Senin, 04 Juni 2012

Kumpulan karikatur






Petruk Dadi Ratu


Petruk dadi Ratu
Ki Setyo
Dalam filsafat jawa nilai dasar ontologis kehidupan diejawantahkan di dalam bentuk seni wayang. Maka dalam wayang akan menunjukkan ciri-ciri dasar filsafat jawa didalam pergelarannya, sehingga dasar ontologis bagi wayang adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan atau kasunyatan. Kesempurnaan atau kasunyatan itu tidak saja harus bersifat rasional dan empiris tetapi juga harus mengandung unsur rasa yang menjadi ciri khasnya. Dengan demikian, wayang akhirnya dikontekskan dengan rasa dalam kehidupan nyata manusia

Jika Anda nonton wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam maupun yang dipergelarkan padat, maka jika direnungkan benar-benar didalamnya terkandung banyak nilai serta ajaran-ajaran hidup yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa tokoh dan yang berupa medium yang lain didalamnya banyak mengandung nilai dan filosafi.
Secara gampang, bila Anda memerhatikan simpingan wayang, maka Anda telah mempunyai penilaian. Bahwa simpingan kanan melambangkan tokoh yang baik, simpingan kiri melambangkan tokoh yang jelek atau buruk. Demikian halnya jika Anda melihat perangnya wayang, maka wayang yang diletakkan atau diperangkan dengan tangan kiri sering mengalami kekalahan. Tetapi hal ini tidak semua benar. Seringkali dalam alam kasunyatan justru bangsa atau orang yang buruk/ jahat, bodoh, banyak uang, banyak dukungan,  seringkali mendapatkan ‘kemenangan’.

Sekarang mari kita simak kisahnya Si Petruk.
Dalam jagat pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan  dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia tokoh yang selalu hadir ketika suasana buntu, membeku, dan menjadi tokoh ‘satir’  ketika priyayi andalannya ternyata mengecewakan publik.  Dengan demikian ia hadir sebagai pemimpin atau tokoh keterpaksaan karena tidak ada pilihan lain.
Kehadiranya selalu dengan gaya humor, ngelantur, omong kosong, ngalor ngidul dan menghibur. Memecah kebekuan, menghalau kesunyian dan menebarkan kesahajaan. Ia seorang abdi yang selalu lekat dengan kaum priyayi. Ia merepresentasikan kaum kecil, berpendidikan rendah, dan merakyat. Ia pun sebenarnya pernah sekolah, tapi nggak lulus, kemudian menempuh ‘kejar paket’, hanya untuk label etiket.
Selang beberapa tahun kemudian, kariernya meroket.  Ia duduk-duduk dan masuk dalam link pemerintahan Pandawa dan bala tengen. Ia sering ikut priyayi besar dalam acara-acara kenegaraan dan peperangan. Ia pun akhirnya berfikir bagaimana agar dirinya sejajar dengan priyayi atasannya. Maka ia pun menempuh  kuliah ‘instan’ di pertapan ‘Tanpakariya’, dan  berkat kesaktiannya, ia pun menyandang gelar sarjana. Sarjana hiburan,  untuk pantas-pantasan, untuk  menghibur hatinya agar  kelihatan mentereng di hadapan priyayi juragannya.
Yang jelas, walau gelar sarjana sudah menempel. ia sendiri nggak paham dengan gelar kesarjanaannya, apa keahliannya, bagaimana menerapkannya, dan bagaimana prosesnya. Yang penting gelar sarjana sudah melekat di pundaknya. Yang penting lagi, orang desa semakin bangga dengan dirinya. Di samping ia merakyat, ia juga sarjana.  Maka tak heran, pada waktu pilkades, ia pun terpilih menjadi lurah,  yang didukung penuh oleh rakyatnya. Gelar barunya Ki Lurah Petruk Kanthong Bolong.
Sekarang kita kembali pada kisah di atas. Pada suatu hari, Bambang Pecruk Panyukilan  ingin berkelana mencari lawan tanding, guna menguji kekuatan dan kesaktiannya. Semua rapalan mantra, ajian kebal, senjata pethel sakti, keris junjung luhur, junjung derajat, dan lainnya, telah disiapkan dalam ransel dan lipatan sarungnya.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang tengah refreshing jogging di atas bukit, sambil bermain ruyung di tangannya.
Melihat ada orang yang kelihatan kemlelet tergerak hatinya untuk mencoba kekebalannya. Ia pun segera menghampiri pemuda tersebut, dan menantangnya duel.
Tak dinyana, ternyata Bambang Sukodadi pun  mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, saling menghantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang tengah mengiringi Batara Ismaya menghabiskan masa resesnya di Ngarcapada.
Mereka kemudiaan dilerai dan diberi petuah dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.
Karena  wujud tampannya telah rusak gara-gara berkelai tadi, maka mereka pun segera berganti nama. Mereka segera datang di kantor catatan sipil; Pecruk Panyukilan mengubah namanya menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng. Sebuah nama yang indah dan top markotop untuk dirinya, sesuai dengan bentuk tubuhnya.
Dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai Gatutkaca, sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudian menjadi rebutan antara negeri Imantaka dan  negara Ngamarta.
Di dalam kekeruhan dan kekacauan politik tersebut, Petruk yang biasa blusukan di kampung-kampung itu, mengambil kesempatan mencuri Jamus Kalimasada ndik rumahnya Dewi Mustakaweni , yang kebetulan tengah pergi ke salon kecantikan. Petruk hafal betul dengan kebiasaan Dewi Mustakaweni istri pengusaha terkenal itu. Tepat pada jam 8.00, Petruk berhasil menyelinap di halaman luas dan kamarnya Mustakaweni. Sehingga dengan leluasa, Petruk berhasil mencuri Jamus Kalimasada. Ia pun segera meninggalkan negeri Imantaka, dan segera mensosialisasikan kehebatannya pada penduduk desa di negeri Lojitengara.
Kontan, karena kekuatan dan pengaruhnya Jamus Kalimasada yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh (Wel Edel Bey). Petruk yang dulunya jadi abdi para satriya Pandawa termasuk Prabu Dwarawati, atau Prabu Kresna, kini berbalik, Prabu Kresna dan Pandawa jadi anak buahnya. Ya, kalau dalam tv mirip tayangan ‘tukar nasib’.
Dasar namanya saja Si Petruk, maka dalam masa pemerintahannya penuh dengan ‘lonyotan’, banyolan ngalor-ngidul omongannya ngawur, tak terukur, nggak koneks dengan masalah yang tengah dibicarakan. Setiap memimpin rapat hanya menyerahkan persoalan pada kabagnya. Ia nggak memiliki kompetensi  dan nggak nyandak kemampuannya dalam kontek kenegaraan yang lebih luas. Gaya ‘kepala desa’ masih melekat di dalam dirinya. Para kabag, dan camat dan para sarjana sejati yang dulu jadi atasannya, disamakan dengan orang-orang desa yang miskin pengetahuannya. Kadang marah-marah, emosi tinggi gara-gara mereka nggak segera bekerja.”Bekerja apa??, lha wong programnya saja nggak nggenah” kata camat terheran-heran
Prabu Kresna, Puntadewa, Werkudara, Janaka, Nakula dan Sadewa yang menjabat jadi kabag, serta Gathutkaca, Abimanyu, Antarja, Antasena yang menjadi camat, nampak termangu , tertawa terpingkal-pingkal melihat ulah Prabu Welgeduwelbeh yang PD terlalu tinggi. Berkali-kali mereka bertatap muka saling berpandangan geli. Mereka menatap jauh. Pemerintahan nampak mulai rapuh tidak berwibawa lagi. Sang Prabu Welgeduwelbeh semakin mabuk kekuasaan, ia benar-benar nggak faham dengan kepemimpinannya serta kondisi dirinya. “Inilah pemerintahan coba-coba. Yang diaplikasikan dari konsep parsial ‘merakyat’ saja” desah Prabu Kresna mengingatkan
“Werkudara…”
“Apa Jlitheng kakangku”
“Lakon iki kudu ndang dipungkasi, mesakne para kawula lan Negara Ngamarta ing tembe mburi. Mula tugasmu Werkudara, murih lakon iki ndang babar jeneng sira enggal papagen Si Bagong mara..”
Singkat cerita, akhirnya  Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan badar/terbongkar rahasianya menjadi Ki Lurah Petruk kembali. Petruk yang asli dulu, yang badut dulu, yang kepala desa dulu. Kalimasada kemudian dikembalikan kepada pemilik aslinya, Prabu Puntadewa.
Dengan demikian berakhirlah anekdot kepemimpinan di negeri wayang, yang penuh dengan kepura-puraan. Intinya, seorang pemimpin tidak cukup hanya bermodalkan merakyat saja. Akan tetapi kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional sangat amat diperlukan dalam rangka kebijakan yang sangat strategis dalam kerangka kebutuhan zaman yang semakin canggih. Dan semakin berat tantangannya.  Wallahua’lam

EM HA HA HA HA


EM HA… HA… HA… HA…
Ki Setyo Mangoenprodjo
Raden Katong, Kyai Mirah, Patih Seloaji dan Ki Suromenggolo sedang mengadakan pembicaraan serius di sebuah surau. Kali ini berbicara tentang gelar palsu yang digunakan oleh pejabat di kadipaten. “Penggunaan gelar palsu itu, sambungnya, akan berdampak terhadap citra birokrasi pemerintah di daerah, dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak optimal karena perintah atasan tidak akan ditaati oleh bawahannya. Karena apa, lho lah iya ta, lha wong pejabatnya saja tidak tertib hukum kok, mosok kuliah saja gak tahu, SMP dan SMA nya saja Cuma persamaan, lha kok ujuk-ujuk dapat gelar SH, MH, MSi. Orang normal yang cerdas saja sulit menempuh dan meraih gelar sebanyak itu dalam kurun waktu secepat itu, apalagi yang sekolahnya saja nggak beres, baca Pancasila saja nggak becus, ini mesti ada yang nggak beres, tolong paman Suromenggolo sampeyan telisik kebejatan moral iki?”
“Kasinggihan Raden, …ini merupakan prestasi kepemimpinan yang amat buruk, bahkan kepemimpinan amburadul, ngawur, ngisin-isini, seorang pejabat tinggi sudah ngajari tidak jujur, ngajari bohong kepada rakyatnya. Ini pertanda bahwa pemerintah daerah bakal hancur , rusak, Ini perlu segera ada langkah konkrit dari Gubernur untuk mengganti pejabat-pejabat yang menggunakan gelar palsu tersebut, kemudian memprosesnya sesuai ketentuan yang berlaku , Raden!!” , kata Suromenggolo geram.
“ Begini lho Raden,  sesuai UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemakai gelar palsu diancam denda Rp2 miliar dan hukuman penjara 10 tahun. Berita ini, dari sudut penjual dan pembeli gelar, merupakan suatu berita yang menyayat hati. Tatkala ijazah sebagai lambang formal, sebagai bukti otentik bukti yang diakui keabsahannya secara hukum, secara formil yuridis sah, tetapi secara materiil tidak mempunyai nilai bahkan nol besar. Maka orang yang waras mestinya malu memakai gelar palsu ini. Sebab saya yakin kalau hati nuraninya mau dikedepankan maka ‘ menipu diri’ seperti yang pernah ditulis dalam harian local lalu pasti tidak bakal terjadi. Namun demikian Raden, secara psikologis orang-orang berbuat nekad demikian ini lantaran;
1.      Adanya kepribadian yang tidak merasa salah dan tidak malu jika meraih gelar impian dengan cara yang tidak perlu usaha banyak.
2.      Adanya kepribadian narsistik, yaitu gangguan kepribadian yang ditandai dengan perasaan superior bahwa dirinya yang paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi, disanjung, kurang empathy, angkuh dan selalu berasa bahwa dirinya layak untuk diperlalukan berbeda dengan dengan orang lain. Perasaan-perasaan tersebut mendorong orang tersebut untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara apapun, misalnya untuk mendapatkan gelar.  Jika sudah mendapatkannya maka orang tersebut akan sangat senang memamerkan gelarnya demi untuk membangkitkan rasa superior tersebut.” Aku memang jegeg, gak ada yang menandingi!”
3.      Adanya kepribadian yang sangat ingin dikagumi.  Pada umumnya para pembeli gelar adalah para individu yang sangat ingin dikagumi orang lain.  Oleh karena itu mereka berusaha keras untuk mendapatkan “simbol-simbol status” yang dianggap menjadi suatu pengangkat derajat sehingga dikagumi.  Obsesi untuk dikagumi ini sayangnya seringkali tidak seimbang dengan kapasitas (kompetensi sang individu tersebut), misalnya tidak memenuhi syarat jika harus menjalani program pendidikan yang sesungguhnya sehingga akhirnya memilih jalan pintas untuk mendapatkan gelar yang menjadi alat untuk dikagumi itu. Maka jika pakai gelar SH, ya hanya Sarjana Hiburan saja. Atau jika pakai gelar MH, ya sebatas Megister Hampa, alias Megister Hadiah saja. Kosong blong, seperti genthong bolong.
4.      Adanya kepribadian yang angkuh dan sensitif terhadap kritik.  Pada umumnya para penyandang gelar palsu adalah orang-orang yang angkuh dan sensitif terhadap kritik sehingga mereka tidak mau menjalani jalur studi yang umum karena harus melewati proses yang panjang dan seringkali diperhadapkan dengan perdebatan untuk mempertanggungjawabkan pandangannya dalam kelas diskusi atau presentasi.   Seringkali alasan dari para pemilik kepribadian yang angkuh dan sensitif terhadap kritik ini adalah tidak adanya waktu untuk belajar secara normal karena sibuk, padahal sebenarnya hal itu hanya kedok untuk menutup kebodohan pribadinya saja.  Hal itu dapat kita lihat dari kehidupan sehari-hari dari para pribadi yang rusak ini, yaitu angkuh ,sangat sensitif terhadap kritik, bodoh, dhedhel, mudah dikibulin, serakah, rakus, suka berbohong, pinter selingkuh, dan boros.  Jika hal ini dibiarkan terjadi maka orang-orang seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa untuk orang lain, apalagi untuk pemerintah daerah, eeee… sebaliknya malah hanya akan merusak tatanan sosial karena berani-beraninya menggunakan gelar palsu!!” jelas Kyai Mirah mengingatkan.

Kolektor Gelar


Gelar Gak Ngefek
Ki Setyo Racethocarito

Sepertinya sih, orang atau manusia itu bila berkuasa mengira orang yang dibawahnya loyal atau percaya dengan semua sabda-sabdanya. Jawabnya kadang benar dan kadang tidak. Bagi orang yang fanatic karena merasakan manfaat dari sebuah kepemimpinan tersebut,- misal, nak-sanak, kerabat, kroni, tim sukses, sopir sakti, pejabat yang telah diuntungkan, dan orang bodoh yang telah terkontaminasi omongan manis juru kampanye- akan langsung santap semua menu yang muncul dari diri sang pemimpin tanpa reserve terlebih dahulu. Termasuk ketika sang wadip mengatakan bahwa dirinya alumni UGM, pasti deh mereka percaya dan terkagum bahwa dia benar-benar alumni UGM, padahal itu hanya ‘ngapusi’ belaka. Bener UGM tetapi bukan singkatan dari Univ Gajah Mada, tetapi Universitas Gombale Mukiyo… he…he…he…biasaaa, tebar prestasi, biar dikagumi. Akan tetapi bagi lawan politik, dan orang-orang yang pinter, orang-orang yang tahu hati nurani, dan orang cerdas nan bijaksana, akan membuktikan dulu semua omongannya terlebih dahulu, ndak percaya begitu saja. “Masa, sih, kuliah saja nggak pernah, kok tiba-tiba dapat gelar, SH, MH, MSi?????. Paling-paling wisuda dulu baru kuliahnya menyusul… itu pan kalau sempat lho???, he…he…he…
Begitulah, jika kebodohan, dan kelemahan intelektual seorang pemimpin telah menjadi penguasa di sebuah negeri. Ia bakal melahirkan kamuflase, kemunafikan, kebohongan, dan cerita-cerita fiksi, sekedar untuk mengelabuhi rakyat, demi keamanan jabatan, dan kelanggengan proyek-proyek pribadi yang kini tengah dipegangnya. Tentu saja termasuk istana pribadi dan proyek-proyek yang ditenderkan oleh pemerintah (pemerintah kemplo-pret!). Alhasil, ke mana pun mereka sambang –misal tilik desa, tilik sekolah, tilik RT, tilik manten, jagong bayi, kenduri, nyadran, ke hotel, ke warung bakul tahu goreng, dsb. – pastilah syahwat apus-apus, cerita palsu, ijazah palsu, gelar palsu, dan sebagainya, menjadi senjata ampuh untuk menaklukkan semuanya. Tak heran maka Anggaran pemerintah kadang dipakai untuk nomboki wartawan agar tidak menulis atau menyiarkan kelakuan sang dipati pada media masa, ketika perselingkuhannya dengan WIL konangan di sebuah hotel. Atau juga ketika sang wadip berbohong tentang sekolah ataupun kuliahnya.
Oleh karena itu, sangking gemesnya Petruk dengan Adipati Buto Terong, ia lantas memukul roboh sang dipati pada tanah kemudian menginterograsi sang dipati Terong,sambil menginjak perutnya agar ia mengaku semua perbuatannya. “Heh, dipati Terong!!, hayo enggal ngakua, yen sejatine kowe kuwi wis gawe rusak ing tatanan. Lan ngakuo yen sejatine kowe kuwi ora mampu dadi adipati, hayo coba sak iki tontonen, pemerintahan tambah rusak bubrah, tatanan kenegaraan, tatanan pemerintahan, tatanan surat-menyurat, tatanan jabatan, kabeh wis rusak mblasah ora karu-karuan, iki malah kowe gawe istana pribadi nganggo kayu jati sing olehmu ngrampas, lan kowe sak iki agawe rusaking pawiyatan pendidikan, kumowani nganggo gelar tukon, opo iki sing jenenge adipati sejati kaya sing wis mbok obral ning endi-endi… coba kae delengen, rakyatmu urip kesrakat, coba kae gagasen, pikiren… wong pinter podho thenger-thenger awit ora bisa ngatur negara yen ora biso mbayar, awit ora duwe duwit….oalaaah Teroooong…Terong!”
“Sik Truk!!!, interupsi Truk!!!”
“Ach! Mbuh!!, ra ngurus!!!”
“Eling Truk!!!, Eling Truk!!”
“Iyo !, ngopo?”
“Percuma kowe , milara, arepa mbok intrograsi nganti mecetet, ora bakal klakon bisa nggagas, bisa mikir…sebab pikirane cupet…opo maneh nggagas negara…oh ora kuwat Truk!!, keduwuren…”
“Bener Reng!, oh iyo aku ngke omong opo???”
“Lhadalah, kowe sak iki ketularan penyakite to???”
“Bener Reng… ujug-ujug aku melu kemplo… koyo buto Terong”
“Yo ngono kuwi akibate, yen pemimpine kemplo…oh kabeh menyesuaikan diri dadi aparat kemplo, awit sing dijak komunikasi ugo kemplo, dadi wis pas yen para aparat kadipaten dadi kemplo kabeh…”
“Oalaaaah Gusti!... bener omonganmu Reng!”

(Warning: Cerita ini adalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, waktu, dan peristiwa itu hanya kebetulan saja. Jika ada yang tersinggung, marah, apalagi ngamuk, itu berarti pernah, atau sedang melakukan perbuatan itu!!!)


MENDEM GELAR