Jumat, 11 Desember 2009

Sang Benalu

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig, saking tyas baliwur, oooong......
Proyek jalan tol yang diminta sebagai jalan untuk rujuknya antara Prabu Bomanarakasura dan Dewi Haknyanawati, adalah proyek ’cassing’ proyek pemborosan yang tidak banyak memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Haknyanawati hanya ingin bersolek , berpenampilan manis, agar kejelekan hatinya tidak nampak. Dia amat paham kalau masyarakat menilai sesuatu dengan kemegahan proyek phisik yang berhasil dibangunnya. Mereka akan bungkam bila proyek ambisius itu terwujud. Akan tetapi sejawat sesama LSM amat paham dengan keculasan Dewi Haknyanawati. Mereka mencibir ulah Haknyanawati yang selalu menelikung dan memperalat teman-temannya untuk mengeruk keuntungan pribadinya semdiri. Contoh kecil adalah sering proposal yang sudah cair, kemudian diaku sebagai hasil jerih payahnya. Padahal orang lain yang bersusah payah mengerjakannya.Bahkan pernah Sang Dewi memalsu tanda tangan Prabu Boma, hanya untuk kepentingan dirinya pula. Saking murkanya, Prabu Bomanarakasura pada waktu itu, memecat dirinya dengan tidak hormat. Dan akhirnya dia kembali lagi dengan sejuta rayuan mautnya. Prabu Boma menerima kedatangannya tanpa rasa curiga.
Kini Dewi Haknyanawati telah menjadi Ratu di Trajutrisna. Dia mempunyai kekuasaan yang tiada batasnya. Semua pos-pos yang menguntungkan dikuasainya. Pembangunan, pengangkatan, dan pemecatan karyawan dilakukannya tanpa musyawarah dengan punggawa Trajutrisna. Dia kini ingin menunjukkan loyalitas kepada yayasan Trajutrisna yang telah memberikan kekuasaan kepadanya. Padahal semua orang sudah tahu kalau dulu dia itu terkenal dengan ’pecundang’ yang selalu ingin nggembosi yayasan. Contoh kecil adalah, dia tidak mau menyekolahkan anaknya di yayasan Trajutrisna. Demikian juga ketika di Trajutrisna sudah ada TK nya, dia bersaiang ingin nggembosi yayasan dengan mendirikan sekolah baru, pun dengan sekolah-sekolah yang lain yang berbau yayasan diapun juga demikian. Bahkan yang terakhir konangan menilap dana ratusan juta, untuk kepentingan pribadinya pula. Dan untunglah sebelum ada pihak-pihak yang komplin dia segera ditawari mbalik lagi ke Trajutrisna, yang waktu itu ada lowongan ratu di sana. Dan akhirnya dengan tipu muslihat, gaya bahasa yang meyakinkan dan terkesan bijaksana, berhasil mengelabuhi hulubalang Kerajaan Trajutrisna hingga sekarang ini.
Trajutrisna kini dalam kondisi yang carut-marut. Dewi Haknyanawati hanya sibuk mencari muka, demi menjaga keamanan jabatanya. Sampai-sampai wisuda prajurit yang baru dilakukan di gedung bundar beberapa pekan yang lalu, nyaris berubah menjadi ajang MoU. Mejeng ora Umum. Bermanis muka di hadapan Prabu Bomanarakasura dengan menelantarkan para wisudawan hingga larut siang dan mengacaukan acara tersebut separti molornya jadwal hingga pengaturan konsumsi yang berantakan.
Sementara itu di negeri Mandura nampak Prabu Baladewa sang Penguasa Daerah Mandura (baca: PDM) tengah dihadap Patih Pragota dan Raden Setyaki. Mereka tengah melaporkan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Dewi Haknyanawati telah melanggar wilayah Mandura. Proyek yang dilaksanakan oleh Patih Pancatnyana itu telah merusak komplek pemakaman Astana Gadamadana. Makam para leluhur negeri Mandura. Patih Pragota dan Setyaki nampak serius menyoroti proyek ngawur tersebut. Akan tetapi Prabu Baladewa sebagai ketua PDM nampak pilon, ndak kuasa mencegah, apalagi sekedar mengingatkan saja. Padahal dia itu terkenal singa panggung yang selalu mudah marah , mengumpat dan menghina di atas podium siapa saja yang nggak disenangi. Tapi kala ia berhadapan langsung dengan saingan politiknya seperti Prabu Kresna, dia mati kutu. Dia kehilangan kata-kata, hilang sifat kepemimpinnya, hilang kebijaksanaannya, hilang kedewasaannya, nggak tegas, dan nggak pemarah lagi. Barangkali semua itu terpengaruh istrinya, Dewi Erawati yang sok keminter, sok kuasa, dan nggak pernah tersenyum dan ramah kepada orang lain. Sehingga kepekaan kepemimpinannya musnah.

Tak terasa negeri Mandura dan juga negeri Trajutrisna sedang digerogoti oleh benalu yang sejatinya. Kini negeri itu tinggal menunggu menjadi negeri yang hancur, meninggalkan puing-puing kemegahan yang telah lama dibangun oleh para leluhur negeri Mandura. Sementara para pejabat telah terlena dengan kemegahan semu. Mereka tergiur oleh proyek-proyek mercusuar, sekedar untuk mencari profit, pujian, dan melanggengkan kekuasaan , serta untuk menutupi pemerintahan yang carut-marut.
Tidak jauh dari sana nampak makelar-makelar jabatan PNS gentayangan menawarkan kenikmatan jabatan. Tak terkecuali pemerintah daerah yang getol menyuarakan pemerintahan yang bersih, ternyata nggak susuai dengan kenyataan. Para calon kepala sekolah bercerita kalau sekarang ini banyak makelar yang menawarkan jasa jabatan. Mereka berasal dari pusat kekuasaan. Wah !!!!

Jumat, 20 November 2009

Boma Ora Trima


Tersebutlah sebuah kisah ada sepasang Dewa dan Dewi konangan berduaan di sebuah kafe remang-remang ndik Kahyangan sana. Kedua pasang dewa itu bernama Bathara Wulan Derma, dan Bathari Wulan Dermi. Anak dari Bathara Darma, dewa yang mengatur gunung Junggiri Swargaloka. Mereka berdua sebenarnya kakak beradik. Akan tetapi karena ayahnya sibuk sendiri, dan dia sering keluyuran berdua, maka suatu hari dia digoda iblis, dan terjadilah pergaulan bebas di kafe remang-remang. Sang Hyang Wenang yang menguasai pimpinan pusat (PP) Kahyangan amat murka dengannya. Maka berdasar surat keputusan senator Kahyangan Suralaya, sepasang dewa yang lagi kasmaran tersebut dikeluarkan dari kahyangan, dan harus menjalani menjadi dewa luar biasa, sejajar dengan titah manusia yang lainnya.
“Jeneng kita sakaloron bakal ulun titisken kepada anak turune Sri Kresna, oleh karena itu sana cari tempatmu menitis di Ngercapada, ulun mung ndongakake muga sira antuk basuki” pinta Dewa Narada sekretaris kahyangan.
Sebelum mereka berpencar, keduanya sudah berjanji untuk sehidup semati membangun mahligai rumah tangga. a dia akan berusaha mencari dan bertemu kapan dan dimana saja. Tan kocapo setelah sepasang kekasih itu turun berpencar, mereka segera mencari anak keturunan Bathara Wisnu alias Kresna. Sang pemuda dewa bertemu dengan Prabu Bomanarakasura, maka dia memutuskan untuk masuk ke dalam raganya.
Nuju ari Soma Manis, akhirnya kedua insan lain jenis yang ketitisan saudara sekandung itu bertemu kembali. Sri Bathara Kresna dan istrinya Bathari Pertiwi segera menikahkan Bomanarakasura dengan Dewi Haknyanawati alias Dewi Mustikawati. Sebuah prosesi pernikahan yang mengundang tokoh-tokoh wayang seantero jagad pewayangan.
Ketika resepsi pernikahan dilaksanakan, tiba-tiba Dewi Haknyanawati melihat ketampanan Raden Samba yang tengah foto bareng di sampingnya. Kontan menjadi goncang hatinya. Kemudian ia berlari menyembah dan memeluk Raden Samba. Prabu Bomanarakasura naik pitam dan marah besar. Ia merasa dipermalukan oleh kekasihnya. Sedangkan Dewi Haknyanawati ingin meralat surat perjanjiannya, dia ingin asmaranya diluruskan, karena selama ini adalah hubungan yang melanggar norma agama. Hubungan kakak dan adik.Dan ternyata cowok tampan itupun ternyata juga putra Sri Kresna, apa salahnya jika ia menyatu dengan Raden Samba.
“Wah kamu itu benar-benar ndak bisa dipercaya, Samba itu adikku lho, kamu kok tega-teganya mengingkariku, he !, coba ‘perhatikan tulisan Anda’ ” Sergah Prabu Boma sambil memperlihatkan secarik daun lontar bermaterai, yang berisi perjanjian asmara antara keduanya.
Dewi Haknyanawati tidak ngrewes semua ucapan Bomanarakasura. Dia selalu membelakangi ketika berdialog. Dan itu berlangsung hingga sekarang. Hal itulah yang membuat Prabu Boma tidak bahagia. Bahkan terdengar kabar kalau Haknyanawati telah menjalin hubungan khusus dengan Raden Samba.

Hanjrah ingkang puspitarum, kasliring samirana mrik ...ooong, sekar gadung kongas gandanya, oooong..., maweh raras renaning driya ooong...

Prabu Boma akhirnya menempuh jalur hukum pergi ke rumah ayahnda dan ibundanya di Dwarawati dan Kahyangan Ekopratolo. Namun sebelum ke sana, ia memutuskan untuk pergi ke Kahyangan Suralaya, meminta rekomendasi dari Sang Hyang Guru sebagai pimpinan pusat (PP) kahyangan. Ia tidak lupa mampir dulu di kedai makanan khas Trajutrisna. Ia membeli enambelas besek sate ayam, dan camilan untuk mempermudah perundingan. Ia kemudian terbang mengangkasa dengan hilikopter basarnas. Tepat jam 9 pagi ia sudah mendarat di Kahyangan Suralaya.
Sementara di sana nampak Bathara Narada tengah membaca koran lokal. Dari bibirnya terlihat senyum mencibir tulisan menggelitik, miskin wawasan, dan ndak memahami karya sastra fiksi, ia memprediksi pastilah dia utusan dari seseorang yang tersinggung oleh karya fiksi tersebut. Menilik nama samaran penulisnya Dewa Syifa, pasti dewa bersih-bersih yang diutus memulihkan nama baik seseorang. Dan itulah menunjukkan bahwa dia memang berperilaku seperti itu. Bathara Narada tertawa terpingkal-pingkal ..”sak iki konangan kowe....” sergah Bathara Narada sambil menaruh koran di meja.
Baru saja Bathara Narada melipat koran dan menenggak secangkir kopi, tiba-tiba dari balik pintu muncul seorang tamu
”Eh mrekencog-mrekencong ana tamu nyelonong, nggawa tenong robyong-robyong gedhene sak genthong, ulun wespadakne iki kaya putu ulun Bomanerakasura, padha raharja ngger...”
”Pangestu pukulun, kalis nir ing sambekala”
”Eh njanur gunung, kowe mrene tanpa ulun timbali ana pari gawe apa Bo?, lha kok iki malah karo nggawa oleh-oleh sak mobil, apa kanggo pelicin piye?”
”Ah niki namung camilan sate khas Trajutrisna kelangenan pukulun Guru dalah Pukulun Kanekaputra...”
”Ah... you aja guyonan lho, ulun sakaloron sak iki iki, lagi berusaha menurunkan kolesterol karo darah tinggi, ulun nyuda daging karo asin-asin, dadi satemu iki ulun tampa wae, nanging ulun wis ora wani dhahar, wis sak iki kowe enggal matura, sebab ulun jam sepuluh mengko arep tindak mesjid khotbah Jumat....”

Selasa, 17 November 2009

Negara tanpa Kerangka

Raras kang halenggah neng aparan rukmi, akarya asmara, hanawung sembada, hawingit weh wing wrin, wimbaning narpati, siniwaka kadya, sang maha Bathara tumurun mandana, pra sidaning dadi, harjaning praja

Tersebutlah di Gupit Mandragini, Sang Prameswari Raja Giyantipura Prabu Karempatnyana, Dewi Mustikawati istri Prabu Bomanarakasura nampak murung, berduka hatinya, duduk membelakangi suaminya yang baru datang dari meeting di pasewakan beberapa jam yang lalu. Prabu Boma nampak bingung, melihat perubahan sikap permaisurinya. Ia mencoba merayu beberapa kali namun sedikitpun Dewi Mustikawati tidak mau membalikkan wajahnya.
”Garwaning pun kakang Dewi Mustikawati?, aku kok jadi ndak mengerti apa maksudmu kok tiba-tiba sikapmu berubah seperti ini?, tolong berbicaralah..”
”Kaka Prabu pepunden kula, sesembahan kawula..” jawab Dewi Mustikawati dengan membelakangi suaminya
”Yaa, bicaralah, apa maumu”
”Aku punya keinginan, dan kakang harus memenuhi semua itu, sekarang berjanjilah”
”Yaa, aku akan berjanji menuruti semua keinginanmu. Apa keinginanmu, seluruh dewa menyaksikan sumpahku ini”
”Kaka Prabu, aku ingin kakang membuatkan jalan yang lurus seperti jalan tol yang mulus antara Giyantipura dan Trajutrisna. Dan kakang harus berjalan di sana lurus tanpa menoleh kanan dan kiri, apalagi berbelok arah...”
”Ha...ha...ha...., oooalaaah kecil itu bocah ayu, jangan kuwatir, nanti akan kakang carikan Dana Alokasi Khusus, dana PNPM mandiri, dansos, dan lain-lain” jawab Prabu Bomanarakasura yang tidak paham dengan bahasa sasmita yang baru saja diucapkan istrinya
”Kula nyuwun paduka prasetya ngugemi janji menika, kaka Prabu?”
”Yaaa, aku bersumpah aku akan menepati janji, dan aku berjanji pula bahwa kraton dan seisinya bakal menjadi milikmu. Namun untuk menunaikan ini semua aku akan minta doa dan restu dari Ramanda Prabu Kresna di Dwarawati, dan ibunda Bethari Pertiwi di Ekopratala..”
”Menapa kula kepareng handherekaken paduka ?”
”Waah ora usah nanti malah ngriwuk-ngriwuki lakuku, wis yayi aku njaluk pamit, reksanen praja Trajutrisna lan Giyantipura”
”Kasinggihan kaka prabu, sugeng tindak...” jawab Dewi Mustikawati sewot
Prabu Bomanarakasura segera berjalan memanggil sopir pribadinya dan meluncur dengan mobil kijang warna biru menuju negeri Ekopratolo tempat ibundanya.
Sementara itu Patih Pancatnyana nampak panik dan nggondhok hatinya. Ia ndak terima dengan omelan Prabu Kresna tempo hari. Kalau bukan mertua Prabu Boma pastilah ia sudah dilumat habis-habisan. Untunglah Patih Pancatnyana masih bersabar hatinya. Kemudian ia segera merogoh celana jins-nya mengambil HP, menelpon komandan prajurit Ditya Satrutapa dan Ditya Satrutama untuk segera menemuinya
”He!, lu lagi ngapain ?”
Ditya Satrutapa bangun terkesiap!, ia segera mencari arah suara alarm HP yang berdering.
“Oh, kasinggihan gusti!”
“Lu segera ke sini, cepaaat !!” teriak Patih Pancatnyana lewat HP-nya
“Oh siap !! gusti” jawab Dityo Satrutapa sambil berlari
Tidak beberapa lama Dityo Satrutapa dan Ditya Satrutama sudah datang menghadap bersama ratusan prajurit.
“Wonten dhawuh manapa Patih”
“Iki begini, ... lu berdua kan selama ini belum pernah menunjukkan baktimu pada negara ta?”
“Maksudipun??”
“Seprana-seprene kowe sakaloron itu kan belum naik pangkatnya ta?, nah iki gusti prabu bakal mengadakan kenaikan pangkat bagi prajurit yang setia mendarmakan baktinya kepada beliau. Tidak tanggung-tanggung, bagi siapa yang berprestasi tinggi bakal mendapatkan pangkat yang tinggi, itupun masih ada syaratnya, yaitu bagi mereka yang tidak berkelamin ganda, atau tidak menjabat dilain tempat, atau telah memperoleh sertifikasi di tempat lain, kalau demikian berarti mereka telah berani menyaingi kekuasaan tertinggi di negeri ini, piye kowe sakaloron wis siap?”
“Wah lha ya siap ta Patih, terus tugas kami apa?”
”Kowe sakaloron tak kon ngrebut bojone Raden Samba, gawanen mlayu, sowanna marang Prabu Boma”
”Lho ???”
”Aja sumelang, gusti dhewe sing pingin ngersakake, arep digarwa. Bener dheweke ijik adik ipare, nanging Prabu Boma wis kandung gandrung kapirangu, mula kowe kudu bisa nyowanake. Yen kowe gagal taruhannya adalah jabatanmu. Kursimu bakal digantikan oleh orang lain, alias kowe bakal nampa pidana pemecatan, bareng karo para prajurit sing jumlahe ana 30 wong. Malah iki SK pemecatan kanggomu uga wis rampung disiapake, sak mangsa kowe gagal nindakake tugas iki, surat pemecatan langsung ndak kekne kowe…”
Ditya Satrutapa ndak begitu nggubris dengan gertak sambal yang tidak didasari oleh landasan hukum tersebut. Ia menganggap keputusan itu adalah keputusan liar. Keputusan pemerintahan tanpa kerangka.

Rabu, 11 November 2009

Senat di Sunat

Dalam pasal 30 dikatakan, Senat perguruan tinggi merupakan badan normatif dan perwakilan tertinggi pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Senat mempunyai tugas pokok:
1. merumuskan kebijakan akademik dan pengembangan perguruan tingi
2. merumuskan kebijakan penilaian prestasi akademik dan kecakapan serta kepribadian sivitas akademika
3. merumuskan norma dan tolok ukur penyelenggaraan perguruan tinggi
4. memberikan persetujuan atas rencana anggaran dan belanja perguruan tinggi yang diajukan oleh pimpinan perguruan tinggi
5. menilai pertanggungjawaban pimpinan perguruan tinggi atas kebijakan yang telah ditetapkan
6. merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik , dan otonomi keilmuan pada perguruan tinggi yang bersangkutan
7. memberikan pertimbangan kepada penyelenggara perguruan tinggi berkenaan dengan calon-calon yang diusulkan untuk diangkat menjadi Rektor?Ketua/Direktur perguruan tinggi dan dosen yang dicalonkan memangku jabatan akademik di atas lektor.
8. menegakkan norma-norma yang berlaku bagi sivitas akademika
”Wondene Senat perguruan tinggi dumadi saka, guru besar, pimpinan perguruan tinggi, dekan lan wakil saka dosen. Nanging aku dewe gumun, karo rektor la ya bendaramu dewe, ya anakku dewe Si Bomanarakasura, lha kok ya wani-wanine nerak angger-angger, nrajang hukum, ngilangi SENAT, rumangsa pinter dewe, kumalungkung, arogan kekuasaan, apa deweke pingin dadi penguasa tunggal, kaya jaman orde baru biyen?, iki perguruan tinggi lho Patih, panggonane wong ilmiah, aja mbok gawe kaya nalare bocah cilik wae. Apa rumangsamu yen Senat mbok ilangi terus kebijakan lan keputusanmu syah?, ora isa!!, bendaramu omongono, sadarna, bocah-bocah mahasiswa wis mangerteni kabeh akal buluse bendaramu, aja ditarungne antarane cecak karo baya, kabeh wis ora jamane maneh ana diktator sing ,kuasa, adigang, adigung adiguna. Piye Pancatnyana, kowe didhapuk apa karo Boma? ” Tanya Prabu Kresna saat bertemu dengan Patih Pancatnyana
”Kula pembantu raja (PR) ingkang kaping sekawan Prabu”
”Oh kowe dadi PERAWAN ta?, terus apa karepmu ngowah-owahi paugeran mau?”
”Senat menika namung ngriwuk-ngriwuki rencana pemerintahan Prabu Bomanarakasura , kemawon Prabu?”
”Naaa, ya iki contone raja sing crobo!!, cupet nalare, kumawasa, paranoid, ora ngrumangsani yen pakartine mau bakal ndrawasi, mbilaheni, mbebayani tumrap kaluhuran Universitas Trajutrisna, weee layak ta sak iki kampus iku ndak rasakne kaya usrek wae, jebul bendaramu wis pingin nggawe aturan dewe ta, pingin kondang ngasorake undang-undang negara,... wis ngene wae omongno bendaramu kon madeg dewe pemerintahan lan negara, metua saka Trajutrisna, aku lila legawa, ora apa-apa kelangan anak siji wae, tinimbang negarane rusak mung gara-gara wong sing cubluk lan rakus, luwih becik oncat wae” imbuh Prabu Kresna geram
”Nanging BPH kan sampun nyengkuyung ta Prabu?”
”Piye ???, kowe ki kok goblok temen ta Patih, pimpinan perguruan tinggi sebagai penanggung jawab di samping melaksanakan arahan serta kebijakan umum, menetapkan peraturan, norma dan tolok ukur penyelenggaraan pendidikan tinggi atas dasar keputusan SENAT, bukan BPH, apa lho lha wong BPH sak iki mung dadi Badan Pelana Harian, mung dadi tunggangane penguasa, malah ana sing njilma dadi Bos Proyek Harian, padahal tugas sing sak mestine mung dadi dewan penyantun sing diangkat oleh pimpinan PT mung nggo membantu memecahkan masalah perguruan tinggi, ora ana critane yen dewan mau nduweni wewenang sing ngasorake Senat, kecuali yen kowe sak kanaca rowang nggawe undang-undang dewe, kuwi ya embuh” tegas Prabu Kresna sambil menghela nafas, jengkel.
Patih Pancatnyana, atau Pencetnyana hanya menundukkan kepala. Dia kemudian berjalan gontai, menutup HP yang terdengar berdering ada SMS yang meneror dirinya.
”Nggih ngeten mawon Prabu, tiyang niku mboten wonten sing sempurna, mesthi teng pundi mawon kathah salah lan luputipun, lan kula mireng-mirengne njenengan niku namung ngonceki kelemahanipun Prabu Bomanarakasura, mbok sekali-kali panjenengan niku ngilo piyambak”
”Heh Pancatnyana!!, iki kritik kanggo pemimpin, iki nggo kepentingan umat, kepentingan kawula cilik, aja mbok kira iki mung nggo pejabat, oh luput tumrapingsun, elinga nalika Umar dadi kalifah, ”yen aku salah tulung ilingna karo pedangku iki”, lha kok iki ana wong sing ora oleh dikritik ???, dikritik wae ora gelem ngowahi, apa maneh yen ora dikritik????”, Prabu Kresna geram

Kamis, 29 Oktober 2009

Banjaran Samba Juwing Walaka niring Weweka

Caos uninga yekti, jatosipun kesagedan kula, dereng sepintena kathah ,teka gumagah purun, angrakit basa gitadi, dahat dera tan ngrasa, lamun maksih kuthung, walaka niring weweka, sepen kawruh cubluk tuna ing pambudi, cupet mring panggraita
Mboten sande kathah kang ngesemi, awit saking kathahing luputing tumindak, datan pakoleh tanduke, tyas berung kadlarung, kebat kliwat nora nyukupi, sasar kurangan nalar, lelabete tan antuk, ing wewulang prasarjana, kang wus putus mumpuni salwiring kawrin, marma sanget kuciwa .....

Begitulah pesan Prabu Kresna kepada Boma Narakasura anak kandungnya, yang intinya sampaikan dengan jujur bahwa sejatinya kamu itu masih miskin ilmu, akan tetapi nyatanya kamu itu keminter, kementhus, rumongso bisa. Hanya kelihatanya saja bahasamu dingin dan sejuk, lebih baik berterus terang, jentelmen, agar terhindar dari petaka, berterus teranglah kalau kamu itu sebenarnya masih bodoh dan belum mempunyai etika, tatakrama dan tepaslira. Tak pelak jika kamu memaksakan diri, maka banyak yang mencibir, sebab sudah terbukti banyak kesalahan yang telah kau lakukan, maka percuma yang telah kamu perbuat, malah akhirnya menjadi rusak berkepanjangan, dan akhirnya hati merana ,harapannya hampa, semua itu akibat karena nafsu serakah kebodohanmu, perjuanganmu sia-sia walaupun kamu telah mendapat aneka macam ilmu kesarjanaan, maka lihatlah semua orang kecewa yang mendalam....
Mendengar wejangan dari ramandanya, Prabu Boma Narakasura terbakar hatinya. Ia ndak terima dikatakan ndak becus mengurusi pemerintahannya, maka ia segera memanggil Patih Pancatnyana
”He Patih!!, segera kumpulkan seluruh kawula, prajurit dan pejabat negara, undang mereka ke gedung bundar kerajaan, katakan kepada mereka bahwa kerajaan ada dana seratus juta bisa digunakan untuk senang-senang, foya-foya, tamasya bersama seluruh keluarga dan pulang disediakan oleh-oleh komplit, dan baju seragam”.
”Lho kok kados lare alit mawon ta Prabu, menapa semudah itu mereka bisa merubah sikapnya, soale sampun kathah ingkang ngraosaken numpak motor iber, la mangke menawi namung numpak bis dateng Jogja, nopo sampun marem....??”
”Wis cangkemu menenga Patih, iki politik tingkat tinggi, utekku lagi bingung, pemerintahanku ora duwe program, bisaku ya mung iki, wis kamu nggak usah ngomentari perintahku, ayo segera laksanakan, yen perlu aku mengko ethok-ethoke arep menyatakan siap mengundurkan diri, terus bocah-bocah cilik kae tak kon podho nangisi aku” gertak Prabu Boma Narakasura yang aslinya berwatak pengecut dan brangasan.
”Oh pangapunten gusti, mbenjang menapa kula bidhal”
”Aja ndadak ngenteni tak pecat, sak iki wae enggal budhala” kata Boma Narakasura sambil menjambak rambut kepalanya Patih Pancatnyana.
Patih Pancatnyana segera pergi menjalankan tugas yang telah diamanatkan kepadanya. Dia segera memanggil sopir kerajaan untuk segera membagikan undangan kepada seluruh punggawa dengan membawa mobil Panther warna biru.
Memang!, Prabu Boma Narakasura akhir-akhir ini tengah menjadi pembicaraan banyak orang, lantaran perilakunya mirip orang yang menderita psikopat , suka menari di atas penderitaan orang lain, dan selalu menggunakan orang lain untuk memperoleh ambisi pribadinya. Tak heran jika pada suatu hari dia mengalami kegagalan, maka orang lain pula yang disalahkan. Bahkan tidak jarang mereka langsung dipecat, dan diusir dari kerajaan. Itulah sifat iblis yang dibawanya sejak lahir. Nggak perduli walau ayahnya seorang narendra gung binathara yang bernama Prabu Kresna sekalipun.
Dan kebetulan kali ini ambisinya adalah merebut isterinya Samba, adik tirinya lain ibu. Ndilalah Samba pada waktu itu sedang ndak ada di Kerajaan Paranggaruda. Sehingga nafsunya menggebu-gebu untu menculik adik iparnya.

Berkumpul Kembali

Kabut panas laksana membakar kulit di beberapa siang hari ini. Sementara malam terasa gerah memaksa keringat berbau apek menyembul keluar bak lumpur lampindo yang menebarkan aroma ndak sedap ke sekeliling ruangan. Sehingga seisi ruangan kamar tercium bau keringat yang amat menyengat. Sementara Ki Lurah Semar yang tengah berlari mengejar Bathari Durga harus lepas baju, lantaran hawa panas ndak kuasa ia tahan, sekujur tubuhnya gerontolan air keringat mengucur deras. Dalam hatinya risih juga, sebab ketika berangkat tadi dia ndak sempat pakai parfum pewangi. Baru saja terbang beberapa saat, matanya mendengar perempuan merintih kesakitan. Ki Lurah Semar ndak pangling dengan suara tersebut, ”Uh pasti suarane Durga itu, akan aku cari dia”. Semar segera menurunkan kecepatan terbangnya. Spidometer yang terpasang di tangan kanannya, jarumnya nampak melemah ke kiri. Ki Lurah Semar segera plilak-plilik mengawasi dan mencari arah suara berada.
”Nah ini dia !!!, munyuk-munyuk dakjal laknat ternyata di sini, He Dewa Srani, Permoni Durga!!!”
“Wonten napa Kiai?” jawab Dewa Srani sambil membalut kaki Mami Bathari Durga yang kesakitan kecantol kawat bangunan kampus Dhandhang Mangore
“Dersanala mbok balekne apa ora !!?”
“Pangapunten Kiai, kula sampun mboten mbekta pun Dersanala malih”
”Aku ora percaya karo kandhamu, heh Permoni, hayo ndang dudohna ana ngendi Si Dersanala, sepisan maneh yen kowe goroh oh awakmu bakal ndak mutilasi, mumpung iki ana Sarangan, hayo mbok uculne apa ora?” ancam Ki Lurah Semar sambil mendekati tubuh Bathari Durga yang terbaring lemah.
”Bener Kakang Semar, Si Dersanala mau ana kene, nanging iki mau digawa mlayu Si Petruk” jawab Durga jujur
”Awas yen omonganmu ora kena ndak percaya, oooh klakon Dhandang Mangore ndak obrak-abrik, ya yen ngono aku ndak nututi Si Petruk, wis urusana mamimu, gawanen nyang Puskesmas kana, obatana nganggo tintir, obat merah”
”Kasinggihan Kiai”

Semar langsung berlari meninggalkan Durga dan anaknya. Dia berlari ke arah barat, menuju Istana Ngamarta. Di sana sudah banyak para pembesar yang sudah hadir. Bahkan Wisanggeni sudah nampak juga di sana. Ki Lurah Semar segera tergopoh-gopoh memasuki halaman. Dia disambut oleh Dewa Resi dan Dewa Bagus.
”Aih...aih mbregegeg ugeg-ugeg sakndulita , eih bareng aku ketemu panas-panas ngene iki aku kok ora pangling karo kringetmu, eh Dewa Resi, Dewa Bagus, iki lakone wis meh tamat, hayo padha enggal cucula busanamu, aku ngerte kowe sapa saktemene”
”Lho kok cucul busana ke kepriye?”
“Kowe aja ndadak ethok-ethok ora njawani, aku ngerti kowe ki Nerada, lan anakku Kamajaya, hiya ta?”
Dewa Resi dan Dewa Bagus jadi tersipu malu. Akhirnya ketignya segera memasuki istana.
Di dalam istana konta menjadi lengang dan khidmat. Prabu Puntadewa, Prabu Kresna, Werkudara, Janaka, Nakula dan Sadewa nampak duduk menununduk menghormati kedatangan Resi Kanekaputra alias Narada, Dewa Kamajaya, dan Dewa Ismaya alias Semar. Prabu Puntadewa nampak girang sekali, dia segera merangkul ketiganya.
”Iki to the point saja ya ngger putuku kabeh, dahuru atau musibah yang dialami oleh Ngamarta saat ini udah berakhir untuk sementara waktu,dan Si Janaka wis kasil mboyong bojone karo anake sing lahir ndik Kawah Candradimuka, malah ndek mben wis ulun paringi tenger lengkap karo surat akte kelahirane pisan, yaiku Raden Wisanggeni. Mula gandeng tugas ulun wis paripurna, ulun bakal munggah Kahyangan, lan aja lali suk yen jeneng kita nyunatne utawa ngrabekne, ulun dikabari lho, nganggo SMS wae, wah ulun mesti bakal melu mangayu bagya, wis ya, padha andum basuki, ulun ma kahyangan”
Para hadirin segera menghantar keluar menuju tempat terbangnya dua dewa tersebut. Mereka kemudian melambaikan tangannya. Sementara Prabu Kresna segera mengambil alih pembicaraan
”Dhumateng para ingkang sami lenggah, inggih kanthi tumuruning Sang Wiji Sejati menika, ingkang badhe anjejegaken dhateng para bebrayan ingkang nedheng sami kalimput inggih kanthi lairipun anak kula pun Wisanggeni punika badhe saya amimbuhi kekiyataning Praja Ngamarta, lan yayi Arjuna inggih sampun makempal malih kalian garwanipun, nun inggih Bathari Dersanala. Purnaning atur kathah kalepatan-kalepatan kula, mboten langkung tansah nyuwun gunging samodra pangaksami, kanthi asesanti jaya-jaya wijayanti sepisan merdika tetep merdika salamiya. Tammat

Ratu Crobo

Sejak Dewa Srani mendapatkan surat pemecatan dari penguasa kahyangan, Dewa Srani memilih diam di rumah menemani maminya. Cita-citanya ketika mbalik di rumah hanya satu yaitu memiliki Dewi Dersanala. Untuk itu setibanya di rumah ia segera merayu Dewi Dersanala.
“Dersanala garwane pun kakang , wong manis , ayo manuta ndak gendhong, penak ta, ayo tak emban, manuta ayo ndak pondhong wong ayu, tambanana brantane pun kakang nimas”
“Dewa Srani … Dewa Srani, yen nganti kulitku kena mbok senggol, oh bakal tak beset tak tambal nganggo lulang asu”
“Dersanala, paribasan sira iku iwak kang kecemplung wuwu, mokal yen bisa obah mosik, lan dina iki sira bakal ndak perwasa”
Tanpa disadari oleh Dewa Srani, bahwa Petruk sudah berada di dalam rumahnya. Dengan secepat kilat Petruk segera menculik Dewi Dersanala , membopong dan berlari seperti halilintar. Kontan Dewa Srani hanya ndomblong kami tenggengen, melihat Petruk menyahut wanita yang ada di depannya. Ia kemudian hanya bisa berteriak memanggil maminya yang tengah melihat sinetron di ruang tengah
“Mamiii, mammiiiiiii ketiwasan mamiii”
“Ada apa anakku ngger kok teriak-teriak !!?”
“Wah ketiwasan mami, Dersanala dibawa lari Petruk”
“Haa ???, wis aja nangis ngger, mami sing bakal nututi, he Petruuuk aja mlayu, aku sing bakal mateni kowe!!!” teriak Durga sambil terbang mengejar Petruk
Baru saja Durga terbang beberapa saat, di depan sudah dihadang oleh Kiai Ismaya alias Ki Lurah Semar
“He…Durga !!, ning ngendi Dewi Dersanala, ayo balekna !!”
“Wah kasep kowe Kiai, Dersanala wis kadhung ndak daupne karo Dewa Srani”
“Oh keparat kowe Permoni, nyoh tampanana entutku, dhuuuuuuuussssssss”
Bathari Durga terpelanting jauuuh sekali hingga terjatuh di lokasi proyek Plasa Kampus Universitas Dhandhangmangore. Bajunya robek tersangkut besi cor, sedangkan badannya tersangkut rangka besi untuk panjat dinding yang tengah dibongkar. Nyaris sekojur tubuhnya lebam membiru. Suaranya parau, nafasnya tersengal-sengal. Dan tidak beberapa lama regu cleaning service mengusap mukanya dengan kain pel yang dibawanya.
Sementara itu di Kahyangan Suralaya, Bathara Narada tengah berbicara serius dengan Bathara Guru pada acara halal bi halal.
“Adhi Guru, Agama Ageming Aji. Agama dalam pandangan orang Jawa sama dengan pedoman atau ageman yang berarti pakaian. Aji artinya raja atau mulia. Warga negara yang mulia tentu akan memperhatikan ajaran agama, ajaran leluhur sebagai yang tertera dalam Kitab Suci. Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan martabatnya. Prinsip kepemimpinan terhadap orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Mereka inilah ynag membuat pemimpin menjadi aji 'berharga'. Orang itu kalau banyak omongnya, pinter omongnya kebanyakan adalah pinter bohongnya. Terus terang saja, aku sekarang ini ikut mananggung malu atas ulah rector Universitas Dhandhangmangore terutama kecerobohannya dalam ambisi kepemimpinannya. Gagal dadi assessor, iki malah mbangun asesoris. Rencana lama durung dileksanaake malah ngambyawara nggawe lingseming para kawula. Terus nggo apa miniature sing wis kadhung dipajang ing kotak kaca kae, yen ora kanggo mbok tak gawane mulih wae, kena nggo akuarium . Lha yen pancen ora enthos aja kementhus, iki kurbane ora mung wong sawiji nanging uga lembaga, lan seluruh warga. Lan Adhi Guru aja lempar batu sembunyi tangan, iki mutlak kesalahane Si Rektor Durga Ratu Crobo. Untuk itu aja mung Si Srani sing dipecat, mutlak si Durga uga kudu lengser, terbukti kesalahan-kesalahan liyane wis katon ngambyawara, lha yen Adhi Guru mung bengong wae, terus bakal dadi apa kampus iki mengko, sampeyan itu kan menjabat BPH ta ?”
“Wis kakang Kanekaputra, aku dewe ngrumangsani yen peranku dadi BPH mung terbatas dadi Badan Penghibur Harian, Badan Pengikut Harian, dan Badan Pengamat Halaman, umurku wis tuwa nggo apa lha kok ndadak mikir abot-abot, biarlah rector kreatif bongkar-bongkar kampus sesukanya”
“Wah yen pancen kaya mangkono, mangsa boronga adhi Guru, aku tak mbalik ndik Pangudal-udal wae….wis Adi Guru…andum basuki…”

Jumat, 02 Oktober 2009

Dana Alokasi Kanca-kanca (DAK)

Hiruk pikuk bangsa Wayang begitu menggema saat mendengar keputusan sidang itsbat yang menetapkan keberadaan rembulan, sehingga lebaran bisa ditetapkan secara pasti. Memang yang satu ini senantiasa menjadi titik ‘perawan’ yang seringkali menimbulkan rangsangan birahi pertengkaran antara bidang sensitive yang tidak jarang melahirkan jurang-jurang perpecahan antara umat satu kitab, satu tujuan, dan satu Tuhan. Secara nalar memang menggelikan, bayangkan, di bulan yang lain, nggak pernah diributkan tentang jadual sembahyang, kalender bulanan, kalender tahunan, kalender pasaran, wuku, dan sebagainya. Padahal semua itu berdasar hitungan-hitungan. Sekarang yang menjadi pertanyaan, jika tanggal satu lebaran berubah, apakah secara serta merta tanggal-tanggal yang ada di kalender tersebut tidak berubah total?. Ternyata sampai saat ini wayang-wayang yang mengaku pakar ngelmu planet , tidak pernah mengadakan perubahan itu. Intinya bulan Syawal dengan bulan yang lain berbeda. Bulan ini hanya bisa dihitung berdasarkan kesaksian belaka, sedangkan bulan yang lain ya terserahlah. Mereka tidak pernah memasalahkan, meributkan, apalagi berselisih kemudian mengadakan perubahan tentang itu.
Sekarang adakah yang mau berpikir praktis, efektif, efisien, padahal setahun sebelumnya gerhana bulan saja bisa dihitung, kenapa bulan yang satu ini, sering dituduh mengingkari janji?, mungkinkah ada pihak-pihak yang tidak legawa dengan kecanggihan ilmu pengetahuan modern?. Jawabnya ada di kotak kuno yang menyimpan fosil-fosil tulang-tulang dan kitab-kitab peninggalan jaman batu tua. Bukalah dan cari sendiri kunci jawabanya. Wariskan ngelmu kontradiksi, dan ajarkan kekerasan untuk menentang ngelmu modern, sehingga generasi muda nanti lebih brutal menyikapi setiap perbedaan.
Kita tinggalkan dulu para pemabuk kekuasaan yang tengah gentayangan di negeri Kurukasetra tersebut. Sekarang kita kembali meniti langit singgah di kawasan Dhandhang Mangore meliput kejadian ndik sana.
“Dersanala garwane pun kakang, wong manis, ayo manuta Dewa Srani, ndak emban, ayo cah ayu ndak pondhong, jangan kuwatir kamu kelaparan, aku wis nyiapne rumah gedong magrong-magrong, olehku lumpuk-lumpuk saka Dana Alokasi Khusus, hayo cah ayu tambanana brantane pun kakang nimas..” pinta Dewa Srani merayu.
“Oh, keparat Dewa Srani, yen nganti kowe cilike nyenggol kulitku, gedhene mbeset kulitku, oh aku bakal lapor nyang komnas HAM, apa maneh kowe nawani aku Dana Alokasi Kusus, oh sorry Srani, bandamu mau ora kalal, mokal yen kowe bisa menehi aku barang karam, barang olehe mbajing, titenana kabeh mau bakal ndadekne penyakit” ancam Dewi Dersanala
“Ha … haa…, ning nggonku DAK iku wis lumrah nggo bancaan para pejabat. Mulai bupati, DPRD Tingkat I, II, Diknas dan UPDT, kabeh mau kan ya ngetokne jasane ta cah ayu…, dadi wis wajibe yen para petugas datang kerumah-rumah jemput bola nyambangi para kawula sing wis entuk dana mau banjur asok glondhong pangareng-areng, wis ta laah, kowe ora susah mempermasalahkan itu . Percuma, wong wis dadi khalal kok. Sing penting hayo sekarang manutlah…Lan mangertiya ya Dersanala, paribasan sira iku iwak kecemplung wuwu, kowe wis ora bisa obah maneh”
Belum selesai Dewa Srani merayu, tiba-tiba dari balik pendapa pertamanan, muncul Ki Lurah Petruk menyahut tubuh Dewi Dersanala, berlari secepat kilat meninggalkan Dewa Srani dan Bethari Durga. Keduanya tercengang tidak percaya, melihat kejadian yang cepat itu
“Oh keparat kowe Petruk, hayo ndelika nyang endi wae aku bisa nggoleki kowe, wis ayo ngger andum gawe, kowe mlayua ngetan, aku ndak mlayu mangulon” teriak Dewi Durga sambil melesatkan tubuhnya.
Namun baru saja terbang dengan ketinggian dua ribu kaki, tiba-tiba di depannya sudah ada Kiai Semar yang menghadangnya
“Eh Durga, ngakua ana ngendi Bathari Dersanala sak iki !!”
“Eh keparat Semar elek kaya telek, Dersanala wis kebacut tak daupake karo anakku lanang Si Dewa Srani, kowe arep papa?”
“Aih !, pancen kowe ki dewi keparat, jajal laknat, oh klakon ndak mutilasi kowe”

Gending sampak bertalu riuh. Kiai Semar segera menjambak rambut, dan menghajar habis-habisan tubuh Bethari Durga. Dewi Durga nampak babak belur. Pipinya lebam, giginya banyak yang tanggal, bajunya robek separo. Untung baju yang bagian belakang, sehingga hanya nampak seperti sundel bolong.
Tidak puas dengan yang begituan, Ki Lurah Semar terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya, kentut Lumpur lapindo
“Nyoh tampanana, kentutku Durga…. Nyuuuuuuuuusssssss”
Dewi Durga terpelanting kurang lebih satu kilometer jatuh di depan Dewa Srani. Kentut Ki Lurah Semar padahal tidak bersuara keras, tapi daya jelajahnya dan baunya ampun-ampun…..dahsyat booo..

Selasa, 15 September 2009

Diskualifikasi Wahyu Kanarendran

“Hati-hati bagaimana?, lha wong aku sudah mantap dengan Dewi Dersanala kok”
“Bukan masalah itu ngger, wis pokoknya kamu jangan cemas. Bagi mami, tidak ada istilah hati-hati, ragu-ragu, yang penting maju terus entah bagaimana nanti jadinya. Bethari Durga bisa meperoleh dengan segala cara. Tidak ada kamus menyesal. Yang penting kita jalan dan jangan menengok kiri kanan, pokoknya rawe-rawe rantas malang-malang ayo diputung, memang aku takut apa sama Semar, wis ngger ayo jalan terus !!”
Dewa Srani menjadi semakin bingung dengan kata-kata yang diucapkan maminya. Ia sendiri ndak mudeng dengan perilaku papa dan mamanya. Ayahnya terkenal dengan suami takut istri. Sedangkan dirinya terpaku menjadi anak dewa yang cengeng, dan ndak bisa mandiri. Sementara ibunya adalah dewi rakus yang ingin menguasai rejeki orang lain. Ia selalu menanamkan kecurangan , keculasan, apus-apus, kepura-puraan, dan kemunafikan. Tidak jarang para manusia dan dewa-dewa tergiur ke jalan yang sesat, setelah mendapatkan wejangan dari mami bethari. Bahkan belum lama ini Kahyangan Suralaya tengah mengadakan sertifikasi untuk meningkatkan profesionalitas kalangan satriya di Mayapada. Mami Bethari tahu kalau satriya yang sudah memperoleh sertifikasi bakal menerima gaji yang tinggi, oleh karenanya beliau menyarankan agar aku mengikuti sertifikasi ksatriya
“Wis ngger pokoknya kamu ikut saja, nanti aku yang bakal ngakali”
“Tapi mami ? aku ndak punya kelengkapan yang memadai”
“Oalaaah ngger, itu barang yang sepele, sudahlah percayakan pada mami. You kan tahu ta, siapa mami” jawab Bethari Durga sombong
“Iya, ya. Mami kan rector universitas Dhandhang Mangore”
“Naaa, kamu mulai cerdas sekarang. Ora rugi mama nyekolahne kowe nganti S3”
“Terus pripun niki mangke?”
“Ngene ngger anakku Srani, ini kebetulan, Universitase mami entuk kapercayan dadi mitrane asesor Sang Hyang Wenang, oleh karena itu amrih nggancarne lakumu nggayuh profesi kesatriyan, jeneng kita ulun dandani dadi asesor mewakili universitase mami, nyoh iki tampanana nomer induk asesor saka ulun”
“Lho mami, aku ini kan dewa ta, apa ya bisa dewa menjelma menjadi kesatriya manusia?”
“Srani kowe kok mbalik cengoh, eh goblok. Mangertiya ya ngger ulun iku lulusan Aper jurusan bedah plastic, dadi yen mung nyulap kowe dadi satriya sing melu sertifikasi kae garapan gampang. Ulun mung pingin mbales budi marang kowe dene kalenggahanku ing UNDANG (Universitas Dhandang Mangore : red) awit saka perjuanganmu. Ulun eling mula sakwuse ulun entuk panguwasa, iki ngger ana jabatan menggiurkan ‘asesor sertifikasi’ tampanana…”

Bathari Durga dan Dewa Srani tidak mengira kalau percakapannya diintai oleh Bathara Narada. Kontan semua percakapannya masuk dalam rekaman tape recorder Sang Kaneka Putra. Pagi itu juga Sang Narada bergegas terbang menuju pusat penyelenggara sertifikasi Rayon Alang-alang Kumitir, tempat Sang Hyang Wenang berada.
“Iki ndak waspadakake kaya titah ulun Kanekaputra”
“Ouwww… pak-pak pong sertifikasi lowong nggo rebutan wong, ainjih leser, eh leres pukulun. Inggih kula-pun Nerada ingkang sowan tanpa tinimbalan, pangapunten pukulun…”
“Hiya Narada ora dadi apa. Mula enggala aturna apa wigatinira, sowan tanpa tinimbalan”
“Inggih waleh-waleh punapa sepindah, titah paduka ngaturaken kasugengan, ingkang kaping kalih kula ngaturaken ruwet rentengipun perkawis sertifikasi ingkang paduka wontenaken”
“Kepriye larah-larahe?”
Bathara Narada segera menceritakan kisahnya. Tidak beberapa lama Sang Hyang Wenang segera mengeluarkan secarik kertas lengkap dengan tulisan, stempel dan tanda tangan.
“Wis ngene wae Nerada, sira ndak usah kuwatir, iki ulun maringi surat diskualifikasi marang Si Dewa Srani. Lan mulai dina iki aku putus hubungan diplomatic dengan Universitas Dhandhang Mangore saklawase. Awit Si Durga wis mblenjani janji. Ternyata jabatan yang aku berikan hanya untuk bagi-bagi kekuasaan dengan kroni-kroninya. Rupa-rupanya sifat pembohongnya tidak juga hilang…”
“Wah sokor pukulun, menawi ngaten kula umumaken dhateng nginternet mawon”
“Oh iya Narada, aja nganti kedoliman iki ngambyawara, mesakne para kawula, yen isa Si Bathari Durga uga pecaten, aja mung Si Srani, nyoh iki uga Ulun titip surat pemecatan kanggo sakarone”
“Alkamundulilah ….”

Janaka Gendhong

Ki Lurah Semar segera duduk ‘nglesot’ menemui Raden Janaka. Sementara Ki Lurah Petruk menjauh menuju bawah pohon trembesi yang rindang. Ia tengah menikmati lantunan lagu-lagu hadrah dan santapan rokhani, sambil menanti buka puasa tiba.
“Arep ndongeng apa kakang?”
“Nggih Gus, sampeyan mirengke nggih”
“Suatu hari, ketika panjenengan tengah memadu kasih dengan garwa panjenengan, tiba-tiba datanglah utusan Bathara Guru yang menghadap, untuk mengantarkan surat perintah yang isinya bahwa Dewi Dersanala harus menghadap Pikulun Bathara Guru tanpa harus didampingi oleh suaminya… Sebuah surat perintah yang mencurigation, atau sangat mencurigakan. Dan sampeyan pasti ndak ngerti dengan semua itu, inggih ta?”
“Benar kakang, aku benar-benar ndak paham dengan itu semua”
“Begini nggih den, sejatinya panjenengan niku ajeng dipegatne kalian keng garwa Dewi Dersanala. Awit menurut alasannya, seorang manusia ndak boleh menikah dengan bangsa dewa. Kuwalat, dan menyalahi undang-undang kadewatan. Itu hanya alasan yang dibuat-buat saja, tetapi sebenarnya adalah, ketika itu Bathara Guru sedang diprotes oleh istrinya Si Bathari Durga, kenapa Bathara Guru telah berbuat ndak adil dengan anaknya sendiri Si Dewa Srani , malah dewekne lebih memperhatikan Janaka, makhluk berbeda yang berada di luar structural kadewatan. Dia dinikahkan oleh Bathara Brama dengan anaknya yang bernama Dewi Dersanala. Padahal gadis kinyis-kinyis itu telah ditaksirnya sejak SD, eee.. lha kok ujug-ujug dinikahkan dengan Janaka, edan piye, “Anak pukulun kan masih jomblo ta pikulun?, kenapa sampeyan membiarkan Janaka menikahi Si Dersanala, itu namanya ndolim, ndak adil, alias panjenengan menika mban cinde mban siladan, pilih kasih, padahal nuwun sewu lho, Janaka menika kan bangsa manusia, apa nanti pukulun ndak dikutuk Sang Hyang Wenang, cobi ta menika panjenengan galih, malah sak menika putra Paduka mboten purun sekolah, menika rak malah nambahi ruwet rentengipun Suralaya?”
“Iya Permoni, aku khilaf. Yen ngono piye karepmu?”
“Pokoknye Si Janaka harus dipaksa cerai dengan Si Dersanala, jangan sampai telat sekarang juga ia harus dipanggil paksa. Sebab kalau telat, salah-salah dia telah hamil duluan” pinta Dewi Durga memaksa.
Bukan rahasia lagi kalau Bathara Guru adalah anggota suami-suami takut istri, oleh karena itu, ketika dia mendapat tekanan yang mematikan dari Dewi Durga, dia langsung bertekuk lutut tersungkur di bawah anderoknya. Nggak peduli bau kecut, penguk dan asem. Pokoknya Bathara Guru ndak bisa berkutik dan akhirnya menuruti kemaluan eh kemauan istrinya. Dia kemudian membujuk mertuamu Dewa Brama untuk mengurungkan pernikahanmu. Awalnya Brama ndak mau menuruti kemauan ayahndanya, tetapi karena Bathara Guru ngancam akan mencopot jabatannya, maka Brama akhirnya luluh juga. Naaah, ketika Dewi Dersanala dipanggil keluar dari kamarnya, dia menjelaskan dan menolak ide gila ayahnya untuk bercerai. Dia bilang kalau sekarang telah berbadan dua. Mendengar keterangan yang mengagetkan itu, seketika Bathari Durga naik pitam, kemudian Dersanala diculik dibawa terbang.
Kira-kira satu jam kemudian perjalanan itu telah sampai di atas kawah Candradimuka. Maksudnya Durga adalah mengaborsi jabang bayi agar orok tersebut mau keluar dn akan dilenyapkan di sana. Akan tetapi takdir berkata lain, jabang bayi yang keluar itu ternyata menjadi bocah yang sakti, tampan dan cerdas. Bayi itu berhasil saya rawat. Karena dia besar di dalam bara api, maka bayi itu aku beri nama Raden Wisanggeni
“Oh, kakang ….”
“Betul ndara, Wisanggeni ini anak sampean”
Raden Janaka berlari dan memeluk, mencium Wisanggeni dengan hangatnya.

Ketemu Bapa

Aih inggih, leres ndara, lha niki wau ajeng tindak pundi, lha kok ketingal kesesa nitih sepeda motor ngebut”
“iya Kakang, aku arep nyekel teroris yaiku pawongan sing ngganggu ketentremane Negara Ngamarta”
“Mbah !, siapa orang ini, orangnya bagus tapi kelihatan emosian, apa ini juga temannya Bathara Guru ?” sela Wisanggeni
“Aih… aih mbregegeg ugeg-ugeg sak ndulito hemel…hemel, aih ya iki kang aran
Raden Janaka, satriya panengah Pandawa”
“Melu rombongane Bathara Guru ora, yen melu kandhakna pisan, mengko bakal ndak jotosi, ben bangka pisan, iya mbah melu ora deweke?”ancam Wisanggeni
Raden Janaka bertambah merah wajahnya. Ia curiga pastilah anak inilah yang dimaksud teroris Wisanggeni M Top, seperti yang dilansir oleh media cetak, dan selebaran yang sudah beredar di kalangan masyarakat luas
“Kakang Semar, siapa anak kecil ini, sepertinya kok ndak pernah diajari sopan santun, dan tata karma. Sepertinya anak inilah yang dimaksud teroris itu. Kalau begitu kebeneran, aku bakal ngrangket, dan bakal aku masukkan penjara…”
“Aih… inggih leres, inggih menika lare ingkang ndara padosi. Nanging sakderengipun jengandika ngrangket lare punika, keparenga kula bade ndongeng langkung rumiyin, mangke menawi sampun cekap, monggo kersa lare menika kula pasrahaken paduka”
“Piye mbah, apa wong iki wis isa ndak jotosi?”
“Aih, sabar ngger…sabar, mengko wae jotosono sak karepmu menawa wis rampung anggonku ndongeng”
“Oh iya, yen ngono ndongenga dhisik, aku ndak latihan jotosan dhisik”
“Pripun ndara, menapa kula kepareng ndongeng langkung rumiyin?”
“Iya Kakang, ingsun bakal mirengake dhisik”

Selasa, 18 Agustus 2009

Rintisan Sekolah Bergaya Internasional (RSBI)

Internasional selalu identik dengan westernisasi. Yaitu budaya barat yang diadopsi oleh bangsa Mayapada sebagai sebuah symbol kemajuan, kemodernan, dan kemutakhiran. Mereka tidak terasa bahwa dirinya digiring pada sebuah konsep mati rasa, liberal, cinta dunia, glamour, boros, egois, sombong, arogan, dan atheis. Walau tidak semuanya setuju, tetapi kebanyakan penduduk di Mayapada ini telah terkontaminasi idiologi dangkal yang menjerumuskan mereka dalam kurungan akal semata. Tidak terkecuali dengan dunia pendidikan di sana. Kepala sekolah – kepala sekolah telah larut dalam arena ambisi mendapatkan kasta internasional, dalam rangka menaikkan pangsa pasar, nilai jual, nilai tawar, pamor dan nilai pendapatan. Imbasnya adalah aroganisme dan premanisme pendidikan yang mengarah ke prostitusi bangku kelas, dan selingkuh dengan kaum berpunya kemudian menguasai sendi-sendi pendidikan lewat jalur-jalur yang tidak benar. Jargonnya‘Yang penting mbayar’, artinya semakin mbayarnya tinggi, maka kemudahan-kemudahan itu bakal didapat.
Begitulah fenomena RSBI sedikit banyak akan menaikkan gengsi sebagian masyarakat yang syndrome dengan kekuasaan, kasta, dan harga diri. Hal ini tentunya akan mengingatkan kita pada zaman Hindia Belanda dulu. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi social yang ada dalam masyarakat. Pendidikan hanya diarahkan untuk membentuk golongan elite social untuk menjilat penguasa, dasar pendidikannya menggunakan pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan Barat. Sementara lulusannya hanya sebatas tukang nyari pekerjaan, bukan pencipta lapangan pekerjaan. Tumpul dan tidak mandiri.
Bermula dari hal demikianlah, politik adu domba, pecah belah, dan diskriminasi social muncul dengan wajah baru, dalam bentuk strata social. Warga masyarakat pinter dan miskin tergusur begitu mengenaskan, ‘ngenger’ di sekolah swasta dengan kondisi serba miskin luar dalam. Ujung-ujungnya hanyalah kuli batu atau sopir angkutan dengan gaji yang tidak pasti.
“Prabu Kresna, Werkudara, Gareng, Petruk dan Bagong ana wigati apa dene sira sowan mrene!?”
“Lho sampeyan kok sudah ngerti nama kami Panembahan???” Tanya Gareng keheranan
“Wooo, kowe ki ya goblok kok Reng, Panembahan Dewa Resi itu gurune The Master, maka dia ya tahu dengan kita” jelas Petruk mengingatkan
“Wah ya ora no Truk, Panembahan itu mengenal kita, karena kita itu orang terkenal. Seperti Gareng itu kan wajahnya mirip teroris, jadi orang mudah mengenalnya. Durung kaya kowe kuwi lo Truk, kowe kan Rektor, jadi akeh wong sing ngenal. Sebab kowe seneng mlebu Koran mamerke prestasimu. Dene aku terkenal sebab aku dadi asesor sertifikasi guru, dadi ya akeh sing ngenal..” jelas Bagong bangga
“Wis Bagong, padha menenga dhisik ya, Prabu Kresna arep ngendika dhisik. Piye Prabu Kresna?”
“Panembahan, dene wigatine sowanku mrene saperlu bakal nyuwun sanjata pitulunganmu panembahan, rehne praja Ngamarta ing wektu iki ketekan teroris Wisanggeni M Top, ingkeng soroh amuk mbledhosne losmen, hotel, motel, lokalisasi, kasino, sing wis dadi sumber kesenengan para pejabat lan kaum berduit…”
“Lha apa para anak-anak Pandawa wis ora bisa mbrastha ???”
“Wah ora sumbut karo gembar-gembore panembahan. Jare ngono ya wis wani ngukuhi. Pokoke sakdurunge puasa Wisanggeni M Top wis bisa kecekel. Weladalah jebule mak buuuussss. Bareng ngepung sawijining ngomah, dor …dor … mung isa mateni tikus siji. Ngono wae wis ketara ora professional. Entek-entekane omahe warga rusak”
“pancen Wisanggeni niku lare top, kok sinuwun. Lha wong ing atase wong siji mawon lha kok saget ngobrak-abrik Ngamarta, niku menawi mboten tiyang top mboten mungkin lho” sela Petruk polos
“ Nek jane ngono Negara Ngamarta iku aman-aman wae, ananging gandeng Bathara Guru iku ndelik ana Ngamarta mula ing kana dadi kacau kaya sing sak iki kuwi. Wis sak iki ngene wae Prabu Kresna, rehne Si Janaka iku wis ana kene, mula aku bakal ngutus supaya deweke nyekel Si Wisanggeni kae, kinen dirangket dijeblosne pakunjaran awor karo ketua KPK, bupati, anggota dewan lan para pejabat kang kesangkut pidana korupsi kae. Mbok menawa kanthi srana iki lelakon bakal pulih kaya wingi uni. Wis Janaka, sira aja ndadak kesuwen, enggal budhala, sergap si teroris, mengko ndak kanthi pasukan densus 76 super…”

Kamis, 23 Juli 2009

Raja Rakus

Gending Sampak bertalu menggema seperti flu babi yang tengah naik daun mengotori otak dokter yang sedang keblinger. Sementara gongso Kiai Guntur madu menggelegar seperti ledakan bom teroris yang memekakkan telinga orang-orang yang lengah dengan kemaksiatan. Raden Werkudara nampak berjalan tertatih-tatih menahan sakit lantaran pahanya abuh terkena tendangan maut Wisanggeni. Demikian juga hal nya dengan Raden Gathutkaca juga tidak bisa menandingi kesaktian Raden Wisanggeni. Sayapnya rusak, baling-balingnya nggak bisa berputar . Raden Gathut jatuh menimpa rumah penduduk. Ia merupakan sekian wayang terbang yang mengalami gagal terbang lantaran sayapnya terkena virus ’gebyah uyah’ flu babu eh flu babi.
”Dhimas Werkudara lan sira ngger Gathutkaca, berhubung kalian ndak bisa menangkap gembong teroris Wisanggeni, ayo sira yayi Werkudara ikut bersamaku mencari bala bantuan, dene sira kaki Prabu Gathutkaca ndak beri amanat reksanen, jaganen keamanan Universitas Ngamarta kene. Lan ing dina Soma Manis iki, sira ndak lantik dadi PJS Rektor Universitas Ngamarta, mangsa borongo, anggonmu milih kroni lan pendamping murih tugasmu bisa lancar ”
”Waaa, iya jlitheng kakangku, hayo ndak derekake, lan kowe Gathut, reksanen amanat sing wis mbok tampa. Aja nganti kowe nguciwakne rama, elinga lelakon nalika kowe dadi LSM biyen, kowe sering nganakake proyek-proyek fiktif, sering njegali prestasi kancamu, sering berbuat curang lan culas, awas yen mbok baleni, kowe ndak udet-udet wetengmu, eling-elingen iki ...”
”Nuwun inggih Wa Prabu, inggih kasinggihan Kanjeng Rama”

Gending Ayak-ayakan segera mengiringi kepergian Prabu Kresna dan Raden Werkudara. Mereka pergi ke arah barat menuju negeri Madukara, tempat Raden Janaka tinggal.
Sementara itu sepeninggal Prabu Kresna dan Raden Werkudara, Universitas Ngamarta nampak kacau balau. Prabu Gathutkaca dan kroni-kroninya ternyata bukanlah orang yang ahli dibidangnya. Mereka hanyalah sosok-sosok ambisius yang gila kekuasaan dan jabatan. Mereka tidak mengerti administrasi, mekanisme struktural, dan menejemen kepemimpinan. Mereka menggunakan politik belah bambu, anak buah diinjak-injak, kepalanya menyembah penguasa di atasnya. Mereka hanya mencari keuntungan pribadi. Terbukti, setiap kegiatan yang menguntungkan dirinya selalu dikuasai, dan dibagi dengan semua kroni. Jabatan rektor baginya adalah sarana untuk menguasai jabatan yang lain. Karakter aslinya sedikit-demi sedikit terkuak. Sifat serakahnya mulai merekah. Rektor, pembantu rektor, baginya masih kurang populer. Kini assesor menjadi media penambah pamor. Ibarat team sepakbola, Universitas Ngamarta telah berubah menjadi kesebelasan anekdot bola. Seorang pelatih yang mestinya hanya memimpin di luar lapangan, kini ia bersama asisten, dan menejernya ikut berlaga dalam sebuah pertandingan betulan. Penonton bersorak-sorai, hiruk pikuk, riuh rendah. Rektor menepuk dada, mengira bahwa mereka mengelu-elukan dirinya. Tak tahunya mereka menertawakan kelakuan pelatih yang tidak tahu diri.
”Nuwun sewu niki mangke pripun nasibe universitas ?” tanya Petruk tiba-tiba
”Wis kowe kabeh aja sumelang. Awake dewe ini kan PNS ta, dadi menawa kampus iki rusak, nasibe awake dewe ora bakal kena pengaruh, awake dewe tetep aman dibayar negera. Wondene jabatan assesor iki idep-idep nggo makili universitas”
”Wooo mewakili kok duwite dipangan dewe, mestinya duwite ya nggo universitas” ujar Bagong ketus
” Hus...lambemu menenga wae Gong, kowe manuta karo ndara Gathut, ndara iku pakare yen mung ngakal-ngakali amrih slamete awake dewe iku. Biyen nalika dadi LSM, isa tuku mobil, isa gawe omah, lan isa nyukupi kebutuhan keluarga, lan tetep aman slamet, ka ngendi duwite ?, la ya saka pintere ndara Gathut ngeguhne dana. Mula gandeng aku iku paham karo beliau mula aku didadekne bendahara kampus, kowe Kang Gareng dadi PR satu, Bagong PR tiga, lan iki awake dewe oleh kanugrahan maneh dadi asesor sertifikasi, hayo...kurang apa nikmate”
Gareng yang mendengar wejangan nampak cengengesan bingung dan ndak mudeng . Dia nampak enjoy saja mendengar wejangan Ki Lurah Petruk Kanthong Bolong. Dia manthuk-manthuk sambil ngantuk dan tetap tidak paham dengan tugas yang diberikan itu.

Gending slendro manyura perlahan-lahan mulai senyap. Nampak di pendapa Padepokan Resi Dewa Bagus, Raden Harjuna tengah mendengarkan wejangan Panembahan Dewa Resi tentang Personality Quotient . Beliau menjelaskan bagaimana seseorang itu mencapai kecerdasan kepribadian agar dicintai Tuhan dan manusia semuanya. Raden Harjuna nampak manthuk-manthuk, paham dengan materi yang disampaikan.Raden Harjuna kemudian mencatatnya pada Laptop bekas yang baru dibelinya dari kepala kampus beberapa hari yang lalu. Tidak beberapa lama, tiba-tiba dari luar telah hadir Prabu Kresna dan Raden Werkudara memasuki ruangan panembahan. Panembahan Dewa Resi segera menyambut kedatangannya.

Sabtu, 18 Juli 2009

Kamis, 16 Juli 2009

Wabup Bilung

KiSetyoHandono


Betapa malangnya nasib bangsa Ngastina setiap lima tahun sekali. Pemilu yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat selalu diwarnai oleh prktik-praktik culas, apus-apus, pertikaian, politik uang, hingga terpilihnya tokoh yang ndak memiliki kompetensi di bidangnya, alias politikus ’blo’on’ yang miskin ilmu dan hanya kaya pergaulan dengan masyarakat sekelasnya. Akibatnya tentu saja lahirlah birokrat badut, mirip tayangan ’tukar nasib’. Yaitu adegan parodi yang telah diseting menjadi tontonan pembangkit empati antara kaum berpunya dengan kaum papa. Hasilnya yang kaya tentu saja lebih mengesankan nyali trenyuh dan enak ditonton . Sebaliknya si miskin akan menampilkan ’banyolan-banyolan alami’ lugu, kaku, dan wagu. Mereka disulap menjadi prefesional gadungan, bos gadungan, dan birokrat gadungan. Mereka nampak lucu, salah tingkah, serba wagu, ragu, lugu, panik, dan perasaan-perasaan mencekam yang semakin menambah tumpulnya nalar asli mereka.
Memang, mereka bukanlah profesional sejati. Mereka hanyalah korban demokrasi yang sengaja membungkus dirinya dalam kepalsuan. Mereka hanyalah alat perangkap kedaulatan rakyat untuk bahan pelengkap kebobrokan negeri yang nyaris hancur ini. Mereka tidak salah, mereka juga mempunyai hak mewakili komunitas di belakangnya. Dan mereka berhak menjadi apa saja termasuk menjadi, bupati, wakil bupati, presiden dan wakil presiden. Anda kan tau ta, kalau demokrasi itu dibangun dari suara terbanyak yang dikumpulkan dari modal uang dan janji-janji palsu. Jadi kalau ada orang bermodal banyak kemudian mereka dapat membeli suara rakyat, apa salahnya jika mereka jadi seorang pejabat. Soal kemampuannya tidak ada sama sekali, itu dipikir belakangan. Yang jelas, sekarang ini di samping ada politisi busuk, juga ada pemilih lebih busuk. Mereka mau memilih kalau ada uang masuk di kantongnya dalam jumlah besar. Mereka tidak mau berfikir mendalam tentang kemampuan politisi yang memberinya. Itulah barangkali yang harus dipikirkan oleh seluruh penyelenggara negara. Ketika mengangkat seorang pejabat pemerintahan, semisal bupati dan wakil bupati, seyogyanya diadakan uji kelayaan dan kepatutan. Jangan di kemudian hari, ternyata sang wabup hanyalah si badut, yang hanya pinter mbanyol, ngecuprus bakul umpluk, omongonya monotone, itu-itu melulu, nggak bermutu karena memang miskin referensi dan prestasi. Terakhir adalah ternyata hanyalah potolan SD, dan tukang angkut pasir.
Tidak jauh dari kisah itu. Ki Lurah Togog nampak sungkowo di beranda rumah kriditan yang nampak gawang pintunya ’mengkap-mengkap’. Yang jelas dia bersedih bukan lantaran rumah kreditan yang belum lunas, akan tetapi dia memikirkan Si Mbilung yang tengah menjadi rasanan banyak pejabat. Dia dirasani bukan karena kebijakan yang keliru, akan tetapi karena ketololannya yang tidak bertambah-tambah. Maklumlah Si Mbilung hanyalah berangkat dari tukang angkut pasir, buta hurup lagi. Dia jadi wakil bupati hanya bermodalkan bondo nekat, dari gaco andalan yang tiada satupun yang terdapat dari sebuah partai besar yang mengusungnya. Dia nekat karena tiada dua yang bisa diandalkan. Wis pokoknya’ kucing-kucing diraupi’.
Suatu hari dalam sebuah upacara kenegaraan, sang bupati tidak bisa hadir. Pihak protokoler terpaksa menunjuk Sang Mbilung untuk menjadi inspektur upacara. Sudah bisa Anda bayangkan betapa dalam dada sang wabub berdegup kencang membayangkan upacara yang dihadiri oleh ratusan peserta. Dia nampak bolak-balik bercermin dengan pakaian kebesaran wakil bupati. ”Hormat !! grak... tegaaak grak!!”, dia menirukan para komandan upacara saat memimpin upacara tujuhbelasan di kampungnya. Itupun dia hanya menyaksikan sesaat, saat truk pasirnya dihentikan polisi. Karena pada saat itu bendera sang saka tengah dikibarkan.
Beberapa saat upacara kenegaraan telah dilaksanakan. Beberapa acara telah ia jalankan sesuai dengan gladi resik sore kemarin. Kini tibalah saatnya sang inpektur upacara membacakan petuahnya. Sang ajudan mengulurkan naskahnya. Sang Wakil Bupati tergopoh-gopoh membuka naskah dengan tangan dan hati gemetar.
”Ah sialan, apa ini maksud angka 2 (dua) pada kata bapak, dan ibu ini” batin Sang Wakil Bupati, tidak memahami kode kata ulang, untuk menyebut bapak-bapak dan ibu-ibu...
Dia akhirnya membaca apa adanya yang terdapat dalam tulisan asisten pemerintah daerah
”Bapak dua, ibu dua, saudara dua, dan seluruh peserta upacara yang saya hormati....
Hadirin yang menyimak, nampak plenggang-plenggong belum mudeng dengan apa yang disampaikan wakil bupati. Beberapa saat kemudian gemuruh seluruh peserta tertawa terpingkal-pingkal ketika kata-kata tersebut meluncur tanpa beban dari naskah yang dibacakan wakil bupati.
Sesaat upacara hampir selesai. Komandan upacara mendapat aba-aba penghormatan kepada inpektur upacara. Sang Wabup segera meletakkan tangan kanannya pada ujung topi kebesarannya. Sang komandan menunggu wakil bupati menurunkan tangannya, baru berucap ”tegaaak grak!!”, tapi wakil bupati juga ndak paham dengan aturan itu. Kontan karena sang komandan tidak segera berucap, maka Sang Inspektur wakil bupati mengambil alih ”Tegaaaaak graaaaak ”
Melihat ketololan Mbilung, Ki Lurah Togog nampak jengkel, ia pukulkan tangan kanannya pada jidatnya, mulutnya yang dower ngomel ngalor ngidul, ia memutuskan lari sambil membuang sarung yang mambalut pantatnya. Pikirannya kalut, lupa kalau dia ndak pakai celana dalam..., hoalah Soroita...Soroito, Wabup tolol ora nggenah...

Rabu, 24 Juni 2009

Serial Babad Pacitan Laskar Katong (3) Ki Setyo Handono

Keberangkatan para prajurit Kadipaten Ponorogo menuju Pesisir Kidul tidak banyak diketahui oleh para penduduk di sekitarnya. Mereka berangkat layaknya orang yang tengah bepergian biasa.
Pagi itu mereka menyusuri hutan lebat yang membujur dari barat ke timur. Perjalanan mereka mengusik satwa-satwa yang tengah lelap tidur di peraduannya. Burung-burung lari semburat bercicit, seakan berteriak memberi kabar kepada yang lainnya, bahwa di bawah sana ada serombongan orang melewati wilayahnya. Sementara satwa liar lainnya seperti kucing hutan, musang, ular, dan ayam hutan , nampak berlari menjauh dari pandangan, dan langkah-langkah rombongan prajurit Ponorogo yang melaluinya. Semua wilayah yang dilalui masih benar-benar rimbun dan hijau. Air-air masih mengalir bening , ikan-ikan nampak berkerlip sisiknya terkena jilatan cahaya pagi, berlarian berkejar-kejaran . Seddangkan serangga hutan terus mendendangkan irama-irama seperti peluait yang melengking, disusul oleh kicauan manja burung, kutilang, burung jalak hitam, burung jalak putih, murai batu, cocak rowo, prenjak, kokok ayam hutan, derkuku, gelatik, pipit, dan sebagainya. Sementara bunga-bunga liar sepert adenium, melati, mawar, gelombang cinta, anggrek bulan, anggrek tutul, kamboja, kanthil, dan sebagainya , nampak memperlihatkan senyum manisnya, menyapa serombongan prajurit yang melewatinya. Para prajurit nampak bangga berjalan sambil bersenda gurau, mendendangkan tembang-tembang Jawa Kuno.

Tidak terasa perjalanan mereka hampir melewati sebuah sungai. Airnya masih dalam dan jernih. Pohon-pohon besar yang ada di tepinya kelihatan akarnya menjulur ke bibir sungai. Tepat di jalan setapak yang mereka lalui kelihatan ada beberapa wismajoglo beratap daun ilalalng kering . Tiba-tiba ada seorang agak renta menyapa mendekat.
“Nuwun sewu ki sanak , badhe tindak pundi ?, ditepungaken kula Ki Danasuka, griya kula Pinggirsari mriki, terus ki sanak sinten ?”, sapa orang tua itu kepada salah satu prajurit yang hendak membasuh mukanya di pinggir sungai.
”Inggih bapa, nami kula Jayadipa, yang di belakang ini Ki Suradrana, dan yang berdua itu namanya Ki Gumbreg, dan Ki Tambir. Kami sebenarnya bersama rombongan hendak menuju Pesisir Kidul ”, jelas salah seorang prajurit yang terbilang palang muda di antara para rombongan itu.

Ki Danasuka hanya tersenyum simpul. Dalam hatinya pastilah mereka belum begitu mengenal dirinya. Sebab dia lebih senang tinggal di daerah pinggiran daripada tinggal di dalam istana kadipaten. Memang, dia adalah termasuk seorang pujangga yang ditugaskan Demak untuk menyebarkan Islam bersama dengan Raden Katong. Dia memilih mukim di pinggiran dalam upaya menyebarkan Islam kepada orang-orang yang belum melek baca tulis. Pinggirsari adalah tempat strategis tapal kuda wilayah kadipaten.
”Lha terus para prajurit sanesipun dateng pundi ki sanak ?”
”Raden Jaka Deleg dengan Syeh Maghribi, masih menjalankan sembahyang duha ,bapa ”, jawab Ki Tambir dengan membungkukkan badan.
”Wah kebetulan, hari ini Nyai kula, pas ngrebus singkong, barangkali beliau berdua sudah rampung sembahyangnya , tolong ki sanak ajak masuk ke gubug kula ”
”Inggih kiai ”, jawab Ki Suradrana agak sedikit penasaran dengan sosok yang dihadapinya.

Tidak lama kemudian dari semak rimbunnya pohon hutan yang berada di kawasan pinggir sari itu nampak datang dua orang yang berwajah putih bercahaya. Badannya tegap, yang satu menggunakan ikat kepala berwarna hitam, dan satunya menggunakan sorban putih , janggutnya berccambang lebat. Dari kejauhan mereka berdua nampak tersenyum simpul, melihat rumah berdinding anyaman bambu yang ada di depannya. Sepertinya mereka telah mengenal siapa yang ada di dalamnya.
”Assalamu’ngalaikum Kiai ?”
”Wangalaikum salam, wah mangga... mangga Raden , waaaah layak to prenjake ngganther, jebul mau ada tamu agung to , kebeneran Raden, mangga pinarak rumiyin, pas ini tadi Nyai selesai menanak ubi, mangga keparenga pinarak dahar sarapan rumiyin”

Rombongan seluruhnya terpaksa berhenti sejenak di padepokan Ki Danasuka . Banyak kisah dan banyak nasehat yang diperoleh darinya. Setelah usai berbincang-bincang , rombongan parajurit melanjutkan perjalanan.
Sampai di tepi sungai rombongan harus menyeberang satu-persatu melewati wot yang terbuat dari batang kayu yang besar.
”Kiai Danasuka, barangkali tempat ini besuk menjadi ramai, keparenga kali niki kula tengeri, Kali Sekayu ”
”Wah matur nuwun Raden, kula sarujuk, awit panjenengan tindak mriki namung melewati jalan yang besarnya hanya se-kayu, wah inggih Raden kula sampun nyekseni..”
”Mangga Kiai, kula nyuwun pamit , Assalamu ngalaikum ”
”Oh inggih Kiai Maghribi, mugi pikantuk karahayon, wangalaikum salam...”

Kiai Danasuka hanya melambaikan tangannya. Tidak berselang lama para prajurit yang gagah berani itu, lenyap di balik rerimbunan hutan di barat sungai Sekayu, melanjutkan perjalanan menuju Pesisir Selatan lewat pegunungan sebelah utara .Bersambung.

Serial Babad Pacitan Laskar Katong (2) Ki Setyo Handono

Jaka Deleg dan Syeh Maghribi segera mohon pamit untuk menyiapkan segala perlengkapan yang akan dipergunakan perang di Pesisir Kidul.
” Matur nuwun Paman Adipati, mohon doa pangestunya semoga perjalanan kami lulus raharja, dan dapat mengemban tugas mulia ini dengan sebaik-baiknya..”
” Hiya Deleg, mudah-mudahan Gusti Kang Akarya Jagad, memberikan kekuatan lahir dan batin kepada kalian semuanya...”
”Amin ”, jawab keduanya serempak.
”Wis , Deleg dan Maghribi, aku kira sudah banyak hal yang telah aku berikan, untuk itu kalian segeralah mempersiapkan semuanya , termasuk makanan, senjata piandel dan para penderek serta prajurit –prajurit tangguh, ingsun hanya bedoa semoga kalian berhasil, rahayu slamet”
”Matur nuwun Paman , Assalamu nglaikum ”

Keduanya segera menjabat tangan sang adipati. Kemudian berjalan jongkok , lampah dhodhok meninggalkan Pendhapa Agung Kadipaten . Jaka Deleg menuju padepokan Surodikraman, sedangkan Syeh Maghribi menuju padepokannya di Mangunsuman. Keduanya sepakat pada malam harinya bertemu mengusung seluruh prajurit beserta bekal-bekal-bekalnya, berkumpul di Setono Dalem, Pendapa Agung Kadipaten Ponorogo, untuk melakukan upacara pamitan dengan sang Adpati Katong beserta seluruh kawula dalem.

Tepat pada hari Respati Manis atau Kamis Legi, setelah sholat Shubuh berjamaah, rombongan Jaka Deleg , Syeh Maulana Maghribi segera berkumpul di halaman Pendapa Agung. Mereka ingin segera berpamitan berangkat menuju Pesisir Kidul, mengemban tugas mulia membujuk Adipati Buwana Keling untuk merasuk Islam dan mau menerima Raden Patah sebagai penguasa baru, menggantikan Majapahit.
Sementara matahari masih belum nampak memancarkan sinarnya. Pagi itu nampak berbeda dengan biasanya. Suasana sedikit meriah tapi terasa ada perasaan yang amat mendebarkan, aroma peperangan yang diselimuti oleh suasana mistis, terasa menggetarkan degup jantung dan bulu kuduk menjadi merinding. Betapa tidak !, pagi itu tokoh-tokoh ’sakti’ seperti Raden Katong, Syeh Maghribi, dan Jaka Deleg, tengah berkumpul untuk mengadakan suatu rencana menaklukkan Ki Buwana Keling, Adipati yang menguasai Pesisir Kidul, yang terkenal sakti mandraguna. Ini adalah misi yang bukan sembarangan, taruhannya satu, yaitu, nyawa. Salah sedikit saja , maka mereka bertiga hanya pulang dengan nama saja. Mereka bertiga adalah ikon Kadipaten Ponorogo yang amat disegani. Walau demikian ketiganya tidak pernah adigang, adigung adiguna, sapa sira, sapa ingsun, mereka adalah wirai, hidupnya hati-hati, kata-kata serta perbuatannya sembada, perbuatannya lemah lembut penuh kasih dengan sesama, Islamnya tangguh. Bukan warok yang marok, bangga dengan kekuatannya menenggak minuman keras, kemudian melepas semua ajaran-ajaran suci. Mereka adalah satria sejati.
Tidak lama kemudian sang Adipati Katong segera mendekat kepada Jaka Deleg dan Syeh Maulana Maghribi. Sedangkan para kawula yang menyaksikan dari kejauhan tidak mengerti apa yang tengah dibisikkan kepada keduanya. Mereka hanya melihat bahwa kedua prajurit tangguh itu nampak khidmat menerima sedikit wejangan pamungkas yang disampakan oleh sang adipati. Setelah selesai, kemudian sang Adipati Katong berdiri di teras pendapa, menyapa seluruh hadirin, sambil sedikit mengeraskan suara.
”Kawulaku kabeh !, pagi hari ini berbeda dengan biasanya. Memang semua ini sengaja tidak ingsun wartakan kepada kalian semua, takut nanti kalian akan cemas semua. Kawulaku kabeh, pagi hari ini Kadipaten Ponorogo mendapatkan kepercayaan mulia dari Sinuwun Raden Patah, untuk melebarkan wilayah kekuasaan Demak hingga Pesisir Kidul, yang saat ini masih di kuasai oleh Kakang Buwana Keling. Untuk itu para kawulaku kabeh, kalian ikhlaskan saudara kita ini dengan doa siang malam selama melaksanakan tugas nanti, semoga mereka bertiga dan seluruh prajurit yang mengikutinya selamat sentosa, dan semoga Kakang Buwana Keling mau menerima ajakan ini dengan sukarela, syukur-syukur kalau beliau mau menganut Islam kemudian menyebarkannya di sana. Semoga Gusti Ingkang Maha Wicaksana menerima permohonan ini, amin. Kawulaku kabeh, barangkali ini saja sambutan ingsun, Assalamu’ngalaikum warohmatulohi wabarokatuh ”
Adipati Bathara Katong segera menutup sambutannya, sementara Syeh Maulana Maghribi, Jaka Deleg dan seluruh prajuritnya segera mengemasi seluruh barang bawaannya, kemuian keduanya segera menunggang kuda hitam. Sementara para prajurit segera memikul bekal-bekal yang dibutuhkan selama dalam perjalanan. Sebelum berangkat ,mereka menyalami semua pengunjung satu-persatu.

Nampak semua yang hadir, menitikkan air mata. Adipati Batara Katong matanya berkaca-kaca, terharu kepada tekad setia yang dijalani oleh kedua kawulanya. Kemudian beliau melambaikan tangan, dan menyapa penuh dengan doa yang teramat tulus. Sekejap, para prajurit itu telah lenyap di kegelapan pagi, berjalan ke arah barat menuju Pesisir Kidul. Bersambung

Babad Pacitan 1

Pagi itu langit di atas Kadipaten Ponorogo nampak sedikit mendung. Burung-burung sriti asyik terbang menukik besautan, mengejar capung-capung yang terbang merendah. Sementara kupu-kupu yang mulai belajar terbang di awal kemarau, nampak menari-nari mengepakkan sayapnya menembus belantara hutan Setono yang masih rimbun dan asri. Maklumlah di tengah belantara itu tinggalah seorang Adipati Bethoro Katong, utusan Kerajaan Demak, yang dipercaya untuk mengembangkan wilayah Demak dan menyebarkan ajaran Islam di kawasan timur dan selatan gunung Lawu, meliputi, Magetan, Madiun, Ponorogo, dan Pacitan.
Pagi itu Sang Adipati Katong nampak sedang membenahi kain sarungya sebelum menunaikan sembahyang Dhuha, di surau dekat dengan pendapa agung Kadipaten Ponorogo yang masih nampak anggun dan asri. Sementara para srati nampak menyiapkan kuda tunggangan sang adipati tepat di samping gerbang istana. Sedang di atas pohon sawo kecik terdengar nyanyian burung prenjak bersahutan, seakan memberi kabar bahwa sebentar lagi akan ada tamu penting yang bakal datang dalam pisowanan agung siang nanti. Memang, hari itu sang Adipati Katong akan mengadakan sebuah perhelatan penting, tentang rencana besar menundukkan penguasa pesisir selatan, Ki Buwono Keling, yang berkuasa di kawasan sebelah selatan wilayah Ponorogo. Sementara para prajurit nampak siaga berjajar rapi di depan gerbang istana ,menyambut rencana kedatangan tamu sang adipati, lengkap dengan senjata dan pakaian kebesaran.
Usai menunaikan sembahyang dhuha, sang Adipati Katong segera menemui seluruh punggawa yang ada di pendapa agung, para punggawa segera memperbaiki posisi duduknya, kemudian mereka melakukan sembah, sebagaimana layaknya punggawa kerajaan di tanah Jawa yang lainnya.
”Assalamu ngalaikum para prajurit semuanya ”, sapa sang Adipati dengan wajah yang sejuk, penuh dengan kewibawaan
”Ngalaikum salam ”, jawab mereka serempak.
”Prjurit semua, hari ini menurut rencana ,ingsun akan mengadakan pertemuan penting tentang rencana kita menaklukkan paman Buwono Keling, di kawasan pesisir kidul, untuk itu kalian siagakan segala sesuatunya supaya berjalan lancar dan tertib”
”Kasinggihan gusti”, jawab mereka serempak sambil melakukan sembah, kemudian meninggalkan pasamuan untuk segera menunaikan tugasnya masing-masing.

Matahari kelihatan makin meninggi, angin pagi terasa menyapa permukaan kulit dengan lembut, sementara air embun di atas dedaunan mulai terbangun meluncur turun membasuh tanah menyapa cacing-cacing tanah yang mulai menggeliat tersengat matahari pagi. Tidak beberapa lama, nampak di gerbang pendapa ada dua orang datang menghadap sang Adipati Katong. Wajahnya kelihatan bersih dan lembut, badannya kelihatan kekar, gerak-geriknya kelihatan santun dan lincah, bisa ditebak bahwa mereka adalah bukan orang sembarangan, kemudian mereka membungkukkan badan sembari mengucap salam,
” Assalamu ngalaikum warahmatullohi wabarakatuh”
” Wa ngalaikum salam warohmatullohi wabarokatuh, mangga masuk ki sanak”, sapa sang Adipati Katong dengan lembut.

Ketiganya segera masuk ke dalam pendapa agung. Nampak di sana sebuah ruangan bersih nan luas, tiang-tiang pendapa penuh dengan ukiran kelas tinggi , dinding senthong tengah terdapat ukiran kaligrafi dua kalimah syahadat, menyatakan bahwa sang Adipati adalah pemeluk Islam yang teguh. Sedangkan para pramusaji segera mengatur makanan tradisional seperti, jadah ketan, singkong rebus, ubi jalar, mbothe rebus, gethuk, dan minuman kopi gula kelapa ala kampung.

”Bagiamana kabar kalian berdua, Joko Deleg dan Syeh Maulana Maghribi ?”
”Alkamdulillah , pangestu paduka paman, kami berdua senantiasa kalis saking rubeda tebih saking sambekala, semoga padukapun demikian adanya”
”Terima kasih atas segala doa kalian, semoga Gusti Kang Akarya Jagad senantiasa meberikan limpahan berkah dan nikmat kepada kita sekalian...”
”Amin ”, jawab keduanya serempak.
”Begini Jaka Deleg dan ki sanak Syeh Maghribi, ingsun senang sekali kalian menerima tawaranku untuk menunaikan tugas suci di kawasan pesisir kidul, sebab beberpa bulan ingsun keliling negeri, tapi tak seorangpun aku jumpai orang yang memenuhi syarat untuk tugas ini, dan alkamndulillah ada dua sinoman, kamu berdua, jarang sinoman yang sudah gentur tapane , jangkep ngelmu jaya kawijayane sepertimu. Kebanyakan dari mereka hanyalah pecundang, yang tidak berani hidup rekasa, bisanya hanya makan enak, tidur nyenyak, kesandung sedikit masalah langsung nglokro kehilangan akal sehatnya. Untuk itu tidak salah jika ingsun menetapkanmu menjadi prajurit pilih tanding untuk membantu sesembahan kita Raden Patah menyebarkan Islam di pesisir kidul ...”
”Ah semua ini hanya kebetulan paman, kami hanya sekedar dititipi sedikit kelebihan dari Gusti engkang Maha Kuwaos ”, sahut Syeh Maghribi merendah
”Lajeng tugas hamba apa gusti ?”, tanya Joko Deleg penasaran
” Ada tiga perkara yang harus kalian lakukan, yaitu pertama, kalian ingsun beri tugas membuka lahan baru , membabat hutan belantara , buatalah di sana hunian asri yang nyaman dan subur, kedua, kalian berdua harus menyebarkan ajaran Islam dengan santun, lemah lembut, dan jangan sampai menyakiti hati mereka, sebab Islam yang diajarkan Njeng Nabi ya seperti itu. Yang ketiga, kalian adalah termasuk punggawa kerajaan pilihan, untuk itu gunakan akal cerdasmu, untuk menegakkan kewibawaan Demak, agar bisa bersinar cemerlang di pesisir selatan. Akan tetapi sebelum kalian menunaikan tugas ini, perlu kalian ketahui, bahwa di sana sudah ada yang lebih dulu berkuasa, dia adalah bukan orang sembarangan, dia sakti mandraguna, dia masih ada hubungan darah denganku, Ki Buwana Keling namanya. Cocok dengan tugas yang kalian emban, bujuk-rayulah dia dengan bahasa yang halus dan santun, berilah pengertian yang menyentuh kalbunya, dan jangan lupa lakukan pada saat yang tepat, jangan grusa-grusu, nanti malah jadi kesalahpahaman. Ingat pamanmu Buwono Keling adalah tokoh terakhir yang harus tunduk di bawah Kerajaan Demak, dia sekarang masih patuh pada kerajaan Majapahit, berhubung sekarang Majapahit telah runtuh, maka mau tidak mau kakang Buwono Keling juga harus tunduk menjadi bagian dari Demak. Seandainya dengan cara halus tidak berhasil, maka segala sesuatunya ingsun serahkan kepada kalian berdua. Tapi ingat, bahwa Buwono Keling adalah bukan orang sembarangan, seluruh ilmu jaya kawijayan telah ia kuasai, jika ia marah ,maka kekuatannya amat menakutkan. Untuk itu berhati-hatilah, aturlah segala rencana dengan jitu, pilihlah papan yang kalian jadikan tempat menyusun kekuatan, dengan sebaik-baiknya, bawalah bekal secukupnya, dan jangan lupa kalian berdua harus selalu memohon kekuatan kepada Yang Maha Kuasa, agar diberi kekuatan lahir batin untuk menandingi kesaktian Ki Buwono Keling ” , jelas Bathoro Katong sambil memperlihatkan mimik mukanya dengan serius. Bersambung

Selasa, 23 Juni 2009

Dersanala Cerai Paksa Ki Setyo Handono

Tepat hari Soma Jenar, soma empat jenar sembilan, hari puasa pertama yang bernilai tigabelas. Sebuah pretungan yang bernasib sial. Betapa tidak, Bethara Narada ingin hati mengajak kebaikan ee, ternyata Manikmaya alias Bethara Guru malah mengingkari almamater kadewatan, merusak pagar ayu sepasang suami istri dari kahyangan Swarga Dahana. Si Arjuna dan Dewi Dersanala. Akhirnya membuat jengkel pukulun Narada, dia memilih minggat sambil menanggalkan jabatan sebagai sekretaris kadewatan, hingga Bathara Guru insyaf dari jalan yang sesat.

”Hong thethe dewangkara rudra manik rajadewaku, tobiiil..tobil, nyekel dada kleru penthung..., duh pukulun, kados pundi menika, Bathara Narada lha kok mutung, minggat meninggalkan kahyangan, akan tetapi saya sudah hapal kok pukulun, dia itu kalau menyangkut urusan dengan Janaka, mesti dia itu bakal membela sampai mati,.. terus bagaimana ini nanti pukulun ?”
”Durga, awakmu jangan kuwatir dengan kakang Narada, semua ini sudah menjadi tanggungjawab ulun, awakmu jangan kuwatir Premoni..., anak ulun ngger Brama ...”
”Kawula nuwun wonten dhawuh pangandika rama pukulun”
”Nanti aku akan memberi tugas untukmu, ... anakmu si Dersanala kamu hantarkan ke sini, akan tetapi jangan sekali-kali si Janaka kamu ikutkan. Dan kamu ngger Indra, kamu siapkan pasukan khusus, intel polisi, serse , tentara, dan polisi militer lengkap dengan senjata, bujuklah kakang Narada untuk segera kembali ke Suralaya, aku kuwatir ke-sekretariatan kadewatan komplang, alias kosong, kasihan nanti para warga yang mau memperpanjang KTP..”
”Apa tidak ada petugas lain, pukulun ?”
”Ah ora Indra, akhir-akhir ini pas bertepatan dengan musim work shop, jadi para karyawan sekretariat banyak yang ndak masuk kerja. Semua ini dalam rangka meningkatkan mutu ngger,.. jadi jangan stereotipi, hanya untuk nyari shop-nya atau sertipikatnya saja,.. oooo tidak ngger”
”Seandainya pukulun Narada tidak mau diajak baik-baik bagaimana rama ?”
”Oh, awakmu sudah ulun beri purba lan wasesa , terserah mau kamu paksa atau mau kamu mutilasi , semuanya tergantung pada awakmu ngger”
”Sendika dhawuh rama pukulun..”
”Terus bagaimana kamu ngger Brama, sanggup enggak kamu memaksa memisahkan anakmu dengan si Janaka ?”

Leng-lenging driya mangu-mangunkun kandhuhan rimang lir lena tanpa kanin ooong...

Dalam hati, amatlah berat memisahkan kedua anaknya yang sudah hidup bahagia. Namun di satu sisi ini adalah sabda pendhita ratu yang tidak bisa dibantah. Ketika Bathara Guru memerintah maka tidak boleh ada satupun yang membantah. Oleh karenanya Brama menyatakan kesanggupannya.
Tidak beberapa lama Bathara Brama sudah sampai di tempat tinggal anaknya. Sebuah rumah type 100, hunian yang terbilang mewah yang dibelikannya khusus untuk anaknya Dersanala. Di beranda nampak mobil mercy keluaran terbaru yang masih kelihatan kinyis-kinyis , di samping kanan dan kirinya nampak deretan bunga –bunga milenium gelombang cinta , jenmani dan sebagainya. Nampak asri sekali semuanya. Namun pagi itu rumah Dersanala nampak sepi, seperti ndak ada penghuninya saja. Tetapi Bathara Brama amat paham, pastilah kedua anaknya tengah ’kelonan’, maklumlah malam kan habis ’tadarusan’ sehingga paginya ngantuk. Bethara Brama kemudian hanya ’dehem’ ”Ehm !... ehm !, ngger Dersanala, bukakan pintu ngger”
Kontan kedua insan yang tengah ’adu kekuatan’ di dalam kamar terdengar panik. Dersanala yang masih acak-acakan segera mengambil daster yang terdampar di sisi ranjang. Sedangkan Arjuna segera mengambil sisir kemudian menghadap cermin, sambil membasuh muka dan berkumur-kumur, merapikan sarung yang menutupi bagian rahasia yang nampak belum mau ’menunduk’. ”Ayo ngger cepat bukakan pintunya ” desak Bathara Brama untuk segera membukakan pintu rumahnya.
Dersanala berlari dengan busana daster warna hijau menuju arah pintu yang ditunggu oleh ramandanya. ”Ya papi, ini lho aku masih mencari kuncinya” jawab Dersanala berbohong.
”Mana si Janaka ?”
”Masih sholat papi, ada apa ya kok tumben rama pagi-pagi mencari kakang Janaka”
Belum sempat dijawab, tiba-tiba Janaka telah muncul di depannya. Kemudian dia menjabat tangan ayah mertuanya sambil mencium tangannya, kemudian duduk di sofa.
”Wah ternyata kamu itu satriya sejati ngger, terbukti kamu itu bisa melayani istrimu 24 jam tanpa henti. Waah kamu hebat Janaka”
Janaka nampak menyembunyikan rasa malunya. Dia ndingkluk sambil njawil paha istrinya.
”Ngger Janaka, awakmu jangan kaget ya, ulun datang ke sini ini dalam rangka ngemban dhawuh pukulun Bathara Guru supaya menjemput istrimu si Dersanala untuk menghadap beliau sekarang juga, dan kamu tidak boleh mendampinginya hingga pisowanan ini berakhir”

Arjuna sangat kaget, dia adalah termasuk manusia yang punya kelebihan ’ngerti sakdurunge winarah’ dia tahu kejadian apa yang bakal menimpa Dersanala dan dirinya. Dengan sedikit ucapan yang disampaikan oleh Bethara Brama mertuanya, dia amat paham, untuk itu tanpa pamit dia kemudian berlari kencang meninggalkan istri dan mertuanya diikuti oleh para Punakawan.

Manikmaya Sulaya Ki Setyo Handono

Kahyangan Suralaya benar-benar dalam keadaan gawat-keliwat liwat. Bathara Guru diuji kebijaksanaannya oleh rayuan maut Bathari Durga. Dapat dipastikan apabila yang melakukannya Dewi Durga maka Bathara Guru akan goyah bagaikan nyiur melambai yang terkena hempasan badai.
”Banjur ada perlu apa jeneng kita Durga tidak saya timbali, kok tiba-tiba sowan ing ngarsa ulun”, tanya Bathara Guru.
”Sebelumnya hamba menghaturkan agunging samodra pangaksami pikulun, Durga tanpa tinimbalan berani cumantaka menghadap pikulun, sebab ditangisi oleh ananda Dewa Srani ”
”Premoni, anakmu menangis karena punya permintaan apa, baju baru, rumah baru, mobil baru, atau pacar baru ?”
”Duh Pukulun, Dewa Srani menika rumaos sampun dewasa, dan punya hasrat untuk segera menikah”
”Terus sapa sing jadi calon istrinya ?”
”Duh pukulun, mboten wonten kalih utawi tiga, hanya satu yang dia minta yaitu cucu pukulun pribadi, yang berada di Swargadahana putra dari Bathara Brama yang bernama Dewi Dersanala”

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig saking tyas baliwur ong..

”Durga, ketahuilah bahwa cucu kita si Dersanala itu sekarang tidak tahu berada di mana, tapi harus engkau ketahui bahwa Dersanala saat ini sudah menjadi istri sah si Harjuna..., apa ini semua tidak engkau beritahukan kepada si Dewa Srani ”
”Pukulun, inggih tidak kurang-kurang pun Durga memberi pengertian kepada Si Srani, malah sudah saya carikan alternatif para mahasiswi Universitas Tunggul Malaya, guru-guru sekolah dasar teladan tingkat propinsi, dan para model ratu kecantikan yang ada di Tunggul Malaya, tapi dia bersikukuh, pokoknya harus dengan Dewi Dersanala pikulun , kalau dia tidak bisa mendapatkannya, maka dia memelih tidak kuliah dan mau bunuh diri saja pukulun ...”

Leng-lenging driya mangu-mangu, mangunkun kandhuhan rimang lir lena tanpa kanin .... ooong

Rayuan gombal Bethari Durga benar-benar meluluhlantakkan seluruh pkiran Bathara Guru. Resi Narada nampak komat-kamit mendoakan agar rayuan itu tidak menggoyahkan pendirian Manikmaya alias Bathara Guru, namun awal bencana itu akhirnya datang jua. Bethara Guru tidak berdaya, persis sinetron ’suami-suami takut istri’...
”Oh jagad Dewabathara, okeylah Durga jikalau itu sudah menjadi tekadnya si Srani, ulun akan menyanggupi, toh dia itu juga anak dagingku sendiri. Untuk itu aku akan segera menceraikan si Arjuna dengan si Dersanala dalam waktu tidak lama lagi ”
”Oh, pragenjong-pragenjong pak-pak pong, kali keyang ngulon parane, wong penak-penak spejagong lha kok dadi bunglon atine, weeladalah tobil si Permoni ratunening jail, teka-teka ngrusak barang kang wus kanthil. Pokoknya aku wis niteni, kalau kamu datang mesti bikin onar. Kalu tidak mengganggu jabatan orang, ya merusak pagar ayu, atau merebut wahyu... eh Adi Guru, saya hanya mengingatkan, ini adalah rencana jahat Bethari Durga, menawi bisa saya ingatkan tolong jangan dituruti, dia itu suka durhaka Adhi Guru ...”
”Kakang Narada, berhubung Dewa Srani itu anakku, maka segala permintaannya harus aku turuti. Ada pepatah ’anak kepolah bapa kepradah’ ”
”Adhi guru, walaupun yang meminta itu seorang anak, aku meminta tolong juga harus selektif, sampeyan harus meneliti, bagaimana gaya hidup dia selama ini, lha ... kecuali kalau si Srani itu anak yang sholeh..., sampeyan harus menuruti semua keinginannya...”
”Ora kakang !, pkoknya aku harus segera memisahkan antara si Arjuna dengan Dewi Dersanala sekarang juga...”
”nuwun sewu adhi Guru, sampeyan nganggo dasar apa kok mau menceraikan dia, apa nanti ndak akan mendapatkan kutukan dari Sang Hyang Wenang”
”Kakang Narada, menurut hukum yang berlaku di kadewataan , seorang dewi itu harus bersuamikan dengan dewa. Oleh karena itu berhubung si Janaka itu hanyalah manusia biasa, maka dia tidak berhak kawin dengan dewi. Dan saya sebagai penguasa di Suralaya ini, maka saya punya kekuasaan untuk memisahkannya”
”Ooo, begitukah adhi Guru. Nuwun sewu adhi Guru, saya itu menyaksikan bahwa yang telah menikah dengan seorang dewi itu tidak hanya si Janaka saja, akan tetapi banyak. Tapi kenapa mereka juga tidak sampeyan pisahkan juga. Ini adalah perbuatan culas alias tidak adil, tidak ber-gender sosial inklusi, diskriminatif. Sekali lagi aku hanya mengingatkan, tolong Dersanala jangan diceraikan”
”Tidak bisa kakang, walau kakang mengoceh seperti seribu bakul jamu, aku tidak akan merubah sikapku !”
”Ooooh, sampeyan itu ndak bisa di eman, sudah kalau begitu, aku njaluk pamit, aku ndak sudi lagi duduk di kadewatan lagi, ... wis Adhi Guru, kalau ada apa-apa jangan salahkan aku...” Bersambung

Dewa Srani Edan Ki Setyo Handono

Hanya beberapa saat saja Prabu Anom Gatutkaca telah mampu menghafalkan matra sakti pemberian Prabu Kresna. Dia lantas mohon pamit untuk segera menemui Patih Jentha Yaksa untuk kembali berlaga adu katiyasan.
Ana kangwre tunggal kagiri-giri, gengnya groma galak, angkara ambeg, nya oooong... gora godha hangga ulungna, tinepak kaplesat, buta kabarubuh, oong...
”Hayo Gathutkaca, keluarkan seluruh kekuatanmu, hayo hadapilah aku, Patih Jentha Yaksa patih dari Tunggul Malaya hrrrr .... ha...ha...ha...”
”Adeg-adegku ibu pertiwi..., pepayungku bapa akasa, kaadangku keblat papat paningalku jati wasesa, dudu jatining manungsa nanging cahyaning Kang Maha Kawasa, rahayu...rahayu...”, desah Gathutkaca sambil mengusap muka dengan khusuk Patih Jentha Yaksa tiba-tiba terjerembab, tubuhnya yang besar roboh di bumi menggetarkan bangunan-bangunan semi permanen, nyaris semuanya retak-retak. Prabu Anom Gatutkaca kembali melantunkan mantra saktinya, hingga ...
”Waduh ...Gathutkaca, cukup...cukup...jangan kau lanjutkan, tubuhku terasa terbakar... sudah Gatut...aku mengakui keunggulanmu...aku pulang saja Gathutkaca..” Begitu terdengar jeritan yang memekakkan telinga, tiba-tiba dari balik batu yang besar muncullah makhluk aneh berhidung besar diikuti oleh makhluk-makhluk yang lainnya.
”Le-le pak, le-le pah pangananmu iwak mentah, lalapane proyek sekolah, sing mangan ora tahu susah, mbesuk tuwek padha susah..”
”Le-le cuk... le-le cuk pakananku sega pincuk, lalapane kapal keruk , olehe mangan karo mbungkuk, plingak-plinguk garuk-garuk, ethok-ethok nemu gethuk, othak-athik amrih gathuk, jebule mung lumpuk-lumpuk, nuruti wetenge mblendhuk, dhuh wong ndonya sira padha laliyo, ngakerat mung crita blaka, ugemen senenging donya, uberen lintang kartika, obralen babahan hawa sanga, sumpet piwulang brahmana, ambyura mring angkara murka..”
”Adeg-adegku ibu pertiwi, pepayungku bapa akasa....” tiba-tiba Gathutkaca telah berada di belakang para gandarwa sambil membacakan mantra saktinya. Seketika tubuh mereka seakan terbakar, mereka segera lari terbirit-birit, menye-lamatkan diri. Dari kejauhan Prabu Kresna segera menghampiri Gathutkaca.
”Ngger Gathutkaca, sepertinya sudah mulai terlihat cerah, jagad sudah sedikit tersibak dengan cahaya, oleh karena itu ngger kulup, hayo kita segera menyingkir dari sini”

Bersamaan dengan perginya Prabu Kresna dan Gathutkaca, suasana menjadi agak tentram. Pasukan preman dan iblis yang dipimpin Prabu Jentha Yaksa telah berhasil dihalau dan dimutilasi, tubuhnya hancur berkeping-keping hingga team forensik kesulitan melacak benang merah yang melekat pada masing-masing bangkai gandarwa yang berserakan.
Kita tinggalkan dulu kisah Prabu Kresna dan Gathutkaca. Di atas sana, tepatnya di lantai awal Kahyangan Suralaya nampak Dewa Srani dan maminda Bethari Durga nampak kelihatan kusut wajahnya. Dewa Srani terlihat melepas jas kulitnya, dasinya, dan sepatunya. Yang nyantol di tubuhnya tinggal celana dalam, kemudian dia berlari-lari di jalan raya, sambil tertawa-tertiwi sendiri, menyebut kekasih hatinya Dewi Dersanala. Kontan, Sang Mami Bethari Durga merasa kewirangan melihat ulah anaknya yang kerasukan iblis gendheng,
”Hong thethe dewangkara Rudra manik raja dewaku, oh jagad dewa bathara, oalaaah ngger ... ngger, kamu itu calon pangeran lho, elinga ya ngger ... kasihanilah dirimu, ingatlah ibumu..., hayo ngger busanamu dipakai lagi, jangan telanjang begitu, ingat lho awakmu itu udah haji, udah meng-umrohkan orang-orang di sekitarmu...” Bathari Durga sambil meronta-ronta, meminta anaknya tidak berbugil ria. Tapi Dewa Srani sudah seratus persen lupa ingatan, mobil pribadi yang masih kinyis-kinyis dilemparnya ”pres”, seketika kaca depannya hancur berantakan. Bethari Durga tambah panik. Dewa Srani semakin nekad berlari menuju sungai di bawah jembatan Suralaya.
”Oh Dersanala... terimalah cinta sejatiku ini, lihatlah aku membawa bunga untukmu, aku rela mencopot seluruh busanaku demi untuk tubuhmu yang kedinginan, oh Dersanala, seluruh istanaku akan ku serahkan padamu... hayo Dersanala... janganlah berpaling denganku, .. oh keparat kau Janaka !!, kau telah nodai calon istriku, aku cincang-cincang tubuhmu, ciaaaaaat !!!” Dewa Srani berteriak sambil membanting batu-batu yang berserakan di sekitarnya.
”Kulup Dewa Srani, eling ngger... eling ngger, ini lho minum dulu, hayo ngger minum dulu ...” pinta Bathari Durga sambil mengulurkan segelas air minum.
”Mami, aku mau minum kalau Dewi Dersanala telah ada di sampingku”
”Hiya kulup, tapi mami minta kau sabar dulu, mami akan menemui papimu Bathara Guru dulu ..”
”Nggak mau mami, pokoknya sekarang !!!”
”Ngger, papimu sekarang lagi work shop, tidak boleh diganggu, beliau baru pulang tiga hari yang akan datang..”
”Kalau begitu campurlah minumku itu dengan racun nyamuk, aku mau bunuh diri saja mami..., lihatlah mami aku telah menelan racun !!!”
Kaget , Bethari Durga segera melesat menyambar anaknya yang telah terkapar mengerang sekarat keracunan. Mereka segera menerbangkan anaknya ke instalasi gawat darurat rumah sakit Suralaya. Bersambung

Ontran-ontran Bathari Durga Putaran Kedua Ki Setyo Handono

”Oh iya ngger putraku bocah sigid, Dewa Srani, Mami bakal nuruti apa sing dadi panyuwunmu. Pancen wis ndak niati kalau Marcapada akhir-akhir ini sengaja aku buat kacau, wis sakmestinya, sebab Bethara Guru telah berbuat curang, kenapa Dersanala diberikan begitu saja kepada Janaka, padahal anak kandungnya sendiri belum punya pasangan, sedang di Janaka isterinya sudah banyak, oh !, Kahyangan bakal ndak obrak-abrik, Mercapada saya jadikan karang abang. He !!!, patih Jentha Yaksa !!!, you keluarlah siapkan para pencoleng dan para bramacorah, saperlu nderekkan mami nglurug Kahyangan ...”
”Nuwun inggih Mami Bethari, keparenga pun abdi medal pasilan badhe persiapan , tata-tata sawega ing karya Mami ”

Mundur Rekyana patih, undanging prawadya sami sawega, umyung ramya swaraning bendhe beri gubar gurnang kalawan puksur tambur myang suling pepandhen daludag bendhera miwah kakondha warna pindha jala dian ooong asri kawuryan.
Greg ..greg handheman ingkang jaran ngrik magalak, genti manitih pamekakira risang, sudarsana dhahat kendhali rangah manjing , lak-lakaning kuda, ngrik mijil rah kadya tuk sumarambah ooong...
Mung ... jir, mung ... jir, Ong Yaksa temahan krura srumaut yitna sang narpadmaja ooong...
”Nuwun keparenga matur bilih pasukan pencoleng dan bramacorah sudah sami siyaga, tinggal menunggu komando mami”, jelas Patih Jentha Yaksa sambil memegangi pedang yang menempel di perutnya yang buncit.
”Ya patih !, kalau begitu kamu tabuh tengara bendhe , tiup terompet, dan pukul bedhug bertalu-talu, menandakan berangkatnya seluruh pasukan”
”Kawula nuwun inggih Mami Bethari, keparenga medal pasilan”

Enjing budhal gumuruh saking Gandamayit nagri, gunging kang bala kuswa, abra busananira lir surya wedalira saking jalanidhi harsa madhangi jagad, duk mungup-mungup aneng sapucuking wukir ooong...
Jumangkah hanggra sru sumbar lindhu bumi gonjing, gumaludhug guntur ketug, umob kang jaladri, ooong...

Terlihat seperti mendung di musim penghujan. Ribuan pasukan pencoleng dan bramacorah yang dipimpin oleh Patih Jentha Yaksa terlihat hitam, gemuruh menakutkan. Tujuannya adalah demo besar-besaran menuntut keadilan Bathara Guru di Kahyangan Suralaya. Kontan para manusia yang sempat melihatnya lari kalang kabut, menyelamatkan diri masuk ke rumah. Tidak jauh dari barisan para pencoleng itu, nampak dua orang kesatria yang tengah bersembunyi di balik mendung. Setelah dilihat dengan seksama dia adalah Prabu Anom Gathutkaca dengan Sang Prabu Sri Bathara Kresna yang tengah menyaksikan peristiwa gaib dengan ngelmu panglemunan.
”Ya Jagad Dewa Bathara, pantes kalau sekarang Nuswantara terkena pageblug , ketaman dahuru yang beraneka ragam, sebab para bramacorah dan pasukan pencoleng telah membuat kerusakan moral di Marcapada, oh walaupun mereka jumlahnya ribuan Gatutkaca tidak akan mundur sarambut”, batin Gatutkaca sambil mengusap tubuh bajanya yang sedikit agak karatan.
”Ada apa kaki Prabu Anom, kok kelihatan ada yang dicemaskan”
”Kasinggihan Wa Prabu, keparenga kula badhe numpes rombongan baju barat menika Wa..”
”Oh iya ngger, sing gedhe kaprayitnanmu”

Buta pandhawa tata gati wisaya indriyaksa sara maruta, paawana bana marga... oong samirana warayang, panca bayu wisikan gulungan lelima ooong...

”Durung adoh lakuku dari kahyangan Dhandhang Mangore, lha kok ini ada satriya gagah perkasa, berbadan serba logam, mencorong seperti pisau stainlees , he Gus berhenti dulu, hayo mengakulah siapa kamu, apa maksudmu menghadangku..”
”Hmm... balik ganti tanya siapa namamu, dan dari mana asalmu, lha kok kamu lancang menginjak-injak tanah yang bukan wilayahmu..”, sahut Gatutkaca ketus
”Jiangkrik keparat, iblis laknat jeg-jegan..”
”Memangnya mau apa ?”, gertak Gatutkaca setengah memancing kemarahan
”Mangertiya kalau aku ini adalah aku Mahapatihnya Prabu Dewa Srani, namaku Patih Jentha Yaksa, mbalik aku pingin tahu siapa nama lu”
”Satriya dari Pringgondani, Prabu Anom Gatutkaca, hayo Jentha Yaksa, jangan kau teruskan niatmu, kembalilah dengan sukarela, atau aku paksa!!!”
”Bojleng-bojleng iblis laknat, menungsa keparat durung tahu work shop ning neraka jahanam, jangankan kau yang hanya badan manungsa, Dewapun akan aku trajang, aku hancurkan, hayo sumingkira , mulihlah Gatutkaca , kasihan kuliahmu durung rampung..”
Tanpa banyak buang waktu, tangan baja Prabu Anom Gatutkaca segera meninju muka Patih Jentha Yaksa ”Cplaasss !!!, glosor”
Jentha Yaksa terjerembab pecah kepalanya. Prabu Anom Gatutkaca segera kembali untuk menemui Prabu Kresna. Tetapi baru saja melangkah beberapa langkah, Patih Jentha Yaksa telah berdiri tegap kemudian dengan sigap menyerang Raden Gatutkaca. Raden Gatutkaca terheran-heran, padahal tubuhnya sudah hancur, la kok bisa kembali pulih tanpa cacat sedikitpun ”Waah gawat ini, aku harus segera menemui Wa Prabu Sri Bathara Kresna”. Gatutkaca segera melesat terbang menemui Kresna.
”Ada apa ngger kok perangmu kelihatan tersendat-sendat, kamu menang apa kalah ?”
”Sebenarnya saya menang, tetapi anehnya setiap dia mati, dia hidup kembali”
”Bukan hal yang aneh ngger, dia itu adalah penjelmaan iblis, dia itu makhluk halus, maka cara melawannya juga harus dengan cara yang halus pula...”
”Terus bagaimana untuk mengalahkannya”
”Ngger ini ada mantra yang bisa engkau ucapkan, ’adeg-adegku ibu pertiwi, pepayungku bapa akasa, kadangku keblat papat, paningalku Jatiwasesa, dudu jatining manungsa nanging cahyaning kang Maha Kawasa, rahayu...rahayu..’ hayo coba tirukan ngger ”
Gatutkaca dengan cekatan mampu mengucapkan mantra dengan sempurna. Prabu Kresna nampak bangga. ”Wah dasar kalau bocah itu lantip mesti mudah menirukan mantra . Maklumlah dia kan calon sarjana sastra STKIP PGRI Pringgondani..”, pujinya. Bersambun