri Trajutrisna adalah Raden John Perkins. Tokoh wayang mancanegara yang gentayangan di negeri ini dengan jaringan korporatokrasi, sebuah kejahatan yang bertujuan memetik laba melalui korupsi. Tugas Raden Perkins adalah menyusup dan membujuk pejabat-pejabat negara seperti presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, rektor, kepala sekolah, kepala dinas, hingga perorangan yang dipandang bisa diajak kerjasama, seperti tokoh agama; ulama, biksu, pendeta, BPH, dll. Mereka dipaksa untuk mau melayani kebijakan-kebijakan pribadinya dengan menghadiahkan kemewahan, proyek-proyek, dan kontrak-kontrak politis berupa jabatan-jabatan struktural. Perkins sangat berambisi menguasai dan mengendalikan dunia.
Pada masa awal kepemimpinannya Prabu Bomanarakasura di Trajutrisna, Parkins dan bandit ekonomi lainnya mendapatkan kesempatan berkuasa di sebuah universitas swasta Trajutrisna. Bahkan Parkins menuai sukses besar. Mereka dinyatakan lulus sebagai bandit ekonomi dan politisi dengan menaklukkan Bagindha Putri Haknyanawati (BPH) dan Penguasa Daerah Mandura (PDM). Mereka sengaja kongkalikong dengan kedua tokoh tersebut dalam rangka memperkaya diri dan koleganya agar mereka tetap royal kepada korporatokrasinya. Hutang yang menggunung akan semakin menguntungkan persekongkolan itu.
Dalam menjalankan aksinya, Parkins bekerja keras membuat laporan proyek-proyek fiktif untuk IMF dan World Bank agar mau mengucurkan hutang yang tidak mungkin mampu dibayar Prabu Bomanarakasura. Tujuan utamanya cukup jelas (selain untuk mengelabuhi masyarakat terhadap kemegahan bangunan) Perkin mengharapkan agar tampuk kepemimpinannya bisa diperpanjang, sehingga jalinan korporatokrasi itu tetap berjalan langgeng. Bahkan kini terbetik kabar ada 30 proyek dari seorang politisi yang bakal mengucur ke Trajutrisna. Kesempatan itu tentu saja digenggam erat untuk ’tebar pesona’ sambil membusungkan dada ”ini lho perjuanganku, jerih payahku, hebat kan?”
Begitulah sejarah perjalanan korupsi di Trajutrisna. Dan hasilnya kini terasa juga di lembaga mulia yang namanya lembaga pendidikan dan birokrasi. Di lembaga pendidikan tidak jarang kita jumpai praktik korupsi dan manipulasi. Kasus ulangan umum bersama adalah contoh kecil betapa MKKS yang notabene sebagai pencerah terselenggaranya KTSP secara utuh dan mantab, justru menjadi korporatokrasi yang manghambat dan menghancurkan makna KTSP itu sendiri. Wong KTSP kok ada ulangan bersama? Paham nggak sih mereka itu? Dan masyarakatpun mencibir, pastilah mereka hanya untuk mencari keuntungan semata dari ulangan umum bersama itu. Atau barangkali pengawasnya menderita penyakit rabun ?.
Demikian juga dengan birokrasinya. Mereka berangkat dari parpol yang penuh dengan politikus, alias tikus-tikus yang mengusung botoh-botoh judi. Merekapun kini terlilit hutang yang menggunung. Pikirannya hanya berupaya bagaimana modalnya bisa kembali. Oleh karena itu tidak cukup satu periode saja untuk menutupi kekurangan itu. Dan kini kesempatan untuk mendaftar kembali menjadi CABUP. Segala upaya dilakukan, yang penting cita-citanya tercapai. Maka tidak jarang cabub adalah calon bubrah pikirannya. Daftar saja kalau ndak percaya!!!

Rabu, 07 Juli 2010

Sang Benalu

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig, saking tyas baliwur, oooong......
Proyek jalan tol yang diminta sebagai jalan untuk rujuknya antara Prabu Bomanarakasura dan Dewi Haknyanawati, adalah proyek ’cassing’ proyek pemborosan yang tidak banyak memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Haknyanawati hanya ingin bersolek , berpenampilan manis, agar kejelekan hatinya tidak nampak. Dia amat paham kalau masyarakat menilai sesuatu dengan kemegahan proyek phisik yang berhasil dibangunnya. Mereka akan bungkam bila proyek ambisius itu terwujud. Akan tetapi sejawat sesama LSM amat paham dengan keculasan Dewi Haknyanawati. Mereka mencibir ulah Haknyanawati yang selalu menelikung dan memperalat teman-temannya untuk mengeruk keuntungan pribadinya sendiri. Contoh kecil adalah sering proposal yang sudah cair, kemudian diaku sebagai hasil jerih payahnya. Padahal orang lain yang bersusah payah mengerjakannya.Bahkan pernah Sang Dewi memalsu tanda tangan Prabu Boma, hanya untuk kepentingan dirinya pula. Saking murkanya, Prabu Bomanarakasura pada waktu itu, memecat dirinya dengan tidak hormat. Dan akhirnya dia kembali lagi dengan sejuta rayuan mautnya. Prabu Boma menerima kedatangannya tanpa rasa curiga.
Kini Dewi Haknyanawati telah menjadi Ratu di Trajutrisna. Dia mempunyai kekuasaan yang tiada batasnya. Semua pos-pos yang menguntungkan dikuasainya. Pembangunan, pengangkatan, dan pemecatan karyawan dilakukannya tanpa musyawarah dengan punggawa Trajutrisna.
Dan kini lucunya ia menunjukkan seolah-olah ia yang paling loyal kepada negeri Trajutrisna. Padahal semua orang sudah tahu kalau dulu dia itu terkenal dengan ’pecundang’ yang selalu ingin nggembosi yayasan. Contoh kecil adalah, dia tidak mau menyekolahkan anaknya di yayasan Trajutrisna. Demikian juga ketika di Trajutrisna sudah ada TK nya, dia bersikeras mendirikan sekolah baru, pun dengan sekolah-sekolah yang lain yang berbau yayasan diapun juga demikian. Bahkan yang terakhir konangan menilap dana ratusan juta, untuk kepentingan pribadinya pula.
Trajutrisna kini dalam kondisi yang carut-marut. Dewi Haknyanawati hanya sibuk mencari muka, untuk menjaga keamanan jabatanya. Sampai-sampai wisuda prajurit yang baru dilakukan di gedung bundar beberapa bulan yang lalu, nyaris berubah menjadi ajang MoU. Mejeng oentoek Umuk. Bermanis muka di hadapan Prabu Bomanarakasura dengan menelantarkan para wisudawan hingga larut siang dan mengacaukan acara ,molornya jadwal hingga pengaturan konsumsi yang berantakan.
Sementara itu di negeri Mandura nampak Prabu Baladewa sang Penguasa Daerah Mandura ( PDM) tengah dihadap Patih Pragota dan Raden Setyaki. Mereka tengah melaporkan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Dewi Haknyanawati telah melanggar wilayah Mandura. Proyek yang dilaksanakan oleh Patih Pancatnyana itu telah merusak komplek pemakaman Astana Gadamadana. Makam para leluhur negeri Mandura.
Patih Pragota dan Setyaki akhirnya melaporkan proyek ngawur tersebut. Namun yang terjadi Prabu Baladewa sebagai PDM bukanya menanggapi akan tetapi ekspresinya nampak dingin-dingin saja dan pilon, ndak kuasa mencegah, apalagi sekedar mengingatkan saja. Padahal dia itu terkenal singa panggung yang selalu jago dan betah ngomong, mudah marah , mengumpat dan menghina di atas podium siapa saja yang nggak disenangi. Tapi kala ia berhadapan langsung dengan benalu yang sesungguhnya, seperti Dewi Haknyanawati keponakannya, dia mati kutu, kehilangan kata-kata, kehilangan sifat kepemimpinnya, kebijaksanaannya, hilang kedewasaannya, nggak banyak omong, dan nggak ngenyekan lagi. Orang kemudian bertanya-tanya, apa barangkali semua itu karena pengaruh istrinya, Dewi Erawati yang punya sifat keminter , sok kuasa tapi tiada seorangpun yang mengakuinya , sehingga keputusasaan dan kejengkelan membelenggu dirinya sehingga emosinya tertumpah kepada suami dan orang lain di sekitarnya.

Tak terasa negeri Mandura dan juga negeri Trajutrisna sedang digerogoti oleh benalu yang sejatinya. Kini negeri itu tinggal menunggu kehancuran, meninggalkan puing-puing kemegahan yang telah lama dibangun oleh para leluhur negeri Mandura. Sementara para pejabat telah terlena dengan kemegahan semu. Mereka tergiur oleh proyek-proyek mercusuaryang bernuansa mencari profit,dan pujian untuk menutupi pemerintahannya yang carut-marut.
Tidak jauh dari sana nampak makelar-makelar jabatan PNS gentayangan menawarkan kenikmatan jabatan. Tak terkecuali pemerintah daerah yang getol menyuarakan pemerintahan yang bersih, ternyata nggak susuai dengan kenyataan. Para calon kepala sekolah bercerita kalau sekarang ini banyak makelar yang menawarkan jasa jabatan. Mereka berasal dari pusat kekuasaan. Wah !!!!

Jumat, 05 Februari 2010

Kurban jadi Kurban

Kumandang tahlil dan tahmid terdengar menggema se antero Trajutrisna. Hujan pertama yang amat deras tidak mengurangi semangat mereka menggemakan kalimat-kalimat suci tersebut. Sementara dari balik tembok yang megah, nampak bandit –bandit tengah mengatur strategi untuk mendapatkan keuntungan dari moment tersebut, mulai dari mengkoordinir barisan pengemis hingga pasukan pencari daging kurban. Tujuannya satu, yaitu mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Lantas bagaimana tanggapan Prabu Bomanarakasura tentang hal ini?. Beliau menanggapi dingin-dingin saja. Bahkan Prabu Bomanarakasura nggak tanggap dengan yang demikian, karena beliau sibuk dengan urusan pribadinya. Malah kini dikabarkan dia sedang berlibur menghabiskan uang negara ke kahyangan. Dia saingan dengan anggota dewan yang suka menghambur-hamburkan uang rakyat.
Memang, hukum di negeri Trajutrisna amat berpihak kepada penguasa dan orang berduit. Hukum ramah dengan kaum kapitalis dan kejam kepada rakyat jelata. Itulah gambaran hukum di Trajutrisna yang penuh dengan manipulasi, membuat negeri Trajutrisna menjadi negara terkorup di jagad raya ini. Sehingga polisi, jaksa, pengacara, dan bandit, adalah simbiosis mutualisme yang saling memberi dan menerima keuntungan dari permainan perkara. Dan di sana biasa orang-orang yang sudah terbukti melanggar hukum bebas berkeliaran tanpa malu. Ingat kasusnya Anggada, Anggara, Anila, dan Anjani dalam memperebutkan cupumanik astagina, sehingga mereka dikutuk oleh dewata berubah menjadi kera.
Mudah-mudahan orang-orang yang suka berebut kekuasaan, dan mempermainkan hukum tidak lama lagi berubah jadi munyuk-munyuk yang tinggal di hutan belantara.
Sementara itu di Kahyangan Suralaya Prabu Boma nampak duduk di hadapan Pukulun Narada
”Weee, jebul jeneng kita iku durung wanuh karo Si Haknyanawati ta?”
”Injih pukulun”
”Terus apa penjaluke”
”Piyambakipun, nyuwun dipun damelaken margi ingkang lurus, datan menggak-menggok milai saking Giyantipura engga Trajutrisna..”
”Lho, apa dalan iku mau ora bakal ngliwati Astana Gada Madana, komplek pemakaman para satriya Mandura ta ngger?”
”Lha inggih menika pukulun ingkang adamel pikiran kula was sumelang. Awit menawi menika kalampahan, tumus bade adamel dredah kaliyan kadang-kadang Pandawa.....”
”Waaah iki gawat ngger, ulun ora sarujuk menewa jeneng kita ngeyel mbangun dalan mau mung amarga nuruti garwanira Si Haknyanawati”
”Nanging menawi kula mboten saged nyagahi ateges kula pepisahan kaliyan piyambakipun, niku sami kemawon panjenengan njlomprongaken kula pukulun?”
”Wah jeneng kita iku yen ngono dadi titah sing seneng ngeyel, wis yen ngono, balia wae, ulun males omong-omongan karo kowe, apa dikira wanita iku mung Si Haknyanawati sing gelem karo sira, nggoleka bojo liya wae...”
Prabu Bomanarakasura merasa tidak ada dukungan dari dewata. Ia kemudian berpamitan meninggalkan Suralaya. Ia memutuskan pulang ke rumah ibundanya Bathari Pertiwi di Kahyangan Ekopratolo, di dasar bumi. Sebuah perjalanan yang sangat berbahaya. Karena di dasar bumi sudah banyak mengalami kerusakan. Mulai dari bocornya lumpur di mana-mana, hingga terjadinya patahan bumi yang menyebabkan gempa dahsyat yang menimpa di kawasan selatan negara Trajutrisna.
Kita tinggalkan dulu kebrangkatan Prabu Bomanarakasura menuju Kahyangan Ekopratolo. Kita lihat kembali perjalanan Ditya Satrutapa dan Ditya Satrutama beserta Patih Pancatnyana. Dari kejauhan mereka bertiga nampak tengah menggerakkan alat-alat berat untuk membuat proyek jalan tol . Sebuah proyek ambisius setara dengan ’cassing’atau proyek ’pamer penampilan’ dengan menghambur-hamburkan uang mengabaikan manfaat, musyawarah dan kebutuhan manusia di dalamnya. Ditya Satrutapa nampak menyetir bolduzer, sedangkan Dityo Satrutama tengah menyetir truk trailer mengangkut guguran tanah , sedangkan Patih Pancatnyana nampak memilih menjadi mandor atau kepala proyek dengan duduk sambil memegangi kepalanya.
”Kenapa kakang patih?”
”Wah kepalaku lagi sakit, kayaknya darah tinggiku kumat, kambuh” jelas Pancatnyana sambil memegangi kepalanya.
”Bibar dhahar menapa Patih”
”Bar mangan daging wedhus sepuluh paket”
”Welhadalah, sampeyan niku mentang-mentang tumut kurban, eh malah dados kurban, dhahare paket kekathahen gusti ..”

Boma Ora Trima Ki Setyo Handono

Tersebutlah sebuah kisah ada sepasang Dewa dan Dewi konangan berduaan di sebuah kafe remang-remang ndik Kahyangan sana. Kedua pasang dewa itu bernama Bathara Wulan Derma, dan Bathari Wulan Dermi. Anak dari Bathara Darma, dewa yang mengatur gunung Junggiri Swargaloka. Mereka berdua sebenarnya kakak beradik. Akan tetapi karena ayahnya sibuk sendiri, dan dia sering keluyuran berdua, maka suatu hari dia digoda iblis, dan terjadilah pergaulan bebas di kafe remang-remang. Sang Hyang Wenang yang menguasai pimpinan pusat (PP) Kahyangan amat murka dengannya. Maka berdasar surat keputusan senator Kahyangan Suralaya, sepasang dewa yang lagi kasmaran tersebut dikeluarkan dari kahyangan, dan harus menjalani menjadi dewa luar biasa, sejajar dengan titah manusia yang lainnya.
“Jeneng kita sakaloron bakal ulun titisken kepada anak turune Sri Kresna, oleh karena itu sana cari tempatmu menitis di Ngercapada, ulun mung ndongakake muga sira antuk basuki” pinta Dewa Narada sekretaris kahyangan.
Sebelum mereka berpencar, keduanya sudah berjanji untuk sehidup semati membangun mahligai rumah tangga. a dia akan berusaha mencari dan bertemu kapan dan dimana saja. Tan kocapo setelah sepasang kekasih itu turun berpencar, mereka segera mencari anak keturunan Bathara Wisnu alias Kresna. Sang pemuda dewa bertemu dengan Prabu Bomanarakasura, maka dia memutuskan untuk masuk ke dalam raganya.
Nuju ari Soma Manis, akhirnya kedua insan lain jenis yang ketitisan saudara sekandung itu bertemu kembali. Sri Bathara Kresna dan istrinya Bathari Pertiwi segera menikahkan Bomanarakasura dengan Dewi Haknyanawati alias Dewi Mustikawati. Sebuah prosesi pernikahan yang mengundang tokoh-tokoh wayang seantero jagad pewayangan.
Ketika resepsi pernikahan dilaksanakan, tiba-tiba Dewi Haknyanawati melihat ketampanan Raden Samba yang tengah foto bareng di sampingnya. Kontan menjadi goncang hatinya. Kemudian ia berlari menyembah dan memeluk Raden Samba. Prabu Bomanarakasura naik pitam dan marah besar. Ia merasa dipermalukan oleh kekasihnya. Sedangkan Dewi Haknyanawati ingin meralat surat perjanjiannya, dia ingin asmaranya diluruskan, karena selama ini adalah hubungan yang melanggar norma agama. Hubungan kakak dan adik.Dan ternyata cowok tampan itupun ternyata juga putra Sri Kresna, apa salahnya jika ia menyatu dengan Raden Samba.
“Wah kamu itu benar-benar ndak bisa dipercaya, Samba itu adikku lho, kamu kok tega-teganya mengingkariku, he !, coba ‘perhatikan tulisan Anda’ ” Sergah Prabu Boma sambil memperlihatkan secarik daun lontar bermaterai, yang berisi perjanjian asmara antara keduanya.
Dewi Haknyanawati tidak ngrewes semua ucapan Bomanarakasura. Dia selalu membelakangi ketika berdialog. Dan itu berlangsung hingga sekarang. Hal itulah yang membuat Prabu Boma tidak bahagia. Bahkan terdengar kabar kalau Haknyanawati telah menjalin hubungan khusus dengan Raden Samba.

Hanjrah ingkang puspitarum, kasliring samirana mrik ...ooong, sekar gadung kongas gandanya, oooong..., maweh raras renaning driya ooong...

Prabu Boma akhirnya menempuh jalur hukum pergi ke rumah ayahnda dan ibundanya di Dwarawati dan Kahyangan Ekopratolo. Namun sebelum ke sana, ia memutuskan untuk pergi ke Kahyangan Suralaya, meminta rekomendasi dari Sang Hyang Guru sebagai pimpinan pusat (PP) kahyangan. Ia tidak lupa mampir dulu di kedai makanan khas Trajutrisna. Ia membeli enambelas besek sate ayam, dan camilan untuk mempermudah perundingan. Ia kemudian terbang mengangkasa dengan hilikopter basarnas. Tepat jam 9 pagi ia sudah mendarat di Kahyangan Suralaya.
Sementara di sana nampak Bathara Narada tengah membaca koran lokal. Dari bibirnya terlihat senyum mencibir tulisan menggelitik, miskin wawasan, dan ndak memahami karya sastra fiksi, ia memprediksi pastilah dia utusan dari seseorang yang tersinggung oleh karya fiksi tersebut. Menilik nama samaran penulisnya Dewa Syifa, pasti dewa bersih-bersih yang diutus memulihkan nama baik seseorang. Dan itulah menunjukkan bahwa dia memang berperilaku seperti itu. Bathara Narada tertawa terpingkal-pingkal ..”sak iki konangan kowe....” sergah Bathara Narada sambil menaruh koran di meja.
Baru saja Bathara Narada melipat koran dan menenggak secangkir kopi, tiba-tiba dari balik pintu muncul seorang tamu
”Eh mrekencog-mrekencong ana tamu nyelonong, nggawa tenong robyong-robyong gedhene sak genthong, ulun wespadakne iki kaya putu ulun Bomanerakasura, padha raharja ngger...”
”Pangestu pukulun, kalis nir ing sambekala”
”Eh njanur gunung, kowe mrene tanpa ulun timbali ana pari gawe apa Bo?, lha kok iki malah karo nggawa oleh-oleh sak mobil, apa kanggo pelicin piye?”
”Ah niki namung camilan sate khas Trajutrisna kelangenan pukulun Guru dalah Pukulun Kanekaputra...”
”Ah... you aja guyonan lho, ulun sakaloron sak iki iki, lagi berusaha menurunkan kolesterol karo darah tinggi, ulun nyuda daging karo asin-asin, dadi satemu iki ulun tampa wae, nanging ulun wis ora wani dhahar, wis sak iki kowe enggal matura, sebab ulun jam sepuluh mengko arep tindak mesjid khotbah Jumat....”

FUNGSI DAN PERAN PAGELARAN WAYANG PURWA BAGI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BANGSA

Tiga pendapat budayawan di atas dapat dipastikan berlandas-kan pada hasil pengamatan mereka yang panjang dan serius terhadap pertunjukan wayang kulit purwa. Mudah-mudahan ketiga kelompok pendapat ini dapat mewakili acuan berpikir dalam diskusi.

Fungsi dan peran pertunjukan wayang purwa dapat dirinci sebagai:

1. sarana ungkap orang Jawa dalam memahami alam semesta, baik rohani maupun bendawi;
2. penghubung antara budaya tradisional klasik (baca kraton) dengan budaya tradisional kerakyatan; serta
3. frame of referance dalam mengeseimbangkan ekspresi moral (etika), keindahan seni (estetika), peribadatan (devosional), dan hiburan.

Pertunjukan wayang purwa sangat sarat dengan konsep hidup orang Jawa, di bidang politik pemerintahan (baca janturan pada jejer pertama).

Eksistensi Dalang
Eksistensi wayang sekarang bukan hanya terganggu oleh pendangkalan makna dan estetika belaka. Tingginya kualitas seni, dalam tataran bahasa dan filosofinya, juga mempersulit pemahaman kebanyakan orang awam. Jadi masalah kualitatif itu juga merupakan kendala tersendiri. Peran dalang yang paling menentukan juga berpengaruh terhadap kualitas pentas wayang dalam masyarakatnya. Salah satu ciri khas wayang sebagai teater tradisional adalah keterbukaannya terhadap kemungkinan berimprovisasi.
Cerita atau lakon boleh sama, diambil dari Ramayana atau Mahabharata. Tetapi setiap dalang punya ciri khasnya masing-masing dan memiliki kemampuan berimprovisasi yang berbeda. Ada dalang yang improvisasinya memperkuat daya tarik terhadap publiknya. Seperti joke, iringan gamelan, lakon-lakon carangan dsb. Namun ada pula dalang yang memiliki daya improvisasi yang lemah sehingga ia kurang atau tidak populer. Lemahnya daya tarik menyebabkan banyak dalang yang berguguran, tidak lagi ada penanggapnya.
Sangat menarik untuk ditilik, bahwa di Jawa Tengah, dalang-dalang pesisir minggir dan dalang - dalang dari pegunungan tetap bertahan bahkan mengalami suksesi atau regenerasi. Dalang-dalang wayang yang kini masih manggung (berpentas) adalah mereka yang berasal dari Surakarta, Yogyakarta dan Banyumas atau sekitarnya.
Banyak dalang misuwur berkat kecanggihannya, tetapi juga banyak dalang yang tidak mashur karena tidak mampu berimprovisasi. Dalam sejarah pewayangan di Indonesia, nama Ki Narto Sabdo merupakan sosok dalang wayang yang luar biasa daya pesonanya. Selain kemahirannya dalam gerak fisik (sabetan), ia juga sering menampilkan kemampuannya menguasai nilai-nilai filosofis dengan bahasa sastra jawa yang fasih. Ia menyajikan kemampuannya dengan lancar sekali. Setelah kepergian Ki Narto Sabdo, kita belum pernah punya dalang yang sekelas beliau.
Selain mumpuni dalam ilmu pewayangan, Ki Narto Sabdo yang pantas digelari Empu Dalang itu juga kreatif dan produktif, menghasilkan lagu-lagu ciptaannya sendiri, yang secara literer enak dinikmati juga punya daya hibur tersendiri. Nilai hiburannya itu hanya sebagai pembungkus nilai-nilai pedagogis yang terkandung di dalamnya.
Teori Pengembangan Sastra Pedalangan
Apabila kita cermati, sejak awal pertumbuhannya (Ramayana/Mahabarata) hingga dewasa (cerita yang dibawakan oleh dalang modern) boleh dikatakan semua cerita mengandung unsur kritik dan pesan sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Ada yang tersembunyi, terang-terangan, keras, kasar, lembut, dan terputus-putus. Karena karya sastra pedalangan merupakan peniruan dari kejadian alam, sosial kemasyarakatan sebagaimana diisyaratkan dalam teori mimesis.
Ketika dalang menjadi anggota sosial masyarakat, kemudian terilhami oleh realitas sosial dan diekspresikan dalam bentuk karya, maka di sinilah sebenarnya tergambar kedekatan antara pengarang dan karyanya dengan kondisi sosial kemasyarakatannya. Dengan demikian karya sastra (pedalangan) mencerminkan latar belakang sosial pengarangnya. Kita ambil contoh, bagaimana Pramudya Ananta Toer mampu merefleksikan derita manusia Indonesia dalam zaman kolonial, zaman kemerdekaan, dan zaman rezim orde baru. Demikian halnya dengan karya sastra wayang yang ada di koran ini. Kemudian juga Saman (1998) pada tulisan ini yang dijadikan sebagai objek adalah kondisi sosial masyarakat di masa orde baru yang bengis, kejam, manipulatif, kolutif yang dibingkai atas nama pembangunan. Dan, oleh pengarangnya dibingkai dalam setting kehidupan mutahir, dengan menggambarkan lingkar sosial yang dibentengi aktivitas LSM yang menegakkan HAM dan jurnalistik dalam frame informasi besar globalisasi dan komunikasi
Teori sosial sastra berkaitan dengan teori Marxisme yang telah dikembangkan oleh G. Plekhanov. Dia mengatakan bahwa seni (sastra) adalah cermin kehidupan sosial, dan ada insting estetis yang sama sekali non sosial dan tak terikat pada kelas sosial tertentu. Umar Kayam menyinggung hubungan sastra dengan realitas sosial dalam kerangka struktural genetik.
Fungsi Sosial
Dialog pedalangan (sastra lisan) dalam lingkungan sosial masyarakat secara langsung atau tidak langsung akan berdampak dengan segala ekses yang akan ditimbulkannya. Oleh karena itu fungsi sosial pedalangan merupakan ukuran , yaitu sampai sejauh mana nilai sastra pedalangan berkaitan dengan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Fungsi sosial dalang dapat menjadi kontrol karena kritik-kritik sosial yang dikemukakannya. Dalam posisi yang demikianlah seringkali karya sastra mengalami berbagai bentuk pelarangan. Hal ini karena pemahaman yang sempit dan dangkal bagi orang yang merasa eksistensi/ jabatan/ kedudukannya terganggu.
Lebih dari itu, fungsi sosial sastra pedalangan menawarkan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang dapat diambil oleh pendengar/ pembacanya. Terhadap penggambaran/pengimajinasian kekerasan sekalipun. Karena sesungguhnya karya sastra khussusnya pedalangan tidak dimaksudkan untuk mengajarkan kekerasan. Tetapi sebaliknya, bagaimana dapat dipahami bahwa kekerasan, keculasan, pemerkosaan hak-hak, hanya melahirkan derita yang berkepanjangan. Dengan demikian sastra pedalangan berfungsi untuk menyebarkan nilai-nilai yang bersifat alternatif bagi nilai-nilai yang sedang berlangsung demi perubahan sosial yang lebih baik.