Kamis, 31 Mei 2012

Pemimpin Pinter Tenan Ki Setyo Mangoenprodjo

Pemimpin Pinter Tenan
Ki Setyo Mangoenprodjo

Apabila seorang pemimpin itu pinter lahir batinnya, maka ia adalah sebagai sang  pencerah, yang dapat memberikan pencerahan kepada seluruh anak buahnya dan masyarakat luas yang dipimpinnya. Berbagai kenyataan dapat kita lihat  pada pemimpin pemerintahan yang selalu menyatukan ide, pikiran, dan kinerja karyawan, maka pencerahan tersebut  menjadi daya dahsyat yang akan membawa pemerintahan ke posisi yang ditargetkannya. Akan tetapi jika pemimpin pemerintah itu pilon, bloon, plonga-plongo, maka para karyawan juga ikut-ikutan o’on, dan plonga-plongo, ketularan pemimpinnya.
Oleh karena itu, karyawan membutuhkan seorang pemimpin yang bisa memberi pencerahan yang mampu menyatukan mereka. Kekuatan pencerahan yang dimaksudkan adalah direction atau arahan ke mana mereka harus bergerak. “Pencerahan akan membuat karyawan dan unit bisnis merasa diakui kontribusinya,”  Akan tetapi jika sang pemimpin tidak mampu memberikan arahan, maka seorang bawahan akan kehilangan arah, mereka bingung mau mengerjakan apa. Lha wong pemimpinnya saja bingung ketika ada gubernur atau menteri  datang, katanya meyakinkan.
Agar pemimpin mampu memberikan pencerahan secara optimal, prinsip “7-T” dari Suryo dapat dijadikan referensi bagi para pemimpin. Prinsip 7-T meliputi: Toto, Titi, Titis, Temen, Tetep, Tatag, dan Tatas. “Agar tercipta suasana yang mengayomi dan mencerahkan, serta mampu menciptakan suasana sejuk seperti feel at home, ada ajaran Jawa yang saya peroleh dari kakek, almarhum KRMTA Poornomo Hadiningrat, yaitu 7-T. Ajaran ini belum terlampau tua jika dibandingkan dengan falsafah Jawa yang lain,” tutur Suryo yang tertuang dalam bukunya.
Ia menceritakan, prinsip 7-T merupakan hasil pengalaman kakeknya selama menjabat pamong praja. Pengalaman itu kemudian diajarkan kepada dirinya agar dapat dijadikan pedoman dalam bekerja. “Beliau selalu menekankan, kita harus selalu me-review diri sendiri sebelum memberikan keputusan maupun bertindak,” ujarnya menyadur ucapan sang kakek. Jadi, seorang pemimpin harus selalu mengkaji, apakah dalam kesehariannya dia telah memenuhi prinsip-prinsip 7-T dengan baik.
Mengenai prinsip 7-T, Suryo menjelaskan, 3-T pertama (Toto, Titi, dan Titis) merupakan skills (keterampilan), yang juga dipengaruhi oleh kecerdasan seorang pemimpin. “Bahwa arti Toto itu teratur, Titi itu teliti, dan Titis itu tepat. Nah, tiga skill itu yang sebenarnya amat diperlukan seorang pemimpin,” ujarnya menegaskan. Misalnya, pada prinsip Toto, seorang pemimpin dituntut untuk berpikir, berbicara, dan bekerja secara teratur atau sistematis. “Karena pemimpin harus mampu menciptakan rule of the game atau standard operating procedures (SOP),” katanya memberi alasan. Tidak sebaliknya, ngomongnya ngelantur, ceplas-ceplos, procat-procot, tidak terkonsep. Sehingga ketika ngomong , akhirnya tidak runtut, tidak sistematis, sehingga ketika omongannya nyuprus ngalor ngidul, sering terucap  seorang pemimpin kemplo “Aku ngke omong opo?”. Yang dengar Cuma mesam-mesem kecut. Pemimpin apa ini, mending pemain kethoprak, masih runtut dan enak didengar. Lha ini, blas, ora mudeng dengan tema pembicaraan.
Kemudian, prinsip 4-T berikutnya adalah Temen, Tetep, Tatag, dan Tatas merupakan suatu sikap atau tekad yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, yang diiringi dengan suatu kegiatan atau action. “Prinsip 4-T berikutnya, yang terdiri dari Temen (jujur atau tulus), Tetep (konsisten), Tatag (tabah), dan Tatas (tegas) merupakan komitmen atau niat yang harus terwujud pada perilaku atau sikap pemimpin sehari-hari dalam memimpin kelompok atau perusahaan,” Ia memastikan, pemimpin yang Temen atau jujur dalam pola pikir dan perilakunya, akan diikuti dengan ketulusan anggota tim dalam bekerja sesuai sasaran yang ingin dicapai. Akan tetapi jika seorang pemimpin sekelas bupati/gubernur/menteri, atau presiden sekalipun tidak punya prinsip di atas, maka tunggulah kehancuran sebuah pemerintahan. Dan sekarang bukti nyata itu tengah kita alami dan kita saksikan bersama. Negeri yang dipimpin oleh raja semprul bin sontoloyo. Selamat menikmati!!.***

Minggu, 27 Mei 2012



Wayang Kemplo

Wayang Kemplo Gerr
Lampahan DEWA RUCI
Seri DURYUDONO KEMPLO
Ki Setyo Racethocarito

Leng-leng ramyaning kang sasangka kumenyar oong Mangrengga ruming puri, mangkin tanpa siring halep nikang umah mas lir murubing langit.. ooong tekwan sarwa manik ooong, tawingnya sinawung sasat sekar sinuji unggyan Banuwati ywan amrem alangen myang nata Duryudana ooong myang nata Duryudana….
Tersebutlah negeri Ngastino yang gemah ripah lohjinawi, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Aspal, gedung, jembatan, dan proyek APBD jadi makanan. Orang bilang negeri itu taman surga yang indah. Surganya bagi semua orang yang menghuni ndik sana. Tak terkecuali para koruptor, politikus busuk, politikus setengah busuk, dan politisi penguk. Semua menikmati taman firdaus yang sedang digelar ndik sana.
Siapakah yang sekarang menguasai negeri tersebut. Tersebutlah Prabu Kurupati Kemplo, seorang pangeran putra dari Dewi Gendari dan Destrarastra. Ia adalah pangeran yang terlahir dari kaum gedongan. Ia nggak pernah mengenyam pendidikan formal. Ia hanya lulus sekolah dasar saja. Sedangkan SMP , SMA dan Sarjana hukumnya hanya diselesaikan via kejar paket saja. Ia tergolong pejabat yang nggak beres sekolahnya. Dan memang baginya sekolah itu ndak penting, lha wong tamatan SD saja bisa jadi ratu kok. Paparnya dalam komprengsi pers beberapa pekan yang lalu.
Dan memang benar. Ngastina sekarang dipegang olehnya. Ngastino yang dulu moncer, kondang kaonang-onang, kini tersa semakin gelap, alias peteng ndhedet lelimengan. Sang Prabu yang ola-olo, nggak punya latar pendidikan yang layak, terasa semakin kocar-kacir memipmpin negeri. Mulai dari rekruitmen PNS, pengangkatan Sekda hingga jual beli jabatan, yang melibatkan Patih Haryo Sengkuni.
Di samping nggak becus ngurus pemerintahan, Sang Kurupati juga punya hobi selingkuh dengan istri orang lain. Selingkuhannya adalah Bakul tahu yang masih terlihat kinyis-kinyis. Konangannya ketika indehoi di sebuah hotel, terpergok oleh wartawan. Kemudian untuk tutup mulut, sang Kurupati terpaksa nguras uang APBD Ngastino untuk menyumpal mulut wartawan, agar tidak menguap di Koran.
Kebetulan pagi itu, sang padukendro lagi lenggah siniwoko, dihadap oleh seluruh pejabat eselon satu dan dua yang lagi mendapat tempat basah mutasi. Mereka pun Nampak sumringah, mesam-mesem, pangkat yang nemplek dipundak terlihat semakin nggedibel, ada yang jalannya sampai miring, termasuk otaknya. “Wah abdiku semuanya jegeg” puji sang Kurupati Kemplo, bangga dengan anak buahnya yang nggak nggenah tersebut.
“Kula dhahat, kula pundi mugi ndadosno jejimat sinuwun…, dosa menapa ingkang kula sandang, keparengo paduka paring sabdo…” Tanya salah satu anak buahnya yang ndak kalah kemplonya
Patih Sengkuni, yang juga teman kuliah Prabu Kemplo Kurupati di Universiatas Hukum Fakultas Penjara, terlihat mesam-mesem geli.
“Mas pejabat eselon…, sinuwun itu dereng ndangu paduka lho?, kenging menapa kok sampun cadhong deduka, paring pidono… ooo dasar pejabat eselon kemplo”
Sang pejabat eselon yang baru saja menjabat kepala dinas itu Nampak tersipu malu. Dia malu lantaran baru pertama kali dia menjadi pejabat yang langsung diangkat sinuhun Prabu Kurupati. Sebab, dia sendiri sebenarnya nggak layak menyandang gelar pejabat eselon tersebut. Akan tetapi karena dorongan istrinya, dia pun merelakan tujuhratus lima puluh juta untuk membeli jabatan itu agar terlihat mentereng di mata masyarakat. Toh uang sogokan itu, baginya mudah mengembalikan, jika jabatan basah itu telah disandangnya. 
Sementara Sang Dursasana terlihat terpingkal-pingkal melihat ulah para pejabat Ngastina yang semakin lama semakin kemplo semua.
“Pun man… pokoknya kula mboten melu-melu. Nggo njenengan rusak negeri Ngastino, kula tak pamit wangsul mawon…” sahut Dursasana sambil ngeloyor meninggalkan pasamuan***BERSAMBUNG LHO…
70 Milyar Uenak Tenaaan!!
Ki Setyo Racethocarito

Rongeh jleg tumiba gagaran santosa wartane meh teka sikara karodha barang-barang ngerong dicolong adipati sing ndomblong, saguh tanpa ringo-ringo, tan pekewuh sanadyan ora biso opo-opo, katalika pra kawulo kuciwo, sigra wruh manowo sang padukendra kagungan tindak sikara murang tata…ooonggggg
Sepeninggal Dursasana, tiba-tiba dari arah pintu gerbang dikejutkan dengan kedatangan Sang Resi Bisma yang naik taksi dari Talkanda. Beliau langsung njujug di pasewakan, diantar oleh beberapa pengawal setianya. Sontak semua hadirin kecuali Duryudono memberikan salam hormat sambil menundukkan kepala.
Memang hari itu ada meeting yang sangat penting. Para petinggi Kurawa tengah gelisah  mencemaskan sikap Begawan Durno yang kini tengah main mata dengan para anak-anak Pendowo. Sikap cemas itu memang sangat beralasan. Di samping akan menambah kuatnya Pandowo,  maka di satu sisi akan melemahkan Kurowo dalam perang Bontoyudo besok.
Oleh karena itu Prabu Kurupati segera mengumpulken pejabat sepuh adisepuh, ,para sesepuh ,stakeholder, pejabat eselon, salon, dan paralon, lurah, demang hingga Pak RT yang selalu menjadi king maker atau ujung tombaknya kebobrokan negeri Ngastino. Sehingga paseban pringgitan sore itu penuh sesak. Semua pejabat dan penjahat bersatu, dengan mengusung tema ‘manunggaling cipto roso karso memacu hancurnya kebaikan bumi reog’
“Kaki Prabu, jauh-jauh dari Talkanda eyang ke sini, hanya menginginkan agar gossip yang menimpa Pandita Durna ini jangan sampai berlarut-larut. Menurut saya sikap sebagai guru harus mencurahkan semua kasih sayangnya kepada semua siswanya. Baik yang bangsawan, rakyat biasa maupun, rakyat miskin papa sekalipun. oleh karena itu sikap Pandito Durno sudah pas dan adil, dia sudah memerankan guru professional walaupun test PLPG belum lulus” jelas Resi Bismo bijaksana
“Nanging, pendita Durna menika gesang sajroning negri Ngastino. Dia mendapaat gaji juga dari Negri Ngastino. Oleh karena itu jika Pandito Durno sekarang ini jadi gurunya anak-anak Pandowo, itu namanya berkhianat. Tindakan ini termasuk indisipliner, melanggar undang-undang guru Ngastino. Di samping itu, saya kuwatir, jika Pandita Durno memberikan piwulang kepada mereka, maka anak-anak Pandawa menjadi sakti-sakti semua. Sebab Pandita Durna punya banyak ngelmu Kanoragan” debat Duryudono ngeyil
“Kaki Prabu, saya mengharap masalah ini dibicarakan berdua saja. Jangan sampai pertemuan ini terkesan menjastifikasi seseorang. Ini melanggar HAM, memperbesar kemaluan eh mempermalukan orang lain di depan umum. Semua harus diklarifikasikan dengan hati yang dingin”
“Betul yayi prabu, rakanto ing Ngawonggo juga setuju dengan eyang Bismo. Lebih baik masalah paduka dengan Begawan Durno diselesaikan di dalam ruangan tertutup saja!” sahut Basu Karno tangkas
“Sudah begini saja sekarang, saya ini adalah raja negeri Ngastino, saya harus bertindak tegas. Sebab sebentar lagi kita akan menghadapi perang brantayuda jayabinangun yang keempat. Kita butuh kekuatan, dan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, saya tidak setuju, jika Ngastina dan kurawa bersatu. Saya harus merebut Ngamarto, dan membunuh semua anak turun Pandawa. Dan saya tidak mau menuruti kemauan Eyang Bismo, oleh karena itu siapa yang tidak setuju dengan keputusan ini silakan meninggalkan Ngastino!!”
Mendengar kata-kata yang pedas dari Duryudono, Resi Bismo merah padam telinganya. Amarahnya memuncak sampai kucir ujung kepala.
“Heh Duryudono, yen wis mbok karepne koyo mangkono, aku ora bakal melu-melu. Mbuh mbesuk dadi opo, aku ojo mbok katut-katutne….” Sergah Resi Bismo sambil meninggalkan pasamuan.
Tidak lama kemudian patih Sengkuni yang berperan sebagai Pak RT nya Ngastino, segera mendekat…
“Sinuwun… ini merupakan kesempatan untuk menaikkan anggaran APBD, kita buat dana siluman sebnyak 70 milyar saja. Alasannya Negara dalam keadaan darurat, perlu dana buanyaaak. Nanti orang-orang dewan kita kasih cipratan dikit-dikit saja… untuk uang tutup mulut… sudahlah, nanti Pak RT ini lho yang ngatur semuanya…” bisik Sengkuni licik




Begawan Kemplo Datang (BKD)
Ki Setyo Racethocarito

Satu per satu tokoh penting yang diundang Prabu Kurupati meninggalkan pasamuan. Resi Bismo mearasa dilecehkan, semua nasehatnya tidak ada yang diperhatikan. Ia pun pergi tanpa pamit sambil ngedumel, kaya orang mendem. “Adoh-adoh dari Talkanda, Cuma dilecehkan. Kurang ajar, tau rasa kamu Duryudono, titenono, negaramu bakal hancur…” omel Resi Bismo sambil melangkahkan kaki keluar.
Di tengah perjalanan, Resi Bismo masih terdengar ngomel-ngomel nggak karuan. Ia melihat ketidakadilan di negeri Ngastino semakin membengkak melebar, menghilangkan norma-norma yang telah ada. BKD menjelma menjadi Badan Korupsi Daerah. SEKDA menjadi Sekretaris nDak Ada. Semua proyek sudah dikuasai oleh keluarga patih Ngastino. Sekarang ndak ada tender-tenderan. Pokoknya Wadip (Wakil Adipati) yang sekarang ini menjadi ratu sejati, ia menguasai semua proyek-proyek, semua asset pemerintahan, agen jual beli jabatan, agen jual beli PNS dan sebagai pengendali adipati yang sekarang sedang memerintah Ngastino.
Begitulah Ngastino sekarang. Para notoprojo kemplo telah menjadi penguasa yang hanya menghabiskan uang Negara. Mereka bukan dari professional yang berangkat dari jenjang  bawah. Akan tetapi berasal dari tokoh-tokoh yang lemah dalam bidang manajerial, moral dan keakademisan. Maka tak heran jika pemerintahan di Ngastino, meraih prestasi memalukan. Adipatinya ola-olo, dan kemplo. Korupsi, pungli, dan manipulasi yang dilakukan anak buahnya tidak bisa ia kendalikan.
“Pejabat itu harus memberikan pelayanan kepada masyarakat, bukan malah memberikan pungli padanya” pungkasnya dalam sebuah acara.
Rakyat yang mendengar kritis ganti berargumen. “Alaaaah, lha wong mau jadi PNS dan pejabat saja adipati dan kawan-kawan sudah memberikan pungli kok. Bagaimana rakyat mau mendengar nasihatnya… gajah diblangkoni… iso kojah ra iso nglakoni mas…”
Akhirnya Ngastino yang sekarang dikuasai oleh pejabat-pejabat ndak nggenah semakin kehilangan arah. Mereka –para pejabat- terpengaruh atas ketidakmampuan sang adipati, yang sekarang pakai gelar MSi (Megister Sekedar Iseng). Gelarnya ternyata hanya agar terlihat mentereng saja. Sementara kompetensi  imbas dari gelarnya tidak ada sama sekali. Maklumlah, gelarnya, kuliahnya, thesisnya, skripsinya, hanya cuma beli saja. Jadi semuanya diperoleh dari jalan yang tidak normal, jalur ilegal. Maka jangan heran, orang yang mendapatkannya juga tidak normal. Dan adipati tidak ngerasa kalau predikatnya sekarang  sebagai perusak pendidikan.
“Sinuwun… keparengo kula matur”
“Hiya, ada apa paman?”
“Miturut pamawas pun paman, negeri Ngastino menika sekedap malih bakal ajur mumur, awit Kakang Pandito Durno sampun selingkuh kalian para anak-anak Pandowo. Piyambakipun medhar sedoyo ngelmu kanoragan dumateng Werkudoro. Suwalikipun, sang Pandito Sukolima meniko nglirwakaken dumateng anak-anak Kurowo. Nuwun sewu menika sinuwun, menawi menika dipun lulu, dibiarkan terus, maka akan menjadi boomerang yang akan menghancurkan Ngastino” jelas Sengkuni persuasive..
“Lajeng kepareng paman pripun?”
“Ah gampil niku. Mumpung piyambakipun wonten, mbok monggo panjenengan dangu piyambak”
“Nggih paman, sak menika sumonggo panjenegan timbali marak ngarso”
Patih Sengkuni segera mendekati Pandita Durna yang tengan main game bersama Werkudoro di teras pendopo Ngastino.
“Assalamu ngalaikum Wakne Gondel?” sapa Sengkuni sambil njawil Pandito Durno yang tengah asyik main game.
“Eh…lole…lole soma lole, mprit ganthil buntute mah joglo, cuplak andheng-andheng yen dibukak marakne kenceng…., eh iya … ada apa Sengkuni??”
“Nggih nuwun sewu kakang panembahan, kula diutus sinuwun Prabu Duryudono kinen nimbali panembahan marak sowan ing sitinggil, sak menika ugi”
“Ana perlu apa??”
“Kula mboten kepareng njlentrehaken perkawis menika, ringkesing rembak, monggo, panembahan kula larab dumateng pendapi praja”
“Oh, iya Sengkuni, hayo ndak derekne” BERSAMBUNG


Perayaan Ulang Tahun yang Keempat
Ki Setyo Racethocarito


Berita kelicikan Begawan Durno dan Prabu Duryudono Kemplo,SH, MSi, akhirnya terendus oleh para pandawa. Begawan Durno sengaja memilih Werkudoro dijadikan siswanya, karena pertimbangan politis. Durno menjelaskan bahwa kekuatan Pandawa terletak pada Werkudoro. Jika Werkudoro berhasil dibunuh, maka kekuatan Pandawa tinggal seperlimanya. Oleh karena itu, pilihan itu tidak terlepas dari perhitungan yang matang. Pertama; Werkudoro adalah ksatriya yang punya kepatuhan yang tinggi pada orang tua dan gurunya. Kedua; Werkudoro adalah ksatriya yang mempunyai kekuatan super tinggi, yang tiada tandingnya.
Prabu Kresna yang tanggap ing sasmito segera meng-esemes saudara-saudaranya Pandawa  untuk meeting di Kantor redaksi Media Mataraman. “Wah, gawat Yayi Samiaji. Kita segera perlu membahas sikap Werkudoro yang nekad berguru kepada Durno” kata Prabu Kresno via tlepon selulernya.
Prabu Puntodewo yang punya naluri kepemimpinan yang tinggi segera memanggil saudara-saudaranya termasuk Werkudoro, untuk segera meeting di kantor redaksi Media Mataraman.
“Yayi Werkudoro, Janoko, Pingsen lan Tangsen, aku ingin kalian segera datang menghadapku di kantor redaksi Media Mataraman”
“Oh iya kakang, sebentar saya segera ke sana!” jawab mereka kompak

Sementara itu, di Banjarjunut, Patih Ngastino – Haryo Sengkuni,M.Pd – yang didapuk sebagai ketua Duryudono Centre, tengah berjalan tergesa-gesa menemui Dursosono yang tengah main gaple dengan Aswotomo di bawah pohon beringin.
“Wah, dasar bocah eidaan…kowe ndek wingi tak kongkon opo?”
“Oh inggih Man, kulo kinen nglobi poro Wartawan, dalah poro pemilik kolowarti utawi pemilik Koran supados mboten ngritik Prabu Duryudono,SH,M.Si, pedes-pedes…”
“Piye? Opo usahamu wis kasil?”
“Woooh, pancen nggih cocog, kalian kahanan. Senadyan ta sampeyan niku nutup-nutupi sang prabu, waaah rakyat niku sampun ngertos sedoyo menawi Prabu Duryudono ingkang ngagem gelar SH, MSi niku super kemplo… ha…ha…ha…oalaah to Man… Man,,, mbok nggih nyebut kemawon… Kulo niku nggih paham kalih sampeyan niku… Tundone tiyang niku yen niyate olo oooh bakal konangan,…. Kok Man”
“Oh, kowe ojo ndakwo aku sing ora-ora lho Dur!, tak suwek lambemu!!, ngertiyo yo, Prabu Duryudono iku wus kasil mbangun Ngastino kanthi prestasi tinggi, pro rakyat lagi !!”
“Nopo?, pro rakyat??, ooooh sampeyan wus kuwalik imane. Cobi sampeyan pirsani. Sak niki niku, sing jenenge indomart, alfamart, tambah ngremboko wonten sak dengah panggenan. Poro pedagang kecil sami bangkrut, gulung tikar. Nopo niku sing jenenge prestasi dalah pro rakyat. Ingkang kaping kalih, sedoyo proyek sampun sampeyan kuwasani, ooalaah to Man…Man.. mentang-mentang dadi patih, sampeyan niku ngetokne srakahe. Lan kulo ngerti kok Man… anane sampeyan ngathok niku ing tembe sampeyan niku ngersakne jabatan kepala dinas, pingin dadi rojo…. Oalaah Man…Man, sampeyan bakal kelakon dadi Rojo… ning rojo koyo….ha…ha…ha..”
“Lha terus kesanggupanpu tak kongkon nglobi dek wingi kae piye??”
“Wah pun ta kajenge. Menu pedes niku kathah manpangatipun. Sepindah kangge ngencerne otak sing lagi njendhel, utek sing lagi kelebon endhut utawa air comberan. Ing tembe supoyo sing maune nduwe sifat kewan biso owah dadi sifat manungso ihsani. Kaping kalih, minongko kangge ngetest gelar MSi ingkang sampun kasandhang dening Prabu Duryudono. Awit yen ningali wicanten dalah solah bawane, gelar meniko kok katingal meragukan… malah kulo meniko tumut isin… saben mimpin rapat, kok dadi rapati nggenah, saben pidato, kok dadi kampanye…oalaaah Megister.. kok ngisin-isini…ha…ha…ha…”
Patih Sengkuni wajahnya menjadi merah padam. Dia segera meninggalkan Dursosono dan Aswotomo.
“Mo, aku itu juga kuwatir dengan ebesmu”
“Kuwatir apaan?”
“Kalau ngelmu kanoragan semuanya diberikan kepada Werkudoro, apa dikira bakal tidak menjadi boomerang bagi Ngastino?”
“Ah, sampeyan itu terlalu curigation pada bapakku. Padahal bapakku sebenarnya hanya ingin menjebak Werkudoro agar mau tenggelam di Samodra. Dia disuruh oleh bapak mencari tirto mahening suci, yang tempatnya ada di tengah samodra. Maka untuk mendapatkan air itu, syarat satu-satunya adalah harus mencebur ke tengah samodra…”
Dursosono akhirnya menjadi paham dengan semuanya. Oleh karena itu dia segera beranjak dari duduknya, dan mengajak Aswotomo menuju Ngamarto untuk menemui para pemilik Koran untuk tetap memberikan kritik yang pedas dan tajam, dalam rangka menguji kesarjanaan, dan kemesgiteran Prabu Duryudono SH,MSi. Sarjana-sarjanaan atau Megister Sekedar iseng belaka.
Aswotomo tidak lupa membawa kue tart susun empat, tanda ucapan ulang tahun kepada Media Mataraman. Sedangkan Dursosono membawa oncor, sebagai ganti lilin, pertanda sebagai ucapan kepada Media Mataraman agar menjadi Koran pelopor yang menerangi bangsa dan Negara Ngastino. Dan menerangi hati manusia agar berlaku terang, jujur, tidak suka berbohong seperti tingkahnya Prabu Duryudono,SH,MSi.


Bancaan APBD SILUMAN
Ki Setyo Racethocarito

Bumi reog gonjang-ganjing lir kincanging alis, risang maweh gandrung sabarang kadulu APBD moyag-mayig oooong

Tepat jam sepuluh pagi, sang panembahan Pandita Durno memasuki ruang sidang paripurna. Ndik sana udah ada Prabu Kemplo Duryudono,SH,MSi. Wabub Patih Sengkuni, asisten satu Durmogati, asisten dua Citraksi, asisten tiga Citraksa, dan asisten empat Kartomarmo. Mereka sengaja mengadakan meeting terkait rumor dana siluman, dan  isu negative tingkah laku Begawan Durno terhadap anak-anak Pandowo.
Sebelum acara dimulai, seperti biasanya diadakan apel alias upacara resmi. Yang pertama dilakukan adalah menyanyikan lagu kebangsaan Ngastino. Kemudian dilanjutkan pembacaan Pancasila.
Nah, pada saat membaca Pancasila ini, Prabu Kemplo Duryudono,SH. MSi, kelihatan aslinya. Ratu Ngastino yang punya gelar palsu ini ternyata hanya jebolan sekolah dasar saja. Lha wong hanya tinggal membaca saja ternyata ndak bisa, ndak bisa. Macih kalah ama anak kecil …”Ah, malu-maluin…memperbesar kemaluan…” Pancasila yang mestinya lima dasar, ia hilangkan sebagian tinggal empat dasar saja. “Oalaah.. kemplooo…kemplo..” ujar beberapa lurah yang dulu pernah mengusungnya jadi adipati, kecewa.
Suasana di pendopo kadipaten terlihat semakin semrawut, amburadul. Adipati sang megister palsu persis seperti tayangan tukar nasib. Ia nggak paham dan nggak mudeng apa yang menjadi tugas adipati dalam pemerintahan. Lurah-lurah yang dulu memperjuangkan untuk jadi adipati-pun nampak mulai meninggalkan dukungannya. Mereka para lurah dan kepala desa merasa tertipu. Mereka merasa menyesal, karena ikut menyesatkan masyarakat Ngastino memilih adipati kemplo. Buktinya janji-janji yang pernah diberikan sang adipati ketika macung dulu, satupun ndak bisa direalisasikan.
Para kepala desa serta perangkatnya gigit jari kaki dan tangannya. Alias ngaplo seperti wayang kemplo. Ola-olo koyo wong pelo. Mereka dulu dijanjikan bakal diberi peningkatan pendapat.. ee bareng jadi beneran tak sepeserpun peningkatan itu diberikan. “Lha mau diberikan bagaimana. Lha wong membaca saja nggak bisa?, apalagi menyusun program anggaran, program pemerintahan, dan program strategis lainnya?? Nggak mudeng mas, mangkanya sekarang ini negeri Ngastino anyep njenjet, paket lebaran nggak ada, baju seragam nggak ada, bahkan kenaikan pangkat juga nggak ada lagi. Adipatinya linglung, bingung, maklumlah… hanya lulusan sekolah dasar saja”
“Wonten kerso menapa dene padukendra nimbali kula pun Durna ngger”
“Inggih eyang… kula bade minta keterangan eyang Durna babagan sesambetan eyang kalian Werkudara”
“Oh, dugrahat…dugrahat, loleeee…loleee soma lole mprit ganthil buntute mah joglo, adipatine plola-plolo, katon bodho koyo kebo… oalaah mung iku ta ngger… Nggih, menawi ngaten kula akeni bilih sedaya menika sampun kula sengaja bilih Werkudara ing ri kalenggahan menika dados siswa kula…”
“Lha rak leres ta sinuwun… menawi mekaten ateges Bapa Durna bade adamel ringkihipun Kurawa. Wosipun kanthi nggladhi Werkudara ateges sedaya ngelmu kanoragan badhe lumuntur dumateng Werkudara. Lan menika badhe nambah sentosanipun para Pandawa. Pramila kanthi menika sinuwun…, Bapa Sokalima sampun tumindak subversive, merorongrong kewibawaan Ngastina, pantes menawi Kakang Durna lumebet kunjara…”
“Piye Eyang Durna??”
“Oh… loleeee…loleee soma lole, wong kok cubluk banget nalare… bodho banget pamikire. Wong koyo Sengkuni niku sing pantes diukum mati. Wong mung bisane dadi provokator, tumbak cucukan. Mula kowe kuwi dijenengne Sengkuni. Seng iku mambu, Kuni iku telek. Dadi sengkuni iku ngemu teges ‘mambu telek’….”
“Wah, sampeyan iku nambahi ruwet rentenge praja wae…”
“Nggih, sak niki ngaten mawon sinuwun…, kula badhe blakasuta mawon…”
“Ngatos-atos sinuwun… sok sok kakang Durna niki tinggal glanggang colong playu, pramila sedaya pocapanipun badhe kula rekam…”
“Pun, sak niki paduka mirengaken kula menapa tekek elek Sengkuni niki, menawi paduka mirengaken Sengkuni kula tak nyuwun pamit mawon…”
“Lho rak tenan ta sinuwun… mesti piyambakipun badhe tinggal gelanggang colong playu…”
“Oalaah, ngrungokne kok ngrungokne wong bodho, wong culas, wong mendho, wong rakus, dadine ya kaya ngono kuwi. Dadi wakil adipati ya adipati rakus. Sak eneke proyek dikuasai kabeh. Nganti duwit APBD diuntal, untung adipatine mendho.. dadi  bisa mbok apusi… bisa mbok kerjain… Wis kateg-kategna Sengkuni… Gusti Murbeng Dumadi ora tau sare. Bandha karam sing mbok untal bakal dadi penyakit!!!



Sopir Pejabat Siluman
Ki Setyo Racethocarito


Kadipaten Ngastino kian hari paham kemploisme kian melanda pada gundulnya pejabat. Hal ini tentu saja alir kebijakan dari sang dipati kian menambah semarak perkemploisme di sana. Tak terkecuali tiga kusir kadipaten yang ngurusi tiga kereta siluman kini beralih menjadi juru racik jabatan. Mereka adalah Haryo Condowiseso, Haryo Kardiosamapto, dan Tumenggung Saguhlorolopo.
Banyak orang kadipaten yang nggak paham dengan ketiga kusir tersebut. Masyarakat hanya mengenal kalau ketiganya adalah penasihat spiritual. Mereka keluar masuk blusukan di istana kadipaten tanpa protokoler.  Mereka juga sebagai penghubung dengan masyarakat, ketika ada kajatan, kenduri, tingkeban, RT an, sunatan, arisan, mantenan, dll. Mereka tahu kelemahan sang dipati. Yaitu takut kalau mengikuti kalangan akademis. Takut kalau pengapesannya ketahuan.
Begitulah keberadaan tiga kusir kereta siluman itu. Mereka adalah penasihat sekelas penasihat keprisidenan dan hulubalang. Mereka punya kekuatan untuk mengangkat pejabat, mengangkat pegawai negeri, bahkan keluarga yang tadinya pengangguran-pun tahu-tahu dapat jabatan. Maka jangan heran jika di instansi pemerintah daerah, tiba-tiba ada pegawai titipan, bidan titipan, guru titipan, karyawan titipan, satpam titipan, dan sebagainya. Mereka merasa kalau Ngastino adalah miliknya.
Sementara itu, Pandito Durno yang sedang diadili oleh Adipati Kemplo Duryudono dan patih Sengkuni,  masih memaparkan visinya
“Begini lo ngger… kenapa eyang memilih Werkudoro sebagai siswa Sokalima…. Ini adalah politik tingkat tinggi ngger. Werkudoro kula pilih jalaran piyambakipun tiyang ingkang patuh lan taat dumateng guru. Menawi kula ingkang ngutus, mesti menapa kemawon bade dipun lampahaken, kosok wangsulipun menawi piyambakipun kula penggak, menika inggih bade tuhu bektos miturut ngger…”
“Interupsi wakne gondhel… “
“Iyo, ono opo Sengkuni”
“Kakang Panembahan mau kandha apa?”
“Werkudoro mono siswa sing patuh lan mituhu dhawuhe guru!”
“Terus mbok kongkon opo Werkudoro!”
“Werkudoro tak kongkon njegur segoro, nggoleki tirta pawitra mahening suci sing panggone ana telenging samodra”
“Numpak gethek apa speetbot?”
“Oh, loleeee…loleeee, bocah kok cengoh koyo adipatine, malah kowe ki patih lha kok yo kalah kalah karo sopirmu… oalaah patih karo adipatine pisan kok yo kemplo kabeeeeh, iki mengko Negara arep dari opo to yo…yo…, iki ngene lo Sengkuni, Werkudoro mengko tak kon njegur tanpa bantuan alat apapun termasuk plampung, lan tabung oksigen…”
“Weee, gurune tibake ya luwih kemplo… coba ta sampeyan penggalih maneh ta panembahan. Werkudara kae dedek piyadege yen lumebu segoro mula ora bakal kleleb… lan maneh deweke duwe anak sing bisa ambles bumi, aku yakin deweke mesthi njaluk bantuan si Antarja…yen koyo ngono tenan politik tingkat tinggimu diragukan, bisa-bisa kowe bakal kewirangan…”
“Ah nonsense…omong  kosong. Sopo sing durung kenal karo aku…, aku iki wis pengalaman, Senadjan aku ora duwe titel SH,MSi, nanging aku luwih pinter tinimbang kowe. Aku elek-elek ritek tahu sekolah, sekolahku kanthi cara sing bener, ora tuku ijazah koyo kowe… arepo kowe sarjana utowo megister , nanging aku yakin sarjana lan megistermu mung kanggo gagah-gagahan, lha wong skripsi wae ora cetho gawe, apa maneh tesis… hayo kethoken drijiku yen kowe sarjana lan megister tenan…” cecar Durna muangkel kel
“Bapa Durna…Bapa Durna…”
“Oh inggih ngger..”
“Sakniki mboten sisah panembahan eker-ekeran rebut bener. Sampeyan pun ngelek-elek kula. Sanadya kula namung alumni kejar paket, nanging kula niki adipati Ngastina lho, menawi kula mentolo, jengandika saget kemawon kula lereni dados PNS…”
Durna jadi terdiam. Sengkuni, berikut tiga sopir yang paling berpengaruh di Ngastina segera meninggalkan pasamuan.  Akhirnya negeri Ngastina semakin runyam, karena ulah para pejabat yang berpaham kemploisme telah mendominasi semua lini. Sang adipati yang lemah pun semakin lemah, pidatonya semakin ngawur, karena hapalannya habis. Nyaris sekarang seperti burung beo, yang hanya bisa membunyikan kata dan ayat-ayat yang sama di manapun berada. Dan sekarang gelarnya bertambah menjadi Adipati Beo Kemplo Duryudono, SH,MSi.




SOPIR SAKTI
Ki Setyo Racethocarito

Sejenak di pendapa pringgitan para hadirin terlihat terdiam. Orang dekat Prabu Kemplo Duryudono,SH,MSi, seperti Haryo Suman,MPd, Kartomarmo,SH, Citraksi, Sangguplorolopo, Condowiseso, dan Kardiolumaksono, selalu menjadi penerima tamu saat ada tamu penting yang datang ke pendapa. Ketiga orang tersebut, dalam struktur pemerintahan tidak ada hubungan structural. Akan tetapi karena mereka adalah orang-orang dibalik suksesnya Prabu Duryudono jadi ratu, maka mereka diberi kesempatan menjadi penggede di pringgitan Ngastino. Bahkan mereka juga yang ikut jadi makelar yang menata jabatan di Ngastino, sehingga pemerintahan menjadi runyam nggak karuan.
Lucu, menggemaskan, dan mencemaskan. Sebuah pemerintahan formal dikendalikan, oleh juragan gunung gamping,  dan sopir pribadi sang Prabu Duryudono. Dianggapnya kalau sudah sukes jadi tim sukses  bisa berbuat semena-mena, sebebas-bebasnya, tanpa etika, tanpa aturan. “Oalaah kemplo…kemplo…., wong ki yen ora tahu oleh pendidikan karakter yo ngono kuwi” keluh Begawan Durno
Begitulah kemploisme telah melanda pemerintahan Ngastina. Semua itu tidak terlepas dari pucuk pimpinan yang nggak becus  memimpin. Dan nafsu serakah tim suksesnya untuk melahap kue pemerintahan sehingga, dulur, sanak kadang, suami, istri, dan rakyat yang sanggup membeli jabatan dapat jatah di pemerintahan daerah. Pemerintah Ngastino persis pemerintahan preman. Mereka berjalan di atas penderitaan orang lain.
Melihat dan mendengar pemerintahannya bubrah, Prabu Kemplo Duryudono,SH,MSi beserta dua sopir dan satu juragan gamping -tim suksesnya- jingkrak-jingkrak nggak mudeng. Mereka bangga dalam ketidakmudengan. Mereka tidak mudeng karena karakter kemplonya sudah diraih ketika menjadi preman hingga mendapat gelar megister kemplo di universitas ra nggenah dulu.
Itulah pemerintahan ra nggenah, pemerintahan kacau bin ngawur yang pernah terjadi di OVJ kini menjadi kasunyatan di ngalam ndonya Ngastino. Tapi walau ngawur ,mereka –tim sukses kemplo- cukup terhibur karena sang Prabu sangat merakyat.  Betapa tidak, walau di pemerintahan ndak mudeng, tapi ketika ada undangan di sunatan, di warung, di RT, di tingkeban, di zikir widak, di yasinan, di brokohan, dll. Kecuali undangan seminar, paparan visi dan misi, undangan akademik, dan undangan pinangan partai, dia ndak berani… takut kalau konangan kedua kalinya.
“Niki pripun ngger, sinuwun Prabu?”
“Menapane?”
“Oh…. Loleeee…lole… numpak sekuter nyang Ponorogo… jare megister .. jebul kok ora biso opo-opo…, duh grahat…duh grahat… dimar mati minyake kosong… oh loleee…loleee  jare gelare  bupati… nanging kok domblang-domblong, kosong mlompong, plenggang-plenggong…. Koyo Bagong…Duhgrahat…duhgrahat, ndonya tandane arep kiamat oleh pemimpin modale mung merakyat.. tata negoro ora kerumat, dhasare mung bondho nekat, rumangsane dadi bupati lungguhe nikmat, tanda tangan tondo mupangat, saguh mbangun makmuring rakyat, pranyata upakardi mung kianat, nglarani atine rakyat. Bondho karam podho disunat… duhgrahat… duhgrahat… Ngger Prabu Duryudana… menawi Ngastina menika tetep ngugemi paduka… oh mbenjang ing prang Bratayuda Jayabinangun Ngastina bakal ajur mumur, ngger…pramila kula mboten lepat menawi si Werkudara kula lamar dados ketua partai, eh mahasiswa kula ngger, mbenjang kula bujuk, bade kula wisuda dados Megister Sosiologi… sinten ngertos mbenjang pikantuk suara mayoritas wonten ing pemilu 2014…”
“Oh inggih eyang, nanging kula dereng pitados menawi Werkudoro dereng dipun sowanaken sak menika…”
“Oh… loleee…loleee, kasinggihan ngger, dinten sak menika pun Werkudara sampun kula SMS, malah menika kula sampun nelasaken pulsa sak rinjing…”
“Oalaaah, pulsa opo lo kok sak rinjing?, pendita ki yen pendito kemplo ya kaya pendita wakne gondel ngene iki… pulsa kok sak rinjing, rumangsane gaplek piye…”
“Wis Man, Suman…lambemu aja ndomble wae… ngko ra tak dadekne kepala dinas kapok kowe…, ning kene iki sak iki rol e aku, ngerti ora…, kowe macem-macem tak kandakne tim suksesku, ooo kowe bakal dimutasi, biso-biso leren dadi PNS kowe…”
“Wah, dadi pendito pisan wae kok galak temen ta… hayo  sak iki sampeyan timbale si Werkudoro, yen nyoto sampeyan konsisten pingin nggembosi Pandowo…”
“Oh loleee…loleee, adipati karo patihe kok jebul podho wae… coba sawangen mburi kae… si Werkudoro awit mau wis karo aku….”

Orang sak pringgitan kaget, ternyata Werkudoro sudah hadir di tengah-tengah mereka. Haryo Suman, Kartomarmo, Citraksi, Durmogati, dua sopir sang Prabu, serta juragan gunung gamping pura-pura menyambut Werkudoro ramah. Mereka berada di pintu gerbang pringgitan, layaknya manggoloyudo… “Piye, awakmu teh opo kopi… Tanya Condowiseso kepada Prabu Duryudono, nggak punya etika.




Pegawai Siluman
Ki Setyo Racethocarito
Kita tinggalken dulu kisah orang-orang kemplo yang memegang tampuk kepemimpinan negeri Ngastino. Sekarang kita lihat Raden Dursasono yang kedarang-darang meninggalkan pasamuan, akibat ketidakcocokannya dengan Prabu Duryudono dan wakilnya Haryo Suman, M.Pd. Dia sekarang berada jauh dari pendapa pringgitan. Dia berkeliling menjaring aspirasi masyarakat terkait kepemimpinan Prabu Kemplo Duryudana,SH.MSi,
Jujugan pertama kali adalah warung iwak kali, yang dijadikan berkumpulnya para proletar alias rakyat jelata. Tempatnya berada di pinggir kali Sekayu Ngastina. Setiap hari para pegawai rendahan dan masyarakat beramai-ramai makan ndik sana. Sang Dursasono pun ndak mau ketinggalan.
Dengan bersandal jepit, Dursasono nyingklak sekuter Congo berwarna biru menuju warung yang ramai jadi jujugan masyarakat. Di sana sudah banyak yang tengah makan dan ngantri membeli nasi pecel iwak kali untuk dibungkus dibawa pulang.
Dursasono segera menghentikan skuter dan memarkirnya di bawah pohon bamboo, cukup digeletakkan saja. Maklumlah jagragnya sudah patah. Dia nggak mau berpenampilan ala anggota dewan yang kemaruk dengan kemewahan. Dia jadi orang biasa saja. Walau pejabat tinggi, tetap merakyat, tetap kritis terhadap kebijakan pemimpinnya. Dan dia tidak ngawur seperti Prabu Kemplo Duryudono, SH,MSi, yang pakai gelar palsu hanya untuk gagah-gagahan saja.
“Sarapan Bu…” ucapnya singkat
“Ngersakne pecel nopo iwak kali thok !?”
“Menawi bungkuse thok pripun ???”
Orang-orang di dalam warung menjadi tertawa semua. Pagi itu suasana menjadi gayeng lantaran pemilik warung humoris dan pinter membuka suasana. Pantaslah warung itu selalu ramai dikunjungi warga masyarakat.
Setelah sarapan pagi selesai, Raden Dursasono segera beranjak meninggalkan warung, dan segera ngeloyor keluar meninjau satker-satker yang ada di negeri Ngastina. Konon satker-satker yang dikepalai oleh seseorang itu sekarang –semenjak Prabu Kemplo Duryudono berkuasa- merangkap juga menjadi makelar pegawai-pegawai siluman atas prakarsa tim sukses dan Prabu Kemplo sendiri. Setiap satu gundhul pegawai siluman, ia mendapat upah lima juta rupiah. Sebuah pekerjaan haram tapi menjanjikan.
Tidak beberapa lama, Raden Dursasono pun nyampai juga di ruang kerja para satker. Ia melihat pemandangan lucu. Para pegawai siluman itu ternyata tidak punya pekerjaan. Mereka sudah pakai seragam PNS lengkap dengan asesorisnya. Sedangkan SK nya hanya berdasarkan perintah lisan dari para calo atau makelar yang mengusungnya. Sehari-hari pekerjaannya hanya duduk pethongkrongan di lahan parkir, kedatangannya seperti orang yang mau kenduri saja. Orang-orang yang sudah lama tinggal di satker tersebut mendadak kebingungan dengan datangnya mereka.
Bahkan seorang bidan protes keras, lantaran diperintah oleh kepala satker untuk menggaji mereka.
“Wah ini jelas-jelas perbuatan edan Mas!” kata seorang bidan tatkala dikunjungi oleh Dursasono.
“Edan pripun?”
“Pripun nggih, lha wong duginipun mriki mawon mboten jelas kok, lha kok kula niki kapurih nggaji piyambakipun niku pripun??, dasare menapa??”
“Weeelhadalah… dasare nggih kemplo niku, Negara niku mawa tata, mawi aturan, rumangsane yen wis dadi bupati bisa sak karepe dewe…. Oh… mang titeni, tiyang niku yen nggendhong milik lali… oh wekasane bakal ciloko, dudu darbek lan wewenange barang diuntal, dicolong, dibadhog… oh wadhuke bakal mbrodhol ususe… cangkeme bakal suwek mebrek-mebrek… pun ta niku mesti …”
“Inggih raden… kula inggih mesakne dumateng lare-lare menika. Piyambake minongko korban para calo ingkang dipun pandhegani dening wadya balanipun bupati kemplo Ngastino ingkang dasar cubluk, kumalungkung, sopo siro sopo ingsun,  ora ngerti tata krama, tata Negara, dalah tata susila, sandyan ta agelar sarjana hukum, nanging gelar menika pranyata namung gelar lamis, gelar ingkang sinandang mung kangge pantes-pantesan kewala. Isi nipun kosong mlompong, pindha genthong bolong, santer suwantenipun, nanging jebul mboten saget menapa-menapa….”
“Nanging wonten lho ingkang panatik, menawi piyambakipun menika saget mrantasi damel ing babagan pemerintahan , nanging gandeng anak buah ipun kathah ingkang saking bupati lawas, pramila menika dados pepalangipun pemerintahan…. Yen kula nambahi soyo yakin bilih bupati kemplo menika nedahaken derajat kemplonipun semakin tinggi. Tiyang niku yen pinter, ngadepi sinten mawon rumaos gampil lan sekeco, mbuh niku warisan bupati lawas manapa bupati kinyis-kinyis… pun ta pokoke kula yakin bilih Ngastina bakal rusak menawi bupati ingkang sak menika tetep lungguh dampar denta… lha wong nuwun sewu nggih… sak dangune dadi bupati mawon ngangkat lan mensiunake sekda mawon bingung kok… menapa malih… niki entheng-enthengan mawon… perkawis maca Pancasila mawon kliru lo.. coba… lan malih menawi piyambakipun pidato… teng pundi mawon nggih namung niku-niku mawon… njelehi… wis ora nyambung… omongane ngalor ngidul… oalaaah man…man… kapan Ngastina maju… lha mung lulusan SD kok dadi bupati… oh ora klakon man majune… entek-entekane mung nggo dolanan makelar…ooooohho…”





Hidup Wakil Rakciat
Ki Setyo Racethocarito

Raden Dursasono segera meninggalkan lembaga pemerintah Ngastino yang ternyata juga menjadi pusatnya orang-orang gila seperti halnya kampoeng dan RT-RTnya orang –orang yang diberitakan beberapa media local. Sasaran berikutnya adalah pendopo pringgitan Ngastino, dan gedung dewan. Di sana konon merupakan dua lembaga penyebar virus yang menyebabkan orang-orang gila semakin merajalela di Ngastino.
Tidak tanggung-tanggung virus kemplo bin edan beneran merambah mulai bupati, camat, kepala desa, lurah, guru betulan, guru siluman, pegawai beneran, pegawai siluman, sopir beneran, sopir siluman, hingga anggota dewan beneran , anggota dewan siluman, RW dan RT siluman. Semuanya nyaris terkena virus edan, gila, setengah gila, dan setengah waras, campur aduk membuat pemerintahan Prabu Kemplo Duryudono,SH.MSi, rusak berantakan persis dengan pikirannya yang nggak waras.
Kesimpulan yang didapat Raden Dursasono menyatakan bahwa negeri Ngastino masuk dalam katagori Negara Gila. Betapa tidak, lha wong di semua lembaga sekarang ini selalu ditemukan orang-orang gila. Kepala satkernya gila jabatan, gila harta, sementara pegawai siluman gila kedudukan. Klop!, maka mereka kemudian membangun kampung gila, kampung idiot, dan kerja saling cokot.
Raden Dursasono terlihat semakin geli melihat pemerintahan kemplo, yang hanya terjadi di Ngastino saja. Bahkan menurutnya ini adalah pemerintah yang menjijikkan, nggilani, dan ngisin-isini. Semua sektor dikomersilkan, mulai camat, kepala desa, guru, pegawai, satker, kepala dinas, pegawai kontrak, bidan kontrak, dokter kontrak, hingga kontraktor, dan koruptor. Hal inilah kemudian yang menimbulkan karut marutnya penataan pegawai negeri. Sampai-sampai di suatu lembaga kelebihan tenaga atau pegawai.
“Nuwun sewu mas, apakah sampeyan nggak nolak, ketika ada pegawai drop-dropan seperti ini?” Tanya Dursasono mengklarifikasi kepada kepala sekolah
“Sebenarnya saya sudah menolak mas, tapi kemudian saya dipaksa menandatangani pernyataan, wah kalau ada unsur politik begini saya nggak berani mas?!”
“Oooo… kranjingan, kabeh tularan virus kemplo… ooo trembelane…, nggih pun mang trimak-trimakne riyin, pun ta pokoke sampeyan titeni, suro diro jayaning kang rat, lebur dening pangastuti, becik ketitik ala ketara, sapa sing nandur ala, oooh bakale katara, sapa sing gawe rusaking Negara bakal mlebu kunjara, pun ta mang titeni… nggih pun kula tak nglajengne lampah…”
Raden Dursasono segera meninggalkan sekolah di pelosok desa yang sering jadi pusat penyebaran guru-guru siluman oleh orang-orang kemplo anak buah Prabu Kemplo Duryudono,SH.MSi. Kali ini ia njujug di gedung dewan perwakilan rayat, eh rakyat. Ndik sana sudah ada Mahapatih Haryo Suman, MPd, ketua Prabu Duryudono Center, dan sekaligus dewan penasihat spiritual, dan sekaligus juga anggota dewan yang mulia, wakil rakyat yang merakyat ketika ada hasrat yang mencuat.
“Waaah pagi Man !?”
“Weeeladalah… bocah ke yen ora kedunungan iman yo ngono kuwi. Eee mbok yen ngucapne salam ke asalamu ngalaikum apa piye ngono rak ya kepenak yen dirungokne. Aku iki anggota dewan lho Dur, titelku RT alias Raden Tumenggung, dadi kowe yen nimbali aku cukup RT Haryo Suman,MPd. Kowe ya kudu ngerti menawa Ngastina ing dino iki dadi panguwasanku. Sak eneke pejabat termasuk rekruitmen pegawai negeri kudu mbayar lewat aku. Termasuk kowe yen pingin diangkat ning kutha, mula cepakno dhuwit satus yuta….”
“Oooo RT dhegleng, layak ta Ngastino iku mau malih rusak merga pokal gawemu, oh titenono Man, kabeh mau bakal ndak tulis ning media masa”
“Alaaaah, mokal Dur, ora mungkin kowe bisa nulis ning Koran. Ngertiya ya , sak iki iki Koran Radar Ngastina wis ndak tuku, Koran-koran local wis ndak duwiti kabeh. Dadi masyarakat mung bisa maca menawa pemerintahan Ngastino, kondusif, bertabur prestasi, lan tambah ngayem-ayemi, lan kanggo pejabat sing ora gelem mbayar menyang aku bakale tak lengserne..”
“Oaaalah, RT ke yen bosok uteke, bosok pikirane, lan bosok atine ya kaya sampean niku. Anane mung tumindak ala, tumindak culika, tumindak durjana, layak ta sanadyan sampeyan niku umroh bolak-balik, entek-entekane ya bali ngedrink malih, medok malih… oaallahh RT dhegleng, pun sak niki sampeyan niku napa mboten mesakne kalian rakyat?”
“Oooo bocah ke yen ora cetha ya kayak owe kuwi. Aku iki sebagai anggota dewan wis menjalankan amanah penderitaan rakyat lho Dur”
“Contone?”
“Yen rakyat pingin urip nikmat, pingin turu angler, pingin mangan enak, pingin omah mewah, pingin cewek cantik, pingin mobil mewah, pingin omah, sawah sing mblasah ning endi-endi duwe, kabeh mau wis ndak wakili…. Wis ta rakyat ndak usah kuwatir… merdeka untuk anggota dewan, hidup!...hidup ! dewan!”
“Ooooo trembelane…, nuwun sewu Man, sampeyan nopo dereng nate diuyuhi segawon… monggo njenengan mangap, pun kula dados segawon mboten menopo… sing penting kula badhe caos pelajaran dumateng anggota dewan ingkang kados sampeyan niku…”




Istana Aji Mumpung
Ki Setyo Racethocarito

Guru yang satu ini memang terbilang sakti juga. Dia punya aji kesaktian yang bernama aji mumpung . Jenis ajiannya sama dengan aji-aji yang dipakai oleh sopir kadipaten Ngastino tempo hari. Tapi dia tidak kalah sakti dengan mereka. Sebab dia punya hubungan darah merah dengan Kanjeng Mamy, istri Adipati Kemplo Duryudono,SH.MSi. Namanya Resi Lucitrowiyoto,S.Pd. Dia, di samping sebagai resi atau guru, dia juga terbilang menjadi jalan tol, alias makelar jabatan bagi siapa saja yang mampu membayarnya. Lumayanlah, di samping dapat jatah sertifikasi, dia juga kebagian kue basah, setelah saudara iparnya jadi raja di negeri Ngastino.
Begitulah negeri Ngastino kini bagaikan negeri milik Prabu Kemplo Duryudono,SH,MSi. Sekeluarga, dan kroni-kroni jahatnya. Semua sektor yang dapat digunakan untuk mengeruk keuntungan, tidak ada yang luput dari bisnis culas alias ngawur, yang merugikan orang lain yang berhak menerimanya. Mumpung semua orang berada di bawah kakinya, mumpung dia berkuasa, maka jadilah ia raja bengis raja yang tidak pakai nalar dalam bertindak. Pokoknya ada untungnya, maka semua diembat tanpa sisa sedikitpun.
Memang, nasiblah yang menghantarkan Prabu Kemplo Duryudono jadi orang nomer satu di Ngastino. Bermula dari kepala desa, hingga wakil adipati yang tidak diberi kesempatan oleh juragannya memimpin pemerintahan. Lantaran memang nggak bisa dan ndak punya kemampuan untuk itu. Maka kesempatan menganggur di pemerintahan kala itulah kemudian ia keluyuran menjadi pejabat tinggi yang rajin menghadiri pesta rakyat seperti mantenan, kenduri, sunatan, tingkeban, dan lain-lain.
Berkat ‘kerja kerasnya’ itulah ia kemudian mendapat predikat pemimpin bersahaja, merakyat, dan enthengan. Maka pada pemilukada yang sudah lewat dia dipilih oleh partai besar di Ngastino sebagai orang yang dianggap mampu mendulang suara mayoritas lantaran reputasi merakyatnya melebihi dua kandidat lainnya, yaitu incumbent adipati dan ketua dewan pada waktu itu. Alhasil, berkat kampanye yang dilakukan oleh para tim suksesnya maka ia pun mampu menjadi pemenang di antara tiga kandidat yang sama-sama buruknya tersebut. Dan ketika menang, maka hasil kepemimpinannya pun seperti yang telah diduga jauh-jauh hari sebelum dia resmi dilantik jadi adipati. Jeblok, mengecewakan, memalukan, dan ternyata ia adalah ular berbisa yang siap menelan benda apa saja ketika kelaparan. Maklumlah dulu ketika masih jadi kepala desa belum pernah membayangkan duit milyaran. Jadi begitu tahu, nafsu libidonya menggelora. Maka tak heran cewek cantik, rumah mewah pun kini jadi target untuk tenger jika dia pernah jadi orang luhur di Kadipaten Ngastino.
“Piye Man, apa sampeyan masih jadi pengagum Prabu Kemplo ?”
“Weee.. kowe ki piye ta Dur, lha yo juelas ta Dur. Pranyoto menak tenan dadi pejabat tinggi kuwi. Proyek-proyek bisa ndak  kuasai, sanak sedulur lan para kroni bisa nyambi dadi makelar pegawai, bisa ngatur para pejabat, termasuk para camat sing biyen dadi juragane sang dipati. Lumayan lho Dur yen kowe gelem dadi kepala dinas wae, gampang yen musuh aku. Cukup mbayaro pitung atus seket juta wae, dene yen kowe pingin dadi camat ning kutho, cukup asok duwit satus selawe juta wae. Dene yen kowe pingin dadi PNS, cukup mbayar rong atus skeet juta wae. Iki mau kabeh harga bersaing, wis ta pokoke yen kowe kelakon, gambang duwit mau mbalike. Akeh proyek sing biso mbok korupsi… contone wae Prabu Duryudono, ngerti kowe.. senadyan lagi wae dadi ratu, buktine biso mbangun istana sing kayu jatine rego telung milyar, durung  pengaji tembok, gendeng, wesi, lan asesorise…piye Dur… tertarik ora, bathine gedhe lho?”
“Ooooalaaah, Man…Man… sampeyan niku mbok nggih dilereni dados menungsa sing ora nggenah niku. Lha wong mimpin rumah tangga mawon mboten becus lha kok mimpin Negara, angsal-angsale nggih ngoten niku. Rumangsane yen dadi pemimpin niku namung ngge pados bathi, padhos duit, numpuk bondho, selingkuhane teng pundi-pundi, saget meksa lan meres kepala dinas, saget adol jabatan, lan saget menapa kemawon… oalaah Man…Man, ngoten niku nedah aken menawi sampeyan niku pemimpin rendahan, pemimpin mendho, pemimpin sing mboten  professional, srakah, rakus, nggragas, lan ora duwe duga. Lha mosok ta, adipati lha kok ora duwe program  pemerintahan, malah saben dino ora tahu ngurusi pemerintahan, malah sing dipentingke undangan manten karo undangan genduren… oalaah Man…Man… adipati cap napa niku, adipati gombale mukiyo… Pun ta Man… Man… ken leren mawon dipati  sampeyan niku. Mesakne para kawulo, sing nandang gizi buruk, urip kesrakat, lan mesakno praja Ngastino, Negara tambah bubrah, pemerintahan amburadul, sing untung mung keluarga lan kroni-kroni, termasuk sampeyan niku ta…”
“Kowe ki ngibarate kaya cecak arep nguntal helicopter. Senadyan ta cangkemmu mbok bukak sak meter, tangeh lamun kowe bisa nyeramahi wong pinter koyo aku iki. Aku iki wis puluhan tahun dadi politisi. Kanggoku, duwit bukan nomer satu. Tapi tanpa duit aku ora mungkin bisa nomer satu. Ngono iku semboyane politisi. Dadi sapa sing bisa mbayar gede yaiku sing bakal kawentar. Nanging kosok baline, yen kowe dadi politisi jujur ngono kuwi, tangeh lamun yen kowe bisa duwe omah mewah, mobil mewah, dadi bupati, dadi anggota dewan, apa maneh bisa dadi wakil bupati kaya aku iki… maeng mula aku rak wis kondo, dadio wong kang culiko, duroko, durjana, lan duratmoko, wis ta.. kowe bakal kelakon dadi wong kang minulyo… sekolah ora perlu duwur-duwur, lha wong jeneng palsu wae bisa dadi bupati kok, aja maneh kaya aku iki, cukup lulusan SD wae wis beres kok…”
“Ooooalah, guneman kok karo wong gendheng, ah ora ana rampunge. Nggih, saran sampeyan kula rungokne, nanging mboten kula gugu. Pun kula tak ndem-ndeman mawon kalih lare-lare nakal teng sor ringin nika…”
“eee sik ta disik, kowe aja ning sor ringin kono, ning kana cedak karo Pak RT lho, mengko dikiro aku sing marahi”
“Alaaah, lha sing ngebossi malah Pak RT kok, nggih kajenge!” sahut Dursosono ngawur.



Soreng Takir, Soreng Ambruk, dan Soreng Damplo
Ki Setyo Racethocarito

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap lir kincanging alis, sabarang kadulu Ponorogo morat-marit… oooong…
Pangeran Haryo Dursasono,SH.MSi,  terlihat nyengir kinyis-kinyis begitu mendengar wejangan ndak nggenah dari Sang Patih Haryo Suman,M.Pd. Di dalam hatinya tetap ndak terima dengan keadaan Ngastino yang semakin semrawut akibat ulah para kaum benconges, kaum preman-preman politik yang dipandhegani oleh Soreng Takir, Soreng Ambruk dan Soreng Damplo. Tiga sandi inilah yang sekarang menguasai seluruh sendi pemerintahan Ngastino, dari hulu hingga hilir, dari juragan hingga sopir, dari istri hingga selir, dari pegawai siluman hingga pegawai halaman parkir, dari yang waras hingga yang kenthir, dan dari yang utuh hingga yang suwir dawir-dawir.
Pemerintahan Ngastino nyaris berakhir. Luka, borok-borok, krowok-krowok, pating ndemblok, terlihat mencolok. Adipati dan wakilnya lholhak-lholhok, mripate plorak-plorok, pikirane pating plenok, nyawang kadonyan ning gulu nggondhok, ana kursi banjur diemplok, ana anggaran ya diemplok, ana kesempatan ya dicaplok, ana prawan ayu lha ya diemplok…,” ini namanya kekuasaan, jangan sia-siakan”. Bisik Gudhayitma pada telinga adipati dan kroni-kroninya.
“He!, para bromocorah, para benconges, para preman politik, dalah para soreng, mrenea ingsun pingin ketemu jeneng sira, hayo pada mreneo” teriak Gudhayitmo
Spontan para benconges Ngastino mlumpuk menghadap Gudhayitma seketika. Mereka membawa stopmap yang berisi program-program pengrusaan Negara, yang berisi perkembangan kerusakan, kebejatan, dan kejahatan yang telah diberikan olehnya. Mereka pun satu persatu menghadap dan mempresentasikan dengan program powerpoint pada LCD. Giliran pertama, Soreng Damplo!
“Pangeran Gudhayitma, perlu kula aturaken bilih negari Ngastina sampun kasil kula rusak. Mas picis rajabrana sampun kula kuras, kula colong lan kula tumpuk wonten griya kula. Dene pemerintahan sampun saget kula obrak-abrik dados pemerintahan terkorup sak ngalam donya….”
“Haa…haa…ha..ha…, bagus!, kowe meh oleh drajat iblis kaya aku!, bagus…bagus… terus apa program mu sak teruse?, he!”
“Program kawula, wonten ing wekdal tiga tahun pertama, pemerintahan kajenge dipun cepeng kula sak kanca, dene dua tahun ingkang pungkasan malih kajenge dipun cepeng Dipati Kemplo…”
“Ha…ha…ha…, apa karepmu kok mangkono?”
“Inggih, leres gusti, pikajengan kula menawi ing tahun pertama niki, kula saget ‘nyrakahi panguaos, nyrakahi bandha donya, nyrakahi proyek-proyek, lan niki mangke saget kenging kangge mbangun utawi rebut panguwaos tunggal wonten ing pemilu ingkang badhe dateng. Dene dua tahun pungkasan, kula pasrahaken dumateng Adipati Kemplo malih, menika namung strategi, akal-akalan, supados masyarakat punya kesan tersendiri tarhadap kasunyatan bobrok lan kemplonipun pemerintahan, saenggo brand image masyarakat belum hilang dalam ingatan masyarakat pada waktu pemilu digelar. Lan menika saget kula angge bahan kampanye untuk memojokkan Dipati Kemplo agar tidak terpilih lagi, lantaran prestasi kerjanya yang buruk di awal dan akhir pemerintahannya…. Dene kangge ngepik-pik ben kebobrokan kula mboten konangan dening masyarkat, kula sampun ndamel Koran, lan nyuap para wartawan kinen nulis prestasi ingkang sampun kula tampi…”
“Oooooohalaah, degleng…degleng…, padahal kowe karo adipati ya padha dheglenge, padha ora isone…padha kemplone, padha-padha ora because ngurusi pemerintahan, terus oleh prestasi gombale mukiya kuwi. Paling-paling prestasi apus-apus, prestasi mbajing, ngutil, ngenthit, nyolong, lan njupuk…hhoooo…hoooo, pemerintahan degleng…degleeeeng”
“Kasinggihan leres makaten…” ucap Soreng Damplo jujur, sambil mengemasi laporan, dan menyilakan teman soreng lainnya untuk presentasi di hadapan Prabu Gudhayitma.
“Sak iki genti giliranmu!” tunjuk Prabu Gudhayitma pada Soreng Ambruk.
“Amit-amit kaliman tabih, tinebihna iladuni, mimbuhana ing warana, sembah bekti kula konjuk gusti…”
“ha…ha..ha…, iya Soreng Ambruk!, sembah bektimu ingsun tampa, puja pangastawaku tampanana, mugiya dadi jebate nata praja..”
“Inggih Hewang Pambejating Ndonya, kula tampi mugi ndadosna piandel kula anggen kula sedya damel rusaking kawula, rusaking Negara, lan rusaking tatanan ing  ndonya…”
“ha…ha… ha…bagoes!...bagoes!, pancen kuwi sing ndak ajab, rusaken tatanan becik, rusaken para muda taruna, ujanen omben wuru, pil koplo, main kertu, pergaulan bebas, siapna hotel, kafe, lan warnet, murih para muda, lan ndonya Ngastina rusak, ajur mumur, jarah mrayah,  rusak mblasah, bondho kadonyan lan panguasa colongen, kutilen, entekna sak mblendhuke wadhukmu…. Ha…ha…ha…, ingsun melu mangayubagya… turus program-programmu apa wae, Soreng Ambruk?”
“Inggih sinuwun, kula sampun ndamel konsep ppemerintahan rusak lan njlomprongaken dipati kemplo supados tambah ola-olo, dene rencang kula sampun kula caosi panguwaos dumateng proyek-proyek ingkang saget nambahi kikiyatan CV lan bisnis keluarganipun…. Ing pangajab mangke, sagetta dados adipati wanodya ingkang dados panguwaos ing Ngastina, nggentosi Adipati Kemplo sak menika”
“Ha…ha…ha,,, bagoes…bagoes…, kowe pancen spesialis apus-apus, dadi luwes yen njlomprongne rakyat, njlomprongne adipati kemplo…yaaa… aku melu seneng, muga-muga suk kowe dadi pejabat bejat sing duwe wewenang kang ora winates. Wis ya terusna anggonmu duwe gegayuhan ngrusak ndonya…aku ndak mlebu ana ing sanggar pamujan dhisik”
BERSAMBUNG



Negeri diambang Bangkrut
Ki Setyo Racethocarito


Awan gelap menyelimuti negeri Ngastina. Burung-burung gagak beterbangan, membawa berita bahwa negeri ini bakal menerima bencana, lantaran ulah  pejabat Negara yang semakin hari menunjukkan daya rusaknya terhadap tatanan Negara yang semakin parah. Lihatlah, Sang Dipati Kemplo terlihat bangga duduk-duduk di atas gelondongan kayu jati seharga 3 milyar hasil dari ‘merampok’ dari kepala dinas pertanian yang menjadi kekuasaannya. Ya, itulah istana aji mumpung yang dibangun dengan menggunakan kesempatan, mumpung masih bergelar adipati, yang punya kesaktian tunjuk sana, tunjuk sini, perintah sana, perintah sini, minta sana, minta sini, ancam sana, ancam sini, peras sana, peras sini, mirip seorang raja pada komedi kethoprak yang tengah acting di panggung.
Namun nampaknya rakyat sudah mulai tersadar, bahwa sang dipati yang memegang amanah rakyat, ternyata tidak menguasai pemerintahan. Bahkan boleh dikata, dipati yang bergelar  sarjana hukum ini tidak tahu judul skripsi yang telah dibelinya. Maka tak heran jika ketika memberikan pembinaan kepada stafnya, yang muncul hanyalah banyolan-banyolan katrok layaknya orang-orang desa yang tidak pernah mengenyam pendidikan.
Begitulah, akhirnya sang dipati tidak tahu etika pemerintahan, tidak paham dengan hukum  tatanegara, dan tak paham konteks pembicaraan. Sehingga omongannya selalu ngawur, ngelantur, monotone, tidak bermutu, membosankan, karena hanya bermodal hapalan sebatas kualitas menu anak desa yang hanya jebolan sekolah dasar. Tak heran jika yang mendengarkan menjadi ikut-ikutan kemplo bilung eh bingung pikirannya. “Ini tadi apa sih tema nya, lha kok gak nyambung blas, Joko Sembung naik patas, gak nyambung blas”
Itulah nasib negeri gemah ripah lohjinawi yang kini ibarat mati di dalam lumbungnya sendiri. Rakyat telah salah memilih seorang pemimpin. Dan yang terpilih tidak mau menyadari kalau dirinya tidak bisa memimpin pemerintahannnya. Maka tak heran jika keadaan negeri di ambang kebangkrutan. APBD  Ngastina habis hanya untuk membayar gaji rutin pegawai hingga 68%. Sebuah pengelolaan pendapatan yang tidak ideal lagi. Bahkan dalam kondisi yang demikian ini justru sang dipati bermain di air yang keruh. Dia malah mengangkat pegawai-pegawai siluman, dan memperkaya dirinya sendiri.
“Pun!, sak niki pripun Man?, yen Ngastina bangkrut, sampeyan ya kudu melu tanggunjawab lho.  Sebab yen sampeyan ora melu cawe-cawe… ooo bakale negera niki bade  dipun marger kalian negeri pandawa, sampeyan bade dados gedibalipun lare-lare pendowo… pripun? Sampeyan gelem ora?”
“Oooo, toblas…toblas, wah yo kojur no Dur yen Ngastina marger karo Ngamarta…”
“Maeng mula, sing jenenge pendidikan niku nggih penting kok Man, mila mbenjang menawi milih pemimpin niku nggih sing sae niku  ingkang latar pendidikane maton, prestasine nggih jelas, mpun kados niki? Nggih nuwun sewu kula mboten ngenyek lho, cobi mang titeni, teng pundi kemawon sinuwun pidato, kula kok mboten nate kepireng pidatone niku ilmiah, gathuk kalian tema acaranipun, malah kosok wangsulipun pidatone nggladrah, rusak, mboten karu-karuan. Malah sak niki masyarakat mbiji menawi niku sanes pengarahan, nanging kampanye, oalaaah Man…Man… dipati napa kepala desa, sinuwun sesembahan sampeyan niku?, malah..malah moco Pancasila mawon mboten godak, niku rak nambahi ketingal bodonipun…ha…ha…ha…”
“Kae ngono ora kok ora bisa moco Pancasila, nanging sinuwun prabu pas dalam kondisi menyepelekan, mentang-mentang wis apal di luar kepala, mula bareng disodori teks banjur keliru…”
“Kliru kok bolak-balik… oalaaah Man…Man… koyo ngono kok di bela-bela, mbok nggih mpun, sampeyan niku nyadarke sang dipati, ken leren mawon anggene dados adipati Ngastina, mesakna kalih kawula, mesakne kalih Negara, aja malah sampeyan ngeruk keuntungan, memperkaya diri, dodol jabatan, dodol PNS, lan sanes-sanesipun. Malah niki kula kepireng kabar jare sang dipati ditimbali presiden… nggih ta Man?”
“Iya”
“Niku terkait kalian penolakan sang dipati dumateng BBM kepengker nggih?”
“Iya”
“Wah kula namung mbayangke, gek teng mrika nika, mesti bade pinanggih tiyang-tiyang pinter, menawi sarjana nggih sarjana beneran, menawi bupati ngaten nggih bupati beneran. Sanes sarjana tukon, utawi bupati kethoprak ingkang kados sinuwun sampeyan niku. Lajeng kula mbayangne, oalaaah mangke rak tambah ketingal kemplonipun, ketingal gelar palsunipun… oalaaah Man…man mirang-mirangke Ngastina. Nduwe adipati wae kok adipati kemplo…, oalaah man…man, mbok sampeyan batalne mawon anggene sowan…”
“Dur, kowe ra sah sumelang. Sinuwun prabu wis duwe piandel pembisik mutahir, yaiku camat sinoman yang tidak diragukan keilmuannya. Aku yakin menawa Pak Camat mau bakal memberikan bekal sebelum menghadap presiden…”
“Oalah, adipati cap napa niku, adipati sarjana kok ora godak njawab masalahe dewe, wah kula yakin yen adipati Ngastina niki namung adipati gadungan, pun man yen ngaten ken leren mawon adipati sampeyan sing mboten nggenah niku”
Sengkuni menjadi kecut hatinya. Dia kecewa dengan kritik Dursasana yang memerahkan telinga. Ia pun segera membawa masalah ini dalam diskusi kehumasan di lantai delapan negeri Ngastina.
“Pun Man, sampeyan diskusikan sampai jebol kucirmu ora-ora yen bakal kelakon merubah situasi. Lha wong sing bermasalah niku adipati sampeyan kok, dasare ora pinter, sekolahe mawon nggih mboten  nggenah kok, napa malih gelaripun…alaaaah paling namung tumbasan, pun ta senadyan ta pembisike niku pinter-pinter, kula yakin, mboten bade kelampahan deweke niku mudeng, malah malah nambahi kemplonipun…. Ha..ha..ha..ha….”

UNAS
(Ulah Nakal Adipati Semprul)

Surem-surem diwangkara kingkin lir manguswa kang layon denya ilang memanise, wadananira landhu kummel kucem rahnya maratani ooooong….

Kadipaten Ngastino semakin hari semakin semrawut tak tertata bagaikan batu bata yang berserakan. Semua jabatan diperjualbelikan mirip dengan barang dagangan yang digeber di paseban. Semua kroni dan permili sang dipati benar-benar memanfaatkan kesaktian yang dimiliki Adipati Semprul untuk menggasak habis peluang surat keputusan dengan uang. Taruhlah mulai dari ajudan, hingga nak sanak kidang, eh kadang, permili, adik ipar, sopir, dan yang terakhir camat taruna yang bernafsu mendapat jabatan tinggi nan basah, kini mereka meramaikan bursa enthit-mengenthit, lar-makelaran, thok-perngathokan, tuh-menjatuhkan lawan politik, lek-menjelekkan pada orang yang tidak mau asok gelondhong pangareng-areng, dan non-jobkan bagi yang tidak mau setor keuntungan.
Gempar, dan masuk dalam situasi ‘nggilani’ menjijikkan, tidak pantas selayaknya adipati ulama, yang bergelar sarjana hukum melakukan tindakan di luar hukum. Bayangkan, di satu sisi KKN diberangus untuk dilenyapkan dari muka bumi Ngastino, ee.. malah ini diberdayakan kembali melalui praktik-praktik pemerintahannya. Eidan!!, dasar adipati semprul, pemerintahannya amburadul, omongannya ndal-ndul, esuk beras, sore kawul, pakemnya ngalor, komentarnya ngidul, dasar semprul, nyambut gawe koyo wong ucul, maklumlah ngelmune nul, srunthal-srunthul mijet SMS grothal-grathul, nelpon cewek sing bokonge mental-mentul, atine kanyut imane ucul, mboking hotel, wartawan mencungul. Kapok kowe!, adipati semprul klakon cucul, pingin gaul ketiban pacul. Awak sak kojur mrenthal-mrenthul. Pingin aman jo nganti siaran mencungul. Tombok arto sak wakul. Sang Dipati asline mencungul. Untung duwit staf bisa kasangkul. Aman, sang dipati ambegan masgul.
“Onten nopo malih Man?”
“Asem tenan Dur, gustimu meneng-meneng kreatif, iki gustimu arep duwe parigawe ngumpulne lurah, kepala desa sak Ngastino ditambah para staf, kroni, nak sanak, lan para permili tim suksesse”
“Wah dengaren uteke rada cerdas Man?”
“Husss, lambemu!, sesembahanmu kok di utek-utekke, ora sopan ngono kuwi”
“Haaallaaah, wong sesembahan kok ora godak nopo-nopo kok dibanggakan. Njur teng nopo nglempakne kepala desa niku?, kampanye?, napa pamer kekuasaan?”
“Ora, nanging gusti Prabu Kurupati Kemplo bin Semprul alias Sontoloyo, bakal njlentrehake bab APBD, dalah rencana pembagian sekuter gratis, lan kembul bujono andrawina, makan bareng ing warung kulon kadipaten”
“Nggih ngaten niki lho Man, bedane antarane bocah Ngastino kalih bocah Pendowo. Yen Bocah Ngastino niku sing dipentingne namung badhogane mawon. Sithik-sthik yen ora ana untunge, yen ora mangan enak, dho ora gelem nglakoni. Suwalike, yen lare-lare Pendowo niku mentingne kualitas pekerjaanne, gelem laku prihatin, purun poso, purun nahan hawa nepsu, lan tansah paring manfaat wonten ing pundi kemawon. Lha niki mboten, lare-lare Ngastina niku sithik-sithik njaluk, ‘ piye iki aku arep mbangun omah, tulung cepakna kayu jati 3 milyar…’ ha…ha…ha… lha wong ngurusi pemerintahan wae ora jegos, lha kok wis nagih kepenake… oalaaahh Man…Man. Kula ngertos bilih para kepala desa menika sampun kraos bilih pemerintahan Ngastina sampun kolaps, bangkrut, krana kepemimpinanipun Prabu Kemplo Kurupati Semprul bin Sontoloyo, mboten saget nampung aspirasinipun. Pun ta Man, senadyan para kepala desa wau panjenengan paringi sepeda motor gratis, makan gratis, kula jamin, bilih dukungan dumateng pemerintahan sampun musna, sampun telas, pun sampeyan lereni mawon anggen sampeyan bersekongkol kalian njeng gusti paduka…”
“Kowe iki bocah cilik wingi sore wis ora mudheng karo politik tingkat tinggi, kowe kudu eling, menawa sak iki akeh para pejabat sing mulai sadar bergabung karo pasukan perkemploan. Dadi barisan sang dipati tambah ngrembaka, tambah gayeng, lan tambah kekuatane….”
“Alaaah paling dho golek jabatan, aku negrti kok Man!”
“Wis, iki mengko malah ora sido mangan bareng-bereng, hayo bis plat abang kae ndang wetokno, wetengku selak luwe”
“Nggiiiih, monggo.. oalaah dasar weteng kebak porang, dadi ya luwe wae. Sampeyan niku takerane mboten wareg, nanging kesel. Pokoke yen mangan dereng kesel, sampeyan niku dereng mandheg. Lan kula nggih pingin midangetaken gusti sampeyan, pripun anggenipun njlentrehaken APBD sing amburadul menika, Jangan-jangan APBD menika singkatan Aku Pingin Bagian Duwite, wah menawi mekaten Ngastina tambah rusak Man!. Nanging kula pun bosen kok, yen masalah tehnis menika mesti, gusti sampeyan niku pun mboten mudeng blas, pramila mangke mesti damel kuciwanipun para pamiarsa ingkang midhangetaken, luwih becik mangan mawon ingkang wareg, tinimbang midhangetaken keterangan ingkang mbulet,  lha kok niki nyekel panguwaos… kinggilen Man!!”
“Wis!, aja kakean cangkem, bis ndang lakokna, sing penting ayo podho nguntal panganan enak!”
“Nggiiiih, kula manut mawon, sing penting gratis!!!”

NJAYUS

NJAYUS
    Ki Setyo   

Kapan istilah ‘njayus’mulai popular menggantikan kata ngerumpi, rasan-rasan atau ngudoroso, merakyat di kalangan masyarakat Surukubeng. Yang jelas kata ini sudah terlanjur lekat pada identitas bahasa gaul-nya wong Surukubeng.
Saya ingat waktu kecil dulu, ketika lampu mati di sebuah gedung bioskup, orang teriak “Ayo lo Ruuunnn”. Teriakan itu lama-lama begitu popular, sehingga kalau ada lampu mati, wong Surukubeng -kebanyakan- teriak “Ayo lo Ruuun”
Barangkali begitulah muasal kata ‘njayus’ begitu popular yang mengambil dari tokoh, mungkin Pak Jayus yang dulu terkenal di masyarakat perkotaan suka ngomong ngethuprus, nggak habis-habis. Maka untuk mengkonotasikan orang yang banyak omong, orang yang suka ngobrol, mereka ‘marapi’ dengan ‘njayus’.
Nah, sekaligus untuk mengenang tokoh di atas, NJAYUS akan selalu hadir pada rubric Media Mataraman, dengan menghadirkan dialog imajiner antara tokoh-tokoh Babad Surukubeng seperti, Suryo Ngalam, Batoro Katong, Kyai Mirah, Honggolono, Joko Lancur,Suromenggolo, Surogentho, dll.
Njayus para tokoh ini tentu saja bersifat imajiner, sekaligus untuk mengenalkan kepopuleran para tokoh di atas kepada generasi sekarang, bahwa tokoh-tokoh di atas pernah ada dan pernah memimpin pemerintahan di Surukubeng.
Bagaimana kisahnya?, Anda ikuti terus ‘njayus’ mulai minggu depan. Yang tersinggung berarti melakukan. Yang tertawa berarti juga mengalami kejadian itu. Yang diam saja berarti nggak mudheng… he..he… hee***


BLOKO SUTO

Sebelum berangkat ke ladangnya, seperti biasa Ki Demang Kutu singgah dulu di warung kopi milik Pak Man, yang letaknya tepat di pinggir jalan raya Surukubeng. Di sana sudah ada Suryodoko, Suryolono, dan lain-lain.
“Monggo…monggo Ki… “ sapa Suryolono ramah
“Oh iya, matur nuwun”
“Sudah apa parinya, Ki?” Tanya Surydoko, sambil mengangkat wedang kopinya
“Waah, lagi njebul, tapi punyaku kayaknya lagi kurang baik, mudah-mudahan tidak gagal panen..”
“Ngersakne ngunjuk nopo Ki?” Tanya Cempluk membagikan Ki Suryongalam
“Biasa kopi ginasthel”
“Waaah, Ki Demang ini masih kuat saja minum legi panas kenthel, hati-hati lho kena dibetes…”
“Yang penting hidup itu selalu bersih hatinya, bersih pikirannya, saya kira kok nggak bakalan terkena penyakit macem-macem”
“Betul Ki, kalau kita lihat jaman sekarang ini, banyak orang penyakitan macem-macem gara-gara banyak pikiran yang mengotori dirinya. Mulai dari tidak jujur dalam kerjanya, korupsi, manipulasi, kolusi dan makan barang yang bukan miliknya, dan sebagainya…” jawab Suryolono
“Waah, memang sudah jamannya lho kang, kalau kita nggak pakai KKN mustahil kita dapat kerjaan. Apalagi Cuma mengandalkan kepinteran, tetapi nggak pake duit, ya mustahil saja. Makanya, anak-anakmu besok nggak usah sekolah ngoyo-ngoyo, beli saja ijazah sarjana. Siapa tahu anakmu nanti jadi adipatiSurukubeng, hee…he…he…” jelas Suryodoko ngeledek
Ki Demang Suryongalam mengernyitkan dahinya. Ia kelihatan prihatin dengan kondisi Surukubeng yang semakin tidak terarah. Keadilan seakan telah sirna di kadipaten yang terkenal gemah ripah serta banyak orang-orang terpelajar di sana. Akan tetapi, sekarang Surukubeng lagi kena musibah pepeteng, gerhanan, gelap gulita. Orang pinter benar-benar tersingkir. Yang berkuasa sekarang adalah kezaliman. Orang bodoh, pemabok, tukang medok, kini berkuasa.
“Terus terang romo prihatin dengan Surukubeng ngger. Kowe kabeh aja nggugu karo pendapate wong bodo. Brasthanen kedloliman ing tlatah Surukubeng kene. Sekolahno anak-anakmu sing bener,aja mung tuku ijazah. Dadio wong kang jujur, aja ambeg angkoro murko. Ayo memayu hayuning bumi Surukubeng. AJa kosok balen mbok rusak, kanthi milih pemimpin sing sing ora bener. Mongko yen wis kedadean koyo mangkene sing rugi sopo? Rakyat ta. Lan sing untung yo politisi busuk kae?”
“Sinten romo?”

HIDUPKAN HATI

Sabtu  31 Desember , usai sholat  Isya berjamaah , Raden Katong , patih Seloaji dan Suromenggolo, mencoba berjalan-jalan di pinggir jalan Setono menyusuri perkampungan dan melihat langsung para kawulo Surukubeng dalam menyambut datangnya tahun baru masehi.  Raden Katong  melihat sendiri tingkah polah para kawulo dengan mengelus dada prihatin. 
“Berapa banyak orang Islam yang menyadari bahwa hidup di dunia hanyalah  hidup sementara. Mereka kebanyakan  hatinya 'sudah mati'? Sukar menghitung jumlah pastinya. Miliaran jiwa mungkin. Mereka yang memilih merayakan pergantian tahun Masehi dengan menghamburkan uang dan berhura-hura ketimbang berzikir, misalnya” kata Raden Katong  kepada Seloaji dan Suromenggolo pelan.
“Memang ini soal pilihan, ibarat  hidangan; ada hidangan lezat menyehatkan, lezat memabukkan, lezat beracun, dan lezat mematikan . Dan inilah pilihan  yang sangat menentukan. Siapa memilih makanan yang salah, maka ia akan merayakan pergantian tahun Masehi,  dengan penuh kesiaan dan kemaksiatan” tukas Seloaji , SH , ilmiah.
" kalau memang ummat Islam komitmen dengan Islamnya, maka Zikir jelang tahun baru  adalah pilihan yang teramat mulia.  Zikir itu untuk menghidupkan hati orang-orang Islam agar jangan mati, sebab terus terang saja saya prihatin dengan  pergaulan anak-anak muda jaman sekarang. Mulai dari SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi sudah terlanjur kebablasan.  Waktu saya berkunjung ke sekolah SMP, pernah saya tanyakan pada seorang anak putri yang kebetulan masih  duduk di kelas dua, dia sudah pacaran dan sering melakukan  hubungan suami istri di hotel kawasan telaga Ngebel, dan memang di sana ada kamar khusus  yang katanya diperuntukkan bagi pelajar dan orang dewasa yang selingkuh atau pingin mesum, terus apa kata mereka ,  perbuatan itu sudah menjadi kebutuhan ketika  pacaran " sahut Suromenggolo kecewa.
“Wah ngobrolnya kok jadi serius nih, hayo ke warung Niken Gandini dulu. Kita nanti ngobrol di sana sepuasnya sambil minum dan makan jajanan lezat menyehatkan..”
“Makanan apa itu Raden?”
“Klenyem, pisang goreng, dan singkong rebus” jelas Raden Katong mantap.
Ketiganya terus berbelok arah menuju warung yang ditunjukkan  Raden katong, yang ternyata warung milik istrinya. Semua ini sekedar untuk mendekatkan seorang Adipati dengan para kawulonya. Sebab adipati tidak digaji seperti sekarang ini. Kalau adipati sekarang Gajinya banyak, ditambah dengan uang-uang gelap dari tanda tangan pengadaan proyek-proyek Negara. Oleh karena itu, agar ekonominya cukup, Raden Katong buka warung kopi dengan istrinya.

Sesampai di dalam warung, Nyai Katong segera mempersilakan masuk .
Sambil membenahi duduknya, Raden Katong kemudian   berandai-andai  kembali.
“ jika bergepok-gepok uang untuk membeli kembang api itu dialihkan untuk sedekah. Misalnya  dipakai pemerintah untuk membelikan gerobak siomay bagi masyarakat miskin . Ini akan memberi manfaat bagi banyak pihak. Bagi pengangguran yang akhirnya bisa berjualan, bagi penjual di pasar, bagi pedagang sembako, dan seterusnya. Pada akhirnya, uang itu bisa sedikit menolong mengurangi penduduk miskin di Surukubeng yang masih banyak”
“ Tetapi kan nyatanya tidak to raden.  Pemerintah  terlalu royal, sementara prestasi tidak pernah ditunjukkan. Sementara kemaksiatan terus berjalan kencang. Pergaulan bebas merajalela, korupsi di pemerintah daerah  semakin membudaya. Bisa jadi itu mengapa selama ini Allah SWT menarik keberkahan dari bumi Indonesia. Keamanan yang tidak stabil dan besarnya nilai impor jadi bukti Indonesia sedang diperingatkan Allah SWT”.
“Bagaimana minyak, beras, hingga garam masih diimpor. "Ini adalah cara Allah untuk mempermalukan bangsa Indonesia," . Oleh karena itu, Raden Katong mengajak masyarakat beramai-ramai memaknai pergantian tahun sebagai pergantian perilaku. Orang yang selama ini menyia-nyiakan agama, ujarnya, harus berani menjadi orang yang taat agama.
“Kalau saya sangat setuju, bahwa kita harus berubah menjadi lebih baik. Kalau dulu kita bangsa yang korup, maka sekarang kita menjadi bangsa yang taat kepada undang-undang dan peraturan. Demikian juga dengan pergaulan bebas. Maka mulai sekarang  tempat wisata harus kita awasi bersama agar tidak terjadi lagi perbuatan mesum” sahut Niken Gandini  semangat.
Jumbleng, WC. Kakus atau Apalah
Ki Setyo
Sepulang dari sholat maghrib berjamaah, Kyai Muslim dan Ki Honggolono Nampak berjalan beriringan menuju warung Lik Sibo Nggandukepuh. Di sana ternyata sudah ada Jaka Lancur , anak sulung Ki Honggolono, yang sudah ngopi, bersama para santri Kyai Muslim.
Keduanya segera masuk, dan memilih bangku di sebelah timur yang kebetulan masih kosong.
“Jik sepi Lik?”
“Wah, nggih mboten, niki wau  nembe kula tilar  sholat dateng langgar. Dados kulo tutup sekedap. Lan niki wau Mas Joko Lancur nggih nembe kemawon dugi” jells Lik Sibo, sambil meracik dua cangkir kopi kesenangan Kyai Mirah dan Ki Honggolono.
“Pondokipun kok sepi Kyai?” Tanya Ki Honggolono membuka dialog
“Oh, inggih Ki. Lare-lare sami wangsul liburan semester”
“Piye Le, kowe mau kok wis teka kene. Apa wis sembahyang” Tanya Ki Honggolono pada anaknya.
“Sampun romo, nanging niki wau dereng ngaos. Mangke mawon bakdo ngopi, kulo bade dateng langgar malih” jawab Jako Lancur penuh dengan rasa kuwatir, takut dimarahi ayahnya.
“Niki kopinipun!. Ngersakne dhahar nopo Kyai?” tawar Lik Sibo
“Pecele taksih Lik?, kulubanipun nopo?”
“Bayem, kenikir, godhong so, kembang turi, kacang, kalih capar … ngersakne nopo?”
“Wah, cocok sedoyo kyai, aku kabeh wae, Lik”
“Kulo nggih sami Ki Honggolono, Lik” sahut Kyai Muslim
“Lawuhipun??”
“Nopo lawuhipun?”
“Niki, wonten iwak kali, urang, wader, lele, nopo tempe mawon?”
“Komplit Lik, yen iso paringana siji-siji, yo tempene, yo wadere, you range…”
“Aku yo iyo, Lik” sahut Ki Honggolono nggak mau kalah
Ketiga orang yang makan di warung Lik Sibo terlihat lahap menyantap habis menu warung sederhana milik Lik Sibo. Tak sedikitpun nasi yang tercecer di piringnya. Semua makanan yang tersedia memang miroso, bersih, dan sehat. Maklumlah Lik Sibo memang orangnya gemati, sabar, iklas, dan ramah. Tak heran jika warung Lik Sibo kondang di kawasan Surukubeng.
Sudah setengah jam, mereka menikmati makan sore di warung Lik Sibo. Ki Honggolono masih menikmati secangkir kopi yang masih utuh. Sedangkan Joko Lancur, masih terlihat menghisap rokok tingwe, dengan bau klembak yang harum.
“Mas Kyai, lha iya ya, anggota dewan DPR pusat, itu neko-neko saja ya”
“Anu ta, soal jumbleng ta??”
“Jumbleng niku napa Kyai” Tanya Joko Lancur terdengar asing di telinganya
“Alaaah Le…Le.. jumbleng itu kalau sekarang toilet itu lho” sahut Ki Honggolono menjelaskan
“Oooo niku ta. Kulo nggih nggumun kok. Lha ngendikane makili rakyat, lha kok barang taksih sae kok dibongkar, lha niku rak nggih namung buang-buang dana kemawon”
“Kae ngono ora mbuang duwit, nanging duwe niat ngemplang duwit. Nganakne proyek supoyo pemerintah ngetokne duwit. Terus mengko laporane dimanipulasi. Laporane nganggo ragat rong milyar, nanging sing dinggo mung sak milyar. Lho kan untung ta deke? Yen aku pilh buang air besar di kali saja, kita juga bisa ngasih makan ikan-ikan, atau cukup di jumbleng saja, sambil ngrabuk tanduran… lumayan ta iwake sehat-sehat, guede-gede,rasane yo enak” jelas Ki Honggolono diplomatis
Kyai Muslim hanya terlihat senyum dan manthuk-manthuk. Sementara Joko Lancur Nampak tersenyum lebar mendengar tuturan ayahnya yang terdengar nggak konteks dengan era WC nisasi.
“Sampun Lik, sedoyo pinten?”
Kyai Muslim segera membayar semua makanan yang telah dilahap oleh semua yang ada di warung itu. Mereka segera meninggalkan warung untuk menunaikan sholat Isyak berjamaah. Mereka tidak mau mempedulikan lagi anggota dewan yang suka menghambur-hamburkan uang Negara. “Semua itu agar anggota dewan tidak ‘berak’ di mana-mana lagi” desah Kyai Muslim mahfum.


MUSIM DURIAN dan DARAH TINGGI
Sore itu Patih Seloaji terlihat menggeber sepeda motornya tergesa menuju rumahnya di Setono.  Di kanan kiri body motornya terdapat rentengan buah durian yang diikat dengan tali raffia. Dia ingin segera samapi kerumahnya, segera menikmati durian murah yang habis dibeli ketika ada penjual buah durian mampir di pendopo Setono.
Sementara itu, di Pendopo Setono, Sang Adipati Bathoro Katong masih terlihat berdiskusi dengan Suromenggolo, berkaitan dengan musim durian yang lagi semarak di Surukubeng.
“Kenapa penderita tekanan darah tinggi dan jantung koroner tidak dianjurkan mengkonsumsi buah durian Kyai? “ Tanya Suromenggolo
“Pertama2 kita perlu mengetahui zat apa saja yang terkandung dalam buah durian? Ini adalah komposisi kandungan utama dari durian: 27.9 gr karbohidrat,  2.7 gr protein,  3.4 gr lemak tak jenuh,  40 mg kalsium, 1.9 mg zat besi, 150 mg vitamin A, 23.3 mg vitamin C, Alkohol (ethanol, methanol) Disamping komposisi utama, terdapat 63 senyawa yang mudah menguap (volatile compounds), termasuk 30 esters, 5 ketones dan 16 senyawa belerang yang berperan dalam aroma buah durian. Dalam buah durian juga ditemukan adanya senyawa ethanol, methanol, ethyl metacrylate dan berbagai senyawa sulphur” jelas Kyai Muslim yang tengah duduk di samping Adipati.
“Orang yang mengidap penyakit jantung dan tekanan darah tinggi dianjurkan sebaiknya membatasi makan durian, bukan saja karena kandungan kolesterol yg tinggi, tetapi juga salah satu alasan utamanya disebabkan karena kandungan alkohol yang cukup tinggi dalam buah durian disamping kalori yang dihasilkan buah durian cukup tinggi” sahut Bathoro Katong menambahkan.
“Total Kalori yang dihasilkan buah durian per 100 gram (sekitar satu potong) adalah 150 - 160 Kalori, jadi waspadalah  pada orang-orang  yg melakukan pembatasan kalori (misalnya pada penderita DM). Buah durian apabila dimakan cukup banyak, misalnya 300 gram saja, kalori yang ditimbulkannya sudah lebih dari 500. Kalori yang tinggi tersebut akan menghasilkan pembakaran yang berlebihan dalam tubuh sehingga menimbulkan manifestasi terasa panas dalam tubuh. Tubuh orang yang menderita diabetes mellitus akan terasa terbakar, keluar keringat, dan panas” jelas Kyai Muslim
“Dalam darah terjadi hemokonsentrasi dimana terjadi kehilangan cairan ke ekstra selular. Ditambah dengan adanya senyawa yang mengandung alkohol dalam durian, akan menyebabkan pembuluh darah tubuh mengalami vasokonstriksi. Hal-hal tersebut akan membuat shear stress meningkat, sehingga tekanan darah akan semakin tinggi, bahkan dapat berakibatkan terjadinya stroke, bahkan kematian” jelas Kyai muslim menambahkan.

“Kalau efeknya ke jantung apa Kyai?”
“Demikian halnya di jantung, akibat panas dan pembakaran kalori yang berlebihan maka jantung dipaksa untuk beradaptasi meningkatkan suplai darah sesuai kebutuhan saat itu. Pada penderita penyakit jantung koroner, pembuluh darah koroner yang menderita aterosklerotik, selain menjadi tidak elastis, juga mengalami penyempitan sehingga tahanan terhadap aliran darah dalam pembuluh koroner juga naik. Dengan adanya kandungan alkohol dalam durian, maka akan membuat jantung berdetak lebih kencang dari biasanya. Hal ini menyebabkan kebutuhan sel miokard otot jantung meningkat dan suplai di pembuluh darah koroner tinggi. Jika melebihi ambang batas akan menyebabkan terjadinya serangan jantung, dan kematian mendadak”
“Nah sekarang bagi para kawula Surukubeng, yang hobi makan durian, perlu juga untuk menguranginya. Agar kesehatan kita terjaga sampai tua nanti. Ingat kesehatan itu mahal harganya lho. Biasanya orang baru merasakan betapa nikmat sehat itu sangat mahal. Setelah mereka menderita sakit.  Nah, mulai sekarang, aturlah pola makan anda. Terutama untuk durian ini. Sekali-kali boleh lah... tapi jangan terlalu banyak” pungkas Suromenggolo menyiarkan ilmunya kepada warga Surukubeng.


Politik Gobak Sodor
Ki Setyo

Sore itu Suromenggolo terlihat membaca secarik Koran local yang diraih dari bawah dipan cakruk yang berada di depan gerbang puri Setono. Ndik Koran itu ada berita menggelikan tentang Surukubeng, tentang sang adipati yang semakin terlihat tidak mampu alias tidak propesional lagi.
Ndak beberapa saat Patih Seloaji menghampiri Suromenggolo yang terlihat mesam-mesem kecut. “Ada berita apa Kang Suro” Tanya Seloaji yang mengagetkan. “Eh, Mas Patih ta… ini lho… kelihatannya Surukubeng sekarang ini kok semakin amburadul, adipatinya semakin linglung”
“Itulah yang disebut beli kucing dalam sarung..eh karung”
“Kamsudnya?”
“Dulu orang hanya menilai suaranya yang merdu saja, tanpa fit and propertest, alias tidak diuji kelayakannya, aung…auuung…meooong… jebule bareng dibukak kucing lumpuh..naa sing rugi sopo sekarang?”
“Lha rakyat kabeh, ta Mas. Malah yen miturut pamawasku, sekarang ini sang adipati sedang terkena politik permainan gobak sodor”
“Mangsudnya?”
“Dia sekarang terjebak dalam satu kotak yang dijaga oleh dua politisi busuk agar tidak bisa lolos menyelesaikan permainannya. Sedangkan teman-teman seperjuangannya sudah dibebaskan oleh para politisi itu, dan kini berlenggang merayakan kemenangannya. Mereka pesta pora, menjarah, makanan di luar kotak alias di luar ketentuan hukum yang ada. Dan kini pun mereka bersorak-sorak melihat sang adipati terkurung dalam kotak”
“Dia nggak mungkin bisa lolos ya”
“Di Negara kita tidak ada yang mustahil. Yang penting ada deal-deal politik, alias suap menyuap, si kolusi, ada etungannya, sebenarnya bisa lolos kok. Cuma yang terjadi sekarang ini, sang adipati kelihatan culun. Ya, maklumlah, memang latar pendidikannya tidak memungkinkan, jadi ya hasilnya seperti ini. Adipati hanya symbol untuk permainan para politisi yang mengusungnya. Wibawa adipati ndak ada sama sekali. Malah sekarang ini, lebih berwibawa anak buahnya ketimbang adipatinya…”
“Karena anak buahnya lebih menguasai pemerintahan dari padanya?” Tanya Suromenggolo agak mudeng
“Ya, betul. Wong Londo kondo yen sing dipimpin luwih pinter ketimbang pemimpine disebut counter power. Menawa bawahane mengko kontra karo sang adipati,wooo bahaya. Luwih-luwih , menawa bawahane kompak, oh sang adipatibisa ajur mumur lan biso mundur, mulo ben bawahan ora macem-macem, Pak RT yang sekarang ini mengendalikan adipati, bisik-bisik poro pejabat dimutasi…”
“Waa, kadipaten Surukubeng soyo nelongso yo. Yen aku luwih becik ndang diganti wae Mas Patih. Lha piye maneh,… awake dewe iki podho karo mabayari wong ora iso opo-opo, mbayari adipati nganggur… tak kiro dudu kelase menawa dadi kepala daerah. Pantese ya mung kelase kepala desa wae…. He…he…he”
“Betul, nanging yo kudu taren disik karo rakyat. Sebab sing milih biyen yo rakyat”


Mister JEGEG
Ibarat burung menco, sang dipati itu di manapun memberikan wejangan, kata ‘jegeg’ itu senantiasa hadir. Entah itu sebagai ungkapan rasa kagum,rasa senang, rasa gembira ataupun rasa dalam hati yang lainnya. Orang yang niteni dan selalu mengikuti dia, pastilah tebak-tebakan, kalau kata itu mesti keluar dari mulut sang dipati di manapun memberikan sambutan formalnya.
Jegeg, menurut kosa kata Ponoragan berarti, luar biasa, hebat, wah, nyengsemake, nggumunake, atau jadi pangeram-eram. Tetapi disisi lain, kata jegeg yang meluncur dari seorang pejabat sekelas sang dipati adalah, ungkapan motivasi, bagi orang yang dipujinya. Dan bagi seorang politikus, kata tersebut sering dikonotasikan ‘basa basi’ alias tebar pesona saja.
Nah, terlepas dari hal tersebut di atas, kalau kita jujur dan cermat, kata jegeg yang meluncur dari sang dipati, semuanya tidak terlepas dari dialog rakyat yang sudah kadung melekat dalam dirinya. Dan itu kalau menurut saya adalah wujud kepribadian, atau karakter yang sudah terbentuk ketika dia belum menjabat sang dipati dulu.Dan dia nggak merasa kalau kata-kata itu sudah dititeni oleh rakyatnya. 
Begitulah, kalau yang mengucapkan itu adalah seorang adipati. Sabdo pandito ratu datan keno wola-wali. Apa yang disabdakan senantiasa dititeni. Sedangkan bagi yang sering mendengarnya, maka, kata-kata itu menjadi membosankan karena terlalu monoton.Seperti tidak ada istilah lainnya yang pas. Dan terkesan sang dipati kalau miskin istilah, miskin kata-kata, dan miskin pengetahuan. Tetapi biarlah, isone mung itu kok.
Begitu pulalah akhirnya kata-kata itu menjadi trade mark sang dipati, menjadi kata sandang, yang selalu lekat dalam ‘basa-basinya’. Tetapi sekali lagi, kita nggak bisa menyalahkannya. Sang dipati sudah menjadi pilihan rakyat. Arepo dikoyo ngopo, dia adalah ‘sesembahan’ para abdi kadipaten.
Biarlah rakyat menjadi tersadar, untuk tidak mengulangi memilih pemimpin yang keliru lagi. Dan sekarang Mister Jegeg, telah menjadi figure yang lagi menjalankan amanah. Yakni amanah membangun Kadipaten Surukubeng menjadi negeri yang ‘jegeg’. Jegeg prestasinya, jegeg reputasinya, jegeg pembangunannya, jegeg menjadi negeri gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertoraharjo. Terbebas dari koruptor, bromocorah, politisi busuk, maling, bandit, kebodohan,Kebohongan,dan makelar yang menjual kursi lowongan PNS.
Kalau sang dipati bisa mewujudkan cita-cita luhur di atas, maka dia pantas menyandang gelar Mister Jegeg. Mister yang berpangkat master Jegeg. Artinya maha guru yang benar-benar jegeg. Jos, atau top markotop. Mungkinkah??? Yo embuh, lha wong mbaca Pancasila saja masih salah, apalagi ngangkat sekda… weee…… tambah bingung mas. Jaaan jegeg tenan bingunge….


Duratmoko Bancaan 70 Milyar
Ki Setyo
Sore itu Ki Honggolono masih terlihat gerah uyang, puyeng mumet cuekot-cuekot. Makan nggak terlalu nikmat, minum ndak terlalu segar. Dia memilih thenguk-thenguk cangkrukan bersama Ki Ageng Mirah di pinggir kali Golan dan Mirah.
Mereka berdua tertawa cekikikan, mengenang masa lalu tentang sumpah serapah yang pernah mereka ucapakan, sehingga dua kali yang bertemu di desanya nggak mau akur. Dia benar-benar menyesal. Lebih-lebih, seperti sekarang ini akibat main sumpah sembarangan itu berakibat orang Mirah dan Golan susah bersilaturahmi, apalagi kalau mantu, nanam kedelai, mepe kawul, dan sebagainya kerap menemui kendala yang nggegirisi. Yang mantu jadi ndak mateng masaknya, yang nanam kedele nggak bakal hidup, yang mepe kawul bakal terbakar, dan sebagainya.Pokoknya sumpah tersebut menjadikan tali kerukunan antarwarga benar-benar terganggu.
“Wah kita dosa lho di, masa, mung perkoro arep mantu wae kok main sulap-sulapan segala…, coba kalau dulu kita undang Mas Deddy Corbuzer, atau Uya Kuya, waaa, mbok menowo, kita nggak jadi terhalang perjalanan kita masuk surganya Alloh…”
“Iya, ya kakang Kyai, aku dulu memang terlalu angkuh, kenapa kok main sumpah serapah, main sulap seperti Mister Tarno saja. Coba kalau sumpah itu kita terapkan pada aparat pegawai di Surukubeng, woooo negeri kita bakal makmur…ndak ada pejabat yang merangkap jadi maling dan garong, itu saya kira sumpah yang memberikan manfaat”
“Maksudnya???” Tanya Ki Ageng Mirah
“Lho la iya to Kyai, coba kalau sumpah kita, kita satukan, kita padukan, misalnya, sok sopo wae pejabat sing gelem mbadhog, nguntal barang,utowo duwite negoro kanthi cara sing ora kalal, omahe kobong, awake lara, pikirane dadi edan, ora iso mingkem, utawa ora iso mlaku… oh tak kiro Surukubeng bakal makmur. Ora koyo sak iki iki…”
“Lho, Kakang mireng pawarto nopo to?, kok ujug-ujug gemes karo pejabat Surukubeng?”
“Wah sampeyan niku ketinggalan jaman Kyai. Lho niki lho, sampeyan waos pawarto saking Koran-koran, yen Adipati, lan Patih utawi Wadip, dalah dewan, sampun tumindak jubriyo, dados duratmoko,tumindak culika,apus krama,nedho dana karam, dana APBD ingkang gunggungipun pitung puluh milyar, modus operandinipun, kanthi cara meminta jatah kepada seluruh dinas yang mendapat proyek sekian persen, nanti kalau ada pemeriksaan, dana niku wau diwangsulne sementara, lha menawi pengawas sampun kesah mangke disuwun malih kalian adipati, ingkang diseponsori Pak RT saking dewan” tunjuk Ki Honggolono pada berita hot dari sebuah Koran local yang terpercaya
Kyai Mirah terlihat getem-getem geregetan mendengar paparan dari Ki Honggolono. Wajahnya yang biasa lembut berubah menjadi merah padam. Dia segera mengernyitkan dahinya. Sepertinya ada sesuatu yang perlu segera di lakukan.
“Sudah begini saja kakang, ayo, sumpah sing biyen awake dewe lakoni, dicabut. Murih anak putu anggone podho satru enggal babar dados kerukunan. Mbok bilih para wargo badhe tetanen menopo kemawon supados ical raos was sumelangipun, dene ingkang kagungan kerso mantu, mbok bilih wonten sanak kadang saking Nggolan dalah Mirah mulai dinten sak mangke saget mbang sinambang, datan wonten sambekolo… lan kula gadah angen-angen, pripun menawi sumpah supoto niki kito patrapaken dumateng para pejabat sak indenging Surukubeng?”
“Wah, kula sarujuk Kyai. Lan mangga, sumpah kito alih fungsikan dumateng para pencoleng negari, mulai saking adipati, wabub, staf, dalah para anggota dewan, ingkang sampun purun tumindak dados duratmoko, kita sedakaken dados lutung,bisu, lumpuh, griyane kobong, uripe sengsoro”
“Wah, kasinggihan kakang”
Ki Ageng Mirah dan Ki Honggolono, sepakat, bahwa sumpah lama yang pernah diterapkan sehingga merugikan tali silaturahim dan persatuan warga segera mereka cabut. Dan mulai sekarang, supoto tersebut diberlakukan kepada kepala daerah, wakilnya,stafnya,serta PNS lainnya, yang ngemplang duit Negara bakal menerima supoto tersebut.Oleh karena itu waspadalah…waspadalah.


Megister Sekedar Iseng (MSi)
Ki Setyo
Hari Senin yang lalu, seluruh keluarga Ki Suryongalam ‘nglumpuk’ liburan di Padepokan Kutu. Niken Gandhinidatang dengan Raden Katong suaminya. Sedangkan Suromenggolo dan Suryohandoko datang sendirian. Istri dan anak-anaknya lagi liburan imlek di aloon-aloon Surukubeng melihat pertunjukan barongsay.
Ki Suryongalam masih terlihat sehat dalam usianya yang sekarang ini. Walau umurnya hampir sama dengan ulang tahunnya Kabupaten Surukubeng.
“Wah Romo kok saget njagi kesehatanipun, nopo resepipun?”
“Olah raga, olah rasa, istirahat teratur,jujur, sabar, lembah manah,gelem nglakoni laku prihatin, poso senin kemis, poso dawut, njogo ati, pikiran, mata, tutuk,lan tumindak kang ora becik”
“Byuuh ora ndlomok tenan Romo ini, syarat kok sak krenjang, lha yen aku ora sanggup nglakoni, to mak” sahut Suryohandoko, sambil nglinting rokok klobotnya.
“Awakmu iki pancene ora tahu laku prihatin kok. Sholat ra tahu, poso ra tahu. Rino wengi mung PS-an wae. Lha piye, sekolah wae mbolosan. Mulakno ijazahmu mung tekan kejar paket wae…” pungkas Suromenggolo sambil ngemil singkong ketan yang disuguhkan ayahnya
Suryohandoko yang memang hanya punya ijazah kejar paket itu hanya mesam-mesem. Dia terlihat mau mengungkapkan sesuatu, untuk mengeyil kakaknya.
“Alaah, la wong kejar paket saja bisa jadi adipatikok” jawab Suryohandoko ketus.
Raden Katong, Niken Gandini, dan Ki Suryongalam terlihat tersipu geli, mendengar ‘pengeyelan’ Suryohandoko yang terbilang paling bandel tersebut.
“Ya begitulah, dia nggak juga bisa disalahkan. Demokrasi sekarang ini hanya menampilkan pemimpin yang popular tanpa diseleksi dengan cara-cara yang cermat. Pokok terkenal, dan punya duit, maka jadilah ia. Dan parahnya lagi setelah ia terpilih maka, kerja nggak bisa, buat program nggak bisa. Bisanya Cuma korupsi,manipulasi, dan apus-apus… bahkan kalau sudah jadi adipati, apapun bisa dilakukan. Mulai dari selingkuh, foya-foya, hingga beli gelar” jelas Raden Katong prihatin
“Mangkanya, saya ndak usah sekolah,ataupun kuliah. Saya akan macung adipatisaja. Kalau besok jadi adipatibeneran, saya akan beli gelar SH, MSi, dan Doktor. Romo, Raden Katong, dan Kang Nggolo tahukah kalian, apa kepanjangan gelar-gelar yang baru saya ucapkan tadi??”
“Ah, kamu itu mesti guyon saja. Nggak tahu aku, sudah nyerah saja room” jawab Ki Suryongalam jujur
“SH itu singkatan Sarjana Hiburan, kalau MSi singkatan Megister Sekedar Iseng…”
“Kalau Doktor???” sahut Niken Gandini
“Dokar Montor” sahut Suryohandoko sambil ngeloyor keluar menuju garasi bentor (becak motor) yang diparkir. Dia berangkat ngojek di pasar Jetis.
Orang se kademangan Surukubeng tertawa terpingkal-pingkal mendengar Suryodoko alias Surogentho mendapat gelar SH,MSi.

Biang Korupsi Daerah (BKD)
Ki Setyo
Manusia kian bingung rebutan mencari makan. Mereka tidak mengikuti  aturan Negara lagi. Mereka tidak punya moral, tidak punya etika, tidak punya hati, dan tlah kemanjingan nafsu serakah nggragas dan cluthak. Uang Negara, uang rakyat, uang mutasi, uang sertifikasi, uang grafitasi, uang kenaikan berkala, dan lain sejenisnya, semua disikat tanpa kompromi.
Tujuh tahun BKD berkuasa telah  menyebar dan menanam   penyakit yang berbahaya luar biasa. Di sana-sini banyak rajapati ,orang saling bunuh, mati sia-sia. Mati hati nuraninya. Mati imannya, mati pikiran sehatnya. Dan mati seluruh sistem pemerintahan yang ber-Pancasila.
Sementara hujan turun di sepanjang masa. Tidak tepat pada waktunya. Angin besar disertai banjir bandang menerjang  pohon-pohon hingga tumbang. Rumah suci hanyut,  para ulama mati, jalan-jalan tertutup lumpur dan puing-puing bangunan menimbun seluruh jalan kebenaran. 
“Begitulah  kondisi Kadipaten Surukubeng  yang tengah kehilangan nurani . Orang yang tidak punya kompetensi di bidang pemerintahan telah menjadi penguasa. Sementara orang pinter jelas-jelas semakin keblinger, kedanan harta dan jabatan, memanfaatkan kelemahan sang dipati” jelas Raden Katong pada acara Rebon Pagi di pendopo Setono.
“Apakah Surukubeng sudah termasuk katagori sakit, Raden?” Tanya Suromenggolo serius
“Saya pastikan ya, tengah sakit kronis. Rakyat telah dibelokkan ke jalan yang bengkok oleh politisi busuk, untuk memilih pemimpin yang bodoh. Aku ngerti lan tanggap ing sasmita, menawa kuwi mau mung akal-akalan murih si pemimpin bisa disetir, dikendalikan, lan dipermainkan. Ujung-ujunge nggo ngeruk kekayaan pribadi lan kekuasaan sing bakal teka”
“Apakah ada bukti yang mengarah ke ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola Negara?” Tanya Patih Seloaji analitis
“Ooo, jelas sekali. Lihatlah, ekonomi sekarang tidak pro rakyat, sekda yang dikatakan oleh wabub beberapa bulan yang lalu katanya September kelar, mana buktinya. Sampai sekarang masih PLT. Dan lihatlah, kepala BKD yang sudah dijabat selama 7 tahun…gak ganti-ganti…”
“Banyak terindikasi sarang korupsi lagi” celetuk Kyai Mirah prihatin
“Malah ada yang ngatain kalau pemerintah bisu dan tuli lho” sahut Suromenggolo mengingatkan
“Kalau menurut saya, nggak bisu dan tuli. Memang adipati yang sekarang ini nggak tahu apa-apa kok. Jadi kesannya bisu dan tuli. Tapi aslinya dia itu nggak bisa apa-apa kok. Coba, sekarang mau diajak lari ke mana?, wisss pokoknya nggak nutut” bantah Raden Katong gemas dan prihatin
“Ha…ha…ha…” hadirin yang ada di pasamuan maklum, tertawa kecut.
“Tapi gelarnya sarjana megister lho, jangan disepelekan, kuwalat nanti” sindir Patih Seloaji
“Alaaah, paling buat skripsi saja nggak mudeng. Apalagi membuat thesis?, kalau saya jujur saja. Itu namanya ngapusi awake dewe. Lha wong kemampuannya Cuma sederajat sekolah dasar saja kok pake gelar gituan.. ah rakyat jangan dilatih berbohong lah, lucu dan pamali” potong Kyai Mirah mengingatkan.
“Mungkin anu Kyai, dulu, ketika ditanya oleh pengelola perguruan tinggi pasca sarjana begini “ He mahasiswaku yang gagah dan cantik, pakultas pascasarjana memberi kemudahan lho, ama bapak dan mbak. Yang penting bayarnya dilunasin ya. Setelah itu gue tawarin, kira-kira wisuda duluan baru thesis, apa thesis dulu baru kemudian wisudaaaaaa…” jawab keduanya “Wisudaaaaaaaaaaaaaaaaa duluuuuu!!!”  canda Suromenggolo sambil melempar udengnya.
Raden Katong, Patih Seloaji, Kyai Mirah dan Suromenggolo, tertawa terpingkal-pingkal. Oalah, jamane jaman edan. Wong Surukubeng ketularan edan. Milih pemimpin kok yo wong…., yen ora edan ora dadi PNS. Oalaaaah…oalaaaah… politikuse yo wong …. Yen ora edan ora iso dadi tikus edan…. Niku jaman siyen lho!!

Adipatinya perlu Diganti
Ki Setyo


Pagi uthuk-uthuk Raden Katong, Kyai Mirah, Ki Honggolono, Suromenggolo, dan Ki Suryongalam terlihat jalan santai mengitari jalan baru, di sebelah selatan stadion.  Mereka terlihat diskusi serius sambil jalan. Beberapa kali jalannya terlihat berhenti. Sedangkan beberapa rombongan yang mendahului sesekali menyapa Raden Katong dan kawan-kawan. “Monggo Raden…” sapa mereka. “Oh injih kisanak..” jawab Raden Katong sopan.
Beberapa saat mereka pun berhenti di kedai susu sapi. Raden Katong segera melepas sepatu, diikuti oleh Kyai Mirah, Ki Honggolono, Suromenggolo, serta Ki Suryongalam. Mereka duduk di atas karpet, sambil meraih Koran ‘surya’ yang tergeletak di depannya.
“Ngersakne susu kalih roti bakar?” Tanya pedagang susu
“Anu kisanak, saya roti bakar rasa jahe, sedangkan susunya juga rasa jahe”
“Saya juga sama dengan Raden!!” teriak Kyai Mirah, Ki Honggolono, dan lainnya.
“Sampeyan wis miring, pawartane kadipaten Ponorogo yang terhangat?” sapa Ki Honggolono membuka pembicaraan.
“Tentang apa Ki?” sahut Ki Suryongalam
“Wah, kalau saya agak dengar dikit aja. Soal sekda kan?” pungkas Suromenggolo faham.
“Wah!, awakmu itu pantes jadi juru nujum!!” sahut Kyai Mirah tertawa.
Semua penggede Ponorogo itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Kyai Mirah yang suka mbanyol itu. Pembicaraannya pun makin lama makin terlihat serius.
“Nuwun sewu kakang, kula sak mangke tambah prihatos menawi ngawuningani kahanan ing bumi reog sak mangke. Korupsi, kolusi lan nepotisme, tambah ndodro, tambah nggladrah. Para pamong projo sami kecalan moral, sami nilaraken paugeran, sami rebut panguwaos, sami rebutan sego, mblendhukne waduk…” jelas Raden Katong jengkel
“Semanten ugi kula Raden. Kula tumut isin, lha jare piyambakipun menika ngendikane dados kiyai, lha kok konangan selingkuh niku pripun. Mbok ya inggih leren kewolo anggen dados adipati. Mesakna mring para kawula. Lha wong nyatane dados adipati nggih mboten saget menapa-napa. Terus niku namine pripun??” pungkas Kyai Mirah
“Wah, senajyan mekaten titelipun SH,MSi lho Kyai?”
“Gelar ngono ora mung kanggo gagah-gagahan wae. Ananging pawongan sing duwe gelar kudu sumbut karo cak-cakaning ngelmu tumrap bebrayan. Arepo gelare sak thekruk, ananging ora iso opo-opo yo percuma. Lan awake dewe iku wis mangerteni, menowo gelar-gelar iku mau biso tinuku kanthi dhuwit. Alias STKIP !, Sekolah Tidak Kok Ijazah Punya. Wis ngene wae, yen kowe ora percoyo, coba Adipatimu sing nganggo gelar SH MSi kae, takonono babagan cara nggawe skripsi lan thesise… oh yen iso kethoken drijiku iki” cibir Ki Demang Surukubeng serius
“Interupsi Ki!!”
“Ono opo Nggolo?”
“Niki guyon mawon. Menawi kala emben sang adipati niku angsal pepaparap mister jegeg, krana asring ngucapaken kata-kata jegeg ing sadhengah panggenan. Lha sak niki niki, menawi kula mirengaken piyambak, piyambakipun sering ngucap ‘seje silit, seje anggit’…”
“Karepmu?”
“Lha inggih, menawi makaten peparap menika nggih perlu diganti ta…”
Orang empat yang ada di kedai itu mulai paham, dengan apa yang diinginkan Suromenggolo. “Oh karepmu ngerti aku… hayo coba aturna wae”pinta Kyai Mirah sambil bercanda.
Suromenggolo kemudian meletakkan gelas susunya, dan menghela nafas dalam-dalam. Kyai Mirah, Raden Katong,  Ki Suryongalam, dan Ki Honggolono, saling jawil bersiap-siap ketawa dan ketiwi jika Suromenggolo menjawab permintaan itu.
“Nggih ngaten kemawon Raden, gandeng adipati Ponorogo sak menika winastan adipati ingkang mekaten kala wau, menawi kula peparapi mister anggit kok rasanipun mboten pas, mboten cocog kalian kahanan. Pramilo ingkang pas…………mister ……. ????”
“Haaaaa…. Ha… haaaaaaa… haaaaa…….. oalaaah…. Edannn… kemplo” semua tertawa terpingkal-pingkal


SEGERA HADIRRR !!
WAYANG KEMPLO SUPER GERRR

Para penggemar wayang kocak yang pingin ngobati rasa strees, kami pasukan wayang kemplo akan hadir di setiap penerbitan Media Mataraman hingga hari kiamat nanti, he…he..he…
Agar kemasan wayang ini menambah hot super hot, kami akan selalu koneks dan konteks dengan situasi yang berkembang di jagad alam dunia sekarang ini. Isinya tersaji yang membuat panas telinga, panas kepala, tetapi dingin di hati. Maklumlah ini hanya ulah para wayang yang kurang ajar. Jadi Anda sebagai orang yang masih ketitipan kesaktian ‘iman’ nggak usahlah digagas hingga keluar masuk rumah sakit. Tapi cukup ditelan pelan-pelan kemudian ludahkan sampai ‘kecer ati’ terasa pahit.
Begitulah dunia wayang, selalu identik dengan bayang-bayang manusia, atau gambaran duplikasi menungso. Yang selalu ngongso-ongso rakus serakah, dan ngawur sikut sana sikut sini. Tepang sana tepang sini, dan sebangsanya. Pokoknya kalau Anda nggak mbaca satu kali saja pasti deh, anda guetuuun pool. Dijamin pokoknya bakal ngamuk mencari Media Mataraman sampai kolong jembatan sekalipun. Ach!!!
Bagaiamana???, mangkanya ikuti saja. Pokoknya semua strees bakal ‘oncat’ dari jiwa raga panjenengan. Tapi bagi yang tersinggung nggak usah ngamuk, kemudian menyewa pembunuh bayaran untuk menghakimi dalangnya… semua hanyalah fiksi tapi nyata di dunia alam semesta ini… sudahlah Anda nggak usah gelisah… mari menebar senyum bersama kami… Wayang Kemplo Super Gerrr.


Kemploisme?
Kemplo dalam kamus ensikemploispedia berarti dhedhel, keminter, kemeruh, ngawur, sok  tahu, dan sok merakyat, serta sok serba bisa. Istilah ini tergolong  satire yang dialamatkan pada oknum pemimpin karena ketololannya, ketidakbecusannya, kemendhoannya, kengawurannya dan kekemploannya dalam memimpin. Sehingga pemerintahan yang dipimpinnya menjadi rusak. Nepotisme, koncoisme, dulur-isme, sopirisme (kerabat sopir kabupaten:red), semuanya menjarah rayah, ajimumpung jadi adipati kemplo, jadi sopir kemplo, jadi lurah kemplo, jadi dewan kemplo, dan jadi tim sukses kemplo. Untuk makan uang APBD, menjadi PNS, beli gelar, beli jabatan, beli ijazah, dan menguasai semua proyek pembangunan.
Begitulah kemploisme akhirnya memerahkan telinga para founding father, ajisepuh,sesepuh Ponorogo. Mereka pun segera meeting di warung Ki Demang Surukubeng. Mereka menganggap persoalan ini sangat urgent untuk dibicarakan. Mereka menganggap Ponorogo dalam keadaan genting, pemerintahan dalam keadaan rusak, adipati sudah nggak becus dan memang nggak becus ngurusi pemerintahan.
“Ki, nampaknya kita perlu segera turun gunung” kata Ki Demang Kutu mengingatkan
“Setuju Ki, rakyat Ponorogo telah keliru memilih adipati” sahut Ki Ageng Mirah
“Ini akibat penipuan para politisi busuk yang mengusung pemimpin tersebut” tukas Ki Honggolono
“Ya begitulah, pembodohan kepada rakyat telah dilakukan. Rakyat telah dibeli dengan rupiah… rakyat telah dikibuli. Dan sekarang adipati disetir oleh; sopirnya, Pak RT, kepala desa  dan tim suksesnya… perbuatan yang terang-terangan melanggar hukum..  akibatnya pemerintahan menjadi rusak, adipati nggak becus buat  konsep, adipati nggak tahu pekerjaannya, adipatinggak mudeng dengan tugas-tugasnya, adipati dirongrong oleh orang-orang yang lebih pinter darinya… dan adipati hanya berjalan ngawur  tanpa tujuan…. oalaaah dasar kemplo…kemplo… adipati kok keluyuran tak terarah…” sergah Surogentho kesal
“Yaaah, arepo dikoyongopo sing jenenge pendidikan itu perlu… sekarang ini jangan hanya mengandalkan bolonya banyak saja… adipati itu memerlukan kecakapan dalam bidang pemerintahan, ketatanegaraan, sosiologi, ekonomi, dan sebagainya… coba sekarang kalian lihat, Ponorogo sekarang  sudah rusak parah. Adipatinya nggak tahu apa-apa… ini semua akibat dari latar pendidikan yang tidak memenuhi syarat. Benar sarjana, tapi hanya sarjana dipaksakan… Sarjana Hiburan, dan MSi nya hanya Megister Sekedar Iseng saja, coba kalau nggak percaya sampeyan tanyakan bagaimana cara membuat skripsinya, bagaimana cara membuat tesisnya…pasti nggak tahu dia… rumangsanya kalau sudah pake gelar gituan orang menjadi takjub, orang menjadi silau, orang menjadi takut… orang mengatakan hebat…oalaah.. kemplo… kemplo… ngapusi awake dewe kok ora bar..bar…, berkatalah jujur, jangan menunggu Ponorogo hancur… dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa adipati yang sekarang ini tidak layak memimpin Ponorogo…. Dan sebelum kita turun gunung sebaiknya adipati segera lengser, meletakkan jabatan, pilih adipati baru dan benar-benar baru, bukan dari wakilnya yang sekarang ini…”
“Kenapa Ki ??” tanya Surogentho
“Jas bukak iket blangkon, sami juga sami mawon”
Ki Ageng Kutu, Surogentho, Ki Ageng Mirah, dan Ki Honggolono tertawa bersautan. Mereka tertawa lantaran kemploisme benar-benar terjadi di pendapa kabupaten Ponorogo. Orang-orang yang tidak bisa apa-apa telah menjadi penguasa. Mereka menjadi tayangan tukar nasib. Nggak tahu malu, nggak punya etika, dan nggak punya bekal ilmu. Mereka hanya menjadi badut-badut politik yang manggung di atas penderitaan rakyat. Dan rakyat sudah tahu semua kalau gelar-gelar yang nempel di pundak hanyalah gelar palsu. Nggak usah ditutup-tutupi, kasihan rakyat yang menderita. Yang untung hanya para badut dan tim pengusungnya. “Selamat mandi lumpur, wajah anda terlihat semakin jelek. e –KTP gratis kok!”. Ujar Ki Ageng Kutu menggerutu.


PONOROGOKU untuk para PEJUDI
Ki Setyo Mangunprodjo
GAWAT!!!. Itulah kata yang pantas terucap pada Kabupaten Ponorogo sekarang ini. Predikat kota santri, kota kiyai, kota pelajar, tempatnya orang shaleh terpelajar nyaris hilang dalam kurun dua tahun terakhir ini. Betapa tidak gawat!. Identitas itu kini telah luntur seiring kesalahan masyarakat Ponorogo dalam memilih pucuk pimpinan pemerintahan. Lho kok?. Oleh karena itu para pendiri Ponorogo segera meeting di suatu tempat
“Begini lho Raden, pemilukada yang baru lalu tidak lepas dari permainan dari para pejudi yang berasal dari Surabaya, Semarang, Wonogiri, Jombang, Nganjuk, dan lain-lain termasuk Ponorogo sendiri. Mereka sengaja memilih pemimpin yang lemah dengan tujuan untuk dapat mencari keuntungan lewat kelemahannya itu. Mereka bisa mengiming-imingi sejumlah harapan dan keuangan… bahkan kalau perlu pancing dengan wanita –wanita cantik…mereka tahu itu, kalau dulu adipatinya nggak pernah punya uang sebanyak itu… mereka tahu kalau adipatinya senang itu…oleh karenanya kalau ingin banyak keuntungan pilihlah adipati yang lemah…agar mudah dikendalikan…” keluh Kyai Ageng Mirah memulai pembicaraan
“Bahkan sekarang ini sudah Nampak jelas sekali kalau Ponorogo diacak-acak oleh pejudi. Coba lihat saja kakang, Pilkades sengaja diadakan dengan tidak serempak, itu saya yakin kalau Adipati sudah dikendalikan oleh mereka. Tujuannya adalah agar kepala desa bisa dijadikan taruhan…dan nantinya para kepala desa yang dibantu pejudi-pejudi itu bisa mereka kendalikan…bahkan jangan harap ke depan ada kepala desa yang berkualitas…, makanya mereka sengaja menghembuskan fitnah-fitnah kepada calon kepala desa dengan isu golongan, kelompok-kelompok garis keras keagamaan, kemudian menjatuhkan orang baik-baik dengan fitnah yang keji. Kalau perlu generasi muda dibeli dengan minuman keras dan judi… itulah strategi mereka untuk mengacak-acak Ponorogo sekarang ini…” imbuh Raden Katong serius
“Kita sekarang ini kembali lagi pada jaman jahiliyah modern. Sekarang ini kalau sampeyan ke Ngebel, di hotel-hotel sana itu sering dimanfaatkan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa untuk berbuat mesum, berhubungan badan layaknya suami istri. Bahkan tidak itu saja, warnet, kafe, dan tempat hiburan lain, sekarang ini dijadikan tempat aman untuk perbuatan tersebut, bahkan saya melihat sebuah kafe di daerah saya, agar tidak ketahuan bejatnya, semua sudut bangunannya dikasih kubah masjid, itu di daerah saya..lo. Sementara pemerintah sekarang ini buta, tuli, dan sangat tidak mampu untuk mengatasi kerusakan generasi muda di kabupaten ini, ini menunjukkan bahwa dampak negative dari kepemimpinan yang lemah bakal berakibat rusaknya tatanan kenegaraan, pemerintahan daerah, dan rusaknya tatanan social… saya doakan mudah-mudahan secepatnya pemimpin yang demikian segera diturunkan, dilengserkan oleh kekuatan Tuhan…” sahut Ki Demang Suryongalam tidak sabaran
“Amin!!!!, tapi begini lho kakang… sesuatu itu kalau dipegang oleh orang yang tidak ahli, kata Nabi, maka tunggu kehancurannya. Dan sekarang ini Ponorogo sedang terjadi seperti itu. Pemerintahan sudah dipegang oleh orang yang bukan ahlinya… pemerintah sudah hancur…dan sekarang ini semua lapisan masyarakat, kecuali yang pernah didatangi rumahnya ketika mantu atau yang lainnya… mereka sudah merasakan bahwa pemimpinnya nggak bermutu, tidak berkelas, tidak bisa menjadi adipati sejati… akan tetapi hanya adipati gambar, adipati wayang, yang gerakannya dikendalikan oleh dalang yang bernama preman-preman. Dan itu tidak saja dirasakan oleh kalangan bawah… akan tetapi orang-orang cerdik pandai, orang akademisi, camat, lurah, kepala desa yang dulu mendukungnya dan staf kabupaten - kecuali yang telah mendapat jabatan- mereka merasakan kalau pemimpinnya tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa… tidak pantas jadi adipati…tidak pantas menjadi orang nomer satu di kabupaten ini…saya ikut prihatin Raden… oleh karena itu saya mohon kepada Alloh agar amanah yang telah diberikan kepada adipati segera dicabut” pinta Kyai Mirah setuju dengan ide Ki Suryongalam dan yang lainnya
“Amiiiiiin….” Jawab hadirin serempak, mewakili rakyat Ponorogo

Ditemukan RT GILA
Ki Setyo Mangunprodjo
Periodisasi zaman menurut falsafah jawa dibedakan menjadi lima periode yaitu zaman kemasan, zaman perak, zaman perunggu, zaman besi, dan zaman imitasi. Zaman kemasan, tingkat kejujuran manusia masih bisa dipertanggungjawabkan kemurniannya. Bila ia ngomong tidak ya tidak beneran. Dari perlambang ini, maka jika seorang pemimpin hidup pada zaman itu, maka dia adalah pemimpin beneran. Bukan pemimpin karbitan ataupun pemimpin jadi-jadian.
Berikutnya zaman perak. Pada zaman ini, tingkat kejujuran manusia sudah mulai terkontaminasi oleh sedikit godaan. Akan tetapi dampak negatifnya belum signifikan dirasakan oleh sebagian besar komunitas manusia. Orang masih enggan berbuat jahat, karena masih punya hati nurani. Orang masih malu jika menggunakan gelar palsu, apalagi beli gelar, alias sarjana atau megister tumbasan.
“Kalau zaman perunggu bagaimana Kyai?”
“Kalau zaman perunggu, kadar kejujuran lebih rendah dari zaman perak. Orang sudah mulai banyak tergoda rayuan iblis. Akan tetapi, pada zaman ini orang juga masih punya hati nurani. Orang masih menjaga hukum adat, hokum pemerintahan, walau satu dua sudah ada yang mulai menyeleweng, akan tetapi kondisinya masih bersinar walau mulai redup” jelas Kyai Mirah filosofis
“Kalau zaman besi kondisinya seperti apa Kyai?” Tanya Batara Katong serius
“Begini Raden (sambil menghela nafas)… pada zaman ini orang jahat dan orang baik sama-sama kuatnya. Keduanya saling memberikan pengaruh yang sama kuatnya. Orang pada zaman ini berhati keras, mudah putus asa, inginnya jalan pintas. Korupsi kolusi, nepotisme, apus-apus, mulai merajalela…, tata Negara, tata kehidupan, mudah karatan, dan mudah rusak”
“Terus, kalau jaman imitasi seperti apa Kyai?” sahut Suromenggolo mulai tertarik
“Naaa, inilah zaman yang tengah kita lewati sekarang ini. Pada zaman ini orang sudah menunjukkan sifat kemunafikan atau kepalsuan. Orang atau pemimpin pada zaman ini sudah tidak bisa dipercaya lagi. Seandainya pakai gelar ya gelar palsu. Seandainya haji, ya haji palsu, seandainya adipati, ya adipati palsu. Seandainya anggota dewan ya anggota dewan palsu. Janjinyapun juga janji palsu, sumpahnyapun juga sumpah palsu.”
“Tapi walaupun palsu, kita mudah tertipu lho kyai…”
“Ya jelas to, lha wong memang awal penampilannya menarik kok. Jadi kita mudah sekali tertipu. Apik njaba bosok njero, baik penampilannya tetapi buruk keadaan aslinya. Pada zaman ini pemerintahan dikendalikan oleh tokoh munafik…”
“Wah jangan-jangan Ponorogo sudah masuk pada zaman ini, Kyai”
“Weeeladalah… awakmu itu belum tahu ta?, semenjak adipatinya yang sekarang ini, kepalsuan, kemunafikan, dan kerusakan mulai membumi pada pemerintahan di Ponorogo. Mulai jual beli ijazah dan gelar, jual beli jabatan, jual beli PNS, serta perbuatan-perbuatan yang tidak lazim dilakukan oleh adipati, anggota dewan, serta orang-orang yang tidak termasuk dalam lingkungan structural, semisal sopir dan anggota tim sukses ketika pemilukada dulu, mereka ini, sekarang ini menjadi orang-orang yang ikut-ikutan menata jabatan, plus merangkap calo atau makelar jabatan. Mereka menjadi orang-orang gila, mabuk kehormata. Bahkan jalur terendah dari sistem pemerintahan seperti RT, sekarang ini menjadi pusat pengendali pemerintahan…, sekarang ini Pak RT menjadi king maker, yang menentukan hijau merahnya pemerintahan, jadi dia termasuk RT gila juga”
“Dengan demikian dia akan menutupi kebobrokan pemerintahan yang sekarang ini dengan beragam cara, ya Kyai?”
“Oh tentu!, orang itu kalau masuk dalam katagori tokoh munafik selalu berfikiran muslihat, bagaimana agar kebohongan dan kepalsuannya tidak terbongkar dan tercium oleh masyarakat. Maka ia akan berusaha dengan beragam cara. Misalnya, membeli media masa, membeli kolumnis, menyewa jago pukul, intimidasi, dan macam-macam keculasan yang bakal dilakukan demi tujuan menutupi kebobrokannya… untuk memperoleh tujuan jahatnya…”
“Wah, kalau begitu pemerintahan yang demikian itu memang benar-benar ada ya Kyai?”
“Weeeeladalah, ya juelas-jelas ada ta… bahkan sekarang Ponorogo tengah mengalami krisis yang sangat-sangat mengkuwatirkan. Dan ini bukan mengigau ataupun mimpi belaka, tetapi pemerintahan rusak itu benar-benar ada, dan sedang terjadi. Nah sekarang kamu bisa melihat sendiri bahwa dalam pemerintahan Ponorogo ada tokoh-tokoh munafik yang mengendalikan ?”
“Ya, benar  Kyai… memang benar-benar adanya”

Ach! Memalukan!!
Ki Setyo Mangunprodjo

Kepercayaan itu datangnya hanya satu kali saja. Ketika seseorang sudah nggak bisa dipegang ucapannya, maka kepercayaan pada dirinya itu lambat atau cepat bakal sirna, dan ndak ada yang mau dengar lagi. Pun demikian berlaku pada adipati Ponorogo, yang dulu –baca orang yang tertipu kamuflasenya- menganggap, bahwa sang dipati orangnya bersahaja, merakyat, jujur, pinter, alim, dan seabrek ‘pangalembono’ padanya.
Eeee tak tahunya itu hanya cerita ngoyoworo, ngawur, bin apus-apus. Nggak satupun predikat tersebut melekat pada diri sang dipati. Bahkan dengan keangkuhanya kini dia sedang membangun istana dengan balungan kayu jati senilai 3 Milyar, yang diminta paksa dari dinas pertanian. Otomatis sang kepala dinas puyeng kepalanya. “Ah dasar dipati kemplo!, mentang-mentang berkuasa menggunakan aji mumpung, rumangsanya kalau sudah jadi adipati bisa berbuat semena-mena…apa nggak melihat, rakyat semakin mlarat bahkan banyak terkena gizi buruk, bisanya jangan hanya njingkat pura-pura kaget” desah Sang Kepala Dinas Pertanian berkecemuk.
Baru saja enak-enak melamun, tiba-tiba dari samping kanan datang Ki Suromenggolo mendekat. “Lagi mikirin apa kisanak?” Tanya Suromenggolo mengagetkan.
“Eh,,, anu…anu… ini lho Ki, sedikit ada masalah…”
“Masalah apa ya?, kelihatannya kok seru banget!?”
“Ah, biasaa, sekarang ini sang dipati kan mau mbangun istana ta Ki, jadi kita sebagai bawahan harus menyediakan upeti, biasalah… kalau nggak mau nuruti kehendaknya pastilah jabatan taruhannya. Dan dia kini bersama kroni-kroninya bagaikan raja bengis yang siap memangsa siapa saja yang melawan kehendaknya. Selain itu yang lebih mengerikan adalah jiwa komersilnya telah memakan banyak korban. Anak-anak pinter Ponorogo tetapi miskin dijamin tidak bisa menjadi PNS di daerahnya. Demikian juga orang baik atau pejabat baik jangan harap bisa mendapat jabatan jika nggak mampu membayar...”
Ki Suromenggolo yang dulu ikut mendirikan Ponorogo, terlihat hatinya gundah. Dia pun menarik nafas dalam-dalam. Dia prihatin dengan keadaan Ponorogo yang semakin bubrah semenjak dipimpin dipati yang sekarang ini.
“Dan ketahuilah kisanak, saat ini saya mendengar dan melihat sendiri, bahwa tiga tahun pertama berdasarkan keterangan dari kroni-kroni yang dimotori oleh Pak RT bahwa pemerintahan dipati dikendalikan oleh anak-anak brandal yang biasa cangkrukan ning sor ringin, maka sasaran utama adalah mengeruk keuntungan materi sebanyak-banyaknya demi nyaur hutang dan membangun kekuatan untuk pemilukada berikutnya. Kedua kalinya, tebar pesona melalui tilik sekolah. Karena disadari bahwa anak sekolah adalah sasaran empuk untuk mendulang suara pada pemili nantinya. Maka mereka harus dikibuli, dan dikebuli dengan aneka ramuan kesukaan anak-anak muda. Pun demikian, agar adipati terlena, maka dipancing dengan perempuan cantik dan rumah mewah, seperti yang sudah sampeyan siapkan kayu seharga tiga miyar tadi. Baru kemudian dua tahun terakhir nanti pemerintahan dikembalikan kepada sang dipati, dengan kendali ketua adipati center, guru SD- family istrinya-, serta sopir pribadi, ditambah para kepala desa, dan beberapa pengusaha, yang masih diuntungkan dan loyal padanya”
“Waaah, panjenengan tahu saja dengan situasi pemerintahan Ponorogo saat ini. Terus, kalau begitu, saya harus berbuat bagaimana Ki?”
“Kalau sudah menyangkut masalah itu, berpulang pada pribadi masing-masing. Kalau sampeyan ingin menyelamatkan Ponorogo, saya ingatkan jangan sekali-kali berkonspirasi dengan para penjahat tersebut. Kasihan rakyat, daerah, dan pemerintahan Ponorogo yang semakin amburadul. Biarkan adipatimu seperti itu. Dia lagi diuji oleh Alloh dengan kesenangan jabatan, dan harta kebendaan. Dan yakinlah bahwa Yang Maha Kuasa tidak tidur. Maka tidak lama berselang kebatilan itu akan hancur, amanah yang diberikan bakal ditarik kembali. Maka jangan kaget kalau nanti ada adipati, plus anggota dewan, sopir dan kroni-kroninya masuk penjara”
“Amin”
Suromenggolo akhirnya meninggalkan kepala dinas pertanian sendirian. Dia memilih njajah deso milangkori, melihat perkembangan kerusakan Ponorogo dari dekat. Dan di sepanjang jalan ia ngundomono “Ach! Benar-benar memalukan, mosok kutho santri, kutho pelajar, dan banyak orang-orang terpelajar, milih pemimpin aja pemimpin yang nggak bener…memalukan…sungguh memalukan!!”

Tomcat, BBM, dan Popularitas
Ki Setyo Mangoenprodjo

Nama kumbang Tomcat tiba-tiba meroket bagaikan BBM yang sedang ancang-ancang naik. Nama yang pertama meroket karena sengatan dengan racun yang membuat kulit atau wajah menjadi melepuh telah banyak memakan korban di berbagai wilayah di Jawa Timur bahkan di seluruh Indonesia. Sedangkan nama yang kedua, tiba-tiba juga meroket lantaran mata mahasiswa melihat ada kecemasan yang menghimpit ekonomi rakyat kecil, yang diakibatkan oleh kenaikan BBM. Maka tak pelak, beban ekonomi masyarakat juga pasti bertambah naik dan rakyat kecilpun semakin menderita pula. Itulah dua nama dari kacamata berbeda, yang tengah menjadi buah bibir masyarakat.
Namun demikian dari dua  nama – Tomcat dan BBM- tersebut, rupa-rupanya juga tidak menyebabkan penurunan pendapatan pegawai sekelas adipati dan wakil adipati Ponorogo. Justru dengan kenaikan BBM tersebut dimanfaatkan oleh adipati dan wakil adipati Ponorogo untuk menaikkan rating pesona melalui demo bersama mahasiswa. Tak ayal keanehan ini jadi perbincangan tokoh kesohor Ponorogo; Raden Katong, Kyai Mirah, Kyai Honggolono, Suromenggolo, dan Suminten (tapi masih setengah edan lo). 
“Wah, tambah gayeng nih!, lagi diskusi apa ini” Tanya Suminten memecah ketegangan para stakeholder Ponorogo.
“Wah, kamu itu datang-datang, nggak pake uluk salam. Mbok ya assalamungalaikum, atau apa kek!” Sahut Kyai Mirah mengingatkan
“Yaaa, begitu aja pake formal-formalan segala. Lha wong nggak pake formal aja nggak apa-apa kok. Buktinya nih gue, walau nggak pake formal-formalan, gue bisa dapat ijazah, dapat gelar, dan dapat predikat ratu, yang bisa menguasai proyek-proyek, dan bisa apa saja, wah popularitas saya bisa melebihi si kumbang Tomcat, dan BBM yang tengah melambung saat ini…”
“Awakmu ngerti ora apa bedane kumbang Tomcat, BBM, dan wakil adipati?” sahut Suromenggolo bercanda.
“Wah ini mesti plesetan, hati-hati Suminten, Suromenggolo itu mesti njebak kamu lho?” potong  Raden Katong mengingatkan
“Saya ngerti, kalau Tomcat sekarang itu sedang melakukan program tilik ke kota, kalau wakil adipati sedang tilik ke desa. Demikian juga, kalau nanti BBM nggak jadi naik, maka nama wakil adipati menjadi naik..”
“Lho, kok bisa???” sahut Kyai Honggolono nggak mudeng
“Lho, ya iyalah, biasaaalaaah, mental politisi itu seperti itu. Kalau berhasil, maka semua keberhasilan itu katanya berkat dirinya. Tapi kalau gagal, pasti menyalahkan orang lain. Demikian halnya dengan rencana kenaikan BBM yang disambut oleh mahasiswa dengan demo penolakan, dan diamini oleh adipati dan wakil adipati Ponorogo, pastilah ujung-ujungnya hanya ingin mendapatkan popularitas, agar pemilukada yang akan datang dapat simpati dari kalangan mahasiswa. Itu pasti, dan teramat gamblang di depan mata. Rakyat nggak bisa ditipu dengan kamuflase murahan seperti itu, apalagi masuk ke sekolah-sekolah, oalaah cah sekolah ngerti kabeh yen sekolahe adipati biyen wis ora beneeer, percum tak bergun, he…hee…he…”
“Wah omonganmu kok nggak semakin bener gitu ta?, ingat lho ya kita itu berpikir serius untuk Ponorogo lho?!” pinta Kyai Mirah mengingatkan
“Ki, sampeyan ya kudu menyadari lho, … Suminten niku radi kirang waras” bisik Raden Katong
“Ooooo iya ya. Tapi hari ini saya mendengar, deskripsinya ilmiah lho Raden. Memang ada benernya omongan Suminten itu. Benernya, apa yang diomongkan itu sesuai dengan keadaan Ponorogo saat ini. Pemerintahannya rusak, awur-awuran, anane mung dodolan jabatan, dodolan pegawai, golek untung nggo  mblendukne wetenge para penguasa. Malah-malah sak iki, fungsi media masa sebagai alat pengontrol pemerintah, sengaja dibungkam. Koran local dituku, murih mberitakne kebaikane pemerintah. Padahal yen di tamatke tenanan, ora koyo mangkono, malah sing jenenge kerusakan sistem pemerintahan sak iki-iki wis masuk katagori mengkhawatirkan. Orang parpol dan sopir serta tim sukses pemilukada di luar sistem pemerintahannya telah menjadi tim pengendali pemerintahan memanfaatkan kelemahan adipati yang memang nggak mudeng pemerintahan” jelas Kyai Mirah analitis
Raden Katong terlihat mengangguk-angguk tanda setuju dengan pendapat Kyai Mirah. Dia pun menggeser posisi duduknya menatap Suminten yang tengah memasak air, tepat di depannya.
“Ten, yen nurut awakmu kepriye, menewa ana adipati lan wakile melu-melu demo mahasiswa nolak kenaikan BBM?”
“Waa, niku namine saru, ora patut. Lha wong adipati niku kepanjangan pemerintah lho. Mestine rak nggih maringi penerangan, lan penjelasan, ngenani alasan pemerintah pusat menaikkan BBM, mboten kok malah cari keuntungan pribadi, kampanye dini, pamer kekuatan iki lho aku pemimpin aspiratif. Niku klintu, lan malah nedahaken bodo lan kemplonipun…”
Orang-orang se rumah tertawa terpingkal-pingkal. Mereka terkejut dengan penjelasan Suminten yang melebihi pendapatnya seorang megister. Dan menurut mereka Sumintenlah yang patut mendapat gelar Adipati Ponorogo. Karena wawasannya luas, tajam, dan paham pemerintahan. Sementara Suromenggolo mesam-mesem, kayaknya ada sesuatu yang ingin ditanyakan pada Suminten.
“Ten, satu lagi pertanyaan untukmu. Kalau tadi perbedaannya, sekarang apa persamaan anatara BBM, Tomcat, dengan penguasa Ponorogo saat ini…” Tanya Suromenggolo penasaran
“Jawabnya gampang dan singkat ‘sama-sama MERESAHKAN!!!’”
“ha…ha…haa….ha…hhaaaa!!!” orang serumah tertawa riuh


Bareng –Bareng Menunggu Sanksi

Ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskan terjadinya ledakan (outbreak) demo penolakan BBM yang dilakukan kepala daerah akhir-akhir ini. Di antaranya,  pertama, kepala daerah karena ingin cari muka di mata mahasiswa, dan rakyat, bahwa dialah pahlawan sejati yang pantas dipilh kembali dalam pemilukada berikutnya.  Kedua, kepala daerah yang  oportunis  alias tidak punya pendirian, lantaran takut menghadapi tekanan masyarakat.  Ketiga, kepala derah  yang rendah IQ-nya sehingga tidak tahu tugas dan fungsinya  dalam menjalankan perundang-undangan  dan kebijakan pemerintahan pusat .
Untuk criteria kepala daerah yang pertama, jelas mereka bekerja untuk kepentingan perutnya daripada kepentingan Negara. Mereka maunya disanjung-sanjung, dihargai, dielu-elukan, dan dianggap sebagai pahlawan. Kerjanya hanya untuk mengeruk keuntungan pribadi dan kroni-kroninya. Jasanya minta dikenang, sumbangsihnya tidak sampai di sanubari. Mereka pintar menebar pesona. Perjuangannya tidak ikhlas, lantaran ada pamrih dan maunya. Senyumnya senyum kepalsuan, janjinya hanya di bibir saja, alias janji palsu belaka.
Tipe kedua, kepala daerah oportunis adalah sosok plin-plan yang memilih opsi yang menguntungkan kedudukan sesaat. Orangnya tidak pinter dan bodoh amat. Kecerdasanya lambat, miskin kreativitas dan inovasi. Dia mudah terpengaruh oleh orang yang dianggapnya lebih pinter darinya. Dan diapun takut banget ketika orang banyak, teriak-teriak padanya. Maka tak heran jika kebijakannya selalu berubah, mengikuti tekanan dari orang yang lebih kuat.
Sedangkan kepala daerah tipe ketiga  seperti tersebut di atas adalah sosok kepala daerah yang tidak punya ijazah normal, sehingga tidak punya ilmu pemerintahan, tidak lancar baca tulis, kemplo, bin ola-olo, mendo plonga-plongo, seperti wayang, yang didalangkan oleh orang-orang yang mengusungnya. Kepala daerah semacam ini sejenis kepala daerah gadungan, kepala daerah palsu, persis ‘tayangan tukar nasib’ yang ada di televisi swasta Indonesia.
Padahal, kalau kepala daerah itu cerdas, maka hal tersebut tidak bakal dilakukan. Sekarang mari kita pahami, bahwa pengelolaan minyak dan gas di Negara kita ini, sebenarnya telah dicurangi oleh kontraktor asing. Dari penghasilan 900.000 barel minyak per hari, kita diberi 85% minyak mentah yang harus diolah lagi oleh kontraktor asing, dengan imbalan biaya produksi sebesar 35%. Sehingga nyaris dari 900.000 BPH,yang dihasilkan  kita hanya dapat laba bersih 375 ribu BPH. Padahal kita di setiap harinya butuh  1.200.000 BPH. Berarti kita harus beli 825 ribu BPH, yang diambilkan dari APBN.
“Nah, sekarang kalau kita nggak peduli dengan keadaan ini, kapan Negara kita maju? Kita harus ‘jer basuki mawa bea’, kita seyogyanya berfikiran positif pada kebijakan pemerintah. Jadilah  kepala daerah cerdas yang senantiasa memikirkan Negara. Jangan malah mencari keuntungan pribadi, eee… baru saja jadi kepala daerah, sudah kuat bangun rumah, bangun istana dengan kayu jati 3 milyar. Apa itu namanya bukan adipati kemplo, adipati nggak tahu diri. Prestasi  sudah nggak ada, ini malah aji mumpung, ngeruk kekayaan Negara, untuk kepentingan pribadi… adipati , wakile, sak anggota dewan sing ngusung edan kabeh” desah Suromenggolo kecewa
“Lho kok nyrempet-nyerempet yang lain ta Ki?” Tanya Den Mas Broto nggak ngerti
“Lho ! ya iya ta Brot!, adipati kita dulu yang mengusung  kan mereka. Pandangan mereka dialah mesin suara yang kala itu jadi mesin alternative yang bisa menyedot pemilih. Dan saya yakin  kalau itu semua hanya untuk menjadikan adipati yang sekarang ini jadi ajang legitimasi untuk mengeruk keuntungan dari  proses pemerintahannya oleh tim pengusung  Pak RT, Mr. AM, Tuan S dan Istrinya, sopir pribadi dan familinya, istri alias kanjeng mami dan familinya. Bahkan saya mendengar kalau jalur kesehatan yang meliputi obat-obatan, serta alat-alat kesehatan bakal dikuasai oleh wakil adipati dan keluarga, yang berarti lewat satu pintu darinya. Lumayanlah dari keuntungan obat dan alat kesehatan itu, mereka bakal tertimbun harta hingga mati kelak”
“Maaf Ki, tadi kok ada Mr. AM, dan Pak RT , terus apa peran mereka.  Mr. AM, bertugas membuat konsep keadipatian. Dari dia sebenarnya konsep-konsep pemerintahan dijalankan. Tapi sayang karena  adipatinya kemplo, jadinya ya nggak bisa membaca dan mengimplementasikan  konsep. Terus kalau Pak RT, bertugas mengeksekusi kebijakan sekaligus makelar jabatan yang berada pada garda terdepan sebagai Raja Tega yang menggunakan jargon perjuangan “membela yang mbayar”
“Kalau Mr. S dan keluarganya?”
“Ya.., sekarang ini mereka  jadi raja yang menguasai proyek-proyek, dan menguasai pemerintahan yang berasimilasi dengan koleganya tadi. Tujuannya untuk membesarkan lahan bisnisnya sehingga perusahaan lain gulung tikar, alias mati suri. Maka jangan heran jika mini market asing menjamur di Ponorogo ini, dan semua proyek ia kuasai” Jelas Suromenggolo.
Surogentho yang sedari tadi ndloham-dlohom Nampak tersipu mangkel, mendengar cerita nyata dari Suromenggolo. Dia melihat, bahwa Ponorogo di ambang kehancuran. Adipati Kemplo yang ternyata doyan selingkuh ini telah merobek lambung kapal, sehingga orang se Kadipaten Ponorogo bakal tenggelam. Nah dari peristiwa ini  pastilah dia bakal dapat SANKSI hukum dari mendagri. Pertanyaannya, mampukah dia bisa membela sendirian???.  Kita lihat saja nanti , bagaimana Sang Sarjana hukum ini membela diri. Nah dari sini bakal ketahuan gelarnya asli atau tidak!!!.Ya kan…


Mobil Mewah Mogok
Ki Setyo Mangoenprodjo

Hujan campur badai baru saja turun menggenangi sawah ladang dan perkampungan. Halaman rumah banyak yang tergenang akibat air tidak punya lagi tempat meresap ke dalam bumi. Semua resapan tertutup oleh paving dan cor beton yang tiada memberi manfaat bagi kesuburan tanah. Tak pelak, airpun memilih meresap dalam ruang tamu dan kain pel yang digunakan sang tuan rumah tatkala hujan deras mendera.
Begitulah semrawutnya otak manusia yang telah terkotori oleh virus teknologi, tanpa mengindahkan lagi keselamatan lingkungan dan sekitarnya. Pun demikian akhirnya merepotkan manusia sebagai empu lingkungan itu sendiri.
Simpulannya adalah, kerusakan di bumi sumbernya adalah manusia itu sendiri. Demikian juga, rusaknya tatanan di bumi ini, semuanya adalah karena rusaknya pejabat pemerintahan yang memulai. Hal ini terindikasi karena gelar Raden Ngabehi alias raden serakah di semua lini. Misalnya serakah jabatan, serakah kekuasaan, serakah harta-benda, serakah wanita selingkuhan, serakah pendapatan, dan sebagainya.
Keadaan pemerintahan Ponorogo-pun tidak luput dari biang keserakahan tersebut. Dulu, para sopir yang sedianya memberangkatkan calon adipati adalah membiarkan sang sopir nyetir sendiri roda pemerintahan hingga akhir masa jabatannya. Akan tetapi, karena di tengah jalan sang sopir ‘hanya plingak-plinguk’ tolol, bengong, kemplon, tak punya SIM, tak punya rebues, dan baru sekali itu numpak mobil mewah, maka Kadipaten Ponorogo laksana mobil mewah mogok di tengah jalan raya.
Para sopir sejati yang tadinya nyurung sang adipati, tiba-tiba berubah pikiran. Mereka memanfaatkan ‘kemogokan’ mobil sang dipati untuk segera mengatur lalu-lintas, memberikan pungutan liar bagi siapa yang ingin lancar jalannya, dan membuka usaha jual beli tukang parkir dengan iming-iming jadi tukang parkir Negara, dengan syarat mebayar sekian ratus juta. Sementara Sang Sopir Gadungan dibiarkan saja terpesona dengan alat-alat canggih, serta asesoris mobil mewah, sambil terkagum-kagum, melambaikan tangan kanan dan kirinya, pada rakyat yang melintas di sampingnya.
Sang Dipati pun dengan girang mengundang seluruh keluarga, kolega, tim sukses, dan kroni-kroninya, untuk numpang mobil mewah yang mogok di tengah jalan. Mereka pun memanfaatkan kemewahan itu dengan cara dan polahnya sendiri-sendiri. Ada yang lungguh jigang, melonjak-lonjak, makan dan minum, teriak-teriak, berak dan kencing, bahkan ada yang nyolong asesoris mobil dan onderdilnya. Sang dipati senangnya bukan kepalang. Mulutnya berkali-kali berucap “Wah jegeg…jegeg” sambil mengacung-acungkan jempol tangannya, bak orator ulung yang tengah kampanye, berapi-api.
Sementara di kediaman sang Wadip (wakil Dipati), sang wadip tengah mengumpulkan para wartawan terkait berita wayang yang dirasa mengganggu stabilitas kebobrokan pemerintahannya. Dia pun bagi-bagi dana produksi untuk para kuli berita agar menebar berita-berita baik kepada masyarakat, dan menutupi borok-borok pemerintahan sedemikian rupa sehingga terkesan pemerintahan yang sekarang ini berjalan dengan taburan prestasi yang membanggakan masyarakat Ponorogo. Dan bagi Koran yang jujur memberitakan apa adanya, serta berani mengkritik pemerintahannya, maka harus diberangus dan dijadikan musuh bersama.
Akan tetapi, rakyat pengguna lalu-lintas sudah tersadar betul, jika mobil mewah yang mogok dan sedang dihuni oleh keluarga, kolega, dan kroni-kroninya, kini dalam keadaan mendekati rusak parah. Mobil mewah itu telah menjadi barang rosok, yang semakin merosot harganya. Sementara sang dipati –yang tengah mabuk- hanya dipasok jatah makanan hasil dari pungli di jalan raya. Mereka dijanjikan oleh sang wadip, untuk tetap tenang, jangan panic “ sudahlah sampeyan nggak usah sumelang, sampean bermain-main di dalam mobil aja, nanti aku buatkan rumah mewah, rumah sampeyan yang di desa itu biar ku pugar, nanti kayu jatinya aku mintakan pada dinas pertanian, .. yah paling tidak kayu jati kw 1 senilai 3 milyar-lah” ucap salah seorang kroni wadip, menghibur.
Tak ayal, degan kemogokan mobil mewah di tengah jalan itu, membuat seluruh pengguna lalu-lintas kini semakin jengkel dengan ulah sang dipati yang menghalang-halangi jalan mereka.  Kesempatan itu rupanya menjadi ladang emas bagi sang wadip untuk tampil gagah berani, sebagai pahlawan pengatur lalu-lintas, dan ‘sebagai pejabat bijak’ yang welas asih, mau bagi-bagi, kepada rakyat kecil, dan peduli dengan anak sekolah, serta rakyat desa, dengan programnya, tilik sekolah dan tilik desa.
“Wah, kami sudah sadar betul kok. Kalau ada pejabat yang demikian itu, pastilah ada maunya. Itu hanya muslihat, usaha tebar pesona, kampanye, demi ambisinya menguasai Ponorogo pada masa pemerintahan berikutnya. Sekarang saja mana prestasinya?, korupsi dan keserakahan saja yang menonjol. Sementara rakyat kecil tetap berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan adipati dan wakilnya hanya memanfaatkan pemerintahannya untuk koleksi, dan mengeruk keuntungan pribadi saja. Ah!! Rakyat sudah ngerti semua kok” ujar sebagian warga terus terang.

Mari Kita Lawan Kebatilan
Ki Setyo Mangoenprodjo

Pakar ngelmu sosiologi dari Departemen Perdukunan, Fakultas Pernujuman Institut Perkemploan Ponorogo, mengungkapkan, ada kemungkinan menjamurnya para penjilat, para makelar, para preman politik, sopir sakti, ajudan sakti, guru sakti, lurah sakti, dan para makelar sakti dari sektor keluarga serta kroni familinya  akibat dari terciptanya habitat baru yang bernama surge dunia yang  menggiurkan, menjanjikan, dan menguntungkan. Meski begitu, harus tetap diwaspadai karena bila mereka terganggu atau secara tidak sengaja terpijit atau setidaknya konangan ulahnya, maka mereka akan mengeluarkan cairan yang bila kena kulit akan menyebabkan gejala memerah dan melepuh seperti terbakar (dermatitis). Tapi ya ada kok yang begitu tersentil, segera menutupi dengan uang, agar tutup mulut tidak menyebarkan ke masyarakat luas. Sehingga terbebas dari dermatitis, tetapi malah, dapat uang pembinaan lah.
Jujur harus diakui bahwa perkembangan kehidupan kebangsaan di Ponorogo semakin hari semakin kompleks dan ruwet. Dalam tatanan pemerintahan yang semakin ruwet tersebut, justru para petinggi dan elit negri ini –dari puncak hingga ke bawah- persoalan korupsi, nepotisme,  kolusi, mafia hukum, politik uang, dan carut marut sistem pemerintahan seolah sudah sampai ke titik nadir. Terbukti banyak pegawai-pegawai siluman gentayangan di instansi tanpa SK yang jelas. Hal tersebut tentu saja membuat prihatin para pendiri Ponorogo di alam gaib sana.
“Di tengah banyak masalah bangkrutnya Ponorogo, elit politik Ponorogo banyak kehilangan sensitivitas, bahkan menunjukkan sikap hidup serba menjengkelkan masyarakat. Dari pamer hidup mewah, korupsi, dan skandal, hingga perilaku gila harta dan kuasa” Ungkap Ki Ageng Mirah mengawali diskusi Rebu Legi di rumahnya
“Dan para elit itu menunjukkan ketidakseriusan dan ketidakmampuan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan daerah yang rumit dan sarat beban itu. Lebih-lebih jelang Pemilu 2014 dan berbagai pemeilihan kepala daerah, kepala desa yang sarat ambisius, transaksi-transaksi uang dan kursi, serta beragam kepentingan yang melunturkan komitmen. Uang dan kekuasaan begitu bersenyawa dan diperebutkan dengan banyak cara yang tidak halal” sahut Raden Batara Katong serius
Ki Ageng Kutu terlihat menarik nafas dalam-dalam, kemudian menyambung pembicaraan dua orang temannya. ..” Yaaah, kalau kita lihat sekarang ini, yang semula memperjuangkan reformasi banyak yang berguguran dan berubah haluan menjadi pengejar uang dan kursi dengan beribu kedok dan alasan. Akhirnya reformasi di Ponorogo ibaratnya mati di lumbungnya sendiri, dan yang tersisa ialah keserbabolehan dalam segala hal. Politik yang dikumandangkan mulia, bermanfaat, berguna, untuk kebajikan public pun hanya sebatas retorika dan bahkan menjadi alat paling produktif untuk mengkapitalisasikan kursi dan materi diri sendiri, kroni, dinasti dan sopir sakti. Rakyat Ponorogo akhirnya hanya sekedar diatasnamakan dalam kondisi hidup yang miskin, marjinal, dan terabaikan di tengah kemegahan hidup elit politik, bupati, wakil bupati, dan anggota dewannya”
“Di sinilah Ki, kita berharap ada kekuatan social masyarakat yang masih idialis untuk segera bersikap, bagaimana melakukan tindakan penyelamatan Ponorogo terhadap kondisi yang semakin carut-marut ini. Setidak-tidaknya menjadi penyeimbang, daya kritis, dan terus menyuarakan pesan kebaikan, memberantas kemunkaran, dari lubuk yang autentik. Dan kita harus mendukung setiap ikhtiar yang bijak, cegah setiap muslihat, dan melangkah untuk memberikan solusi agar bangsa dan negeri ini tidak terjerembab ke jurang kehancuran untuk ke sekian kalinya. Oleh karena itu Ki, terus terang saya ikut prihatin dengan keadaan APBD yang dinyatakan bangkrut sekarang ini. Dan saya yakin bahwa semua itu karena ulah elit politik yang telah melampaui batas” Sahut Ki Ageng Mirah
“Betul Ki, suara moral betapapun kecil dan lirih, dicibir, dan dipandang angin lalu tidak boleh berhenti. Dan kepada media masa, jangan sampai berubah menjadi penjilat yang merugikan rakyat. Tetaplah jadi media jujur dan berani menyuarakan dan menegakkan keadilan. Jangan malah menjadi gedibal kezaliman, yang ujung-ujungnya hanya mencari untung , dan mengorbankan hati nuraninya untuk rakyat. Kasihan rakyat yang menderita, kasihan rakyat hanya dibodohi dengan berita-berita palsu, yang sama sekali tidak menginformasikan kondisi pemerintah sebenarnya, itu adalah termasuk pengkhianat perjuangan pers sendiri”
“Dan kepada kamu, ngger Raden Mas Subroto, dan kamu Suryolono. Kalian adalah sebagai asistenku. Jangan kamu teruskan ulah nakalmu menjual SK, SK yang baru saja aku tandatangani. Kamu jangan ikut-ikutan preman-preman politik di Ponorogo ini, bekerjalah dengan hati nuranimu. Jangan kerja dengan nafsu serakahmu. Paham!!!” Pesan Adipati Katong kepada dua asistennya.
“Paham, sinuwun”
“Nah Mulai sekarang jadilah kamu asisten yang baik, nggak usah ikut-ikutan jadi maling, jadilah asisten yang sesuai dengan tugasmu. Jangan memancing di air yang keruh, pastikan jika kamu tetap menjadi maling, kamu bakal menerima akibatnya
Pemerintahan Prasmanan
Ki Setyo Mangoenprodjo

Pemerintahan Adipati Kanthong Bolong terasa semakin hari semakin kosong melompong alias tidak menampakkan sedikitpun prestasi. Hal ini tentu saja mendapatkan sorotan tajam dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat awam yang mendukungnya. Brolll!!, keringat sebutiran kelereng keluar dari tubuh sang dipati. Buru-buru dia menelpon penguasa kampoengmuda kesayangannya untuk segera bergerak cepat mengumpulkan korcam kades se Kadipaten ,dan paguyuban kades serta perangkat desanya.
Mereka disegarkan kembali dengan acara makan bersama seperti halnya ‘nylimur’ anak kecil dengan janji diberi permen legit agar tidak nengkari lagi. Begitulah pemerintahan kadipaten tidak ubahnya seperti arena prasmanan. Mereka makan tanpa mengindahkan persediaan.  ibaratnya seperti kue basah yang setiap saat bisa dicicip, dimakan, dan dipurak bersama-sama. Mereka makan telap-telep, lupa daratan. Tak terasa kue makanan yang bernama APBD itu, tau-tau dinyatakan kolaps.
“Preeet!!!”, semua teori seakan tiada manfaatnya. Maklumlah, sang dipati nggak mengenal teori-teori tetek bengek. Semakin dia mendapatkan teori, dia tambah linglung dan nggak mudeng sama sekali. Yah, walaupun bagaimana  latar pendidikan yang serba instan, membuat dirinya gaptek, gabsos, gaplek, dan gagap tugas-tugas pemerintahan dan gagap intelektual sehingga kinerjanya persis pada tayangan tukar nasib. “Kemampuannya cupet”. Oleh karena itulah, setiap ada persoalan yang menghimpit dirinya, dia hanya bisa konsultasi pada penguasa kampoeng muda kesayangan dengan “pripan, pripun, niki mas”. Dia nggak punya jawaban yang terlahir dari intelektualnya yang memang tercipta mini, minim, dan cupet. Sehingga ketika menjabarkan konsep bisikan itu sering salah ucap, dan seringkali jadi bahan tertawaan. “Dipati kita lucu ya” ucap anak SD sambil main kelereng
“Preet!!. Akhirnya dia kini disetir oleh sang penguasa kampoengmuda, yang konon bakal diorbitkan jadi Sekda, mendampingi sang dipati yang semakin hari-semakin linglung dengan tugas dan jabatannya. Tak heran, jika sang penguasa kampoengmuda, yang tadinya berangkat jadi sekcam kini melejit bak meteor, sebagai anak emas yang digadang-gadang menjadi sekda ideal, sekelas hulubalang, atau penasihat raja. Lumayanlah, cukup dengan ‘bisikan maut’ sang penguasa kampoeng bisa menaklukkan barisan pasukan kemplo, kemudian bisa menorehkan prestasi jabatan basah, yang selama ini jadi barang mahal nan langka dengan harga selangit.
Begitulah, akhirnya sang dipati mulai kelihatan ‘cerdas’ setelah sang penguasa kampoengmuda berhasil masuk dalam barisan pasukan kemplo. Terbukti, setelah terdengar rumor para lurah dan kades berpaling meninggalkan dukungannya, dia segera membisikkan angin sorga, resep jitu, menghimpun para kades, sekdes, bedes (bendahara desa), berkumpul di warung terkenal di luar daerah, makan bersama, dan memberikan wejangan serta janji-janji menggiurkan jika para kades mau balik kucing mendukung pemerintahan. Lumayanlah, sebuah sepeda motor baru and kinyis-kinyis.
Ironis memang, di tengah usaha sebagian pihak menjadikan kadipaten  sebagai kota wisata kuliner, eee… malah makan saja harus ke luar daerah. Apalagi, sekarang ini APBD tengah kolaps, dimakan Buto Ijo, jadi klop, dengan pepatah ‘ jika sang imam itu kentut, maka makmumnya ikut batal semuanya’, demikian juga kalau pemimpinnya kemplo, maka semua anak buahnya ikut kemplo semuanya. “Nah terbukti kan?”. Mereka ternyata tidak tahu nasionalisme kadipaten.
Pantaslah kiranya jika ke depan, kadipaten membutuhkan pemimpin sejati, bukan pemimpin gadungan seperti saat ini. Oleh karena itu hendaknya jangan sekali lagi masyarakat tergiur dengan uang suap dua puluh ribuan dalam pemilukada nanti. Masyarakat harus cerdas, bahwa jika pemimpin yang dipilih salah, maka kerusakan kadipaten bakal bertambah parah lagi.
“Bagaimana Kakang Muslim, apakah dua-duanya kita pertahankan?”
“Saya tidak setuju sama sekali. Yang pertama tidak memenuhi syarat, karena latar pendidikannya, serta kemampuannya sangat rendah. Sedangkan yang kedua, lebih kea rah kapitalisme. Serakah, licik, ingin diri dan keluarganya menjadi penguasa harta benda, dan jadi raja yang menguasai sumber dana, dan sumber daya kadipaten. Pokoknya kita harus bisa mengambil pengalaman sekarang ini. Terbukti ta, semua proyek dan asset daerah sekarang ini masuk dalam mulutnya. Ini sangat berbahaya. Dengan demikian dua-duanya tidak layak jadi pemimpin di kadipaten”
“Oooo, begitu, kalau begitu kita cari saja pemimpin independen, yang mumpuni di segala bidang, tidak seperti pemimpin yang sekarang ini”
“tapi kita butuh seleksi yang ketat dan mendalam lo”
“Iya kakang”

Konsep Kepemimpinan Jawa
Ki Setyo Mangoenprodjo

Saat itu memasuki  Ponorogo berada pada tahun yang sinengkalan ‘ Nagaraja catur tunggal’  atau tahun 1418 tahun Saka. Sedangkan tahun Masehi dengan Sengkala ‘Manising Gapura catur budhaya’  atau tahun 1496. Bathara Katong dan seluruh sesepuh sedang melakukan pembicaraan serius terkait berdirinya Kadipaten Ponorogo, dengan adipati yang pertama Raden Bathara Katong.
Malam itu juga, sebelum prosesi pelantikan Sang Katong menjadi adipati pertama, Kyai Mirah terlebih dahulu memberikan wejangan kepada Raden Katong terkait amanah kepemimpinan yang bakal dijalani
“Kepemimpinan menurut budaya Jawa bentuk dan konsepnya multi varian, bahkan setiap genre kepemimpinan pasti memiliki corak yang berbeda. Kendatipun demikian, konsep-konsep tersebut arahnya menuju sebuah paradigma kinerja berkeseimbangan [equilibrium]yang menuju konsep kinerja berkarakter ihsan. Yaitu kerja iklas, kerja cerdas, kerja keras, dan kerja tuntas. Namun demikian saya terlebih dahulu akan menjabarkan tujuh konsep kepemimpinan Jawa  yang bakal Raden Katong emban mulai besok pagi. Adapun Kriteria ini menurut konsep kekuasaan jawa  yang harus Raden jalani terdapat tujuh macam yang apabila dimiliki oleh manusia maka ia akan jadi manusia paling sempurna dan patut di pilih sebagai seorang pemimpin. Berikut ini ialah beberapa kriteria yang dapat dipertimbangkan bagi Adipati Ponorogo  dalam menjalankan kepemimpinan”
1. Manjing ajur ajer
Pada dasarnya setiap pemimpin harus memiliki sifat manjing ajur ajer, yaitu suatu sikap yang dapat beradaptasi dengan keadaan, dapat menyatu dengan kelompok manapun. Sifat ini berarti pemimpin dituntut untuk tidak mementingkan kepentingan pribadi atau golonganya sehingga dengan demikian ia dituntut untuk mengayomi segala golongan dalam wilayah yang dipimpinnya.
2. Sakelaking pekik
Sakelaking pekik ialah suatu kriteria yang kasat mata, yang dapat dilihat oleh mata. Maksud dari sakelaking pekik disini ialah seorang pemimpin harus memiliki kesehatan baik jasad maupun batin. Jasad dari seorang pemimpin harus bersih tanpa cacat sehingga akan menimbulkan wibawa pada dirinya, selain itu kesehatan ini penting untuk mendukung kinerja dari seorang pemimpin sebab dengan kesehatan ia akan mampu memiliki kriteria nunggak jarak.
3. Nunggak jarak
Sifat nunggak jarak yaitu suatu kemampuan untuk mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam bagi keselamatan kepemimpinan dengan perbuatan baik. Jika dulu hal ini di wujudkan pemimpin yang memiliki kesaktian tinggi, maka pada saat ini seorang pemimpin  harus memiliki kemampuan khusus untuk menangani suatu masalah  dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritual Sehingga ketika ia tertimpa suatu masalah ia tidak akan gampang emosi, marah-marah, ngamuk, panggil sana-sini, mutasi sana-sini, apalagi hukum sana-sini.
4. Wong agung
Wong agung disini maksudnya ialah seorang pemimpin yang memiliki kualitas memenuhi syarat kepemimpinan. Dia menguasai tatanegara, tata pemerintahan, program jangka pendek, program jangka menengah, dan program jangka panjang, lengkap dengan tatacara penerapannya. Dan dia dipilih berdasarkan seleksi yang ketat untuk menguji kemampuan handalnya.
5. Wikan wekoning samudra
Kriteria ini merupakan perwujudan dari pentingnya pendidikan karena dalam kriteria ini seorang pemimpin diharuskan memiliki suatu pengetahuan yang luas dan menyeluruh seperti luas dan dalamnya samudera. Dia menempuh pendidikan dengan benar, dan berkualitas. Bukan beli ijasah ataupun beli gelar. Hal ini telah di buktikan pada saat perjuangan kemerdekaan dimana pelopor pendiri negara ini dihasilkan dari perjuangan  para cendikiawan sehingga perjuangan kemerdekaan melalui diplomasi dan kepandaian , kemerdekaan dapat dimenangkan
6. Melok tanpa aling
Pada dasarnya seorang pemimpin harus memiliki suatu sifat percaya diri yang kuat sehingga ketika akan mengambil suatu keputusan tidak dipengaruhi oleh pihak lain. Jangan sampai terjadi, ketika datang seorang menteri, seorang Adipati bingung bagaimana menyampaikan pidatonya. Sehingga ketika ngomong di hadapan menteri ‘ngisin-isini’. Berarti ada seorang pemimpin yang demikian, berarti ia belum pantas jadi adipati. Ini sangat memalukan Raden” pinta Kyai Mirah menutup wejangannya.
“Inggih, Kyai, kula namung nderek dhawuh kiyai. Mugi-mugi Ponorogo pikantuk pemimpin ingkang leres-leres sae bebudene, lan sae kualitas kepemimpinane”


Janmo Nora Bisa Kiniro
Ki Setyo Mangoenprodjo

Usai sembahyang tahajud, Raden Katong, Kyai Mirah, Ki Seloaji, dan Ki Joyodipo, serta Ki Suromenggolo, terlihat berzikir, memohon kekuatan kepada Alloh Yang Maha Kuasa, agar Kadipaten Ponorogo diselamatkan dari pemimpin yang menyesatkan dan merugikan masyarakat Ponorogo.
Sementera, Ki Suromenggolo terlihat berdiri, berpamitan sebentar untuk buang air kecil, setelah semalaman minum air kelapa kebanyakan. Tidak beberapa lama, Ki Suro itu kembali ke dalam ruangan, kemudian menunaikan sholat tahiyatal masjid dua rakaat, sebelum memulai kembali sarasehan menjelang pelantikan Raden Katong pagi itu. Kyai Mirah pun segera mendekat pada Raden Katong, dan berujar…
 “Raden, sak derengipun panjenengan winisuda, taksih wonten malih kapribaden ingkang panjenengan kedah sinandang minangka jejering narendra, inggih menika sepindah; Aja Dumeh Kuwasa, Tumindake daksura lan daksia marang sapada-pada, ( janganlah mentang –mentang sedang berkuasa, segala tindak-tanduknya pongah dan congkak serta sewenang –wenang terhadap sesamanya).  Kapindo, Aja dumeh kuat lan gagah, tumindake sarwa gegabah (jangan mentang –mentang kuat dan gagah lalu tindakanya serba gegabah ) Katelu, Aja dumeh sugih, tumindake lali karo sing ringkih ( jangan mentang –mentang kaya lalu tingkah perbuatanya tidak mengingat kepada yang lemah ekonominya) Ongko papat, Aja dumeh menang, tumindake sewenang-wenang (jangan mentang-mentang dapat mengalahkan lawan lalu tindakanya sewenang –wenang kepada lawan), Kalimo, Aja nyepelekne tiyang. Awit kathah tiyang sak mangke kecelik awit namung mandeng tiyang sanes krana dedeg piadege, pangkat lan drajate, ayu lan baguse kemawon. Dereng kantenan Raden, senadyan ta tiyange niku alit, melas, lusuh, reget, menawi  tiyang niku bebudene ala. Mboten saget nopo-nopo… oh klintu raden. Malah, kathah ingkang kados menika mboten kathah dosanipun, mboten purun neka-neka, nanging jebul nggembol watu item, pinter lan wasis ing samubarang. Suwalikipun, kathah tiyang kecelik kanthi kahanan kang nyengsemaken, nanging ing wingkingipun mawa racun, kepara saget nyedani tiyang sanes. Ka enem, Aja kibir, ngantos ngendika yen bumi Ponorogo sak isine kagungan paduka. Para PNS ingkang dados staf paduka gesang pejah, paduka ingkang nguwasani. Oh… menika ngrisak sarak, ngrisak Islam paduka. Paduka sampun laku syirik. Pejah gesang, rejeki, pati, jodo, sandang pangan, bahagia, sengsara, sampun ginaris dening Alloh. Bumi Reog menika sanes kagungane Raden Katong, sanes kagungane sinten-sinten, bumi menika kagungane Alloh. Pramila mangga kita reksa sesarengan karahayonipun. Sampun ngantos dicepeng dening tiyang ingkang nalingsir saking bebener. Yen ta wonten, inggih tugas kita mbrastha, kanthi cara alus ”
“Inggih Kyai, kula sarujuk. Mangga kita sesarengan mbangun Ponorogo kanthi laku kang bener miturut undang-undang pemerintahan, agami, lan norma-norma ingkang sampun wonten. Dalang di balik pemerintahan kita inggih hati nurani, ingkang kapancar saking Nur Illahi. Lan kita sepakat, korupsi, kolusi, nepotisme, jual beli jabatan, jual beli PNS kita pungkasi sesarengan kawiwitan ing dinten sak mangke. Lan katur sedaya masyarakat Ponorogo, mugia ing pemilukada ingkang bade dateng sampun ngantos klentu malih milih pemimpin. Pilihlah pemimpin ingkang leres-leres sae. Sae intelektualipun, sae emosionalipun, lan sae spiritualipun. Pramila kanthi menika, kanthi maos bissmillahirrohmanirrohim, kula sangkul amanah dados adipati ingkang kawitan, kanthi semboyan,  kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja keras, dan kerja tuntas. Mugi-mugi Gusti Alloh ngijabahi. AMIEN”


Menipu Diri
Ki Setyo Mangoenprodjo

Pengalaman yang tinggi dari seseorang belum tentu mendapat jabatan sesuai dengan keilmuannya, jika tidak ada gelar yang disandangnya. Pendapat sempit tersebut sering terlintas dalam pola pikir seseorang yang berpendapat bahwa dengan banyak gelar yang disandang, berarti menunjukkan tingkat ‘ketinggian’ ilmu seseorang, sehingga dipastikan produk kepemimpinan pasti ideal, berhasil, dan bermutu tinggi. Jawabnya belum tentu. Karena gelar di negeri ini bisa dibeli oleh pejabat. Sehingga gelar yang lekat pada dada, pundak, punggung,  leher, dan pantatnya, tidak bakal berpengaruh pada kinerja, pola pikir, serta kreativitasnya. Intinya gelar hanya untuk gagah-gagahan saja!!!.
. Beranjak dari pembahasan ini, fenomena sosial yang terjadi saat ini sedikit banyak telah merubah tatanan moral masyarakat. Bagi seseorang yang merasa punya pengaruh, punya jabatan , dan  sudah terbiasa disanjung masyarakat- kemudian ada kesempatan untuk mempopulerkan diri dalam suatu even- mereka kemudian berfikir instan untuk menambahi asesoris dirinya dengan gelar yang tidak pantas disandangnya. Hal ini tentu saja  bakal menimbulkan kerusakan moral yang cukup krusial, pada tatanan sistem pendidikan, sistem pemerintahan, sistem masyarakat, serta sistem perundang-undangan yang lebih luas. Apalagi pelopornya adalah seorang yang berpredikat seorang pemimpin.  “kenapa sih ngoyo-ngoyo sekolah formal?, lha wong ijasah dan gelar bisa dibeli aja kok?”
Akhirnya dengan adanya ‘tuntutan’ tersebut orang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Di sisi lain karena jabatan, hanya didapat karena Cuma kebetulan saja –tanpa uji kelayakan- kepemimpinan tipe manusia ini,  mulai banyak menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan sepak terjangnya. Baginya kritik, dan perbedaan pandangan, dianggap sebagai ancaman, yang bakal menngancam istana, periuk nasi, dan kedudukannya. Akan tetapi jika jabatan itu benar-benar didapat karena kapasitas kepemimpinannya terpenuhi, maka bisa saja pemimpin tersebut menghantarkan manusia untuk mewujudkan cita-cita manusia sebagai khalifatullah fil ardhi, hingga sedikit banyak orang mencapai keberhasilan dengan melalui wasilah jabatan yang disandangnya.
Sebagian ahli hikmah, ulama besar, orang sufi, Pujangga Jawa Kuno, Orang cerdas nan bijaksana, wong sing Njowo (orang yang berkemampuan batin), jabatan dianggap sebagai bangkai yang tidak patut disentuh apalagi disajikan. Dalam analisis ini para ahli hikmah lebih menonjolkan sisi preventif terhadap segala macam upaya nafsu untuk membelokkan kepada kesesatan. Hingga akhirnya, mereka sama sekali tidak memerlukan jabatan, beli gelar, berburu gelar, ataupun tebar pesona, pamer kekuasaan,  untuk meraih sesuatu di dunia ini, kecuali hanya dengan ikhtiar dan tawakal kepada Allah semata.
Fenomena masyarakat Indonesia yang notabene dalam strata ekonomi menempati negara dunia ketiga ini, tidaklah heran apabila nilai, simbol atau gelar akademis menjadi suatu yang sangat berharga dan dihargai keberadaannya. Akan tetapi beberapa oknum masyarakat tidak menyadari adanya bahwa jabatan hanya sebuah sarana untuk menggapai suatu maksud. Beberapa di antara mereka mencoba mengelabui pihak masyarakat awam untuk mengangkat status dirinya menjadi seorang yang lebih, dengan berupaya membeli gelar dari sebuah instansi X, yang melayani jasa itu. Bagi masyarakat yang tahu kepribadian sang pemimpin, melihatnya sebagai bayi tua yang baru lahir, tidak lucu, wagu, dan ngisin-isini.
Hal itu yang kemudian banyak disoroti oleh pelaku pendidikan, bahwa upaya pengelabuhan seperti itu akan berakibat pada perusakan moral, karakter, dan mental masyarakat. Betapa tidak! Tindakan itu jelas-jelas telah dicontohkan oleh seorang pemimpin. Ada pepatah, jika seorang imam kentut, maka makmumnya batal semua. Demikian halnya, jika seorang pemimpin telah rusak moralnya, maka anak buahnya bakal tertular kerusakan itu. Ironisnya kasus seperti itu sempat menjadi trend dari masyarakat menengah keatas, tidak lepas itu, bupati, artis, anggota dewan, sampai-sampai kiai yang nota bene menjadi panutan masyarakat menjadi ternodai oleh budaya miring nan ngawur ini. Walhasil mereka akan semakin tergila-gila dengan sebuah symbol, gelar, dan sarana yang semakin menjauhkan mereka dari ridlo Allah dan RasulNya.
MUI Jatim Haramkan Jual Beli Gelar
Seperti yang dilansir (Suarabaya, CyberNews) Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Prof DR H Ahmad Zahro MA menilai jual beli gelar itu haram, termasuk berbagai kasus jual beli gelar seperti kasus Institut Managemen Global Indonesia (IMGI).
"Jual beli gelar itu merusak moralitas dan menghancurkan dunia pendidikan yang sudah susah payah dijalani banyak orang, karena itu jual beli gelar itu haram," kata guru besar ilmu Al-Qur`an IAIN Sunan Ampel Surabaya itu di Surabaya.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi kasus IMGI yang diduga sejak 31 Oktober 1999 sampai 25 September 2000 telah memberikan ijasah palsu kepada 2.685 orang yakni gelar profesor 38 orang, PhD (66 orang), MSc (305), BBA (641), MBA (570), MMA (10), DBA (7), MBC (2), BA (1) dan Bsc (5).
Menurut dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya yang dikukuhkan pada 30 Juli lalu itu, jual beli gelar itu jika dibiarkan terus sampai menjadi trend, maka akan menjadi virus yang menghancurkan sendi-sendi bangsa karena semangat belajar akan melemah..
Namun, kata dosen yang juga mengajar di Pesantren Tambakberas dan Peterongan di Jombang itu, kasus jual beli gelar itu yang paling banyak bukan di MUI, melainkan justru di kalangan politisi atau aktivis Parpol dan kalangan birokrat.
Secara terpisah, sosiolog Prof H Soetandyo Wignjosoebroto MPA mengusulkan audisi (fit and proper test) untuk menduduki jabatan tertentu dan bukan lagi didasarkan pada gelar sebagai solusi mengatasi kasus ijazah palsu IMGI.
"Kita sudah terbiasa dengan sesuatu yang serba instan, dan gelar saat ini sudah berubah dari status akademik menjadi status sosial, karena untuk menjadi Kadinas memang harus memiliki gelar tertentu," katanya.
Menurut Guru besar emeritus Universitas Airlangga Surabaya itu, pandangan terhadap gelar akademik sebagai status sosial atau untuk kepentingan jabatan tertentu itu menyebabkan “gelar akademik membuat orang menjadi silau dan akhirnya menempuh segala cara untuk memperoleh secara mudah “.Dampak yang lebih luas adalah menciptakan budaya culas, dan budaya malas. Dan akhirnya bangsa kita bakal hancur karena kehilangan semangat kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, dan kerja tuntas. Oleh karena itu, jika ada sosok pemimpin yang seperti itu, berarti telah menggadaikan negeri ini dengan bangkai kehancuran. Tidak layak kita dukung, tetapi harus segera disingkirkan jauh-jauh dalam kubangan.***


SIFAT PEMIMPIN NJOWO
Menjelang detik-detik pelantikan menjadi seorang Adipati, Raden Katong terus mendapatkan nasihat berharga dari Kyai Mirah yang selalu mendampinginya. “Raden, saya ingin mengatakan satu hal penting lainnya lagi…”
“Ya Kyai, saya ingin semua ilmu kepemimpinan dari Kyai bisa saya dapatkan”
“Begini Raden…, Dalam penciptaan alam semesta ini sebenarnya Gusti Alloh memberikan tanda-tanda bagi orang yang berilmu dan beriman agar banyak belajar dari hal tersebut. Sekarang saya akan jelaskan satu per satu tentang benda-benda alam tersebut;  1) SURYA (MATAHARI) 2) KARTIKA (BINTANG), 3) CANDRA (BULAN), 4) BAWANA (BUMI), 5)TIRTA (AIR), 6) MARUTA (ANGIN), 7) DAHANA (API), dan 8) SAMODRA (LAUTAN), ini dalam konsep Jawa disebut Astabrata. ..”
“Brata yang pertama adalah SURYA yang berarti matahari. Matahari adalah pusat kehidupan planet dalam suatu sistem tata surya. Peredaran planet-planet dalam tata surya dikendalikan oleh matahari yang memiliki sifat-sifat : (a) menerangi alam semesta, (b) sebagai sumber energi, (c) keberadaannya sangat dibutuhkan oleh semua planet dan makhluk yang hidup di bumi. Seorang pemimpin harus memiliki sikap seperti matahari, yang memiliki peran sebagai pengarah dan pengendali, sebagai sumber kekuatan yang digunakan untuk mempengaruhi pengikutnya, keberadaan dan kehadirannya sangat dibutuhkan oleh rakyat. Sifat menerangi yang dimiliki oleh matahari dalam bahasa jawa dimaknai sebagai “gawe pepadang marang ruwet rentenging liyan” yang berarti harus mampu membantu mengatasi kesulitan atau memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh anak buahnya. Kehadiran matahari adalah membuat dunia terang, yang dapat dimaknai adanya peningkatan dari kegelapan menjadi terang, dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari bodoh menjadi pandai, dan dari tidak berdaya menjadi berdaya, kalau dalam konsep modern disebut dengan educator, yaitu orang yang berpendidikan, dan cerdas lahir dan batinnya, yang sanggup mencerahkan dan mencerdaskan orang-orang yang dipimpinnya”
“Brata yang kedua adalah BAWANA yang berarti bumi. Bumi memiliki atmosfer yang melindungi semua makhluk yang hidup di bumi dari radiasi matahari. Tanpa atmosfer, bumi akan sangat panas, dan tidak mungkin makhluk akan dapat hidup di dalamnya. Dengan atmosfer pula benda-benda langit seperti meteor, bila jatuh ke bumi akan terbakar dan kemudian musnah. Bumi juga merupakan tempat untuk mencari nafkah dan mencari sumber kehidupan. Bumi diibaratkan sebagai ibu pertiwi. Sebagai ibu pertiwi, bumi memiliki peran sebagai ibu, yang memiliki sifat keibuan, yang harus memelihara dan menjadi pengasuh, pemomong, dan pengayom bagi anak-anaknya. Implementasinya adalah kalau sanggup menjadi pemimpin harus mampu menjadi manager yang dapat  mengayomi dan melindungi anak buahnya”.
“Brata yang ketiga adalah CANDRA yang berarti bulan. Bulan memiliki sifat-sifat enak dan menyenangkan bila dipandang. Bulan juga dapat digunakan sebagai pedoman perhitungan yang sangat tertata dan teratur. Oleh d karena itu dalam proses kepemimpinan, perlu diberikan sebuah perhitungan, peraturan, sehingga seluruh staf senantiasa berada pada garis edar yang menyenangkan. Bercahaya di kegelapan.”
Brata keempat adalah KARTIKA yang berarti bintang. Secara alami, bintang dapat menunjukkan arah diwaktu malam. Bintang dapat menggambarkan dambaan cita-cita, tumpuan harapan, sumber inspirasi. Seorang pemimpin harus memiliki cita-cita yang tinggi, berpandangan jauh kedepan, pemberi arah, dan pedoman yang terukur”
“Brata yang kelima adalah TIRTA yang berarti air. Secara alami, air selalu mengalir kebawah. Air selalu berubah bentuknya sesuai tempat dimana air tersebut ditampung. Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan siapapun termasuk pengikutnya (adaptif). Air selalu mengalir ke bawah, artinya pemimpin harus memperhatikan potensi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat bawah”
“Brata yang keenam adalah MARUTA, yang berarti angin. Secara alami angin memiliki sifat menyejukkan, angin membuat segar bagi orang yang kepanasan. Angin sifatnya sangat lembut. Angin selalu hadir di tempat yang kosong. Seorang pemimpin harus bisa membuat suasana hampa menjadi sejuk, kepemimpinan sejuk,  dan menyegarkan. Sifat angin yang lembut juga menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat lemah-lembut dengan rakyatnya”.
“Brata yang ketujuh adalah DAHANA, yang berarti api. Secara alami, api memiliki sifat panas, dan dapat membakar dari yang mentah menjadi matang. Seorang pemimpim memiliki sifat pembakar semangat, pengobar semangat, dan memiliki peran sebagai motivator dan inovator bagi terciptanya jiwa yang matang dan professional”.
“Brata yang kedelapan adalah SAMODRA, yang berarti lautan atau samudra. Secara alami, lautan sangat luas melebihi luas daratan. Pemimpin harus memiliki wawasan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam samudra. Tidak bermodal merakyat saja, akan tetapi harus punya wawasan yang luas, ilmu yang dalam,  berjiwa lapang, mudah memaafkan kesalahan orang lain. Samudra juga bersifat menampung seluruh air dan benda-benda yang mengalir kearah laut. Seorang pemimpin harus memiliki sifat menampung semua kebutuhan, kepentingan, dan isi hati dari pengikutnya, serta pemimpin harus bersifat aspiratif. Dengan demikian, Raden harus juga menyiapkan calon pemimpin yang bisa mewariskan semua ini setelah raden. Jangan sampai kita salah pilih lagi memilih pemimpin yang bodoh, untuk memimpin kadipaten ini”***

Menyiapkan Pemimpin Ideal
Kinerja organisasi pemerintahan sangat  dipengaruhi oleh kualitas  pemimpin yang memegang kendali dalam pemerintahan. Jika pemimpinnya sontoloyo, maka anak buahnya ikut tertular penyakit memble alias kemplo loyo-loyo. Oleh karena itu jika Anda menginginkan kesinambungan dalam tumbuh kembangnya organisasi pemerintahan yang ideal, maka di pemilukadal yang akan datang, masyarakat harus mempersiapkan lebih awal figure pemimpin yang benar-benar punya kadigdayan ngelmu sejati yang mumpuni. Sehingga jangan sampai kita salah pilih dan tertipu oleh pemimpin sontoloyo seperti sekarang ini.
Suryo Danisworo mantan Presiden Direktur BNI Securities dalam bukunya yang bertajuk Warisan Kepemimpinan Jawa untuk Bisnis, Suryo menggarisbawahi bahwa ada tiga hal pokok dari sifat pemimpin yang kerap dibutuhkan oleh suatu kelompok atau organisasi. Yakni, berada di depan, mengayomi, dan mencerahkan. Lebih jauh, ia menyatakan, sikap batin akan selalu mendominasi unsur pemimpin dalam ketiga sifat tersebut, karena segalanya bermula dari karakter dan komitmen. “Unsur sikap batin akan selalu lebih banyak dari unsur lain yang merupakan kecerdasan atau keterampilan seorang calon pemimpin,” tulis pria kelahiran Surakarta, 14 November 1947, ini dalam bukunya.
Sikap “berani” berada di depan, menyatakan bahwa pemimpin harus berani bertanggung jawab dan bukanlah orang yang berkarakter pengecut. Apalagi stress berat ketika ada acara formal lantaran tidak ada yang membuatkan naskah pidato. Kalau kita jumpai pemimpin seperti ini, dapat dipastikan kalau ia hanyalah pemimpin jadi-jadian, alias pemimpin gadungan yang sengaja dipoles seperti pemimpin sungguhan . Selain itu, konteks “berani” yang dimaksudkan adalah suatu sikap batin yang sportif, fair, dan wajar. Tidak dibuat-buat, jujur kalau dirinya tidak mampu, fair kalau gelarnya hanya beli, sportif kalau pemerintahannya amburadul. Sebab, menurutnya, pemimpin sejati adalah orang-orang yang tidak hanya berani tampil di kala kelompoknya senang, melainkan juga bertanggung jawab ketika kelompoknya dalam kondisi sulit. “Dia (pemimpin) harus habis-habisan untuk melindungi kelompoknya. Apalagi, seorang pemimpin sejati akan muncul untuk mengambil alih tanggung jawab ketika kelompoknya dalam kondisi berbahaya.
Memang tidak mudah menemukan calon pemimpin yang benar-benar memenuhi kriteria berani berada di depan. Dari pengalamannya sebagai tenaga profesional, teman-teman sesama profesinya sering bependapat, posisi untuk berani di depan adalah sikap batin yang perlu dipertimbangkan secara profesional. Dengan kata lain, perlu dihitung untung dan ruginya.Namun demikian yang terjadi sekarang ini, seorang pemimpin hanya berani karena bombongan saja. “Berada di depan lebih dari sekadar gaya atau acting sok jagoan, biar dilihat sebagai orang hebat,  tetapi di sisi lain ia sendiri menjadi bagian dari suatu sistem yang tidak fair dan dari suatu keadaan yang tidak bersih,” .
Bagi pemimpin sejati, sikap untuk siap menjadi korban agar organisasi pemerintahannya bisa menjadi lebih baik bukanlah  sikap bodoh. Menurutnya, sikap itu timbul bukan karena ingin tampil sebagai ksatria, tetapi timbul dari sikap moral seorang manusia yang berjiwa pemimpin sejati. “Secara moral, bila tidak ada pilihan lagi, pantaskah dia sebagai pemimpin membiarkan dirinya selamat dan kelompoknya yang celaka? Karena pemimpin bukanlah pemimpi. Pemimpin sejati tidak akan segan mengambil tanggung jawab anak buahnya,” tutur Suryo menandaskan. Jadi, menurutnya, menerima jabatan sebagai pemimpin berarti harus berani menerima segala konsekuensi, tidak hanya kenikmatannya, tetapi juga risikonya karena jabatan pemimpin adalah jabatan yang mendapatkan privilege.
Sikap batin kedua adalah mengayomi. Dijelaskan Suryo, mengayomi adalah sikap batin yang lebih dari sekadar melindungi. Sikap ini mampu menciptakan keteduhan, yang akan membangun sinergi dan daya bagi kelompoknya.Bukan sebaliknya. Ketika usai dilantik, malah menimbulkan kegalauan, ketidakpercayaan, jadi rasanan, dan menimbulkan kekisruhan. Oleh karena itu jika seorang pemimpin tidak punya sikap batin dan kemampuan untuk mengayomi, maka kinerja dari kelompok menjadi tidak terarah dan tidak optimal.
Secara mendalam, Suryo menyatakan, bahwa daya kekuatan batin yang ditimbulkan oleh unsur mengayomi dari seorang pemimpin sangatlah dahsyat. “Saya menjadi saksi bagaimana team work yang merasakan sifat pengayoman dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Team work yang optimal akan menghasilkan daya yang optimal,” tuturnya memastikan. Misalnya, jika seorang karyawan merasa terayomi di lingkungan kerjanya, tentu akan membuat dia merasa nyaman dalam bekerja sehingga akan tercipta produktivitas yang tinggi bagi perusahaan, karena karyawan akan lebih mampu berkreativitas. Oleh karena itu, jika seorang bodoh dijadikan pemimpin , maka hubungan batin antara pemimpin dan yang dimpin dipastikan bakal terjadi kecemasan yang sangat mendalam. Ujung-ujungnya staf bagian humas bakal sakit jantung jika sang pemimpin mudah tersinggung.
Ciri ketiga, ialah “mencerahkan”. Ia menjelaskan, pemimpin harus mampu memberi pencerahan kepada anggota kelompoknya. Seorang pemimpin harus memeiliki kecerdasan, sejarah pendidikan akademik yang dapat dipertanggungjawabkan dan punya keterampilan memberikan pencerahan, wawasan, pendidikan pada staf yang dipimpinnya.” Kecerdasan itu dapat berupa keterampilan dan pengetahuan di bidang manajemen atau umum, namun juga termasuk hal-hal yang khusus sesuai disiplin ilmu yang disyaratkan bagi seorang pemimpin untuk menjalankan fungsi memimpin perusahaan atau organisasi”.
Nah, dari uraian di atas, akankah kita salah pilih lagi memilih pemimpin kita di masa datang?. Jawabnya tergantung Anda juga. Toh kalau ‘serangan fajar’ biasanya yang terjadi, kualitas pemimpin ini menjadi kabur dan menghilang tatkala uang dua puluh ribu masuk di saku Anda. Maka jadilah negeri ini disantap oleh para penyamun politik yang rakus dengan harta, tahta, dan wanita-wanita binal.***

Pemimpin Pinter Tenan
Ki Setyo Mangoenprodjo

Apabila seorang pemimpin itu pinter lahir batinnya, maka ia adalah sebagai sang  pencerah, yang dapat memberikan pencerahan kepada seluruh anak buahnya dan masyarakat luas yang dipimpinnya. Berbagai kenyataan dapat kita lihat  pada pemimpin pemerintahan yang selalu menyatukan ide, pikiran, dan kinerja karyawan, maka pencerahan tersebut  menjadi daya dahsyat yang akan membawa pemerintahan ke posisi yang ditargetkannya. Akan tetapi jika pemimpin pemerintah itu pilon, bloon, plonga-plongo, maka para karyawan juga ikut-ikutan o’on, dan plonga-plongo, ketularan pemimpinnya.
Oleh karena itu, karyawan membutuhkan seorang pemimpin yang bisa memberi pencerahan yang mampu menyatukan mereka. Kekuatan pencerahan yang dimaksudkan adalah direction atau arahan ke mana mereka harus bergerak. “Pencerahan akan membuat karyawan dan unit bisnis merasa diakui kontribusinya,”  Akan tetapi jika sang pemimpin tidak mampu memberikan arahan, maka seorang bawahan akan kehilangan arah, mereka bingung mau mengerjakan apa. Lha wong pemimpinnya saja bingung ketika ada gubernur atau menteri  datang, katanya meyakinkan.
Agar pemimpin mampu memberikan pencerahan secara optimal, prinsip “7-T” dari Suryo dapat dijadikan referensi bagi para pemimpin. Prinsip 7-T meliputi: Toto, Titi, Titis, Temen, Tetep, Tatag, dan Tatas. “Agar tercipta suasana yang mengayomi dan mencerahkan, serta mampu menciptakan suasana sejuk seperti feel at home, ada ajaran Jawa yang saya peroleh dari kakek, almarhum KRMTA Poornomo Hadiningrat, yaitu 7-T. Ajaran ini belum terlampau tua jika dibandingkan dengan falsafah Jawa yang lain,” tutur Suryo yang tertuang dalam bukunya.
Ia menceritakan, prinsip 7-T merupakan hasil pengalaman kakeknya selama menjabat pamong praja. Pengalaman itu kemudian diajarkan kepada dirinya agar dapat dijadikan pedoman dalam bekerja. “Beliau selalu menekankan, kita harus selalu me-review diri sendiri sebelum memberikan keputusan maupun bertindak,” ujarnya menyadur ucapan sang kakek. Jadi, seorang pemimpin harus selalu mengkaji, apakah dalam kesehariannya dia telah memenuhi prinsip-prinsip 7-T dengan baik.
Mengenai prinsip 7-T, Suryo menjelaskan, 3-T pertama (Toto, Titi, dan Titis) merupakan skills (keterampilan), yang juga dipengaruhi oleh kecerdasan seorang pemimpin. “Bahwa arti Toto itu teratur, Titi itu teliti, dan Titis itu tepat. Nah, tiga skill itu yang sebenarnya amat diperlukan seorang pemimpin,” ujarnya menegaskan. Misalnya, pada prinsip Toto, seorang pemimpin dituntut untuk berpikir, berbicara, dan bekerja secara teratur atau sistematis. “Karena pemimpin harus mampu menciptakan rule of the game atau standard operating procedures (SOP),” katanya memberi alasan. Tidak sebaliknya, ngomongnya ngelantur, ceplas-ceplos, procat-procot, tidak terkonsep. Sehingga ketika ngomong , akhirnya tidak runtut, tidak sistematis, sehingga ketika omongannya nyuprus ngalor ngidul, sering terucap  seorang pemimpin kemplo “Aku ngke omong opo?”. Yang dengar Cuma mesam-mesem kecut. Pemimpin apa ini, mending pemain kethoprak, masih runtut dan enak didengar. Lha ini, blas, ora mudeng dengan tema pembicaraan.
Kemudian, prinsip 4-T berikutnya adalah Temen, Tetep, Tatag, dan Tatas merupakan suatu sikap atau tekad yang diwujudkan dalam bentuk perilaku, yang diiringi dengan suatu kegiatan atau action. “Prinsip 4-T berikutnya, yang terdiri dari Temen (jujur atau tulus), Tetep (konsisten), Tatag (tabah), dan Tatas (tegas) merupakan komitmen atau niat yang harus terwujud pada perilaku atau sikap pemimpin sehari-hari dalam memimpin kelompok atau perusahaan,” Ia memastikan, pemimpin yang Temen atau jujur dalam pola pikir dan perilakunya, akan diikuti dengan ketulusan anggota tim dalam bekerja sesuai sasaran yang ingin dicapai. Akan tetapi jika seorang pemimpin sekelas bupati/gubernur/menteri, atau presiden sekalipun tidak punya prinsip di atas, maka tunggulah kehancuran sebuah pemerintahan. Dan sekarang bukti nyata itu tengah kita alami dan kita saksikan bersama. Negeri yang dipimpin oleh raja semprul bin sontoloyo. Selamat menikmati!!.***