Kamis, 08 Juli 2010

Wolak-waliking Zaman

Pemilu Kada telah menyisakan kepedihan dan kegembiraan. Bagi yang kalah taruhannya adalah malu, hutang, bahkan jabatannya melayang. Sebaliknya bagi yang menang, hutang, dan kursi jabatan terus bergoyang. Ibarat orang memanjat pohon kelapa maka angin dan badai silih berganti menerpanya. Dan semakin orang tinggi memanjat (duduk menjabat) maka pantatnya semakin kentara amat jelas. Wajah ganteng/ kecantikannya hilang. Untuk itu angin dan badai tak seindah ketika ia membalik rok wanita cantik. Jadi penguasa tak seindah melihat aurat wanita cantik.

Jangkaning Jayabaya dalam serat Sasmita Kaliyuga sudah meramalkan, Mbesuk wolak-waliking jaman bakal tumeka. Ratu dadi Kawula, kawula dadi Ratu. Bupati dadi rakyat. Artinya jaman ini sudah terbukti bahwa rakyat jelata akan menjadi pemimpin, pemimpin akan menjadi rakyat. Yang ber-SDM rendah akan menjadi pemimpin, sedangkan yang profesional akan tersingkir. Demikian halnya dengan jabatan bupati, akan tiba masanya di mana orang besar ; seperti bupati dijatuhkan dan rakyat jelata memimpin panggung politik di sebuah negara. Maka dapat dibayangkan apa jadinya dunia jika yang memimpin adalah orang yang tidak menguasai bidangnya. Kata Nabi, tunggulah kehancurannya.
Itulah kisah nyata di negeri Giyantipura. Sebuah fenomena yang telah hadir menghias mayapada. Sing jirih ketindih, Sing waras tambah nggragas,wong tani ditaleni, wong dora (seneng apus-apus) ura-ura (memberi wejangan dan dikagumi, disanjung, diberi jabatan) wong suci (jujur, takwa, berilmu)bilahi (mendapat tempat yang hina). Sedangkan wong adol duwit (menyuap untuk mendapatkan dukungan, keselamatan, untuk jabatannya) tambah laris. Sing mendele (bodoh, dan pinter omong) dadi gedhe,Sing nyekel banda lan panguasa nanging uripe sengasara, wusana bakal ana wong mati keliren ing sisihing pangan. Itulah ramalan jaman Kaliyuga yang diramalkan Jayabaya, jauh sebelum pemilu kada terjadi.
Memang!, jabatan adalah pekerjaannya nafsu manusia yang selalu melupakan dirinya. Jabatan politis sekedar analisa bisnis, mistis, ketokohan, keserakahan, dan harga diri. Mereka lupa dengan kekurangan dirinya. Akibatnya persis seperti tayangan ’tukar nasib’. Ketika berada di depan beneran, mereka tidak nyambung sama sekali dengan profesi yang tengah dilakoninya. Mereka nampak culun, lucu, wagu, dan jadi bahan ejekan. Malu????. Ah, siapa yang malu nggak bakalan dapat uang saku, itulah senjata pamungkasku.
Lebih jauh Jayabaya meramalkan; Si Bengkong gawe Gedhong.Si Begal padha ndugal, Si rampok padha keplok. Si bengkong adalah tamsil bagi orang yang suka berbuat curang, tidak jujur, pinter umuk, omong kosong, keminter, dsb. Mereka merasa paling hebat, paling berpengaruh, sok ramah, sok memasyarakat. Dalam hal ini Jayabaya mengatakan; Akeh wong ngaku-aku, njabane putih njerone dhadhu. Bahkan kalau perlu beli identitas lewat jalan pintas. Mulai ijazah hingga gelar. Tak heran jika di kemudian muncul problema Wong salah bungah, wong apik ditampik-tampik. Wong agung kasinggung (terbuang) wong ala kapuja (mendapat tempat terhormat) yang terjadi kemudian adalah lahirnya penguasa yang tidak menguasai profesinya. Pidatonya tidak ilmiah, tidak nyambung, dan itu-itu saja yang diomongkan. Itulah hebatnya demokrasi. Jabatan selalu berkonotasi dengan banyak kepentingan. Jangan pilih yang kuat dan cerdas, sebab dia akan menghalangi kepentingannya. Maka carilah pemimpin yang lemah, sebab mereka akan mudah kita kendalikan. Rebutlah kemenangan dengan membeli dengan harga yang lebih tinggi dari calon yang telah memberi. Rakyat pasti berpaling dengan harga yang tinggi.
Itulah genderang demokrasi yang tengah terjadi di negeri Giyantipura. Rakyat telah direcoki ’monkey dan money politik’. Mereka adalah badut-badut serakah yang bergelut memperebutkan harta kekuasaan. Wajahnya ramah, menawarkan ribuan berkah kepada masyarakat lemah. Senyumnya mempesona, bagaikan bulan purnama yang menyinari alam semesta. Pujanya berupa mantra obral janji. Bunganya berupa mimpi-mimpi perubahan, perbaikan dan kemajuan bersama bidadari merangsang mirip artis Cut.....BERSAMBUNG

Wolak-waliking Zaman

Video Puersis Artis

Betapa girangnya Cut Wilutama bisa badar menjadi bidadari kembali. Kontan, jagad pewayangan gonjang-ganjing. Tak tanggung-tanggung mulai dari tokoh masyarakat, hingga presiden angkat bicara tentang hal itu. Betapa tidak !, Cut Wilutama adalah pemain dan pemeran dalam kasus video mesum antara dirinya dengan Resi Kumbayana alias Begawan Durna ketika belia dulu. Dan kini video itu menyebar luas dan menggemparkan jagat pewayangan. Bahkan rating pemasarannya melebihi tayangan piala sepak bola dunia yang kini tengah mendunia. Dan itulah kisahnya kenapa dia dikutuk dewa menjadi harimau dan harus meninggalkan kahyangan.
Sebaliknya, bagi kalangan pengumbar syahwat, mereka menyambut gembira atas kemunculan bintang mesum Cut Wilutama, termasuk di dalamnya pengusaha dunia hiburan, cafe remang-remang, warnet dan lain-lain. Spontan, mereka saling berebut Sang Bathari Cut Wilutama untuk manggung di tempatnya. Taruh saja cafe HBI (Hubungan Boleh Intim) yang pernah merenggut nyawa beberapa purelnya sangat sengit memohon kedatangan Cut Wilutama ’goyang ngebor’ di kafenya. Sebab mereka paham bahwa generasi muda dan pejabat-pejabat di sana amat suka dengan pancingan-pancingan yang berbau mesum tersebut. Mereka pasti akan datang berduyun-duyun jika Cut Wilutama berhasil ia rebutnya. Bahkan untuk mengelabuhi masyarakat, cafe itu sengaja berdekatan dengan pertapan suci Astana Gadamadana. Sebuah ide gila agar tidak dilirik oleh aparat, dan sekaligus untuk menghancurkan kesucian pertapan. Sedangkan masyarakat pertapan sendiri belum menyadari bahwa keberadaan kafe-kafe tersebut akan merusak kesucian generasi muda dan masyarakat pertapan itu sendiri. Oleh karena itu mereka tenang-tenang saja. Karena dari luar memang tidak terlihat jika di dalamnya berisi fasilitas mesum tersebut.
Sementara itu kita tinggalkan dulu keberadaan kafe maksiat yang ada di Giyantipura. Kita saksikan kisahnya kembali Cut Wilutama yang sedang bertemu dengan Raden Samba.
”Kulup, Samba!”
”Nun inggih ibu bethari”
”Ulun seneng banget ketemu jeneng kita ngger, dasar pasuryane bagus, nanging sayang hingga saat ini kamu kok kelihatan bersedih, ada apa ta ngger?, apa kamu sedang ditinggal pacarmu, atau kuliahmu bermasalah?”
”Kasinggihan bathari, sedih saya karena lagi ditinggal oleh kekasih hati....”
”Oooalaaah, rak tenan ta apa sing sudah ulun sampaikan tadi, terus sapa pacarmu itu?”
”Dewi Haknyanawati bethari...”
”Lho !!, kowe aja edan lho Mba!!, itu kan bojonya kakangmu ta?”
”Iya Kanjeng Mami, eh pukulun bathari. Saya sudah terlanjur jatuh cinta padanya, dan diapun sudah menyatakan demikian, oleh karena itu hamba minta nasihat dari pukulun , bagaimana agar masalah ini dapat kami atasi”
”Ha...ha..ha.., gitu aja kok repot” jawab Bathari Wilutama, sambil membenahi BH nya yang hampir melorot menyibak seluruh payudaranya. Raden Samba agak terkesiap pandangannya melirik balon kembar yang mencuat di depannya. Dalam hati ia mengatakan ”Boleh juga nich gadis...”
”hai Samba!!”
”Oooh, dhawuh Kanjeng pukulun Bethari!”
”Ulun sanggup membantumu, akan tetapi ada dua syarat yang harus kamu patuhi. Yang pertama, kamu harus berjalan di dalam bumi, yang kedua, apabila nanti kamu sudah berjalan kamu tidak boleh melihat lampu penerangan yang aku bawa, matamu tidak boleh melihat ke kiri, ke kanan, dan ke belakang. Kalau ini kamu patuhi, maka cita-citamu ketemu dengan Dewi Haknyanawati bakal terkabul...”
”terus , bagaimana caranya??”
”You, kagak usah kuwatir, ulun punya aji-aji Cundamanik, nyoh, ini tampanana, insyaallah kowe engko bisa mlaku ana sajroning bumi kaya orong-orong...”
BERSAMBUNG

Badaring Bathari Wilutama Ki Setyo Handono

Ujian nasional telah lenyap dari ingatan para juru mudi pendidikan di Giyantipura. Euforia yang melimpahruah telah melupakan makna senyatanya dari pendidikan itu sendiri. Target kepala sekolah, kepala dinas, dan menteri adalah meluluskan anak sebanyak-banyaknya. Soal mutu, anak mau jadi apa, seakan luput dari teropong mereka. Mereka hanya ingin jabatan dan penghasilannya aman. Itulah kondisi pendidikan Giyantipura yang sudah berada dalam jurang kehancuran.
Sementara itu, perjalanan Raden Samba telah sampai di hutan Sukun, Pulung. Langkahnya nampak lunglai, wajahnya semakin kusut, perutnya merasakann lapar hingga merasakan pedih di ulu hatinya. Raden Samba nampak kelelahan, ia segera menghentikan langkahnya. Ia duduk di bawah pohon Gurda yang masih nampak kokoh, besar dan rindang. Ia memutuskan untuk bersemadi di sana.
Tidak beberapa lama, awan tiba-tiba gelap. Raden Samba nampak gugup dan takut. Maklumlah ia ndak biasa bertapa di tengah hutan. Paling kalau ia semedi pun sering ia lakukan di dalam kamarnya. Itu pun masih harus diiringi musik instrumentalia ’Silk Road’ yang membuatnya tertidur pulas. Tapi kali ini suasananya benar-benar berbeda. Ia berada di dalam hutan yang masih benar-benar virgin. Tidak ada tv, radio, apalagi internet. La wong signyal saja lemah sekali kok. Maka, nampaknya tidak ada plihan lain, kecuali ia harus memutuskan ’ndhaprok’ pura-pura semedi di bawah pohon Gurdha tersebut.
”Wah, gawat !, pohonya terlihat angker nich, banyak nyamuk lagi. Ah, peduli amir, pokoknya aku akan semedi ndik sini, kalau toh aku mati dimakan harimau, terserahlah, pikiranku sekarang lagi kacau, lagi suntuk ’impen-impenen’ dengan Dewi Haknyanawati yang kinyis-kinyis menggoda hatiku...” desah Raden Samba sambil menggelar selembar koran untuk alas duduknya.
Raden Samba segera duduk bersimpuh, sekejap-sekejap matanya terkesiap bangun. Hatinya berdebar-debar tatkala mendengar suara gemertak atau daun runtuh dan ranting-ranting yang patah. Hati dan pikiran Raden Samba benar-benar kalut dan takut. Bulu githoknya berdiri mengejang. Rasa percaya dirinya telah lenyap. Ia nampak menutup telinga dan wajahnya. Ndak mau rasanya ia berlama-lama di dalam hutan, ndak ada fasilitas komunikasi canggih di sana. Adanya cuma nyamuk dan serangga malam.
Raden Samba nampak berniat mengurungkan semedinya. Koran alas duduknya ia tinggalkan kusut berserakan, di bawah pohon Gurdha. Ia melangkah gontai berjalan menepi, ingin keluar dari dalam hutan. Namun baru saja kakinya beranjak, tiba-tiba dari kegelapan muncul bayangan binatang buas menghampiri dirinya. Raden Samba spontan berteriak ketakutan, ia lari terbirit-birit menerjang apa saja yang ada di depannya.
”Haumm....haummm, grrrrrrm”
”Wis, macan...., aku nyerah , terkamlah tubuhku, koyak-koyaklah kulitku, nggak ada gunanya aku hidup berlama-lama tanpa Haknyanawati... nyoh iki tubuhku, makanlah.... nyoh iki kepalaku.... klethak-en....”
Berkali-kali Raden Samba menyerahkan dirinya. Namun harimau raksasa yang ada di depannya nampak diam termangu ndak mau menerkam dirinya.
”Ya wis macan, yen kamu ndak mau menerkam diriku, baiklah..., sekarang aku akan memanah tubuhmu, nyoh ini rasakan.... jprettt!! ”
Tepat, anak panah menancap pada ulu hati harimau. Tubuhnya menggelepar jatuh di tanah. Dari lobang anak panah yang menancap tiba-tiba mengepul asap putih yang menggumpal seperti bayangan manusia....
”Hong wilaheng sekaring bawana peteng.... putra ulun ngger Samba.....”
”Lho !.... lho!, panjenengan sinten, Bethari??”
”Iya, ngger Samba, ulun iki Bathari Wilutama...”
”Lho, ingkang menjelma macan tadi siapa?”
”Lhooo, ya iya ulun ini ta ngger.....”
”Lho kok ....”
”Wis ... jeneng kita ra sah tekon sekarang, suk minggu ngarep wae tak jelasne”

BERSAMBUNG

Rukmuka dan Rukmala Ki Setyo Handono

Raden Gunadewa amat masgul dengan Raden Samba adiknya, ia jengkel kenapa sudah diberi nasihat tidak juga sadar hatinya. Ia pun kini memutuskan mengusir Raden Samba dari Astana Gadamadana.
”Yayi, perang sabil iku, nora lawan si kopar lawan si kapir, awit sajroning dhadha iku, ana prang bratayudha, luwih rame aganti pupuh-pinupuh, iya lawan dhewekira, iku sejatining prang sabil, wis yayi, kowe enggal muliha wae, aku arep tapa brata, aja mbok ganggu...”
”Ya, kakang, yen ngono aku nyuwun pangestu!!”
”Ora bisa yayi. Pangestu mono mung kanggo pawongan kang lumaku becik”
”Lha rumangsamu aku apa ora lumaku bener kakang!”
”Bener mung kanggomu dewe, nanging luput kanggone urip bebrayan”
”Lupute piye?”
”Kowe wis wani nerak pager ayu. Mbakyu Haknyanawati wis dadi garwane syah kakang Bomanarakasura, kenapa kamu masih pura-pura tidak tahu, begitulah kalau manusia tengah dikuasai oleh hawa nafsu...”
”Nanging aku iki putrane Prabu Kresna, titisane Dewa Wisnu lho”
”Aku ora ngrembuk menawa kowe titisane dewa utawa titisane Prabu Kresna. Nanging aku ngrembug bab kelakuanmu sing wis ora nuduhake sifat-sifate Dewa Wisnu.., sebab Rama Prabu ora tahu mulang kowe selingkuh kaya ngono kuwi”
”Yo wis kakang, sampeyan sajaknya ndak kasihan lagi padaku, bertapalah saja, pokoknya aku akan tetap kawin dengan Mbakyu Haknyanawati...”
”Weladalah Samba...Samba... pranyata kowe wis ora bisa ndak tuturi maneh,Yo.. yen wis dadi krenteging atimu, aku mung bisa aweh dalan. Kowe enggala ketemu karo Paman Janaka. Engko ndik kana curhata, matura kang persaja, aku yakin Paman Janaka bisa ngatasi semua masalahmu, wis kowe aja pamit , enggal budhala!!”

Ndak beberapa lama Raden Samba meninggalkan Raden Gunadewa. Ia segera berlari menjauh dari Astana Gadamadana. Raden Samba nampak berseri-seri. Ia bagaikan menemukan ide brilian, bertemu dengan pakar asmara cowboys in paradise. Otak ngeresnya semakin menggelora.
Sementara Raden Gunadewa nampak gontai , ia pusing dengan ulah adiknya. Ia-pun segera mengambil kitab kuna yang tergeletak di atas pusara Bathara Darma. Ia segera membuka bab piwulang yang berisi kisahnya Dewaruci. Tepat pada halaman 50 ia mendapati kisah Raden Bratasena –yang juga pamannya- berhasil menaklukkan Rukmuka dan Rukmala. Ruk bermakna rusak, Muka berarti hambatan atau penyakit yang berasal dari makanan dan minuman yang enak seperti hotdog(kirik panas), rawon, soto, sate gule, jangan blendrang, nasi uduk, hamburger, serta jabatan seperti; rektor, bupati, wabup, gubernur, menteri, presiden, dsb. Sedangkan Rukma berarti cassing , perhiasan, gemar cari muka, gemar mencari pujian, mementingkan penampilan daripada kualitas . Seandainya rektor, maka wajah kampusnya dulu yang di permak, soal kelas, media pembelajaran, kesejahteraan, keamanan, dan manfaatnya, tidak diperhitungkan sama sekali. Cari Wah, yang paling utama.
Bratasena tidak mungkin bisa mencapai visi membangun Islam yang Kaffah dan Kampus yang Islami jika Rukmuka dan Rukmala masih bersemayam di dalam hatinya. Indikatornya adalah jika kondisi kampus sudah tidak nyaman, antar karyawan tidak kompak, saling curiga, saling menjatuhkan, administrasi-surat-menyurat- amburadul, mutasi terjadi tanpa prosedur yang benar, pemecatan karyawan tanpa alasan(baca: dengan bahasa yang kasar dan menyakitkan) , komunikasi atasan dan bawahan terputus, hilangnya musyawarah senat, semakin rendahnya kepercayaan bawahan kepada atasannya, dan hilangnya fungsi Badan Pengawas Harian akibat masih kuatnya pengaruh Rukmuka dan Rukmala. Maka mereka pun menjelma menjadi Budaknya Penguasa Hutan. Sebuah penguasa yang memerintah tanpa itikad, etika, estetika, dan etiket (merk, nomer, ijin,komposisi, kegunaan dan status yang jelas)

Markus dan Cafe Mesum

Satu per satu pencoleng yang menggerogoti perekonomian bangsa berhasil diungkap oleh segelintir orang yang terluka hatinya akibat dendam jabatan. Ya !, ia adalah seorang jendral polisi negeri Giyantipura. Walau sebenarnya polisi di negeri itu sudah terkenal ’busuk’ sejak dahulu kala. Namun selama ini seakan aparat penegak hukum itu tidak pernah tersentuh oleh kritik dan sentuhan hukum, sehingga nyaris kebejatan korps mereka seperti langgeng ditelan oleh jaman. Namun ada pepatah, se rapi-rapinya bangkai disimpan, maka bau itu pasti tercium juga. Demikian juga kebusukan polisi Giyantipura akhirnya ya mobal alias membahana bau tak sedapnya. Bahkan kebrutalannya melebihi perampok ataupun teroris di negeri ini. Bayangkan saja, setiap orang yang berperkara- walau kalau dinalar sebenarnya korps ini tidak dirugikan- pasti deh urusan duwitnya semakin panjang. Makanya polisi di sini merupakan kepanjangan dari Perkara Orang Lain Sebagai Incam, alias polisi senengnya bukan kepalang kalau ada masalah hukum yang menimpa rakyat yang diayominya. Sebab dengan adanya sebuah perkara, maka Kasih Uang Habis Perkara. Hukum; Hubungi Aku Kasih Uangmu, Mulus. Hakim; Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. Jaksa; Mengajak Secara Paksa.
Kenyataannya sudah menjadi rahasia umum, mereka adalah makelar-makelar kasus, yang akan menjerat masalah masyarakat menjadi ’komoditi’ yang akan mempertebal kantong pribadinya. Bayangkan saja, pada suatu hari Raden Samba ketika itu tengah njagrag sepedanya di pinggir jalan, tiba-tiba tanahnya ambles, sepedahnya roboh. Priiit !!, polisi memberi tilang, sepedahnya dibawa ke kantor polisi, polisi minta uang untuk membebaskan motornya yang dibwanya. Ancamnya; ”Anda pilih sidang apa pilih aman, kalau pilih aman sediakan uang sekian” kata polisi sambil menunjukkan tiga jari telunjuknya. Itu soal yang biasa di kepolisian Giyantipura. Belum yang lainnya. Tak terhitung jumlahnya. Maka jangan heran jika ’pendapatan’ mereka melebihi tentara. Rumahnya megah, mobilnya mewah. Tanahnya luas, dan hidupnya bergelimang harta.
Biasalah komandan selalu minta jatah dari prjurit bawahnya. Itu sudah biasa bagi korps kepolisian Giyantipura. Mereka sudah membentuk link, atau mafia hukum, mafia politik, mafia perdagangan, mafia mesum, dan sebagainya. Tak heran jika apresiasi masyarakat pada mereka begitu rendah. Ya, semua karena ulah mereka sendiri. Maka jangan heran kalau kebejatan di negeri Giyantipura ini semakin menjadi. Kata kuncinya adalah polisi yang mengawali.
Sekarang kondisinya berbalik. Pas !, kata pakar kesehatan, bahwa orang sakit 90% akibat dari pikirannya sendiri yang salah. Jadi kalau jaksa dan polisi sakit ya semua itu juga karena ulahnya sendiri. Maka yang mempu mengobati ya mereka sendirilah. Sebab kalau orang lain yang mengobati/mengkoreksi penyakitnya, maka perbuatan itu pasti dibelokkan menjadi kasus hukum; mulai pencemaran nama baik hingga subversif. Satu per satu orang kritis itu mesti hidupnya semakin kritis. Lenyaplah mereka selama-lamanya.

Begitulah polisi di negeri Giyantipura, mereka melakukan mafia hukum dengan membuat perselingkuhan abadi di kafe mesum pinggir jalan. Mereka tidak mempunyai rasa malu lagi. Di tempat sepi oke, di keramaianpun aman. Itulah kafe mesum yang tidak bisa diusik oleh orang awam.
Baiklah kita tinggalkan dulu, polisi Giyantipura yang sedang manastisi akibat pisaunya mengenai dirinya sendiri. Kini kita lihat Raden Gunadewa yang kecewa dengan adiknya yang bernama Raden Samba.
Dia nampak pusing kepalanya. Padahal upaya untuk menyembuhkannya sudah diupayakan hingga negeri China lho. Tapi dasar anak yang nggak tahu diuntung. Sudah memakan biaya banyak tak juga diperoleh hasilnya. Eee... kemarin sore malah ngumpat-ngumpat Sin She-nya
”Gimana sih !!, Anda itu ndak propesional!!!, masak udah dibayar mahal-mahal.. status kesehatanku ndak naik-naik pangkat jadi lebih sehat. Sudah!!, tutup saja praktik pengobatanmu!!! Anda ndak propesional blas...”
Kontan seluruh korps Sin She se Tiongkok, kebakaran jenggotnya. Mereka naik pitam. Ra trima. Dirinya direndahkan, dihina dan dicacimaki. Kemudian merekapun segera nlepon Sang Gunadewa.
Sang Gunadewa-pun menjadi gerah hatinya. Sore harinya ia membawa ’tanda diam’ beberapa bungkus sate dan makan khas Giyantipura dipersembahkan pada mereka.
Bagaimana kisah selanjutnya, kita lihat di TKP !!!

PLONG !! Ki Setyo Handono

Raden Samba tidak kuasa mendengarkan nasihat yang diberikan oleh Raden Gunadewa kakaknya. Tekadnya sudah bulat. Pendiriannya tidak ingin lagi mencla-mencle memilih opsi A, B, atau C. Baginya, Haknyanawati adalah wanita titisan jawata yang sudah digariskan menjadi miliknya.
”Samba!”
”Iya kakang”
”Elinga ya dhi, Kakangmbok Haknyanawati itu sudah menjadi milik Kakangprabu Bomanarakasuro, yen kamu masih nekat memperistrinya itu namanya ngrusak pager ayu, dan ngobak-obak tirta kang wening. Kowe pada karo ngingu kemladhe, tanduran sing bakal ngrusak jiwa ragamu, elinga ya dhi, mesakna karo asmane keng Rama Prabu...”
”Kakang, aku mau kan wis kandha ta, wong iku yen wus nandang asmara, lara branta, nyawang donya iku mung katon peteng ndhedhet. Sing katon mung pasuryane Sang Dewi utawa Sang Pangeran...”
”Ooo, mengkono ya..., dadi termasuk omonganku mau ya ora mbok rungokne ya?”
”Wah, ya inggih...”
Raden Gunadewa nampak murung termenung. Dia memilih menundukkan mukanya sambil membaca mantra. Sementara Raden Samba nampak duduk ndak tenang. Sesekali ia lihat jam tangan dan HP-nya yang kelihatan baterainya mulai ’low’.
Aneh, bin ajaib. Baru saja Sang Gunadewa merapalkan mantranya tiba-tiba angin puting beliung (Penthil muter:red) membahana menyapu benda-benda yang ada di sekitar Astana Gadamadana. Dan lebih, nganeh-anehi lagi patung arca Bathari Dermi tiba-tiba menyatu dalam tubuh Raden Samba. Jleg!!!. Raden Samba tiba-tiba ’ngengleng, gendheng, kaya wong edan’. Tiba-tiba ia memeluk dan menciumi Raden Gunadewa. Kontan Raden Gunadewa ’girap-girap’, risih.
”Wah, bocah kok tambah manis, eseme ngujiwat,... dhuh nimas Haknyanawati, nyaketta pun kakang yayi... aja ngedoh pun kakang, nyaketa yayi, ayo ndak gendhong, ndak aras pipimu.....”
”Dhi, elinga ya, aku iki kakangmu...”
”Waduh, aku ora lali kok, aku eling, aku sadar menawa aku lagi nyanding karo kowe yayi.. ayo ta, aja adoh-adoh anggonmu lungguh, nyaketta, aku pingin ngrasakne kulitmu sing alus lencir gadhing.... byuh... byuh... bocah kok ayune ora ilok....”
”Dhi ... elinga ya dhi...., ayo ta bukalah matamu, tataplah aku, dan lihatlah siapa aku....”
”Aduh, kakang!!” tiba-tiba mata Raden Samba terbelalak. Ia sadar ternyata yang di depannya adalah Raden Gunadewa. Ia langsung duduk menyembah kakaknya.
”Adhiku cah bagus, Samba...”
”Inggih kakang..”
”Sajaknya, lara brantamu wis lumebu stadium parah yayi. Aku wis ora kuwagang maneh mbendung apa sing dadi kekarepanmu, mula saka iku, aku bakal nundhung sliramu jengkar meninggalkan pertapan ini. Lan kamu pergilah ke Madukara, temuilah Paman Janaka, insyaalloh, beliau akan membantumu...”

Raden Samba nampak tersenyum lega. Perasaannya terasa plong!. Buru-buru ia merapikan pakainnya. Ia melihat jarum jam telah menunjukkan angka tiga sore.
”Wah, sajaknya waktu sudah surup kakang. Aku marem sekali mendengar petunjukmu. Kalau begitu aku mohon pamit dan mohon pangestu...”
”Iya samba, pergilah kau. Tapi sorry aku tidak bisa memberimu pangestu. Sebab pangestu itu hanya pas diberikan kepada orang yang berniat mulia...”
”Tapi kakang, aku ini anaknya Dewa Wisnu lho”
”Bener, kowe putrane Sang Hyang Wisnu, akan tetapi kalau niatmu sudah menyimpang dari aturan, sama halnya saya merestui kejahatan, sudahlah you pergi saja, aku akan melanjutkan semediku....”
”Iya kakang, kalau begitu aku nyuwun pamit”
”Iya Samba, hati-hati” BERSAMBUNG

Bagaikan Jasad tanpa Roh Ki Setyo Handono

Astana Gadamadana nampak lengang. Angin dingin terasa pelan menyapa kulit. Udara panas semilir membahana mengabarkan mendung kelam siap menebarkan rinai hujan yang beberapa hari ini tak kunjung membasahi hamparan ilalang yang terlihat layu di bumi Astana Gadamadana. Sementara di kaki bukit terlihat sebuah negeri yang terlihat bagaikan kota mati. Korupsi di sana bagaikan budaya yang telah terpatri menjadi jatidiri. Mulai maling, begal, kecu, apus-apus, glembuk, gendam, riak, pamer, iri hati, semena-mena telah biasa dilakukan. Ibaratnya kalau ada pejabat- mulai dari RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, kepala sekolah, rektor, tentara, polisi, satpam, hansip, dan sebagainya- bagaikan jasad tanpa roh.
Sang Prabu Baladewa, ya Prabu Mandura yang menguasai negeri berantakan itu nampak bangga memamerkan tiga piagam penghargaan kepada wartawan yang diundang ke kantornya. ”Negeri ini semenjak saya jadi raja, banyak prestasi dan perkembangan yang luar biasa. Ini semua karena saya bertangan dingin, coba kalau tangan saya sudah panas, maka sampeyan akan takjub, negeri ini akan saya sulap menjadi negeri fantasi, mengalahkan negeri-negeri kumuh yang ada di dunia ini” pungkasnya sambil menunjukkan segebok piagam mulai dari Pukulun Narada, Pukulun Ganhesa, ketika wartawan ’menyondrek-nya’.
Memang!, sang prabu adalah tipikal narendra ’bertangan dingin’. Betapa tidak, prestasi orang lain, proposal orang lain, hak-hak orang lain, dan lahan orang lain, sering diserobotnya, kemudian diakui sebagai prestasinya. Hal itu dilakukannya dengan dingin-dingin saja. Itulah kenapa beliau sering mendapatkan gelar narendra bertangan dingin. Tak heran jika ketika dia muncul memamerkan segudang prestasinya, orang-orang bawahannya nampak dingin-dingin saja. ”Negeri ini jika tanpa saya, ibaratnya bagaikan badan tanpa roh” pungkasnya sambil mengakhiri wawancaranya. ”Wis omonga sak karepmu, sing penting aku entuk duwit” batin sang wartawan Trajutrisna -sambil mengantongi amplop-, ngeloyor pamit keluar.
Sementara itu kita lihat kembali Raden Samba yang tengah terkagum-kagum memnadangi sepasang patung yang tergolek di pasarehan Gadamadana.
”Ya, beginilah Samba, patung ini adalah jilmaan Bathara Wulan Derma dan Bathari Wulan Dermi yang dikutuk oleh Dewa akibat hubungan badan...”
”Lho kok saget kakang?”
”Hiya Samba, keduanya adalah sebenarnya kakak beradik seayah dan seibu. Karena waktu itu mereka tinggal serumah. Ia ditinggalkan oleh ayah dan ibunya yang bernama Bathara Darma, pergi melaksanakan dakwah kadewatan di luar daerah selama bertahun-tahun. Oleh karenanya ketika mereka menginjak dewasa, pengaruh kehidupan global itu menyeruak mempengaruhi hidupnya. Ayahnya hanya sempat ngasih fasilitas semisal uang, hp, laptop, komputer, internet, sepeda motor, rumah mewah, dan mobil. Nah inilah yang kemudian kasih sayang dari orang tuanya dalam tanda kutip, tidak terpenuhi. Internet dengan situs-situs porno-nya telah mengajari keduanya untuk hidup bebas. Bebas tidak berbusana dan bebas melakukan hubungan layaknya suami dan istri. Nah dari sinilah, keduanya ’konangan’ satpol PP yang tengah mendapatkan laporan dari tetangga sekitarnya. Kemudian oleh dewa keduanya dimasukkan sel, dan dipidana menjadi sepasang patung itu...”
”Wah, lha wong penak-penak dadi dewa trima dadi patung. Padahal dewa itu kan tempatnya kesusilaan, tempatnya kemuliaan, tapi kok bisa terjadi kakang”
”Itulah Samba, orang itu kalau sedang dikuasai oleh hawa nafsu, maka tak peduli siapa dia, apakah dewa, atau siapapun, ia akan terkulai menuruti nafsunya. Oleh karena itu aku sekali lagi mengingatkanmu, buanglah rasa cintamu dengan Kakang mbok Haknyanawati. Ingatlah bahwa dia itu sudah menjadi istri sah kakang Boma. Jangan kau mengotori air yang jernih, dan jangan kau merusak pager ayu., Kau itu anak narendra Dwarawati, jagalah nama baik ayahnda prabu......”
”Ha.. ha..ha..., kakang Gunadewa, orang itu kalau tengah jatuh cinta, semua menjadi gelap. Nasihat-nasihat tiada berguna lagi. Ibaratnya kalau hidupku tanpa Kakangmbok Haknyanwati, bagaikan jasat tanpa roh ..... pilih mati kakang !!” BERSAMBUNG
Perkelahian antara Setyaki dan Ditya Satrutapa tak bisa dihindarkan lagi. Ibaratnya bagaikan pertarungan antara cicak dengan buaya, semut dengan gajah, dan rektor melawan karyawan yang tidak berdaya. Sang Raksasa alias sang penguasa lebih didominasi oleh hawa nafsu untuk sekedar menutupi keculasan dan kerakusannya. Ditya Satrutapa sebagai pembantu raja (PR) 2 bagaikan orang yang kemaruk kekuasaan. Modusnya menggantung nasib bawahannya, alasannya menegakkan aturan permainan, ujung-ujungnya adalah ingin menyingkirkan orang-orang yang dianggap mengganggu jabatannya.
Trajutrisna kini benar-benar telah dikuasai oleh hawa nafsu selingkuh yang dikobarkan oleh Dewi Haknyanawati akibat dari kekurangpuasannya atas pernikahannya dengan Prabu Bomanarakasura. Sebagai ungkapan kejengkelannya itulah kemudian mempengaruhi Sang Prabu untuk mengeluarkan kebijakan ’ngawu-awu’ agar dibuatkan jalan tol antara Giyantipura hingga Trajutrisna. Proyek ngawur, yang tidak memberikan manfaat, kecuali keuntungan pribadi untuk memudahkan jalur selingkuhnya dengan Raden Samba.
Begitulah potret politik tingkat tinggi ala John Perkins yang berhasil diterapkan oleh Haknyanawati untuk mengelabuhi dan ngapusi para penguasa Trajutrisna agar dana yang ada di kas negara bisa mencair sehingga nafsu rakusnya bisa terpenuhi.
Sementara itu jauh dari pengamatan kita, tepatnya di puncak Astana Gadamadana tinggallah seorang ksatria, putra Prabu Kresna yang bernama Raden Gunadewa. Seorang ksatriya yang terlahir dari perkawinan Prabu Kresna dengan Dewi Jembawati. Dia terlahir cacat. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu seperti kera. Oleh karenanya ketika usianya menginjak dewasa, ia meninggalkan istana Dwarawati, untuk bertapa di tempat sepi, memohon kekuatan Dewa agar kelainan tubuhnya disembuhkan.
Pagi itu kebetulan Raden Gunadewa tengah menyalakan dupa untuk sarana ritualnya, namun tiba-tiba datanglah Raden Samba. Keduanya langsung berpelukan.
”Samba, padha raharja tekamu?”
”Pangestu paduka kangmas”
”Ayo silakan duduk dulu”
”Injih kangmas”
”Ndak sawang wiwit dari undak-undakan Astana Gadamadana sing kawitan, aku nyawang pasuryanmu katon sungkawa, sedih yang sangat mendalam. Ada apa Samba?”
”Kasinggihan kakang, kula nembe lara branta, jatuh cinta dengan seseorang yang telah bersuami”
”Lho!!, kepriye larah-larahe?”
”Inggih kakang, nalika semanten kula andherekaken Kakang Prabu Boma dhaup jadi manten di Giyantipura. Begitu manten jemuk, aku sama adimas Setyaka mengapit kedua mempelai. Namun ketika manten putri, yaitu Kakangmbok Haknyanawati datang, tiba-tiba memluk dan menyambah diriku. Aku kaget dan heran bukan kepalang. Aku bagaikan melihat bidadari yang tengah membangun taman asmara di dalam hatiku. Tiba-tiba birahiku meluap menyambut ’vitamin’ gratis yang menghunjam tubuhku. Aku membalas memeluknya erat-erat. Kontan seluruh undangan manten menjadi terheran-heran. Bahkan aku sempat dishoting oleh kru tv gosip, wah saya menjadi pembicaraan banyak orang”
”Terus apa yang kau rasakan sekarang?”
”Itulah kakang, sekarang aku tidak enak makan dan tidak enak tidur. Wajah Dewi Haknyanawati, selalau hadir menggoda hari-hariku. Aku lara wuyung, kedanan garwane kakang Prabu Bomanarakasura, bahkan dia selalu SMS setiap hari. Membuat hatiku menjadi semakin teredan-edan”
Raden Gunodewa nampak bersedih, naluri sucinya menentang sikap adiknya yang telah melanggar norma-norma susila.
”Samba?”
”Iya kakang”
”Aku mengingatkan kepadamu, hilangkan niatmu untuk berhubungan dengan Kakangmbok Haknyanawati, elinga dimas, itu semua akan mendapatkan siku dan sikara, yang menyebabkan hidupmu sengsara”
”Tapi kakang, aku telah berusaha untuk melupakan Kakangmbok Haknyanawati, namun usaha itu tidak bisa sama sekali. Bahkan bayangan itu menjadi semakin jelas, aku telah terbelenggu wajah yang cantik bagaikan bidadari. Haknyawati telah bersumpah untuk hidup bersamaku kakang”
”Samba, sekali lagi aku mengingatkan, bahwa kamu adalah anak raja Dwarawati. Putra Narendra yang harus menjaga nama baik ayahnda. Untuk itu janganlah kamu meninggalkan angger-angger yang telah ditetapkan”
Raden Samba seakan tidak mau mendengarkan nasihat kakaknya. Dia terlihat berjalan-jalan di sekitar pertapan Asatana Gadamadana. Namun ketika ia berada di samping kanan Sang Gunadewa, tiba-tiba matanya menatap sepasang arca.
”Kakang?, ini arcanya siapa kok kelihatan cantik seperti Haknyanawati?”
”Itulah yang akan saya ceritakan kepadamu. Sudahlah kamu istirahat dulu, aku akan bersemadi setengah jam saja. Nanti aku ceritakan kisah sepasang arca tersebut”

Samba Wuyung Ki Setyo Handono

ADIPURA- PURA

Hujan deras telah membasahi seluruh tanah di Trajutrisna. Terminal Selo Aji yang dulu digadang-gadang menjadi gapuro-nya Negeri Trajutrisna, kini berubah menjadi Selokan Aji. Sebuah pemandangan yang mirip seperti selokan yang penuh dengan limbah basah yang menjijikkan. Baunya tak sedap, kumuh dan jorok, tidak sesuai dengan gelar adipura yang didapatnya. Demikian juga dengan tempat-tempat umum yang lainnya seperti pasar, alon-alon, stadion, dan sebagainya, terkesan merana, tidak dirawat. Petugas , pemerintah daerah, dan masyarakat tidak peduli sama sekali dengan tempat-tempat tersebut. Belum ditambah lagi dengan budaya jam karet yang selalu menambah cemar nama rakyat Trajutrisna dari hari ke hari. Entahlah!, kenapa dari Bupati yang satu dan yang lainnya hingga Prabu Bomanarkosura seperti sekarang ini nggak punya nyali untuk merubah budaya memalukan ini. Mereka hanya tepat waktu saat perebutan kekuasaan belaka, tapi soal jam karet masih dipertahankan hingga sekarang. Kalau begitu apakah relevan gelar Adipura tersebut, ataukah hanya adipura-pura belaka. Toh nyatanya semua itu tidak ada baiknya?
Sinigeg, ingkang wus cinarita. Kita tinggalkan dulu pemandangan tak sedap di kota adipura, kota yang penuh dengan kepura-puraan. Kita lihat kembali bagaimana suasana di kerajaan Mandura. Di sana nampak sinuhun prabu tengah berbicara serius dengan Raden Harya Setyaka, membicarakan hilangnya Raden Samba yang meninggalkan Praja Parang Garuda tanpa meninggalkan pesan. Sang Prabu nampak murung, gundah hatinya dan malas untuk sekedar ngantor ke tempat dinasnya. Tentu saja, hal itu berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan dan agenda peresmian beberapa proyek prestisius yang diharapkan dapat menutup ’coreng-moreng’ prestasi pemerintahannya, akibat kecerobohannya selama ini.
Namun usaha ’julig’ yang berbau politik ’belah bambu’ yang diterapkan Sang Prabu Mandura itu menemui kegagalan yang amat memalukan. Betapa tidak!, setelah dipermalukan oleh kasus sertifikasi, dia ’ngamuk suramrata jayamrata’ semua pejabat yang dianggap rangkap sertifikasi disingkirkan, alasannya menjalankan peraturan dan takut kalau nanti penghasilannya melimpah ruah, dobel-dobel. Demikian juga bagi mereka yang berseberangan dengan kebijakannya, maka harus segera diganti atau di-non jobkan, alias menjadi karyawan biasa. Dan ndilalah, pada hari Jemuah Wage yang baru lalu para pejabat baru itu dilantik oleh sinuhun Prabu Mandura sendiri. Sang Prabu nampak ’kamisosolen’menyebut nama-nama para pejabat baru tersebut. Tentu saja hal itu menjadi tertawaan para undangan yang ’rawuh’. Kontan, Sang Prabu menjadi semakin grogi. Kata-katanya menjadi tersalah-salah.
Beliau memang menyadari kalau sekarang ia menjadi sorotan miring oleh seluruh staf-staf kerajaan. Hal itu lantaran karena kebijakannya yang tidak berpihak pada ,wong cilik’. Ia lebih suka berburu ’proyek’ mercusuar, menjilat kepada penguasa dan menginjak-injak anak buahnya. Berburu ambisi yang maha tinggi. Ibaratnya ia kini berada dalam ’lingkaran setan’, semua yang memandang dan yang berada di sekitarnya adalah iblis laknat. Mereka adalah jilmaan setan, demit, thuyul, banaspati, dan siluman. Kelihatannya saja mereka baik, tetapi di belakang akan menelikung bahkan membahayakan keselamatannya. Oleh karena itu Sang Prabu memilih mereka dengan pertimbangan yang memusingkan kepala juga. Maka tak heran jika para pejabat pilihannya tersebut banyak yang kelihatan tidak meyakinkan. Bahkan konon ada dari mereka yang harus ’murus’ lantaran stres yang amat mendalam karena memikul tugas yang bukan keahliannya.
Kita tinggalkan dulu adipura-pura yang ada di negeri Mandura. Kini kita akan melalanglang ke Kahyangan Pangudal-udal. Ndik sana Sang Resi Kanekoputra nampak tersenyum simpul membaca surat dari sohibnya ’Ki Lurah Ismaya’ yang kebetulan menjadi pimpro proyek Plaza Tamiya Mandura. Sebuah proyek casing untuk mengelabuhi masyarakat Mandura, agar memuji kepemimpinan Prabu Baladewa.
”Oh iya kakang Semar, ing ini bakal merusak tanah makam Astana Gadamadana?”
”Wah !, kalau itu bukan urusan kami raden. Kami hanya sebatas pembantu yang menuruti kemauan juragannya”
”Wis, yen ngono kowe balio wae, omongna karo Prabu Anom, menawa pawongan Mandura ora nrimakake proyek, yang didirikan tanpa melalui tender dan musyawarah iki diteruske...”
”Wah, itu namanya menghambat pekerjaan namanya. Saya pokoknya harus pulang kalau pekerjaan ini sudah berhasil”
”Oh, sekarang saya sudah tahu, kalau begitu niatmu di sini ingin merebut wilayah Mandura. Berarti kamu sudah menjadi bagian dari spartis. Wis urungkan niatmu itu. Aku wong Mandura ora trima”
”Wah nggih sak karep, lha wong Prabu Anom nggih darah Mandura kok”
”Wong Mandura nggak punya sifat jelek seperti ini. Nggak punya sifat perusak , apalagi merusak tanah makam para leluhur. Sekali lagi pulanglah !!” bentak Setyaki mulai naik darah
”Ora isa Raden, ibaratnya tekad sudah bulat, sekali melangkah pantang untuk surut mundur ke belakang”
”Yen ngono kowe pingin ngajak perang tanding? Hiya !!!”
”Yen kepeksa apa boleh buat”

Setyaki benar-benar hilang kesabarannya. Dia yang terkenal dengan sebutan Bimo Kunthing itu langsung melayangkan bogem mentah, tepat di cangkemnya Ditya Satrutapa. Croot, dheess !!!, Ditya Satrutapa menggelepar dan bangkit sambil mengusap ’saos’ yang keluar dari bibirnya.
”Oh Raden Setyaki, hayo terimalah balasanku ini” sahut Ditya Satrutapa, sambil membenahi kathok warok yang terlihat lepas kolornya. BERSAMBUNG

Oalah Cagak...cagak

Mendung pekat terlihat menggelayut merambah angkasa ngawiyat. Prabu Bomanarakasura nampak menapak gontai, melangkah menuju kahyangan Ekopratala, di mana ibunda Dewi Pertiwi bermukim di sana. Wajahnya nampak kusut, busananya nampak lusuh, dan rambutnya kelihatan tidak rapi lagi.Sementara uang sakunya tinggal beberapa perak saja. Maklum beberapa jam sebelum ia berangkat,ternyata uang cadangan di ATM ludes digarong orang. Ia hanya cengar-cengir menahan air liur melihat ada penjual bubur ayam kesukaannya lewat di depannya. Ia nampak bertahan menahan lapar sambil memegangi perutnya yang terdengar ’kemrucuk’. ”Ah sebentar lagi nyampai rumah, kok” batinnya menghibur.
Benar!, hanya sekejap saja Prabu Bomanarakasura sudah nyampai di dasar bumi lapisan pertama. Lumayan nggak terlalu dalam, tapi bebas dari gempa dan serangan-serangan tikus yang membahayakan. Jleg!, tiba-tiba tubuh tambun itu sudah berada di teritorial Ekopratala. Mata Prabu Bomanarakasura nampak ’kamitenggengan’ melihat pembangunan di kahyangan Ekapratala yang terkesan pesat. Namun perkembangan itu tidak diimbangi oleh kemajuan akidah sebagian masyarakatnya. Terbukti, banyak dari kalangan mereka yang masih mempercayai karomah dari seorang tokoh yang meninggal dunia. Mereka berbondong-bondong menyembah-nyembah kuburan dan mengambil sebagian tanah makam, kembang boreh dan bekas-bekas benda milik almarhum, digunakan untuk berbagai keperluan. Itulah keyakinan beragama mereka. Mereka terus mengembangkan agama dengan beragam asumsi-asumsi belaka. Sehingga nyaris agama yang disandangnya bergeser menjadi sebuah asumsi-asumsi yang menyesatkan tanpa dasar yang kuat. Maka ATM, merupakan kepanjangan Akidah Tanah Makam, sebuah keyakinan yang timbul dari pengkultusan tokoh sehingga mereka yakin kepada tanah makam di mana seorang tokoh bersemayam di dalamnya, walau ia sudah meninggal maka Arwahnya Tetap Manfaat, termasuk tanah, kembang boreh, dan apa saja yang pernah disentuh oleh sang tokoh tersebut. Mereka yakin kalau benda-benda tersebut dapat menyembuhkan, dapat membantu doa, dan dapat menolong di akhirat kelak.
Sementara itu tidak jauh dari pusat pemerintahan kahyangan Ekopratala, di sana berdiri megah sebuah perguruan tinggi dengan Anjungan Tamiya Mandiri, gedung mirip dengan sircuit mobil tamiya. Juga Anjungan Tanpa Musyawarah, alias sebuah gedung dengan konstruksi jalan tol yang dibangun secara sefihak tanpa melalui prosedur yang benar. Dan kini telah melahirkan opini kontraversional yang berkepanjangan. Bahkan kalau hujan Anjungan menjadi Trocoh Mubeng, alias basah semua. Akhirnya Anjungan Tanpa Manfaat, sebab ketika para mahasiswa berteduh di bawahnya maka mereka basah semua. Bahkan panitia pengajian Akhad Pagi-pun dibuat kebingungan. Sudah berkali-kali mereka harus boyong, memindah jamaah, namun ruangan mewah bernuansa casing tersebut ternyata tidak bisa memenuhi harapan. ”Majlis taklim kok membelakangi masjid” begitulah komentar sebagian jamaah.
Panitia gundah hatinya, semua gara-gara tujuh belas cagak yang berdiri berjajar menutupi podium . Konon tujuhbelas cagak adalah lambang sakral ’rakaat sholat’. Bahkan 17 cagak tersebutlah yang konsisten menjalankan amanat rektor tentang sholat berjamaah. Mereka selalu hadir tepat waktu, walau cuma berdiri kaku di halaman masjid. Mereka adalah figur –figur lambang yang melambangkan kondisi kampus yang sesungguhnya. Kelihatanya saja kompak tetapi kenyataannya ya seperti cagak-cagak tersebut. Mereka tak pernah bergandengan tangan, silaturahim, musyawarah, dan saling membantu menyejahterakan sesama. Mereka ya persis seperti cagak-cagak itu. Diam, angkuh, bergerak sendiri-sendiri, berasumsi sendiri-sendiri, dan mengeluarkan kebijakan atas inisiatif pribadi sendiri. Bahkan sekarang ada empat lampu yang mati di dalamnya. Pemaknaannya, apakah empat pejabat juga sudah mati juga???, ataukah pemaknaan rakaat menjadi berkurang empat?. Lambang bisa ditafsirkan macam-macam. Terserah siapa yang menafsirkan.
Yang jelas cagak adalah tetap cagak. Sebuah bangunan yang hanya diam membisu yang mewakili pemborosan alias berdiri hanya sekedar ’casing’ alias hiasan semata. Mereka secara manfaati, sama sekali jauh darinya. Jika itu merupakan lambang, maka sama dengan sholatnya diam terpaku, sholatnya orang yang sedang sakit pinggang, atau tujuh belas prajurit yang tengah menjaga sandal jamaah. Karena mereka berhenti di halaman saja??.
”Ah persyetan dengan cagak, ora ngurus, sak karepmu, aku arep mbacutke laku wae!” sergah Prabu Boma jengkel dengan keadaan kampus di Ekapratala. Ibarat orang sakit tidak diberi obat tetapi malah dibelikan bedak, baju, dan rumah mewah. Sakitnya tidak sembuh tetapi kejiwaannya semakin guncang menanggung hutang yang kian menggunung.
”Ulun wespadakake iki kaya putra ulun, Boma....”
”Nun inggih ibu..., sembah pangabekti kula konjuk”
”Iya ngger, ibu tampa sembah bektimu”
”Inggih, ibu ”
”Ora ngono n gger, kowe kok njanur gunung, ora ibu timbali kok ngabyantara ana kene, ana perlu apa ngger?”

CABUP (Calon Bubrah Pikirane) Ki Setyo Handono

Riris harda palwa nuting ranu, oooong dres ing karsaningsun dening kanyut , ling ira Gusti, wohing kamal mirah ingsun, ooong... esemira duking uni, ooong sidat agunging narmada sajroning aguling pangucaping janma nendra teka tansah dadi linduran kewala ooong...
Salah satu tokoh penting yang menanam budaya korupsi di negeri Trajutrisna adalah Raden John Perkins. Tokoh wayang mancanegara yang gentayangan di negeri ini dengan jaringan korporatokrasi, sebuah kejahatan yang bertujuan memetik laba melalui korupsi. Tugas Raden Perkins adalah menyusup dan membujuk pejabat-pejabat negara seperti presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, rektor, kepala sekolah, kepala dinas, hingga perorangan yang dipandang bisa diajak kerjasama, seperti tokoh agama; ulama, biksu, pendeta, BPH, dll. Mereka dipaksa untuk mau melayani kebijakan-kebijakan pribadinya dengan menghadiahkan kemewahan, proyek-proyek, dan kontrak-kontrak politis berupa jabatan-jabatan struktural. Perkins sangat berambisi menguasai dan mengendalikan dunia.
Pada masa awal kepemimpinannya Prabu Bomanarakasura di Trajutrisna, Parkins dan bandit ekonomi lainnya mendapatkan kesempatan berkuasa di sebuah universitas swasta Trajutrisna. Bahkan Parkins menuai sukses besar. Mereka dinyatakan lulus sebagai bandit ekonomi dan politisi dengan menaklukkan Bagindha Putri Haknyanawati (BPH) dan Penguasa Daerah Mandura (PDM). Mereka sengaja kongkalikong dengan kedua tokoh tersebut dalam rangka memperkaya diri dan koleganya agar mereka tetap royal kepada korporatokrasinya. Hutang yang menggunung akan semakin menguntungkan persekongkolan itu.
Dalam menjalankan aksinya, Parkins bekerja keras membuat laporan proyek-proyek fiktif untuk IMF dan World Bank agar mau mengucurkan hutang yang tidak mungkin mampu dibayar Prabu Bomanarakasura. Tujuan utamanya cukup jelas (selain untuk mengelabuhi masyarakat terhadap kemegahan bangunan) Perkin mengharapkan agar tampuk kepemimpinannya bisa diperpanjang, sehingga jalinan korporatokrasi itu tetap berjalan langgeng. Bahkan kini terbetik kabar ada 30 proyek dari seorang politisi yang bakal mengucur ke Trajutrisna. Kesempatan itu tentu saja digenggam erat untuk ’tebar pesona’ sambil membusungkan dada ”ini lho perjuanganku, jerih payahku, hebat kan?”
Begitulah sejarah perjalanan korupsi di Trajutrisna. Dan hasilnya kini terasa juga di lembaga mulia yang namanya lembaga pendidikan dan birokrasi. Di lembaga pendidikan tidak jarang kita jumpai praktik korupsi dan manipulasi. Kasus ulangan umum bersama adalah contoh kecil betapa MKKS yang notabene sebagai pencerah terselenggaranya KTSP secara utuh dan mantab, justru menjadi korporatokrasi yang manghambat dan menghancurkan makna KTSP itu sendiri. Wong KTSP kok ada ulangan bersama? Paham nggak sih mereka itu? Dan masyarakatpun mencibir, pastilah mereka hanya untuk mencari keuntungan semata dari ulangan umum bersama itu. Atau barangkali pengawasnya menderita penyakit rabun ?.
Demikian juga dengan birokrasinya. Mereka berangkat dari parpol yang penuh dengan politikus, alias tikus-tikus yang mengusung botoh-botoh judi. Merekapun kini terlilit hutang yang menggunung. Pikirannya hanya berupaya bagaimana modalnya bisa kembali. Oleh karena itu tidak cukup satu periode saja untuk menutupi kekurangan itu. Dan kini kesempatan untuk mendaftar kembali menjadi CABUP. Segala upaya dilakukan, yang penting cita-citanya tercapai. Maka tidak jarang cabub adalah calon bubrah pikirannya. Daftar saja kalau ndak percaya!!!

Rabu, 07 Juli 2010

Sang Benalu

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig, saking tyas baliwur, oooong......
Proyek jalan tol yang diminta sebagai jalan untuk rujuknya antara Prabu Bomanarakasura dan Dewi Haknyanawati, adalah proyek ’cassing’ proyek pemborosan yang tidak banyak memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Haknyanawati hanya ingin bersolek , berpenampilan manis, agar kejelekan hatinya tidak nampak. Dia amat paham kalau masyarakat menilai sesuatu dengan kemegahan proyek phisik yang berhasil dibangunnya. Mereka akan bungkam bila proyek ambisius itu terwujud. Akan tetapi sejawat sesama LSM amat paham dengan keculasan Dewi Haknyanawati. Mereka mencibir ulah Haknyanawati yang selalu menelikung dan memperalat teman-temannya untuk mengeruk keuntungan pribadinya sendiri. Contoh kecil adalah sering proposal yang sudah cair, kemudian diaku sebagai hasil jerih payahnya. Padahal orang lain yang bersusah payah mengerjakannya.Bahkan pernah Sang Dewi memalsu tanda tangan Prabu Boma, hanya untuk kepentingan dirinya pula. Saking murkanya, Prabu Bomanarakasura pada waktu itu, memecat dirinya dengan tidak hormat. Dan akhirnya dia kembali lagi dengan sejuta rayuan mautnya. Prabu Boma menerima kedatangannya tanpa rasa curiga.
Kini Dewi Haknyanawati telah menjadi Ratu di Trajutrisna. Dia mempunyai kekuasaan yang tiada batasnya. Semua pos-pos yang menguntungkan dikuasainya. Pembangunan, pengangkatan, dan pemecatan karyawan dilakukannya tanpa musyawarah dengan punggawa Trajutrisna.
Dan kini lucunya ia menunjukkan seolah-olah ia yang paling loyal kepada negeri Trajutrisna. Padahal semua orang sudah tahu kalau dulu dia itu terkenal dengan ’pecundang’ yang selalu ingin nggembosi yayasan. Contoh kecil adalah, dia tidak mau menyekolahkan anaknya di yayasan Trajutrisna. Demikian juga ketika di Trajutrisna sudah ada TK nya, dia bersikeras mendirikan sekolah baru, pun dengan sekolah-sekolah yang lain yang berbau yayasan diapun juga demikian. Bahkan yang terakhir konangan menilap dana ratusan juta, untuk kepentingan pribadinya pula.
Trajutrisna kini dalam kondisi yang carut-marut. Dewi Haknyanawati hanya sibuk mencari muka, untuk menjaga keamanan jabatanya. Sampai-sampai wisuda prajurit yang baru dilakukan di gedung bundar beberapa bulan yang lalu, nyaris berubah menjadi ajang MoU. Mejeng oentoek Umuk. Bermanis muka di hadapan Prabu Bomanarakasura dengan menelantarkan para wisudawan hingga larut siang dan mengacaukan acara ,molornya jadwal hingga pengaturan konsumsi yang berantakan.
Sementara itu di negeri Mandura nampak Prabu Baladewa sang Penguasa Daerah Mandura ( PDM) tengah dihadap Patih Pragota dan Raden Setyaki. Mereka tengah melaporkan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Dewi Haknyanawati telah melanggar wilayah Mandura. Proyek yang dilaksanakan oleh Patih Pancatnyana itu telah merusak komplek pemakaman Astana Gadamadana. Makam para leluhur negeri Mandura.
Patih Pragota dan Setyaki akhirnya melaporkan proyek ngawur tersebut. Namun yang terjadi Prabu Baladewa sebagai PDM bukanya menanggapi akan tetapi ekspresinya nampak dingin-dingin saja dan pilon, ndak kuasa mencegah, apalagi sekedar mengingatkan saja. Padahal dia itu terkenal singa panggung yang selalu jago dan betah ngomong, mudah marah , mengumpat dan menghina di atas podium siapa saja yang nggak disenangi. Tapi kala ia berhadapan langsung dengan benalu yang sesungguhnya, seperti Dewi Haknyanawati keponakannya, dia mati kutu, kehilangan kata-kata, kehilangan sifat kepemimpinnya, kebijaksanaannya, hilang kedewasaannya, nggak banyak omong, dan nggak ngenyekan lagi. Orang kemudian bertanya-tanya, apa barangkali semua itu karena pengaruh istrinya, Dewi Erawati yang punya sifat keminter , sok kuasa tapi tiada seorangpun yang mengakuinya , sehingga keputusasaan dan kejengkelan membelenggu dirinya sehingga emosinya tertumpah kepada suami dan orang lain di sekitarnya.

Tak terasa negeri Mandura dan juga negeri Trajutrisna sedang digerogoti oleh benalu yang sejatinya. Kini negeri itu tinggal menunggu kehancuran, meninggalkan puing-puing kemegahan yang telah lama dibangun oleh para leluhur negeri Mandura. Sementara para pejabat telah terlena dengan kemegahan semu. Mereka tergiur oleh proyek-proyek mercusuaryang bernuansa mencari profit,dan pujian untuk menutupi pemerintahannya yang carut-marut.
Tidak jauh dari sana nampak makelar-makelar jabatan PNS gentayangan menawarkan kenikmatan jabatan. Tak terkecuali pemerintah daerah yang getol menyuarakan pemerintahan yang bersih, ternyata nggak susuai dengan kenyataan. Para calon kepala sekolah bercerita kalau sekarang ini banyak makelar yang menawarkan jasa jabatan. Mereka berasal dari pusat kekuasaan. Wah !!!!