Jumat, 20 November 2009

Boma Ora Trima


Tersebutlah sebuah kisah ada sepasang Dewa dan Dewi konangan berduaan di sebuah kafe remang-remang ndik Kahyangan sana. Kedua pasang dewa itu bernama Bathara Wulan Derma, dan Bathari Wulan Dermi. Anak dari Bathara Darma, dewa yang mengatur gunung Junggiri Swargaloka. Mereka berdua sebenarnya kakak beradik. Akan tetapi karena ayahnya sibuk sendiri, dan dia sering keluyuran berdua, maka suatu hari dia digoda iblis, dan terjadilah pergaulan bebas di kafe remang-remang. Sang Hyang Wenang yang menguasai pimpinan pusat (PP) Kahyangan amat murka dengannya. Maka berdasar surat keputusan senator Kahyangan Suralaya, sepasang dewa yang lagi kasmaran tersebut dikeluarkan dari kahyangan, dan harus menjalani menjadi dewa luar biasa, sejajar dengan titah manusia yang lainnya.
“Jeneng kita sakaloron bakal ulun titisken kepada anak turune Sri Kresna, oleh karena itu sana cari tempatmu menitis di Ngercapada, ulun mung ndongakake muga sira antuk basuki” pinta Dewa Narada sekretaris kahyangan.
Sebelum mereka berpencar, keduanya sudah berjanji untuk sehidup semati membangun mahligai rumah tangga. a dia akan berusaha mencari dan bertemu kapan dan dimana saja. Tan kocapo setelah sepasang kekasih itu turun berpencar, mereka segera mencari anak keturunan Bathara Wisnu alias Kresna. Sang pemuda dewa bertemu dengan Prabu Bomanarakasura, maka dia memutuskan untuk masuk ke dalam raganya.
Nuju ari Soma Manis, akhirnya kedua insan lain jenis yang ketitisan saudara sekandung itu bertemu kembali. Sri Bathara Kresna dan istrinya Bathari Pertiwi segera menikahkan Bomanarakasura dengan Dewi Haknyanawati alias Dewi Mustikawati. Sebuah prosesi pernikahan yang mengundang tokoh-tokoh wayang seantero jagad pewayangan.
Ketika resepsi pernikahan dilaksanakan, tiba-tiba Dewi Haknyanawati melihat ketampanan Raden Samba yang tengah foto bareng di sampingnya. Kontan menjadi goncang hatinya. Kemudian ia berlari menyembah dan memeluk Raden Samba. Prabu Bomanarakasura naik pitam dan marah besar. Ia merasa dipermalukan oleh kekasihnya. Sedangkan Dewi Haknyanawati ingin meralat surat perjanjiannya, dia ingin asmaranya diluruskan, karena selama ini adalah hubungan yang melanggar norma agama. Hubungan kakak dan adik.Dan ternyata cowok tampan itupun ternyata juga putra Sri Kresna, apa salahnya jika ia menyatu dengan Raden Samba.
“Wah kamu itu benar-benar ndak bisa dipercaya, Samba itu adikku lho, kamu kok tega-teganya mengingkariku, he !, coba ‘perhatikan tulisan Anda’ ” Sergah Prabu Boma sambil memperlihatkan secarik daun lontar bermaterai, yang berisi perjanjian asmara antara keduanya.
Dewi Haknyanawati tidak ngrewes semua ucapan Bomanarakasura. Dia selalu membelakangi ketika berdialog. Dan itu berlangsung hingga sekarang. Hal itulah yang membuat Prabu Boma tidak bahagia. Bahkan terdengar kabar kalau Haknyanawati telah menjalin hubungan khusus dengan Raden Samba.

Hanjrah ingkang puspitarum, kasliring samirana mrik ...ooong, sekar gadung kongas gandanya, oooong..., maweh raras renaning driya ooong...

Prabu Boma akhirnya menempuh jalur hukum pergi ke rumah ayahnda dan ibundanya di Dwarawati dan Kahyangan Ekopratolo. Namun sebelum ke sana, ia memutuskan untuk pergi ke Kahyangan Suralaya, meminta rekomendasi dari Sang Hyang Guru sebagai pimpinan pusat (PP) kahyangan. Ia tidak lupa mampir dulu di kedai makanan khas Trajutrisna. Ia membeli enambelas besek sate ayam, dan camilan untuk mempermudah perundingan. Ia kemudian terbang mengangkasa dengan hilikopter basarnas. Tepat jam 9 pagi ia sudah mendarat di Kahyangan Suralaya.
Sementara di sana nampak Bathara Narada tengah membaca koran lokal. Dari bibirnya terlihat senyum mencibir tulisan menggelitik, miskin wawasan, dan ndak memahami karya sastra fiksi, ia memprediksi pastilah dia utusan dari seseorang yang tersinggung oleh karya fiksi tersebut. Menilik nama samaran penulisnya Dewa Syifa, pasti dewa bersih-bersih yang diutus memulihkan nama baik seseorang. Dan itulah menunjukkan bahwa dia memang berperilaku seperti itu. Bathara Narada tertawa terpingkal-pingkal ..”sak iki konangan kowe....” sergah Bathara Narada sambil menaruh koran di meja.
Baru saja Bathara Narada melipat koran dan menenggak secangkir kopi, tiba-tiba dari balik pintu muncul seorang tamu
”Eh mrekencog-mrekencong ana tamu nyelonong, nggawa tenong robyong-robyong gedhene sak genthong, ulun wespadakne iki kaya putu ulun Bomanerakasura, padha raharja ngger...”
”Pangestu pukulun, kalis nir ing sambekala”
”Eh njanur gunung, kowe mrene tanpa ulun timbali ana pari gawe apa Bo?, lha kok iki malah karo nggawa oleh-oleh sak mobil, apa kanggo pelicin piye?”
”Ah niki namung camilan sate khas Trajutrisna kelangenan pukulun Guru dalah Pukulun Kanekaputra...”
”Ah... you aja guyonan lho, ulun sakaloron sak iki iki, lagi berusaha menurunkan kolesterol karo darah tinggi, ulun nyuda daging karo asin-asin, dadi satemu iki ulun tampa wae, nanging ulun wis ora wani dhahar, wis sak iki kowe enggal matura, sebab ulun jam sepuluh mengko arep tindak mesjid khotbah Jumat....”

Selasa, 17 November 2009

Negara tanpa Kerangka

Raras kang halenggah neng aparan rukmi, akarya asmara, hanawung sembada, hawingit weh wing wrin, wimbaning narpati, siniwaka kadya, sang maha Bathara tumurun mandana, pra sidaning dadi, harjaning praja

Tersebutlah di Gupit Mandragini, Sang Prameswari Raja Giyantipura Prabu Karempatnyana, Dewi Mustikawati istri Prabu Bomanarakasura nampak murung, berduka hatinya, duduk membelakangi suaminya yang baru datang dari meeting di pasewakan beberapa jam yang lalu. Prabu Boma nampak bingung, melihat perubahan sikap permaisurinya. Ia mencoba merayu beberapa kali namun sedikitpun Dewi Mustikawati tidak mau membalikkan wajahnya.
”Garwaning pun kakang Dewi Mustikawati?, aku kok jadi ndak mengerti apa maksudmu kok tiba-tiba sikapmu berubah seperti ini?, tolong berbicaralah..”
”Kaka Prabu pepunden kula, sesembahan kawula..” jawab Dewi Mustikawati dengan membelakangi suaminya
”Yaa, bicaralah, apa maumu”
”Aku punya keinginan, dan kakang harus memenuhi semua itu, sekarang berjanjilah”
”Yaa, aku akan berjanji menuruti semua keinginanmu. Apa keinginanmu, seluruh dewa menyaksikan sumpahku ini”
”Kaka Prabu, aku ingin kakang membuatkan jalan yang lurus seperti jalan tol yang mulus antara Giyantipura dan Trajutrisna. Dan kakang harus berjalan di sana lurus tanpa menoleh kanan dan kiri, apalagi berbelok arah...”
”Ha...ha...ha...., oooalaaah kecil itu bocah ayu, jangan kuwatir, nanti akan kakang carikan Dana Alokasi Khusus, dana PNPM mandiri, dansos, dan lain-lain” jawab Prabu Bomanarakasura yang tidak paham dengan bahasa sasmita yang baru saja diucapkan istrinya
”Kula nyuwun paduka prasetya ngugemi janji menika, kaka Prabu?”
”Yaaa, aku bersumpah aku akan menepati janji, dan aku berjanji pula bahwa kraton dan seisinya bakal menjadi milikmu. Namun untuk menunaikan ini semua aku akan minta doa dan restu dari Ramanda Prabu Kresna di Dwarawati, dan ibunda Bethari Pertiwi di Ekopratala..”
”Menapa kula kepareng handherekaken paduka ?”
”Waah ora usah nanti malah ngriwuk-ngriwuki lakuku, wis yayi aku njaluk pamit, reksanen praja Trajutrisna lan Giyantipura”
”Kasinggihan kaka prabu, sugeng tindak...” jawab Dewi Mustikawati sewot
Prabu Bomanarakasura segera berjalan memanggil sopir pribadinya dan meluncur dengan mobil kijang warna biru menuju negeri Ekopratolo tempat ibundanya.
Sementara itu Patih Pancatnyana nampak panik dan nggondhok hatinya. Ia ndak terima dengan omelan Prabu Kresna tempo hari. Kalau bukan mertua Prabu Boma pastilah ia sudah dilumat habis-habisan. Untunglah Patih Pancatnyana masih bersabar hatinya. Kemudian ia segera merogoh celana jins-nya mengambil HP, menelpon komandan prajurit Ditya Satrutapa dan Ditya Satrutama untuk segera menemuinya
”He!, lu lagi ngapain ?”
Ditya Satrutapa bangun terkesiap!, ia segera mencari arah suara alarm HP yang berdering.
“Oh, kasinggihan gusti!”
“Lu segera ke sini, cepaaat !!” teriak Patih Pancatnyana lewat HP-nya
“Oh siap !! gusti” jawab Dityo Satrutapa sambil berlari
Tidak beberapa lama Dityo Satrutapa dan Ditya Satrutama sudah datang menghadap bersama ratusan prajurit.
“Wonten dhawuh manapa Patih”
“Iki begini, ... lu berdua kan selama ini belum pernah menunjukkan baktimu pada negara ta?”
“Maksudipun??”
“Seprana-seprene kowe sakaloron itu kan belum naik pangkatnya ta?, nah iki gusti prabu bakal mengadakan kenaikan pangkat bagi prajurit yang setia mendarmakan baktinya kepada beliau. Tidak tanggung-tanggung, bagi siapa yang berprestasi tinggi bakal mendapatkan pangkat yang tinggi, itupun masih ada syaratnya, yaitu bagi mereka yang tidak berkelamin ganda, atau tidak menjabat dilain tempat, atau telah memperoleh sertifikasi di tempat lain, kalau demikian berarti mereka telah berani menyaingi kekuasaan tertinggi di negeri ini, piye kowe sakaloron wis siap?”
“Wah lha ya siap ta Patih, terus tugas kami apa?”
”Kowe sakaloron tak kon ngrebut bojone Raden Samba, gawanen mlayu, sowanna marang Prabu Boma”
”Lho ???”
”Aja sumelang, gusti dhewe sing pingin ngersakake, arep digarwa. Bener dheweke ijik adik ipare, nanging Prabu Boma wis kandung gandrung kapirangu, mula kowe kudu bisa nyowanake. Yen kowe gagal taruhannya adalah jabatanmu. Kursimu bakal digantikan oleh orang lain, alias kowe bakal nampa pidana pemecatan, bareng karo para prajurit sing jumlahe ana 30 wong. Malah iki SK pemecatan kanggomu uga wis rampung disiapake, sak mangsa kowe gagal nindakake tugas iki, surat pemecatan langsung ndak kekne kowe…”
Ditya Satrutapa ndak begitu nggubris dengan gertak sambal yang tidak didasari oleh landasan hukum tersebut. Ia menganggap keputusan itu adalah keputusan liar. Keputusan pemerintahan tanpa kerangka.