EM HA… HA… HA… HA…
Ki Setyo Mangoenprodjo
Raden Katong, Kyai Mirah, Patih
Seloaji dan Ki Suromenggolo sedang mengadakan pembicaraan serius di sebuah
surau. Kali ini berbicara tentang gelar palsu yang digunakan oleh pejabat di
kadipaten. “Penggunaan gelar palsu itu, sambungnya, akan berdampak terhadap
citra birokrasi pemerintah di daerah, dan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat tidak optimal karena perintah atasan tidak akan ditaati oleh
bawahannya. Karena apa, lho lah iya ta, lha wong pejabatnya saja tidak tertib
hukum kok, mosok kuliah saja gak tahu, SMP dan SMA nya saja Cuma persamaan, lha
kok ujuk-ujuk dapat gelar SH, MH, MSi. Orang normal yang cerdas saja sulit
menempuh dan meraih gelar sebanyak itu dalam kurun waktu secepat itu, apalagi
yang sekolahnya saja nggak beres, baca Pancasila saja nggak becus, ini mesti
ada yang nggak beres, tolong paman Suromenggolo sampeyan telisik kebejatan
moral iki?”
“Kasinggihan Raden, …ini
merupakan prestasi kepemimpinan yang amat buruk, bahkan kepemimpinan amburadul,
ngawur, ngisin-isini, seorang pejabat tinggi sudah ngajari tidak jujur, ngajari
bohong kepada rakyatnya. Ini pertanda bahwa pemerintah daerah bakal hancur ,
rusak, Ini perlu segera ada langkah konkrit dari Gubernur untuk mengganti
pejabat-pejabat yang menggunakan gelar palsu tersebut, kemudian memprosesnya
sesuai ketentuan yang berlaku , Raden!!” , kata Suromenggolo geram.
“ Begini lho Raden, sesuai UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pemakai gelar palsu diancam denda Rp2 miliar dan hukuman
penjara 10 tahun. Berita ini,
dari sudut penjual dan pembeli gelar, merupakan suatu berita yang menyayat hati.
Tatkala ijazah sebagai lambang formal, sebagai bukti otentik bukti yang diakui
keabsahannya secara hukum, secara formil yuridis sah, tetapi secara materiil
tidak mempunyai nilai bahkan nol besar. Maka orang yang waras mestinya
malu memakai gelar palsu ini. Sebab saya yakin kalau hati nuraninya mau
dikedepankan maka ‘ menipu diri’ seperti yang pernah ditulis dalam harian local
lalu pasti tidak bakal terjadi. Namun demikian Raden, secara psikologis
orang-orang berbuat nekad demikian ini lantaran;
1.
Adanya kepribadian yang tidak merasa salah dan
tidak malu jika meraih gelar impian dengan cara yang tidak perlu usaha
banyak.
2.
Adanya kepribadian narsistik, yaitu gangguan
kepribadian yang ditandai dengan perasaan superior bahwa dirinya yang paling
penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi, disanjung,
kurang empathy, angkuh dan selalu berasa bahwa dirinya layak untuk diperlalukan
berbeda dengan dengan orang lain. Perasaan-perasaan tersebut mendorong orang
tersebut untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan cara apapun, misalnya
untuk mendapatkan gelar. Jika sudah
mendapatkannya maka orang tersebut akan sangat senang memamerkan gelarnya demi
untuk membangkitkan rasa superior tersebut.” Aku memang jegeg, gak ada yang menandingi!”
3.
Adanya
kepribadian yang sangat ingin dikagumi. Pada umumnya para pembeli gelar adalah para
individu yang sangat ingin dikagumi orang lain.
Oleh karena itu mereka berusaha keras untuk mendapatkan “simbol-simbol
status” yang dianggap menjadi suatu pengangkat derajat sehingga dikagumi. Obsesi untuk dikagumi ini sayangnya
seringkali tidak seimbang dengan kapasitas (kompetensi sang individu tersebut),
misalnya tidak memenuhi syarat jika harus menjalani program pendidikan yang
sesungguhnya sehingga akhirnya memilih jalan pintas untuk mendapatkan gelar
yang menjadi alat untuk dikagumi itu. Maka jika pakai gelar SH, ya hanya Sarjana Hiburan saja.
Atau jika pakai gelar MH, ya sebatas Megister Hampa, alias Megister Hadiah
saja. Kosong blong, seperti genthong bolong.
4.
Adanya
kepribadian yang angkuh dan sensitif
terhadap kritik. Pada umumnya para
penyandang gelar palsu adalah orang-orang yang angkuh dan sensitif terhadap
kritik sehingga mereka tidak mau menjalani jalur studi yang umum karena harus
melewati proses yang panjang dan seringkali diperhadapkan dengan perdebatan
untuk mempertanggungjawabkan pandangannya dalam kelas diskusi atau presentasi. Seringkali alasan dari para pemilik
kepribadian yang angkuh dan sensitif terhadap kritik ini adalah tidak adanya
waktu untuk belajar secara normal karena sibuk, padahal sebenarnya hal itu
hanya kedok untuk menutup kebodohan
pribadinya saja. Hal itu dapat kita lihat dari kehidupan
sehari-hari dari para pribadi yang rusak ini, yaitu angkuh ,sangat sensitif
terhadap kritik,
bodoh, dhedhel, mudah dikibulin, serakah, rakus, suka berbohong, pinter
selingkuh, dan boros. Jika hal ini dibiarkan terjadi maka
orang-orang seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa untuk orang lain, apalagi untuk pemerintah daerah,
eeee… sebaliknya malah hanya akan merusak tatanan sosial karena berani-beraninya menggunakan gelar
palsu!!” jelas Kyai Mirah mengingatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar