Rabu, 24 Juni 2009

Serial Babad Pacitan Laskar Katong (3) Ki Setyo Handono

Keberangkatan para prajurit Kadipaten Ponorogo menuju Pesisir Kidul tidak banyak diketahui oleh para penduduk di sekitarnya. Mereka berangkat layaknya orang yang tengah bepergian biasa.
Pagi itu mereka menyusuri hutan lebat yang membujur dari barat ke timur. Perjalanan mereka mengusik satwa-satwa yang tengah lelap tidur di peraduannya. Burung-burung lari semburat bercicit, seakan berteriak memberi kabar kepada yang lainnya, bahwa di bawah sana ada serombongan orang melewati wilayahnya. Sementara satwa liar lainnya seperti kucing hutan, musang, ular, dan ayam hutan , nampak berlari menjauh dari pandangan, dan langkah-langkah rombongan prajurit Ponorogo yang melaluinya. Semua wilayah yang dilalui masih benar-benar rimbun dan hijau. Air-air masih mengalir bening , ikan-ikan nampak berkerlip sisiknya terkena jilatan cahaya pagi, berlarian berkejar-kejaran . Seddangkan serangga hutan terus mendendangkan irama-irama seperti peluait yang melengking, disusul oleh kicauan manja burung, kutilang, burung jalak hitam, burung jalak putih, murai batu, cocak rowo, prenjak, kokok ayam hutan, derkuku, gelatik, pipit, dan sebagainya. Sementara bunga-bunga liar sepert adenium, melati, mawar, gelombang cinta, anggrek bulan, anggrek tutul, kamboja, kanthil, dan sebagainya , nampak memperlihatkan senyum manisnya, menyapa serombongan prajurit yang melewatinya. Para prajurit nampak bangga berjalan sambil bersenda gurau, mendendangkan tembang-tembang Jawa Kuno.

Tidak terasa perjalanan mereka hampir melewati sebuah sungai. Airnya masih dalam dan jernih. Pohon-pohon besar yang ada di tepinya kelihatan akarnya menjulur ke bibir sungai. Tepat di jalan setapak yang mereka lalui kelihatan ada beberapa wismajoglo beratap daun ilalalng kering . Tiba-tiba ada seorang agak renta menyapa mendekat.
“Nuwun sewu ki sanak , badhe tindak pundi ?, ditepungaken kula Ki Danasuka, griya kula Pinggirsari mriki, terus ki sanak sinten ?”, sapa orang tua itu kepada salah satu prajurit yang hendak membasuh mukanya di pinggir sungai.
”Inggih bapa, nami kula Jayadipa, yang di belakang ini Ki Suradrana, dan yang berdua itu namanya Ki Gumbreg, dan Ki Tambir. Kami sebenarnya bersama rombongan hendak menuju Pesisir Kidul ”, jelas salah seorang prajurit yang terbilang palang muda di antara para rombongan itu.

Ki Danasuka hanya tersenyum simpul. Dalam hatinya pastilah mereka belum begitu mengenal dirinya. Sebab dia lebih senang tinggal di daerah pinggiran daripada tinggal di dalam istana kadipaten. Memang, dia adalah termasuk seorang pujangga yang ditugaskan Demak untuk menyebarkan Islam bersama dengan Raden Katong. Dia memilih mukim di pinggiran dalam upaya menyebarkan Islam kepada orang-orang yang belum melek baca tulis. Pinggirsari adalah tempat strategis tapal kuda wilayah kadipaten.
”Lha terus para prajurit sanesipun dateng pundi ki sanak ?”
”Raden Jaka Deleg dengan Syeh Maghribi, masih menjalankan sembahyang duha ,bapa ”, jawab Ki Tambir dengan membungkukkan badan.
”Wah kebetulan, hari ini Nyai kula, pas ngrebus singkong, barangkali beliau berdua sudah rampung sembahyangnya , tolong ki sanak ajak masuk ke gubug kula ”
”Inggih kiai ”, jawab Ki Suradrana agak sedikit penasaran dengan sosok yang dihadapinya.

Tidak lama kemudian dari semak rimbunnya pohon hutan yang berada di kawasan pinggir sari itu nampak datang dua orang yang berwajah putih bercahaya. Badannya tegap, yang satu menggunakan ikat kepala berwarna hitam, dan satunya menggunakan sorban putih , janggutnya berccambang lebat. Dari kejauhan mereka berdua nampak tersenyum simpul, melihat rumah berdinding anyaman bambu yang ada di depannya. Sepertinya mereka telah mengenal siapa yang ada di dalamnya.
”Assalamu’ngalaikum Kiai ?”
”Wangalaikum salam, wah mangga... mangga Raden , waaaah layak to prenjake ngganther, jebul mau ada tamu agung to , kebeneran Raden, mangga pinarak rumiyin, pas ini tadi Nyai selesai menanak ubi, mangga keparenga pinarak dahar sarapan rumiyin”

Rombongan seluruhnya terpaksa berhenti sejenak di padepokan Ki Danasuka . Banyak kisah dan banyak nasehat yang diperoleh darinya. Setelah usai berbincang-bincang , rombongan parajurit melanjutkan perjalanan.
Sampai di tepi sungai rombongan harus menyeberang satu-persatu melewati wot yang terbuat dari batang kayu yang besar.
”Kiai Danasuka, barangkali tempat ini besuk menjadi ramai, keparenga kali niki kula tengeri, Kali Sekayu ”
”Wah matur nuwun Raden, kula sarujuk, awit panjenengan tindak mriki namung melewati jalan yang besarnya hanya se-kayu, wah inggih Raden kula sampun nyekseni..”
”Mangga Kiai, kula nyuwun pamit , Assalamu ngalaikum ”
”Oh inggih Kiai Maghribi, mugi pikantuk karahayon, wangalaikum salam...”

Kiai Danasuka hanya melambaikan tangannya. Tidak berselang lama para prajurit yang gagah berani itu, lenyap di balik rerimbunan hutan di barat sungai Sekayu, melanjutkan perjalanan menuju Pesisir Selatan lewat pegunungan sebelah utara .Bersambung.

Serial Babad Pacitan Laskar Katong (2) Ki Setyo Handono

Jaka Deleg dan Syeh Maghribi segera mohon pamit untuk menyiapkan segala perlengkapan yang akan dipergunakan perang di Pesisir Kidul.
” Matur nuwun Paman Adipati, mohon doa pangestunya semoga perjalanan kami lulus raharja, dan dapat mengemban tugas mulia ini dengan sebaik-baiknya..”
” Hiya Deleg, mudah-mudahan Gusti Kang Akarya Jagad, memberikan kekuatan lahir dan batin kepada kalian semuanya...”
”Amin ”, jawab keduanya serempak.
”Wis , Deleg dan Maghribi, aku kira sudah banyak hal yang telah aku berikan, untuk itu kalian segeralah mempersiapkan semuanya , termasuk makanan, senjata piandel dan para penderek serta prajurit –prajurit tangguh, ingsun hanya bedoa semoga kalian berhasil, rahayu slamet”
”Matur nuwun Paman , Assalamu nglaikum ”

Keduanya segera menjabat tangan sang adipati. Kemudian berjalan jongkok , lampah dhodhok meninggalkan Pendhapa Agung Kadipaten . Jaka Deleg menuju padepokan Surodikraman, sedangkan Syeh Maghribi menuju padepokannya di Mangunsuman. Keduanya sepakat pada malam harinya bertemu mengusung seluruh prajurit beserta bekal-bekal-bekalnya, berkumpul di Setono Dalem, Pendapa Agung Kadipaten Ponorogo, untuk melakukan upacara pamitan dengan sang Adpati Katong beserta seluruh kawula dalem.

Tepat pada hari Respati Manis atau Kamis Legi, setelah sholat Shubuh berjamaah, rombongan Jaka Deleg , Syeh Maulana Maghribi segera berkumpul di halaman Pendapa Agung. Mereka ingin segera berpamitan berangkat menuju Pesisir Kidul, mengemban tugas mulia membujuk Adipati Buwana Keling untuk merasuk Islam dan mau menerima Raden Patah sebagai penguasa baru, menggantikan Majapahit.
Sementara matahari masih belum nampak memancarkan sinarnya. Pagi itu nampak berbeda dengan biasanya. Suasana sedikit meriah tapi terasa ada perasaan yang amat mendebarkan, aroma peperangan yang diselimuti oleh suasana mistis, terasa menggetarkan degup jantung dan bulu kuduk menjadi merinding. Betapa tidak !, pagi itu tokoh-tokoh ’sakti’ seperti Raden Katong, Syeh Maghribi, dan Jaka Deleg, tengah berkumpul untuk mengadakan suatu rencana menaklukkan Ki Buwana Keling, Adipati yang menguasai Pesisir Kidul, yang terkenal sakti mandraguna. Ini adalah misi yang bukan sembarangan, taruhannya satu, yaitu, nyawa. Salah sedikit saja , maka mereka bertiga hanya pulang dengan nama saja. Mereka bertiga adalah ikon Kadipaten Ponorogo yang amat disegani. Walau demikian ketiganya tidak pernah adigang, adigung adiguna, sapa sira, sapa ingsun, mereka adalah wirai, hidupnya hati-hati, kata-kata serta perbuatannya sembada, perbuatannya lemah lembut penuh kasih dengan sesama, Islamnya tangguh. Bukan warok yang marok, bangga dengan kekuatannya menenggak minuman keras, kemudian melepas semua ajaran-ajaran suci. Mereka adalah satria sejati.
Tidak lama kemudian sang Adipati Katong segera mendekat kepada Jaka Deleg dan Syeh Maulana Maghribi. Sedangkan para kawula yang menyaksikan dari kejauhan tidak mengerti apa yang tengah dibisikkan kepada keduanya. Mereka hanya melihat bahwa kedua prajurit tangguh itu nampak khidmat menerima sedikit wejangan pamungkas yang disampakan oleh sang adipati. Setelah selesai, kemudian sang Adipati Katong berdiri di teras pendapa, menyapa seluruh hadirin, sambil sedikit mengeraskan suara.
”Kawulaku kabeh !, pagi hari ini berbeda dengan biasanya. Memang semua ini sengaja tidak ingsun wartakan kepada kalian semua, takut nanti kalian akan cemas semua. Kawulaku kabeh, pagi hari ini Kadipaten Ponorogo mendapatkan kepercayaan mulia dari Sinuwun Raden Patah, untuk melebarkan wilayah kekuasaan Demak hingga Pesisir Kidul, yang saat ini masih di kuasai oleh Kakang Buwana Keling. Untuk itu para kawulaku kabeh, kalian ikhlaskan saudara kita ini dengan doa siang malam selama melaksanakan tugas nanti, semoga mereka bertiga dan seluruh prajurit yang mengikutinya selamat sentosa, dan semoga Kakang Buwana Keling mau menerima ajakan ini dengan sukarela, syukur-syukur kalau beliau mau menganut Islam kemudian menyebarkannya di sana. Semoga Gusti Ingkang Maha Wicaksana menerima permohonan ini, amin. Kawulaku kabeh, barangkali ini saja sambutan ingsun, Assalamu’ngalaikum warohmatulohi wabarokatuh ”
Adipati Bathara Katong segera menutup sambutannya, sementara Syeh Maulana Maghribi, Jaka Deleg dan seluruh prajuritnya segera mengemasi seluruh barang bawaannya, kemuian keduanya segera menunggang kuda hitam. Sementara para prajurit segera memikul bekal-bekal yang dibutuhkan selama dalam perjalanan. Sebelum berangkat ,mereka menyalami semua pengunjung satu-persatu.

Nampak semua yang hadir, menitikkan air mata. Adipati Batara Katong matanya berkaca-kaca, terharu kepada tekad setia yang dijalani oleh kedua kawulanya. Kemudian beliau melambaikan tangan, dan menyapa penuh dengan doa yang teramat tulus. Sekejap, para prajurit itu telah lenyap di kegelapan pagi, berjalan ke arah barat menuju Pesisir Kidul. Bersambung

Babad Pacitan 1

Pagi itu langit di atas Kadipaten Ponorogo nampak sedikit mendung. Burung-burung sriti asyik terbang menukik besautan, mengejar capung-capung yang terbang merendah. Sementara kupu-kupu yang mulai belajar terbang di awal kemarau, nampak menari-nari mengepakkan sayapnya menembus belantara hutan Setono yang masih rimbun dan asri. Maklumlah di tengah belantara itu tinggalah seorang Adipati Bethoro Katong, utusan Kerajaan Demak, yang dipercaya untuk mengembangkan wilayah Demak dan menyebarkan ajaran Islam di kawasan timur dan selatan gunung Lawu, meliputi, Magetan, Madiun, Ponorogo, dan Pacitan.
Pagi itu Sang Adipati Katong nampak sedang membenahi kain sarungya sebelum menunaikan sembahyang Dhuha, di surau dekat dengan pendapa agung Kadipaten Ponorogo yang masih nampak anggun dan asri. Sementara para srati nampak menyiapkan kuda tunggangan sang adipati tepat di samping gerbang istana. Sedang di atas pohon sawo kecik terdengar nyanyian burung prenjak bersahutan, seakan memberi kabar bahwa sebentar lagi akan ada tamu penting yang bakal datang dalam pisowanan agung siang nanti. Memang, hari itu sang Adipati Katong akan mengadakan sebuah perhelatan penting, tentang rencana besar menundukkan penguasa pesisir selatan, Ki Buwono Keling, yang berkuasa di kawasan sebelah selatan wilayah Ponorogo. Sementara para prajurit nampak siaga berjajar rapi di depan gerbang istana ,menyambut rencana kedatangan tamu sang adipati, lengkap dengan senjata dan pakaian kebesaran.
Usai menunaikan sembahyang dhuha, sang Adipati Katong segera menemui seluruh punggawa yang ada di pendapa agung, para punggawa segera memperbaiki posisi duduknya, kemudian mereka melakukan sembah, sebagaimana layaknya punggawa kerajaan di tanah Jawa yang lainnya.
”Assalamu ngalaikum para prajurit semuanya ”, sapa sang Adipati dengan wajah yang sejuk, penuh dengan kewibawaan
”Ngalaikum salam ”, jawab mereka serempak.
”Prjurit semua, hari ini menurut rencana ,ingsun akan mengadakan pertemuan penting tentang rencana kita menaklukkan paman Buwono Keling, di kawasan pesisir kidul, untuk itu kalian siagakan segala sesuatunya supaya berjalan lancar dan tertib”
”Kasinggihan gusti”, jawab mereka serempak sambil melakukan sembah, kemudian meninggalkan pasamuan untuk segera menunaikan tugasnya masing-masing.

Matahari kelihatan makin meninggi, angin pagi terasa menyapa permukaan kulit dengan lembut, sementara air embun di atas dedaunan mulai terbangun meluncur turun membasuh tanah menyapa cacing-cacing tanah yang mulai menggeliat tersengat matahari pagi. Tidak beberapa lama, nampak di gerbang pendapa ada dua orang datang menghadap sang Adipati Katong. Wajahnya kelihatan bersih dan lembut, badannya kelihatan kekar, gerak-geriknya kelihatan santun dan lincah, bisa ditebak bahwa mereka adalah bukan orang sembarangan, kemudian mereka membungkukkan badan sembari mengucap salam,
” Assalamu ngalaikum warahmatullohi wabarakatuh”
” Wa ngalaikum salam warohmatullohi wabarokatuh, mangga masuk ki sanak”, sapa sang Adipati Katong dengan lembut.

Ketiganya segera masuk ke dalam pendapa agung. Nampak di sana sebuah ruangan bersih nan luas, tiang-tiang pendapa penuh dengan ukiran kelas tinggi , dinding senthong tengah terdapat ukiran kaligrafi dua kalimah syahadat, menyatakan bahwa sang Adipati adalah pemeluk Islam yang teguh. Sedangkan para pramusaji segera mengatur makanan tradisional seperti, jadah ketan, singkong rebus, ubi jalar, mbothe rebus, gethuk, dan minuman kopi gula kelapa ala kampung.

”Bagiamana kabar kalian berdua, Joko Deleg dan Syeh Maulana Maghribi ?”
”Alkamdulillah , pangestu paduka paman, kami berdua senantiasa kalis saking rubeda tebih saking sambekala, semoga padukapun demikian adanya”
”Terima kasih atas segala doa kalian, semoga Gusti Kang Akarya Jagad senantiasa meberikan limpahan berkah dan nikmat kepada kita sekalian...”
”Amin ”, jawab keduanya serempak.
”Begini Jaka Deleg dan ki sanak Syeh Maghribi, ingsun senang sekali kalian menerima tawaranku untuk menunaikan tugas suci di kawasan pesisir kidul, sebab beberpa bulan ingsun keliling negeri, tapi tak seorangpun aku jumpai orang yang memenuhi syarat untuk tugas ini, dan alkamndulillah ada dua sinoman, kamu berdua, jarang sinoman yang sudah gentur tapane , jangkep ngelmu jaya kawijayane sepertimu. Kebanyakan dari mereka hanyalah pecundang, yang tidak berani hidup rekasa, bisanya hanya makan enak, tidur nyenyak, kesandung sedikit masalah langsung nglokro kehilangan akal sehatnya. Untuk itu tidak salah jika ingsun menetapkanmu menjadi prajurit pilih tanding untuk membantu sesembahan kita Raden Patah menyebarkan Islam di pesisir kidul ...”
”Ah semua ini hanya kebetulan paman, kami hanya sekedar dititipi sedikit kelebihan dari Gusti engkang Maha Kuwaos ”, sahut Syeh Maghribi merendah
”Lajeng tugas hamba apa gusti ?”, tanya Joko Deleg penasaran
” Ada tiga perkara yang harus kalian lakukan, yaitu pertama, kalian ingsun beri tugas membuka lahan baru , membabat hutan belantara , buatalah di sana hunian asri yang nyaman dan subur, kedua, kalian berdua harus menyebarkan ajaran Islam dengan santun, lemah lembut, dan jangan sampai menyakiti hati mereka, sebab Islam yang diajarkan Njeng Nabi ya seperti itu. Yang ketiga, kalian adalah termasuk punggawa kerajaan pilihan, untuk itu gunakan akal cerdasmu, untuk menegakkan kewibawaan Demak, agar bisa bersinar cemerlang di pesisir selatan. Akan tetapi sebelum kalian menunaikan tugas ini, perlu kalian ketahui, bahwa di sana sudah ada yang lebih dulu berkuasa, dia adalah bukan orang sembarangan, dia sakti mandraguna, dia masih ada hubungan darah denganku, Ki Buwana Keling namanya. Cocok dengan tugas yang kalian emban, bujuk-rayulah dia dengan bahasa yang halus dan santun, berilah pengertian yang menyentuh kalbunya, dan jangan lupa lakukan pada saat yang tepat, jangan grusa-grusu, nanti malah jadi kesalahpahaman. Ingat pamanmu Buwono Keling adalah tokoh terakhir yang harus tunduk di bawah Kerajaan Demak, dia sekarang masih patuh pada kerajaan Majapahit, berhubung sekarang Majapahit telah runtuh, maka mau tidak mau kakang Buwono Keling juga harus tunduk menjadi bagian dari Demak. Seandainya dengan cara halus tidak berhasil, maka segala sesuatunya ingsun serahkan kepada kalian berdua. Tapi ingat, bahwa Buwono Keling adalah bukan orang sembarangan, seluruh ilmu jaya kawijayan telah ia kuasai, jika ia marah ,maka kekuatannya amat menakutkan. Untuk itu berhati-hatilah, aturlah segala rencana dengan jitu, pilihlah papan yang kalian jadikan tempat menyusun kekuatan, dengan sebaik-baiknya, bawalah bekal secukupnya, dan jangan lupa kalian berdua harus selalu memohon kekuatan kepada Yang Maha Kuasa, agar diberi kekuatan lahir batin untuk menandingi kesaktian Ki Buwono Keling ” , jelas Bathoro Katong sambil memperlihatkan mimik mukanya dengan serius. Bersambung

Selasa, 23 Juni 2009

Dersanala Cerai Paksa Ki Setyo Handono

Tepat hari Soma Jenar, soma empat jenar sembilan, hari puasa pertama yang bernilai tigabelas. Sebuah pretungan yang bernasib sial. Betapa tidak, Bethara Narada ingin hati mengajak kebaikan ee, ternyata Manikmaya alias Bethara Guru malah mengingkari almamater kadewatan, merusak pagar ayu sepasang suami istri dari kahyangan Swarga Dahana. Si Arjuna dan Dewi Dersanala. Akhirnya membuat jengkel pukulun Narada, dia memilih minggat sambil menanggalkan jabatan sebagai sekretaris kadewatan, hingga Bathara Guru insyaf dari jalan yang sesat.

”Hong thethe dewangkara rudra manik rajadewaku, tobiiil..tobil, nyekel dada kleru penthung..., duh pukulun, kados pundi menika, Bathara Narada lha kok mutung, minggat meninggalkan kahyangan, akan tetapi saya sudah hapal kok pukulun, dia itu kalau menyangkut urusan dengan Janaka, mesti dia itu bakal membela sampai mati,.. terus bagaimana ini nanti pukulun ?”
”Durga, awakmu jangan kuwatir dengan kakang Narada, semua ini sudah menjadi tanggungjawab ulun, awakmu jangan kuwatir Premoni..., anak ulun ngger Brama ...”
”Kawula nuwun wonten dhawuh pangandika rama pukulun”
”Nanti aku akan memberi tugas untukmu, ... anakmu si Dersanala kamu hantarkan ke sini, akan tetapi jangan sekali-kali si Janaka kamu ikutkan. Dan kamu ngger Indra, kamu siapkan pasukan khusus, intel polisi, serse , tentara, dan polisi militer lengkap dengan senjata, bujuklah kakang Narada untuk segera kembali ke Suralaya, aku kuwatir ke-sekretariatan kadewatan komplang, alias kosong, kasihan nanti para warga yang mau memperpanjang KTP..”
”Apa tidak ada petugas lain, pukulun ?”
”Ah ora Indra, akhir-akhir ini pas bertepatan dengan musim work shop, jadi para karyawan sekretariat banyak yang ndak masuk kerja. Semua ini dalam rangka meningkatkan mutu ngger,.. jadi jangan stereotipi, hanya untuk nyari shop-nya atau sertipikatnya saja,.. oooo tidak ngger”
”Seandainya pukulun Narada tidak mau diajak baik-baik bagaimana rama ?”
”Oh, awakmu sudah ulun beri purba lan wasesa , terserah mau kamu paksa atau mau kamu mutilasi , semuanya tergantung pada awakmu ngger”
”Sendika dhawuh rama pukulun..”
”Terus bagaimana kamu ngger Brama, sanggup enggak kamu memaksa memisahkan anakmu dengan si Janaka ?”

Leng-lenging driya mangu-mangunkun kandhuhan rimang lir lena tanpa kanin ooong...

Dalam hati, amatlah berat memisahkan kedua anaknya yang sudah hidup bahagia. Namun di satu sisi ini adalah sabda pendhita ratu yang tidak bisa dibantah. Ketika Bathara Guru memerintah maka tidak boleh ada satupun yang membantah. Oleh karenanya Brama menyatakan kesanggupannya.
Tidak beberapa lama Bathara Brama sudah sampai di tempat tinggal anaknya. Sebuah rumah type 100, hunian yang terbilang mewah yang dibelikannya khusus untuk anaknya Dersanala. Di beranda nampak mobil mercy keluaran terbaru yang masih kelihatan kinyis-kinyis , di samping kanan dan kirinya nampak deretan bunga –bunga milenium gelombang cinta , jenmani dan sebagainya. Nampak asri sekali semuanya. Namun pagi itu rumah Dersanala nampak sepi, seperti ndak ada penghuninya saja. Tetapi Bathara Brama amat paham, pastilah kedua anaknya tengah ’kelonan’, maklumlah malam kan habis ’tadarusan’ sehingga paginya ngantuk. Bethara Brama kemudian hanya ’dehem’ ”Ehm !... ehm !, ngger Dersanala, bukakan pintu ngger”
Kontan kedua insan yang tengah ’adu kekuatan’ di dalam kamar terdengar panik. Dersanala yang masih acak-acakan segera mengambil daster yang terdampar di sisi ranjang. Sedangkan Arjuna segera mengambil sisir kemudian menghadap cermin, sambil membasuh muka dan berkumur-kumur, merapikan sarung yang menutupi bagian rahasia yang nampak belum mau ’menunduk’. ”Ayo ngger cepat bukakan pintunya ” desak Bathara Brama untuk segera membukakan pintu rumahnya.
Dersanala berlari dengan busana daster warna hijau menuju arah pintu yang ditunggu oleh ramandanya. ”Ya papi, ini lho aku masih mencari kuncinya” jawab Dersanala berbohong.
”Mana si Janaka ?”
”Masih sholat papi, ada apa ya kok tumben rama pagi-pagi mencari kakang Janaka”
Belum sempat dijawab, tiba-tiba Janaka telah muncul di depannya. Kemudian dia menjabat tangan ayah mertuanya sambil mencium tangannya, kemudian duduk di sofa.
”Wah ternyata kamu itu satriya sejati ngger, terbukti kamu itu bisa melayani istrimu 24 jam tanpa henti. Waah kamu hebat Janaka”
Janaka nampak menyembunyikan rasa malunya. Dia ndingkluk sambil njawil paha istrinya.
”Ngger Janaka, awakmu jangan kaget ya, ulun datang ke sini ini dalam rangka ngemban dhawuh pukulun Bathara Guru supaya menjemput istrimu si Dersanala untuk menghadap beliau sekarang juga, dan kamu tidak boleh mendampinginya hingga pisowanan ini berakhir”

Arjuna sangat kaget, dia adalah termasuk manusia yang punya kelebihan ’ngerti sakdurunge winarah’ dia tahu kejadian apa yang bakal menimpa Dersanala dan dirinya. Dengan sedikit ucapan yang disampaikan oleh Bethara Brama mertuanya, dia amat paham, untuk itu tanpa pamit dia kemudian berlari kencang meninggalkan istri dan mertuanya diikuti oleh para Punakawan.

Manikmaya Sulaya Ki Setyo Handono

Kahyangan Suralaya benar-benar dalam keadaan gawat-keliwat liwat. Bathara Guru diuji kebijaksanaannya oleh rayuan maut Bathari Durga. Dapat dipastikan apabila yang melakukannya Dewi Durga maka Bathara Guru akan goyah bagaikan nyiur melambai yang terkena hempasan badai.
”Banjur ada perlu apa jeneng kita Durga tidak saya timbali, kok tiba-tiba sowan ing ngarsa ulun”, tanya Bathara Guru.
”Sebelumnya hamba menghaturkan agunging samodra pangaksami pikulun, Durga tanpa tinimbalan berani cumantaka menghadap pikulun, sebab ditangisi oleh ananda Dewa Srani ”
”Premoni, anakmu menangis karena punya permintaan apa, baju baru, rumah baru, mobil baru, atau pacar baru ?”
”Duh Pukulun, Dewa Srani menika rumaos sampun dewasa, dan punya hasrat untuk segera menikah”
”Terus sapa sing jadi calon istrinya ?”
”Duh pukulun, mboten wonten kalih utawi tiga, hanya satu yang dia minta yaitu cucu pukulun pribadi, yang berada di Swargadahana putra dari Bathara Brama yang bernama Dewi Dersanala”

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig saking tyas baliwur ong..

”Durga, ketahuilah bahwa cucu kita si Dersanala itu sekarang tidak tahu berada di mana, tapi harus engkau ketahui bahwa Dersanala saat ini sudah menjadi istri sah si Harjuna..., apa ini semua tidak engkau beritahukan kepada si Dewa Srani ”
”Pukulun, inggih tidak kurang-kurang pun Durga memberi pengertian kepada Si Srani, malah sudah saya carikan alternatif para mahasiswi Universitas Tunggul Malaya, guru-guru sekolah dasar teladan tingkat propinsi, dan para model ratu kecantikan yang ada di Tunggul Malaya, tapi dia bersikukuh, pokoknya harus dengan Dewi Dersanala pikulun , kalau dia tidak bisa mendapatkannya, maka dia memelih tidak kuliah dan mau bunuh diri saja pukulun ...”

Leng-lenging driya mangu-mangu, mangunkun kandhuhan rimang lir lena tanpa kanin .... ooong

Rayuan gombal Bethari Durga benar-benar meluluhlantakkan seluruh pkiran Bathara Guru. Resi Narada nampak komat-kamit mendoakan agar rayuan itu tidak menggoyahkan pendirian Manikmaya alias Bathara Guru, namun awal bencana itu akhirnya datang jua. Bethara Guru tidak berdaya, persis sinetron ’suami-suami takut istri’...
”Oh jagad Dewabathara, okeylah Durga jikalau itu sudah menjadi tekadnya si Srani, ulun akan menyanggupi, toh dia itu juga anak dagingku sendiri. Untuk itu aku akan segera menceraikan si Arjuna dengan si Dersanala dalam waktu tidak lama lagi ”
”Oh, pragenjong-pragenjong pak-pak pong, kali keyang ngulon parane, wong penak-penak spejagong lha kok dadi bunglon atine, weeladalah tobil si Permoni ratunening jail, teka-teka ngrusak barang kang wus kanthil. Pokoknya aku wis niteni, kalau kamu datang mesti bikin onar. Kalu tidak mengganggu jabatan orang, ya merusak pagar ayu, atau merebut wahyu... eh Adi Guru, saya hanya mengingatkan, ini adalah rencana jahat Bethari Durga, menawi bisa saya ingatkan tolong jangan dituruti, dia itu suka durhaka Adhi Guru ...”
”Kakang Narada, berhubung Dewa Srani itu anakku, maka segala permintaannya harus aku turuti. Ada pepatah ’anak kepolah bapa kepradah’ ”
”Adhi guru, walaupun yang meminta itu seorang anak, aku meminta tolong juga harus selektif, sampeyan harus meneliti, bagaimana gaya hidup dia selama ini, lha ... kecuali kalau si Srani itu anak yang sholeh..., sampeyan harus menuruti semua keinginannya...”
”Ora kakang !, pkoknya aku harus segera memisahkan antara si Arjuna dengan Dewi Dersanala sekarang juga...”
”nuwun sewu adhi Guru, sampeyan nganggo dasar apa kok mau menceraikan dia, apa nanti ndak akan mendapatkan kutukan dari Sang Hyang Wenang”
”Kakang Narada, menurut hukum yang berlaku di kadewataan , seorang dewi itu harus bersuamikan dengan dewa. Oleh karena itu berhubung si Janaka itu hanyalah manusia biasa, maka dia tidak berhak kawin dengan dewi. Dan saya sebagai penguasa di Suralaya ini, maka saya punya kekuasaan untuk memisahkannya”
”Ooo, begitukah adhi Guru. Nuwun sewu adhi Guru, saya itu menyaksikan bahwa yang telah menikah dengan seorang dewi itu tidak hanya si Janaka saja, akan tetapi banyak. Tapi kenapa mereka juga tidak sampeyan pisahkan juga. Ini adalah perbuatan culas alias tidak adil, tidak ber-gender sosial inklusi, diskriminatif. Sekali lagi aku hanya mengingatkan, tolong Dersanala jangan diceraikan”
”Tidak bisa kakang, walau kakang mengoceh seperti seribu bakul jamu, aku tidak akan merubah sikapku !”
”Ooooh, sampeyan itu ndak bisa di eman, sudah kalau begitu, aku njaluk pamit, aku ndak sudi lagi duduk di kadewatan lagi, ... wis Adhi Guru, kalau ada apa-apa jangan salahkan aku...” Bersambung

Dewa Srani Edan Ki Setyo Handono

Hanya beberapa saat saja Prabu Anom Gatutkaca telah mampu menghafalkan matra sakti pemberian Prabu Kresna. Dia lantas mohon pamit untuk segera menemui Patih Jentha Yaksa untuk kembali berlaga adu katiyasan.
Ana kangwre tunggal kagiri-giri, gengnya groma galak, angkara ambeg, nya oooong... gora godha hangga ulungna, tinepak kaplesat, buta kabarubuh, oong...
”Hayo Gathutkaca, keluarkan seluruh kekuatanmu, hayo hadapilah aku, Patih Jentha Yaksa patih dari Tunggul Malaya hrrrr .... ha...ha...ha...”
”Adeg-adegku ibu pertiwi..., pepayungku bapa akasa, kaadangku keblat papat paningalku jati wasesa, dudu jatining manungsa nanging cahyaning Kang Maha Kawasa, rahayu...rahayu...”, desah Gathutkaca sambil mengusap muka dengan khusuk Patih Jentha Yaksa tiba-tiba terjerembab, tubuhnya yang besar roboh di bumi menggetarkan bangunan-bangunan semi permanen, nyaris semuanya retak-retak. Prabu Anom Gatutkaca kembali melantunkan mantra saktinya, hingga ...
”Waduh ...Gathutkaca, cukup...cukup...jangan kau lanjutkan, tubuhku terasa terbakar... sudah Gatut...aku mengakui keunggulanmu...aku pulang saja Gathutkaca..” Begitu terdengar jeritan yang memekakkan telinga, tiba-tiba dari balik batu yang besar muncullah makhluk aneh berhidung besar diikuti oleh makhluk-makhluk yang lainnya.
”Le-le pak, le-le pah pangananmu iwak mentah, lalapane proyek sekolah, sing mangan ora tahu susah, mbesuk tuwek padha susah..”
”Le-le cuk... le-le cuk pakananku sega pincuk, lalapane kapal keruk , olehe mangan karo mbungkuk, plingak-plinguk garuk-garuk, ethok-ethok nemu gethuk, othak-athik amrih gathuk, jebule mung lumpuk-lumpuk, nuruti wetenge mblendhuk, dhuh wong ndonya sira padha laliyo, ngakerat mung crita blaka, ugemen senenging donya, uberen lintang kartika, obralen babahan hawa sanga, sumpet piwulang brahmana, ambyura mring angkara murka..”
”Adeg-adegku ibu pertiwi, pepayungku bapa akasa....” tiba-tiba Gathutkaca telah berada di belakang para gandarwa sambil membacakan mantra saktinya. Seketika tubuh mereka seakan terbakar, mereka segera lari terbirit-birit, menye-lamatkan diri. Dari kejauhan Prabu Kresna segera menghampiri Gathutkaca.
”Ngger Gathutkaca, sepertinya sudah mulai terlihat cerah, jagad sudah sedikit tersibak dengan cahaya, oleh karena itu ngger kulup, hayo kita segera menyingkir dari sini”

Bersamaan dengan perginya Prabu Kresna dan Gathutkaca, suasana menjadi agak tentram. Pasukan preman dan iblis yang dipimpin Prabu Jentha Yaksa telah berhasil dihalau dan dimutilasi, tubuhnya hancur berkeping-keping hingga team forensik kesulitan melacak benang merah yang melekat pada masing-masing bangkai gandarwa yang berserakan.
Kita tinggalkan dulu kisah Prabu Kresna dan Gathutkaca. Di atas sana, tepatnya di lantai awal Kahyangan Suralaya nampak Dewa Srani dan maminda Bethari Durga nampak kelihatan kusut wajahnya. Dewa Srani terlihat melepas jas kulitnya, dasinya, dan sepatunya. Yang nyantol di tubuhnya tinggal celana dalam, kemudian dia berlari-lari di jalan raya, sambil tertawa-tertiwi sendiri, menyebut kekasih hatinya Dewi Dersanala. Kontan, Sang Mami Bethari Durga merasa kewirangan melihat ulah anaknya yang kerasukan iblis gendheng,
”Hong thethe dewangkara Rudra manik raja dewaku, oh jagad dewa bathara, oalaaah ngger ... ngger, kamu itu calon pangeran lho, elinga ya ngger ... kasihanilah dirimu, ingatlah ibumu..., hayo ngger busanamu dipakai lagi, jangan telanjang begitu, ingat lho awakmu itu udah haji, udah meng-umrohkan orang-orang di sekitarmu...” Bathari Durga sambil meronta-ronta, meminta anaknya tidak berbugil ria. Tapi Dewa Srani sudah seratus persen lupa ingatan, mobil pribadi yang masih kinyis-kinyis dilemparnya ”pres”, seketika kaca depannya hancur berantakan. Bethari Durga tambah panik. Dewa Srani semakin nekad berlari menuju sungai di bawah jembatan Suralaya.
”Oh Dersanala... terimalah cinta sejatiku ini, lihatlah aku membawa bunga untukmu, aku rela mencopot seluruh busanaku demi untuk tubuhmu yang kedinginan, oh Dersanala, seluruh istanaku akan ku serahkan padamu... hayo Dersanala... janganlah berpaling denganku, .. oh keparat kau Janaka !!, kau telah nodai calon istriku, aku cincang-cincang tubuhmu, ciaaaaaat !!!” Dewa Srani berteriak sambil membanting batu-batu yang berserakan di sekitarnya.
”Kulup Dewa Srani, eling ngger... eling ngger, ini lho minum dulu, hayo ngger minum dulu ...” pinta Bathari Durga sambil mengulurkan segelas air minum.
”Mami, aku mau minum kalau Dewi Dersanala telah ada di sampingku”
”Hiya kulup, tapi mami minta kau sabar dulu, mami akan menemui papimu Bathara Guru dulu ..”
”Nggak mau mami, pokoknya sekarang !!!”
”Ngger, papimu sekarang lagi work shop, tidak boleh diganggu, beliau baru pulang tiga hari yang akan datang..”
”Kalau begitu campurlah minumku itu dengan racun nyamuk, aku mau bunuh diri saja mami..., lihatlah mami aku telah menelan racun !!!”
Kaget , Bethari Durga segera melesat menyambar anaknya yang telah terkapar mengerang sekarat keracunan. Mereka segera menerbangkan anaknya ke instalasi gawat darurat rumah sakit Suralaya. Bersambung

Ontran-ontran Bathari Durga Putaran Kedua Ki Setyo Handono

”Oh iya ngger putraku bocah sigid, Dewa Srani, Mami bakal nuruti apa sing dadi panyuwunmu. Pancen wis ndak niati kalau Marcapada akhir-akhir ini sengaja aku buat kacau, wis sakmestinya, sebab Bethara Guru telah berbuat curang, kenapa Dersanala diberikan begitu saja kepada Janaka, padahal anak kandungnya sendiri belum punya pasangan, sedang di Janaka isterinya sudah banyak, oh !, Kahyangan bakal ndak obrak-abrik, Mercapada saya jadikan karang abang. He !!!, patih Jentha Yaksa !!!, you keluarlah siapkan para pencoleng dan para bramacorah, saperlu nderekkan mami nglurug Kahyangan ...”
”Nuwun inggih Mami Bethari, keparenga pun abdi medal pasilan badhe persiapan , tata-tata sawega ing karya Mami ”

Mundur Rekyana patih, undanging prawadya sami sawega, umyung ramya swaraning bendhe beri gubar gurnang kalawan puksur tambur myang suling pepandhen daludag bendhera miwah kakondha warna pindha jala dian ooong asri kawuryan.
Greg ..greg handheman ingkang jaran ngrik magalak, genti manitih pamekakira risang, sudarsana dhahat kendhali rangah manjing , lak-lakaning kuda, ngrik mijil rah kadya tuk sumarambah ooong...
Mung ... jir, mung ... jir, Ong Yaksa temahan krura srumaut yitna sang narpadmaja ooong...
”Nuwun keparenga matur bilih pasukan pencoleng dan bramacorah sudah sami siyaga, tinggal menunggu komando mami”, jelas Patih Jentha Yaksa sambil memegangi pedang yang menempel di perutnya yang buncit.
”Ya patih !, kalau begitu kamu tabuh tengara bendhe , tiup terompet, dan pukul bedhug bertalu-talu, menandakan berangkatnya seluruh pasukan”
”Kawula nuwun inggih Mami Bethari, keparenga medal pasilan”

Enjing budhal gumuruh saking Gandamayit nagri, gunging kang bala kuswa, abra busananira lir surya wedalira saking jalanidhi harsa madhangi jagad, duk mungup-mungup aneng sapucuking wukir ooong...
Jumangkah hanggra sru sumbar lindhu bumi gonjing, gumaludhug guntur ketug, umob kang jaladri, ooong...

Terlihat seperti mendung di musim penghujan. Ribuan pasukan pencoleng dan bramacorah yang dipimpin oleh Patih Jentha Yaksa terlihat hitam, gemuruh menakutkan. Tujuannya adalah demo besar-besaran menuntut keadilan Bathara Guru di Kahyangan Suralaya. Kontan para manusia yang sempat melihatnya lari kalang kabut, menyelamatkan diri masuk ke rumah. Tidak jauh dari barisan para pencoleng itu, nampak dua orang kesatria yang tengah bersembunyi di balik mendung. Setelah dilihat dengan seksama dia adalah Prabu Anom Gathutkaca dengan Sang Prabu Sri Bathara Kresna yang tengah menyaksikan peristiwa gaib dengan ngelmu panglemunan.
”Ya Jagad Dewa Bathara, pantes kalau sekarang Nuswantara terkena pageblug , ketaman dahuru yang beraneka ragam, sebab para bramacorah dan pasukan pencoleng telah membuat kerusakan moral di Marcapada, oh walaupun mereka jumlahnya ribuan Gatutkaca tidak akan mundur sarambut”, batin Gatutkaca sambil mengusap tubuh bajanya yang sedikit agak karatan.
”Ada apa kaki Prabu Anom, kok kelihatan ada yang dicemaskan”
”Kasinggihan Wa Prabu, keparenga kula badhe numpes rombongan baju barat menika Wa..”
”Oh iya ngger, sing gedhe kaprayitnanmu”

Buta pandhawa tata gati wisaya indriyaksa sara maruta, paawana bana marga... oong samirana warayang, panca bayu wisikan gulungan lelima ooong...

”Durung adoh lakuku dari kahyangan Dhandhang Mangore, lha kok ini ada satriya gagah perkasa, berbadan serba logam, mencorong seperti pisau stainlees , he Gus berhenti dulu, hayo mengakulah siapa kamu, apa maksudmu menghadangku..”
”Hmm... balik ganti tanya siapa namamu, dan dari mana asalmu, lha kok kamu lancang menginjak-injak tanah yang bukan wilayahmu..”, sahut Gatutkaca ketus
”Jiangkrik keparat, iblis laknat jeg-jegan..”
”Memangnya mau apa ?”, gertak Gatutkaca setengah memancing kemarahan
”Mangertiya kalau aku ini adalah aku Mahapatihnya Prabu Dewa Srani, namaku Patih Jentha Yaksa, mbalik aku pingin tahu siapa nama lu”
”Satriya dari Pringgondani, Prabu Anom Gatutkaca, hayo Jentha Yaksa, jangan kau teruskan niatmu, kembalilah dengan sukarela, atau aku paksa!!!”
”Bojleng-bojleng iblis laknat, menungsa keparat durung tahu work shop ning neraka jahanam, jangankan kau yang hanya badan manungsa, Dewapun akan aku trajang, aku hancurkan, hayo sumingkira , mulihlah Gatutkaca , kasihan kuliahmu durung rampung..”
Tanpa banyak buang waktu, tangan baja Prabu Anom Gatutkaca segera meninju muka Patih Jentha Yaksa ”Cplaasss !!!, glosor”
Jentha Yaksa terjerembab pecah kepalanya. Prabu Anom Gatutkaca segera kembali untuk menemui Prabu Kresna. Tetapi baru saja melangkah beberapa langkah, Patih Jentha Yaksa telah berdiri tegap kemudian dengan sigap menyerang Raden Gatutkaca. Raden Gatutkaca terheran-heran, padahal tubuhnya sudah hancur, la kok bisa kembali pulih tanpa cacat sedikitpun ”Waah gawat ini, aku harus segera menemui Wa Prabu Sri Bathara Kresna”. Gatutkaca segera melesat terbang menemui Kresna.
”Ada apa ngger kok perangmu kelihatan tersendat-sendat, kamu menang apa kalah ?”
”Sebenarnya saya menang, tetapi anehnya setiap dia mati, dia hidup kembali”
”Bukan hal yang aneh ngger, dia itu adalah penjelmaan iblis, dia itu makhluk halus, maka cara melawannya juga harus dengan cara yang halus pula...”
”Terus bagaimana untuk mengalahkannya”
”Ngger ini ada mantra yang bisa engkau ucapkan, ’adeg-adegku ibu pertiwi, pepayungku bapa akasa, kadangku keblat papat, paningalku Jatiwasesa, dudu jatining manungsa nanging cahyaning kang Maha Kawasa, rahayu...rahayu..’ hayo coba tirukan ngger ”
Gatutkaca dengan cekatan mampu mengucapkan mantra dengan sempurna. Prabu Kresna nampak bangga. ”Wah dasar kalau bocah itu lantip mesti mudah menirukan mantra . Maklumlah dia kan calon sarjana sastra STKIP PGRI Pringgondani..”, pujinya. Bersambun

Perempuan Idaman Lain Gawe Umubing Birahi (Pilgub)

Dalam hutan Krendhayana, terdapat beringin putih berjajar tujuh, dan randhu alas berjajar sembilan. Di dalamnya terdapat watu gilang sebesar gunung. Di situlah sebuah tempat yang disebut Kahyangan Setra Gandamayit, ya di Dhandhang Mangore. Tidak ada manusia satupun yang berani merambah. Apalagi polisi hutan, perambah berdasi, pencoleng kampungan, dan para bandit-bandit yang kebal hukum. Yah !, hutan ini terhitung masih perawan thing..thing, gawat keliwat-liwat, wingit kepati-pati, hewan singgah bersimbah darah, manusia singgah, pulang hanya tinggal namanya. Mereka bakal dieksekusi, seperti ayam potong, kres !!, modar alias codeet tanpa bekas. Kenapa kok segawat itu, memang, di situlah pusatnya segala kejahatan. Di situ pulalah berkumpul jin, setan, demit, iblis, ilu-ilu banaspati, gandarwa, bajubarat, myang brekasaan, santhet, tenung, teluh braja, bondhet pilut, gendam, semuanya tumplek bleg, jadi satu di Dhandhang Mangore. Para setan semuanya dibekali senjata, drengki, srei, jail, dahwen, panasten, senang kekerasan, apus-apus, cinta perselisihan, menjahui perdamaian. Oleh karena itu tidak aneh jika sang surya mulai tenggelam, maka benda-benda yang ada di situ terlihat hitam remang-remang, diliputi oleh suasana angker, dan berbau anyir darah. Sementara di bawah terlihat rimbun daun ilalang dan rumput kalanjana, sulur-sulur akar beringin seperti rambut yang menjurai tak pernah disisir, silir-silir tertiup angin malam, sulur beringin itu mirip rambut raksasa, menakutkan. Sedangkan di tengah sepi, terdengar gemercik air gerojokan, memberikan daya getar menakutkan di dalam hutan. Sementara di atas pohon terdengar burung kolik tuhu tengah mengumandangkan berita kejahatan, disambut suaranya ular mendesis, disusul oleh jeritan seekor kijang yang baru saja ditubruk oleh harimau.
Kasad mata tempat itu adalah berujud hutan biasa. Tapi kalau anda waskita, di situlah sebenarnya Kahyangan pusatnya kerajaan Dewa Penggoda, dengan sesosok makhluk penguasa yang disebut Pandya Bathari Durga, alias Hyang Pramoni. Sebenarnya awalnya, dia adalah seorang bidadari jelita. Akan tetapi karena perbuatannya yang melanggar kode etik bidadari, maka Sang Hyang Jagadnata memberikan sanksi wajahnya disiram air keras, dan berubahlah menjadi jelek.
Ya, Hyang Premoni inilah sang penguasa tunggal, dengan sepasukan bajubarat, lelembut, arwah nyasar, iblis, brekasaan yang bertugas menggoda para manusia baik hati, brahmana, mubalig, santri, kiai, guru, kepala sekolah, jaksa, hakim, polisi, petugas PLN, dan sebagainya. Belum lama dia berada di beranda istananya, tiba-tiba datang anaknya yang semata orang, bangsawan dari Tunggulmalaya, Prabu Dewasrani. Sowan menghadap ibundanya. Begitu mendekat ia kemudian berlutut, memberikan sembah. Nampak di wajahnya raut sungkawa alias lagi susah, gundah dan sedih. Wajahnya pucat pasi, seperti orang kurang gizi. Tidak ketinggalan asisten dan sopir pribadinya mengawal sang Dewasrani. Lengkap dengan para iblis pilihan, yang jumlahnya tak terhitung sangking banyaknya. Sang Bethari Durga amat tanggap dengan wajah anaknya yang kelihatan kumal seperti baju yang ndak pernah disetrika. Dia kamitenggengen alias ndak mentala nyawang anaknya. Dia terpaku, heran, padahal semua fasilitas telah diberikannya. Ndak biasanya anaknya sedih hingga seperti itu.
”Hong thethe dewangkara, Rudra manik raja dewaku, ini kalau ndak salah anakku Dewa Srani, ngger kulup, padha kanthi raharja sak sowanmu ana ngersane mami, ngger ..”
”Kawula nuwun inggih mami, niskala sowan saya, tidah lupa sembah bakti saya mami”
”Tak terima kulup, tidak lupa terimalah pangestune mami”
”Dahat katedha kalingga murda kanjeng mami, semoga menjadikan darah kemuliaan”
”Patih Jentha Yaksa, bagaimana kabarmu tih !”
”Pangestu mami bethari, sehat kuwarasan”
”Kembali kepadamu Srani, jika mami perhatiken dari ujung mata hingga ujung jempol kaki, seperti ada perasaan gundah kulup, hayo kataken semua pada mami ..”
”mami, seperti hancur perasaan saya, kenapa hingga saat ini saya belum mendapatkan wanita pujaan hati. Padahal aku ini kan seorang raja, tapi kenapa belum ada wanita seorangpun yang mau denganku mami...”
”Weladalah, jebul kamu itu pingin rabi ta ..., oalah mbok ya ngomong terus terang sejak tadi. Lha apa kira-kira kamu sudah punya pandangan kulup ?”
”Nuwun sewu kanjeng Mami, setelah lama aku pertimbangkan, ternyata hanya Bathari Dersanala, putra pukulun Bathara Brama, yang menjadi pujaan saya ...”

Kagyat risang kapirangu rinangkul kinempit-kempit dhuh sang retnaning bawana, Ooooong...

”Waduh, ngger ... mangertia ya, Dersanala itu sudah menjadi isteri sah Janaka, mami ndak setuju jika kamu akan merebutnya, sudahlah ngger cari yang lain saja, di Unmuh sana masih banyak mahasiswa yang cantik-cantik, ke sana saja ngger ...”
”Kanjeng mami, bagiku sudah tidak ada pilihan lain. Seandainya mami tidak mau mengusahakan, maka aku akan bunuh diri saja mami ...”
”Duh jagad dewa bathara, ya iya ta ngger, mami tidak akan tinggal glanggang colong playu, jika maumu begitu, anak polah mami yang bakal berusaha, wis kalau begitu kamu tinggal dirumah saja, mami akan membujuk ayahmu Bethara Guru di kahyangan Suralaya” Bersambung

Jalur Tikus PSB (Penerimaan Siswa Bodong) Ki Setyo Handono

Sepulang Harya Setyaki, dan Raden Samba, istana Dwarawati kembali sunyi. Para juru pengrawit yang bertugas di ruang diskotik mulai mengumandangkan gendhing Titipati laras slendro Pathet 6, nampak dari balik bunga adenium, taman sari, dua orang emban, Bibi Cangik dan Limbuk, keluar sambil membawa hamburger, roti bakar,soto daging dan softdrink, menu paten kesukaan Dewi jembawati, Dewi Rukmini dan Dewi Setyaboma. Cangik yang bertubuh kerempeng itu nampak di jidatnya menempel dua lembar koyok untuk menghilangkan penyakit pusing separo yang sudah menahun. Sedangkan Limbuk si gemuk itu nampak megal-megol mengayunkan pantatnya sambil sesekali mendendangkan lagunya Dewi Persik dan Inul Daranista. Keduanya adalah pembantu setia yang mengabdikan dirinya seumur hidup. Dia tidak pernah mengeluhkan jumlah gaji yang dibayarkan kepadanya. Mereka melaksanakan kewajiban yang ditimpakan kepadanya dengan senang hati. Dia tidak memikirkan upah minimum regional, dia tidak pernah memikirkan mogok kerja, tapi dia mengabdikan dirinya murni untuk beribadah. Namun siang itu Cangik kelihatan tidak bersemangat. Biasanya dia selalu meluncurkan kata-kata bijak kepada anaknya Limbuk tentang perikehidupan. Dia nampak murung di sudut taman sambil sesekali menghela nafas panjang. Limbuk mencoba mendekati simboknya yang mulai kelihatan renta.
”Mbok , sampeyan kok ndak seperti biasanya ceria, ada apa ?”, tanya Limbuk sambil meraih pundak simboknya.
”Oalah embuh nduk, simbok dewe juga bingung kok ”
”Bingung itu mestinya kan ada yang menyebabkan to Mbok ?, coba jelaskan apa penyebabnya ?”
”Begini lho nduk, aku itu tengah memikirkan nasib anakmu mbesuknya ...”
”Tentang apa ?”
”Aku membayangkan, jika simbok ini sudah ndak kuat bekerja terus siapa yang akan membiayai sekolah mereka. Simbok miris, nduk jika melihat kedaan pendidikan sekarang ini. Majunya belum tentu tapi permintaan fasilitas dan biayanya sudah selangit...”
”Maksudnya simbok ?”
”Hiya nduk, terbukti, sekarang ini walau gaji pegawai negri, pegawai dewan,dan pejabat dinaikkan, tapi mental korupnya tidak kunjung mereda. Malah-malah semakin merajalela, terbukti pungli di mana-mana, selingkuh di mana-mana. Semua akibat kerja ringan bayar besar. Sehingga di otak mereka adalah bagaimana uang-uang yang mereka punyai itu dapat mereka habis-habiskan. Mungkin dalam benak mereka nyari uangnya kan gampang , jadi ya begitulah syahwatnya semakin mendapatkan fasilitas yang lebih. Gelar sarjana dan pasca sarjana seperti S2, S3, bukan merupakan jaminan ngger, mereka kuliah tinggi hanya untuk menacari gelarnya saja, nyatanya pendidikan tak semakin berkualitas, tapi semakin jauh merosot dari harapan para pendahulu kita ngger..., mereka serba ber-portopolio, makanya pantes kalau mereka pada kena penyakit polio, jalannya tidak lurus, tapi bengkok-bengkok..”
”Aku kok ora ngerti to karep sampeyan ...”
”Oalaah nduk..., awakmu itu kok ndak peka jaman, Simbok ngoceh ini terus terang lagi jengkel !!”
”Jengkel karena apa Mbok ?”
”Apa ora ngerti ngger, simbok semalam dipanggil kepala sekolah ning SMP paporit Dwarawati kene, ngenani nasib anakmu sing ora ketampa ning sekolah sana”
”Simbok di takoni apa wae ?”
”Bu Cangik, sampeyan ndak perlu kawatir, putu sampeyan bisa sekolah ndik sini, tapi ada syarat khusus yang harus sampeyan penuhi ...”
”Syarate apa Mbok ?”
”Lha ya itu ngger, awalnya hatiku itu bahagia, putuku bisa sekolah ndik sekolah paporit, aku mikir tak kira syarat mau mung perkara nggolek surat keterangan tidak mampu dari RT, Desa dan Kecamatan, ealah jebulnya ...”
”Sampeyan kon ngapa Mbok ?”
”Jare, kepala sekolah durung nduwe mobil, durung nduwe omah nggo anak-anake, mula simbok ya rada bingung, lha wong simbok iki mung trimo babu, lha apa ya klakon isa nukokne mobil karo omah mau, lha wong simbok dewe wae ora gablek omah kok, dasar !!! pejabat wis padha dadi pemeras, pelopor KKN, oh titenana yen tuwa mbesuk pada struk, kencing manis, darah tinggi...”
”Wis mbok sampeyan ndak usah duka!, aku lila kok menawa anakku ora sekolah, sebab sekolah ndak menjamin anakku bisa nyambut gawe...wis mengko tak ajaknya saja suwita ikut ndara Jembawati ndik sini ”, jawab limbuk sambil membenahi kembennya yang nyaris mlorot.
”Oh syukur nduk, menawa awakmu ndak gela atimu, oh yen begitu ayo, diterusken nyuci piringnya” Bersambung

Terbakarnya Lantai 8 Swargadahana Oleh: Ki Setyo Handono

Prabu Anom Gatutkaca segera menggeser tempat duduknya, kemudian membenahi rompi anti peluru bergambar sinar matahari , dia berjalan mundur sambil lampah dhodhok memberikan sembah
”Kalau begitu Wa, kula tunggu di luar, ... Kangmas Paranggaruda dan Paman Swalabumi ,sorry saya mau menunggu di teras saja…” , pinta Prabu Anom Gatutkaca sambil menenteng HP terbarunya.
”Oh iya yayi Prabu, sebentar lagi aku juga segera pulang kok”
”Lho kok ndak berlama-lama di sini”
”Ora yayi, aku ada perlu arep ndaptarne keponaamu sing nomer papat ning SMP berstandar internasional, Paranggaruda sana...”
”Demikian juga paman ngger, aku juga ada perlu untuk segera pulang, ... mau mbayar pajak di samsat..”, jelas Setyaki sambil menunjukkan STNK sepeda motor cekeh keluaran tahun enampuluhan.
”Kulup Samba dan yayi Setyaki, kalian aku beri tugas piket, menggantikan tugasku mengawasi jalannya pemerintahan, sebab sekarang juga aku harus menuju Ngamarta, awasi dengan ketat seluruh pegawai pemerintahan baik di daerah maupun yang ada di lantai delapan, jangan biarkan mereka keluyuran di warung-warung, di pasar loak, di losmen-losmen, ataupun di tempat perbelanjaan pada jam-jam kerja, kerahkan Satpol PP untuk melakukan penertiban ...”
”Nuwun inggih , sendika ngestoaken dhawuh, dewaji”
”Demikian juga kami Setyaki, siaga selalu kaka Prabu”

Tidak lama berselang, suasana istana Dwarawati menjadi sepi. Prabu Kresna segera bergegas meninggalkan istana menuju Ngamarta bersama dengan Prabu Anom Gatutkaca. Keduanya terbang hingga ketinggian 10.000 kaki melanglang angkasa dengan kecepatan melebihi pesawat supersonik, nyaris semua radar yang canggih sekalipun tidak mampu menangkap keduanya. Keduanya memang penerbang yang telah memperoleh seribu limaratus jam terbang, sebuah prestasi yang belum ada tandingnya. Angkasa pagi itu terasa dingin, angin dari selatan tersa amat kencangnya. Sementara di bawah sana banyak umat manusia yang tengah mengadakan pesta pernikahan untuk putra-putrinya. Memang bulan itu dipercaya sebagai bulan baik, walaupun hanya mitos yang tidak ada dasar hukumnya, sehingga cukup membuat pusing bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan sementara ulem-ulemnya menumpuk di meja. Apakah mereka tidak pernah membuktikan bahwa di luar sana ternyata semua hari baik ?, pernahkah mereka merenungkan untuk tidak ’membisniskan pesta pernikahannya ?’. ”Ah inilah barangkali jaman telah rusak, manusia berebut serakah, mencari untung di balik sedekah, ah dasar serakah... ”, batin Prabu Kresna .

Sementara itu lain lagi keadaannya di Swargadahana . Remaja-remaja di sana tengah asik dengan dunia gemerlap, atau ’dugem’. Mereka berpesta pora menghambur-hamburkan uang pemberian orang tua untuk pesta minuman keras, narkoba, seks bebas dan untuk pembuatan video porno yang akan disebarkan kepada pelajar dan generasi muda. Satu tujuannya, yaitu agar generasi dan negara menjadi rusak. Sedangkan tidak jauh dari diskotik, dan pusat hiburan malam tepatnya di Swargadahana lantai delapan, Sang Harjuna tengah berasyik ’masyuk’ melepas dan menancapkan panah asmara yang tengah membara. Dewi Dersanala nampak tersenyum pasrah, dia memeluk erat kekasih hatinya. Dia pasrahkan seluruh jiwa raganya , sementara burung-burung gereja yang menyaksikan lewat lobang-lobang angin hanya kelihatan mengulum air liur, satu persatu berdatangan , kemudian mereka terbang menjauh dengan membawa kekasih barunya terbang menjauh mencari tempat-tempat rindang, seperti pohon akasia, ruang parkir, pinggir pantai, toilet, losmen luar kota, serta ruang-ruang yang jarang dilewati orang pada saat jam-jam tersebut, semisal mushola atau ruang-ruang lobi. Yah !, cinta kilat, memang memerlukan waktu kilat untuk melepas napsu syahwat, Jrat !!!, njepat, muncrat !!, bagaikan ulat tersengat strum 220 volt, satu hidup satu mati. Yang kesetrum mati, menahan malu, tapi yang nyetrum hanya cengar-cengir , besuk cari kesempatan yang lain lagi, katanya. Tak terasa waktu hampir dua jam Sang Harjuna bermain asmara, membuat udara lantai delapan panas membara, dari kejauhan nampak asap membubung. Kontan para dewa yang lagi ’work shop’ di sana lari semburat memanggil petugas pemadam kebakaran. Bersambung

Krisis Keteladanan Ki Setyo Handono

Ngamarta, Ndwarawati, benar-benar berduka. Bencana silih berganti menerpa seakan tiada henti. Para punggawa negari, para kaum berpunya, terlena dengan kesenangan dunia. Menindas kaum papa, menginjak-injak norma, lecehkan martabat manusia dengan berbagai cara. Mereka lupa bahwa dunia hanya tempat sementara. Mereka lupa bahwa nyawa sebentar lagi lepas dari raga. Bencana tidak membuat jera, tetapi kemaksiatan semakin menggila. Para pejabat giat berebut berkat, orang kaya gila menimbun harta, pangkat jabatan jadi rebutan, obral janji menjerat simpati, barangkali jadi gubernur, bupati atau menteri, kan kutimbun negri dengan amal bakti, sekolah murah, berobat murah, angkutan murah, bahan bakar murah, sandang pangan murah, dan pelayanan kepada masyarakat mudah. Tapi mana semua janji, terkubur dalam surga singgasana. Memang rakyat kita ndak pernah menuntut janji ketika pilkada, mereka adalah persatuan bangsa-bangsa pelupa. Mereka ndak kuasa melihat program-program bijaksana, ada uang abang ku sayang, apa susahnya lha wong nyblos biasanya kehilangan, tapi yang nyoblos ini malah dapat komisi, lumayan kan ?.
Sudahlah , walau bencana terus menyapa, tapi masih banyak juga pejabat yang hidup bahagia. Sementara bagi mereka orang yang ndak punya kita lupakan saja, toh masih ada sanak saudara yang peduli dengannya. Kalau seandainya toh tidak ada yang memperhatikan sama sekali, yah kita syuting saja di media tipi nasional, beres kan ?.
Kita tinggalkan dulu manusia-manusia penyebab hancurnya dunia, kita tengok kembali drama bersahaja tentang kabut yang melanda sebuah negara.

Sepulang Ki Lurah semar dari Dwarawati, tampak di halaman istana datang seorang pemuda berbadan tegap, kulit sawo matang, menggunakan baju ontokusumo, di bagian dada ada gambar sablonan bentuknya seperti sinar matahari. Kalau orang yang ndak paham itu adalah lambang salah satu parpol atau lambang organisasi keagamaan. Bukan, dia adalah ’satria baja hitamnya ’ wayang . Dia benar-benar manusia yang terbuat dari besi. Pantas dia nggak berani hujan-hujan, takut badannya semua karatan. Salah-salah malah jadi barang rosokan.
”Kalau ndak salah lihat ini seperti putraku Raden Haryo Gatutkaca...”, sapa Prabu Kresna sambil membenahi kaca matanya yang baru saja dibenahi oleh tukang kaca di toko sebelah rumahnya.
”Nuwun inggih wa, niskala pisowanan saya , tidak lupa hormat bakti saya wa”
”Hiya...ya..., ngger , aku terima dengan tulus darma baktimu, tidak lupa terimalah pangestuku, ya ngger Tetuka”
”Dahat katedha kalingga murda wa, semoga menambah kebahagiaan dan keluhuran budi ananda di Pringgondani”
”Yayi Prabu, raharja kedatanganmu di Dwarawati ?”, tanya Raden Samba .
”Inggih kakangmas, raharja pisowanan adinda Pringgondani, tidak lupa sembah bakti saya kepada kakanda Samba di Paranggaruda.
”Hiya ..ya dimas, kuterima sembah baktimu, tidak lupa pangestuku terimalah ...”
”Ngger anak prabu , bagaimana keadanmu, baik bukan.., sudah , nikmatilah dan teruskan obrolanmu”, potong Setyaki sambil mematikan rokok bermerk terkenal di Dwarawati.
”Sepertinya tidak ada yang tidak nyaman, semuanya dilayani dengan baik sekali, terimaskasih paman”
”Maaf ya Kaki Prabu, terus apa maksud kedatanganmu di Dwarawati ini, segeralah sampaikan ya ngger...”

Hanjrah ingkang puspitarum, kasliring samirana mrik, oooong...., sekar gadung kongas gandanya... oooong...maweh raras renaning ndriya...oooong...............

”Wa Prabu...Wa Prabu..., sedih sekali hati kami jika menyaksikan bencana dahsyat yang melanda Ngamarta , sepertinya belum ada tanda-tanda mereda , malah-malah sekarang ini para pemuda ABG, banyak yang meninggalkan ajaran-ajaran agama. Jilbab dengan yang tidak pakai jilbab kelakuannya hampir sama, mereka rama-ramai berbuat asusila, begitu surat pengumuman lulus mereka semprot-semprotan di seluruh kujur tubuhnya. Mereka kemudian berfoya-foya keliling kota sambil ngamplok kepada teman laki-lakinya tanpa malu, bahkan tidak itu saja masih dengan berjilbab mereka menenggak minuman keras terus pesta seks seperti binatang. Bahkan sinuhun, pamitnya kepada orang tua yang jauh di pelosok sana bersekolah, tapi di kota malah asyik mengobral syahwat dengan lelaki hidung belang, oh Wa Prabu , banyak dari mereka kini putus sekolah alias drop short eh drop out...”
”Yang ingin saya tahu itu, bagaimana kabarnya pamanmu si Arjuna ngger ..”
”Oh sorry Wa, saya ngelantur. Inggih , sudah tujuh bulan alias satu semester lebih satu bulan ini Paman Harjuna memadu asmara dengan mantan sekretaris pribadinya yaitu Bethari Dersanala, di kahyangan Swargadahana. Bagimana ini, padahal Paman Harjuna itu kan juga termasuk wakil rakyat, apakah tidak malu orang sedunia melihat adegan mesra dengan bukan mukhrimnya ?”
“Itulah wakil rakyat kita, apa-apa sudah punya , tinggal satu yang tidak punya yaitu malu !”, desah Kresna.
“Sehubungan dengan itu Wa, menawi mau, sekarang juga Wa Prabu aku hantarkan ke Ngamarta untuk meredakan musibah ini…”
“Ngger Tetuka, kamu jangan bersu’udzon dengan pamanmu Harjuna, itu semua memang sudah menjadi jalan untuk menghentikan semua musibah ini. Berhubung kedaan Ngamarta semakin gawat , maka hayo ngger, jangan terlalu lama berdebat, hayo sekarang juga kita terbang ke Ngamarta”
“Oh !, mangga Wa kula dherekaken …” Bersambung

Menanti Tumurune Wiji Sejati Ki Setyo Handono

Prabu Kresna segera membuka pintu gerbang sitihinggil, wajah sumringahnya nampak jelas segera menyiram seluruh tubuhnya yang sedari tadi tidak vit alias loyo. Prabu Kresna segera menyambut tamu yang baru datang dengan gembira .
”Wah, pantes prenjake ngganther, jebul kakang Semar yang datang ”
”Aih mbregegeg ugeg-ugeg sakdulita hml... hml .., inggih sinuwun raharja kedatangan kula, semoga semuanya terhindar dari malapetaka, tidak lupa sembah baktiku lha ”
”Kakang Semar ingsun , tidak kuat menerima hormat panjenengan, sebab kakang Semar itu sebenarnya adalah Sang Hyang Ismaya, untuk itu nikmatilah istirahatmu ya kakang ”
”Aih inggih sinuwun ”
”Wa Semar, selamat datang wa, nikmatilah duduk, dan istirahatmu “
”Oh , inggih gus, Raden Samba ,tidak ada kekurangan sedikitpun, semua serba nyaman di sini ”
”Waaah... kakang Semar, lama kita tak berjumpa, baik semua to kakang,...”
” Aih, inggih Raden Setyaki, sembah bakti raden sudah kula tampa, kamdulillah perjalanan kula, nirkala, nirbaya, terlepas dari segala bahaya,dan hari ini nuwun sewu kula datang sendirian, anak-anak sengaja tidak ada yang ikut, dia sedang ngantri minyak tanah dan BLT, Raden...”
” Wa...ha...ha...ha..., sing sabar saja kakang, memang wong cilik itu memang ditakdirken begitu, ciliiik teruuus, mlarat.. terus, sengsaraaa... terus ...”
”Waaah Setyaki , jadi gayeng ya ...”, tiba-tiba Prabu Kresna memotong pembicaraan.
”Pangapunten sinuhun”
”Hiya ora dadi apa Setyaki, .. oh hiya kakang Semar, lha kok hari ini kakang njanur gunung, tumben datang di Dwarawati, tanpa didampingi ketiga anakmu sepertinya ada sesuatu yang penting kakang... ”
“Eh ... mbregegeg ugeg ugeg sakdulita hml...hml... eh ,inggih sinuwun, sebelumnya kula nyuwun pangaksama , sebab saya sudah lancang memberanikan diri menghadap sinuwun tanpa melalui protokoler...”
“Hiya kakang, ora dadi apa, seandainya ada kesalahan aku maafkan kakang, sebaliknya jika aku yang salah, aku juga mohon dimaafkan.., dan atas nama seluruh warga di sini kakang aku mengucapkan terima kasih atas kerelaan kakang mau datang ke Dwarawati , kedua kalinya kedatangan kakang Semar amat membantu sekali dalam saat-saat seperti sekarang ini, sebab Dwarawati sekarang dalam keadaan sungkawa, menerima musibah yang bertubi-tubi, bencana alam tanah longsor, bencana banjir, tsunami, angin puting beliung, chikungunya, DBD, gempa bumi, luapan lumpur yang tak kunjung reda, dan yang terkhir ini adalah melambungnya harga-harga akibat kenaikan harga BBM, sehingga penduduk miskin bertambah sengsara hidupnya, mereka jadi kurang gizi, sementara BLT salah sasaran. Orang-orang kayalah yang menerima dan menikmati....”
“Aih ...aih ... mbregegeg ugeg ugeg sak dulita hml...hml... , pantes batin kula akhir-akhir ini gundah gulana, eh jebulnya Nduwarawati lagi sungkawa, nanging nggih Sinuwun , kula sak gotrah ikut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas musibah yang menimpa Dwarawati, semoga Sang Hyang Widi segera membebaskan negri ini dari segala bencana...”
“Terus kakang , menurut sampeyan apa kira-kira yang menyebabkan Dwarawati ini terkena musibah bertubi-tubi, apa ada yang salah dalam pengelolaan negri ini ?”
“ Aih ... kula niki ngertos menapa Sinuwun, lha wong sekolah mawon mboten tutug, ananging kula gadhah panggraita, bahwa bencana ini semua akibat dari rusaknya moral para abdi negara, dan para kaawula semua yang telah melupakan ajaran agama, mereka telah terkubur oleh kesenangan dunia, foya-foya, adu domba, saling membunuh, saling menyalahkan, saling memakan, dan saling memakan barang-barang yang bukan menjadi miliknya. Mereka nampak baik di permukaannya saja , Apik njaba bosok njero, berbagai jalan ditempuh untuk mendapatkan harta dan kedudukan, mulai dari mbajing, korupsi, nyolong, mbegal, memperkosa, sampai mengingkari ajaran Yang Maha Kuasa, nampak dengan jelas sekarang, bahwa para ulama dan umara berbaur tanpa rasa malu, merusak tatanan suci, meninggalkan ajaran-ajaran mulia, mereka melanggar aturan yang telah disepakati, tidak pantas lagi mereka menjadi panutan. Demikian juga adik sampeyan Raden Harjuna....”
“Ada apa kakang dengan dimas Harjuna ? “
“ Ketahuilah Sinuwun, Dia kini telah meninggalkan tugas dinas tanpa pamit, sudah berhari-hari bahkan berbulan-bulan dia bersenang-senang bercumbu asmara di Kahyangan Swargadahana ... dia datang ngantor kalau pas tanggal gajian saja ...”
“Oh kakang, saya kira belum saatnya masuk jaman Pralaya, aku yakin ini semua terjadi lantaran ada hubungannya dengan dimas Harjuna , untuk itu kakang , sampeyan ndak usah berkecil hati barangkali nanti Dimas Harjuna telah dikaruniai anak dengan istrinya yang di Swargadahana itu, maka semua bencana di negri ini bakal reda dengan sendirinya...”
“Aih...aih ..., orang besar itu kalau mau punya anak , lha kok bikin dunia ini seperti mau ambleg saja, eh, bareng yang meteng itu bojonya gareng, lha kok tidak segempar ini, Aih.., menawi mekaten sinuwun, berarti masalah ini telah terjawab dengan jelas, untuk itu sinuwun, kula nyuwun pamit, kula bade keliling jagad melacak dan ngawat-awati wiji sejati yang bakal turun itu ...”
“ Oh Hiya-iya kakang, aku hanya mendoakan keselamatan padamu, aku yakin bahwa engkau telah bisa menemukan makna di balik lakon ini ...”
“ Aih inggih, sampun Sinuwun , kula nyuwun pamit “ Bersambung

Dahuru BBM vs BLT Ki Setyo Handono

Dyan sembah niring ulun, kapurba risang murbeng rat, oooong..., sahananing kang dyan kanang sihing dasih, maweh boga sawegun, maksih ring delahan ooong.....ywan kanang pinujweng, ari jeng nayaka ningrat , oooong duteng rat kotama, manggya hanugraha , oooong ... len siswanta sagotra, ingkang wus minulya, oooong...ingkang wus minulya.....

Raras kang halenggah neng aparan rukmi, akarya asmara, hanawung sembada, hawingit weh wing wrin, wimbaning narpati siniwaka kadya, sang maha Bathara ooong...tumurun mandana prasidaning dadi, harjaning praja....

Pagi itu Kerajaan Dwarawati tengah berduka. Banyak penduduk yang terkena musibah berupa penyakit mendadak, miskin mendadak , bahkan mati mendadak. Hal itu tentu saja membuat panik Prabu Kresna sang penguasa negeri Dwarawati, yang dulu terkenal gemah ripah tata tentrem kertaraharja itu. Ibaratnya kini seperti kota mati, para penduduk jarang yang ber-aktivitas keluar rumah. Mereka lebih nyaman ttinggal berkumpul bersama keluarganya. Nyaris hal itu menyebabkan kantor atau instansi pemerintah dan swasta kegiatanya terhenti. Hal itu menambah parah keterpurukan pemerintah mengendalikan efektivitas kinerja para narapraja. Tidak terlihat sama sekali mereka bekerja ngantor, mereka lebih enjoy cangkrukan di kantin-kantin , atau memilih keluar kota berfoya-foya di hotel kelas melati bersama PIL dan WIL.
Sementara di Siti Hinggil Pendapa Dwarawati nampak Sang Parabu kedatangan putra sulung yang baru saja dipanggil, datang.

”Hyang sukmana adi linuwih lindungilah hambamu ini Gusti... , anakku ngger kulup Samba, semoga pertemuan ini tidak menjadikan hatimu gundah gulana, kulup Samba ”
” Kawula nuwun, setelah ananda menerima surat dari ayahnda hati saya menjadi gelap, ibaratnya saya ini akan mendapatkan hukum pidana yang teramat berat dari paduka, ada perasaan takut dan kawatir yang teramat dalam , siang hingga malam pikiran saya bergelayut, dosa apa sebenarnya ananda ini, sampai-sampai paduka memanggil kami secara mendadak...”
”Ngger kulup Samba, jangan terlalu dalam perasaan bersalahmu, saya tidak akan memberikan pidana kepada orang yang tak bersalah. Ayah tidak menemukan pelanggaran dalam pemerintahanmu, malah ingsun bangga denganmu ngger Kulup Samba, karena kamu telah berhasil membangun negeri dengan adil dan bijaksana, hal itu terbukti kamu mendapatkan Economic Awward , Adipura, dan kamu juga mendapatkan gelar adipati terbaik dan kreatif di negri ini, oleh karenanya aku matur nuwun banget dengan awakmu...”

Hatap para hapsari tumunton ring Sang Dwija, kadyengglawor sajiwa, ooong kagagas ing tyas dahat kewran ing karyanira, samya myat rengganing prabata .........

”Kulup Samba, bagaimana keadaan para penduduk di Dwarawati, sehubungan dengan kenaikan BBM dan pembagian BLT yang telah saya canangkan itu ? ”
”Kawula nuwun inggih kanjeng dewaji, sampai sekarang kemiskinan semakin meningkat tajam, kelaparan, kurang gizi, perampokan, korupsi, maling, copet, gendam, apus-apus, semakin merajalela. Kenaikan BBM bisa di terima asalkan tidak di ikuti oleh kenaikan harga , namun keadaan ini justru membuat para kapitalis berpesta-pora menindas rakyat kecil meradang, sakit pagi sore mati, sakit sore pagi mati, sedangkan BLT, ternyata menjadi Bantuan Lain Tangan, orang miskin yang mestinya berhak menerima, malah dilewati begitu saja oleh petugas desa...”
”Kulup ngger Samba, ibaratnya sekarang ini seperti kebakaran yang lagi menggila, nyalanya tengah meluap-luap, tidak ada kekuatan manusia manapun yang sanggup memadamkan api kejahatan ini, kecuali kekuatan dari Yang Maha Kuasa, oleh karenanya kulup, kamu jangan kehilangan kewaspadaan dan kesabaran, jangan putus asa, pantang menyerah memerangi kejahatan menegakkan kebaikan di muka bumi ini....”
”Kaka Prabu ...interupsi ”, tiba-tiba Harya Setyaki mengangkat tangan memotong keheningan.
”Iya, ada apa Setyaki ?”
”Nuwun sewu Kaka Prabu, sebenarnya keadaan ini telah kami usahakan sekuat tenaga untuk memeranginya, namun kekuatan itu nampaknya lebih besar daripada yang hamba perkirakan, untuk itu mohon maaf Kaka Prabu , hingga saat ini hamba belum bisa menghilangkannya...”

Siyang pantara ratri, hamung cipta pukulun, oooong..., tanna lyan kang kaeksi, mila katur ing kang cundamanik, prasasat rageng ulun kang sumembah mungwing padanta prabu myang kagunganta singsim sasat sampun prapti, katon asta pukulun wulaten narapati....Rama dewaningsun..

Saat lagi asyik dengan pembicaraan serius, tiba-tiba dari luar terdengar langkah-langkah cepat menuju gerbang siti hinggil Dwarawati, sang Prabu Kresna segera menyambut kedatangan tamu yang tak diundang itu .... Bersambung

SMS Apus-Apus Ki Setyo Handono

Ki Lurah Badranaya benar-benar tidak ingkar janji , dia berdua dengan Bagong berdiri tegak membusungkan dada sambil meng-aktifkan HP kuno yang diperolehnya dari hadiah pejabat yang sudah bosan memilikinya. Sementara Wasi Rajamala yang sedari tadi mengotak-atik nomor para Punakawan segera memberikan komando kepada Wasi Jayathoklik, dan Wasi Banaspati,
”Ngger segera kirimkan SMS maut itu bersamaan dengan preman-preman setan yang ndak kelihatan , suruh bunuh punakawan keparat itu, dan jangan lupa awakmu juga menghilanglah, kemudian cekik para ekstrimis itu...”
”Iya ibu...”
”Hus !!, jangan panggil seperti itu lagi, ntar ketahuan..”
”Sorri mami, aku lupa ”
Ki Lurah Badranaya hanya melihat ulah ketiga makhluk berjubah wasi itu sambil mesam-mesem. Dalam hati dia amat paham dengan seluruh bisik-bisik yang mereka lakukan, maklum walau dia itu sebenarnya adalah dewa ngejawantah , pantas walau sudah tua pendengarannya masih super tajam.
”Heh Rajamala, aja kesuwen hayo SMS abangmu enggal kirimna menyang HP-ku ...”
”Oh iyo tampanana Semar , inilah SMS mautku ....”
Bagong tertawa terkekeh-kekeh melihat ulah resi tolol yang sok sakti, yang ngaku-aku sebagai wali itu. Bagong dan Semar hanya berdiri tenang sambil membaca isi SMS maut itu, sesekali dia meminta untuk mengirim ulang SMS-nya itu...
”Heh resi yang suka memecah belah umat, hayo kirimkan sebanyak-banyaknya SMS mautmu itu, aku ndak bakal takut ..”
”Oh keparat kau Bagong, kau telah menghinaku di depan umum, he anakku ngger cah bagus hayo dirampungi wae ngger wong telu keparat iki ”
”Kasinggihan mami !!”

Ketiga pasangan itu segera saling hantam. Duel maut nampaknya tidak bisa dihindari, Ki Lurah Badranaya berhadapan langsung dengan Wasi Rajamala, Gareng melawan Wasi Jayathoklik, sedangkan Bagong menghadapi Wasi Banaspati. Pertempuran itu sebenarnya adalah pertempuran antar kerabat sendiri , perang sesama dewa, intinya hanya berebut wahyu Witaradya, yang kini sudah sudah berada di pihak Resi Kamunayasa secara sah dan telah mengantongi surat berbadan hukum resmi dari departemen hukum dan HAM. Sementara Wasi Rajamala hanya bermodalkan sok kuasa, dan legitimasi masyarakat yang mentasbihkan dirinya sebagai wali , yang dianggapnya sebagai sosok yang maha benar di atas semua makhluk di mayapada ini.
Tak terasa pertempuran itu telah berlangsung setengah jam. Ketiga wasi itu telah kehabisan tenaga, kemudian mereka bersimpuh di hadapan Ki Lurah Badranaya.
”Aduh kakang Ismaya, aku njaluk pangapura kakang ...”
”Aih...mbregegeg sakdulita hml...hml..., aku wis menduga sebelumnya bahwa kamu yang selalu membuat kerusuhan di muka bumi ini, heh Durga, hayo ndang bukaken jubahmu itu, demikian juga si Dewa Srani karo si Bethara Kala itu, hayo ndang di buka semua... Semar ora bakal pangling karo prejenganmu”
”Oh kasinggihan pikulun ...”
”Waah, ternyata kamu to, pantes bumi seperti berguncang keras, lha wong pejabat tinggi yang bertempur...” , ujar Petruk sambil membenahi rompinya yang kelihatan melorot.
”Hiya Petruk, sorry ya, aku telah membuat repot kalian..”
”Wis Durga !, berhubung ini sudah berakhir, aku njaluk karo kowe kabeh, jangan kamu ulangi lagi perbuatan jahatmu ini, wis sekarang juga kalian pulanglah ke Pasetran Gandamayit lagi, awas yen mbok ulangi kejahatan ini, tak musnahkan kamu”
”InsyaAlloh kakang, aku kapok ..., wis hayo ngger bali menyang kahyangan.”
”Pikulun kula nyuwun pamit...”
”Iya Kala, lan Srani, hayo enggal balio ke kahyangan , hati-hati ...”

Ketiga makhluk lambang kejahatan itu segera terbang meninggalkan Punakawan. Sementara itu Cantrik Supalwa dan Begawan Kamunayasa serta Bambang Sekutrem segera datang menghampiri para Punakawan. Mereka berenam segera terbenam di kegelapan kabut yang siang itu menyelimuti pertapan Saptaarga.
Mereka berenam, nampak haru bisa kembali lagi ke pertapan yang telah lama mereka tinggalkan, namun demikian mereka juga kelihatan bermuram durja, lantaran kondisi masyarakat yang carut-marut. Masyarakat sudah dibalut oleh paham kapitalisme, kanibalisme, hedonisme, ngawurisme, dan budaya malas bekerja dan berusaha. Bahkan pendidikan yang dulu menjadi andalan, kini merosot tajam, tertinggal dengan pertapan yang lain. Guru-guru yang diangkat oleh para kepala sekolah kelihatan amat ngawur, mereka yang masih belum layak, dipaksakan memberikan materi, sedangkan yang benar-benar layak mengajar dengan ijazah yang resmi nampak dicampakkan begitu saja lamtaran tidak ada hubungan kerabat dengan para kepala sekolah yang serakah itu.
”Kakang Ismaya, kita jangan putus asa ... barangkali inilah yang akan kita kerjakan bersama-sama untuk kembali membangun Saptaarga, mejadi lebih baik...”
”Syukur begawan, sampeyan sudah sadar akan semua masalah ini..., kula namung ndedonga mugi-mugi Saptaarga pulih seperti dulu kala, masyarakatnya guyub rukun, maju, cerdas, dan berkepribadian yang unggul , eh hayo thole... bareng-bareng mbangun Saptaarga ..”
”Eh hiya hayo Mo, aku ngetokne dhawuhmu ...” Selesai (Tancep Kayon)

Aji Serat Merah 08660666 Ki Setyo Handono

Pertempuran sengit tidak bisa dihindari lagi. Ki Lurah Badranaya trampil trengginas ketika menghadapi musuh-musuhnya. Tidak seperti kebanyakan orang tua di Saptaarga, Ki Lurah Semar walau sudah berumur lumayan uzur, tapi beliau ndak pernah mengeluhkan penyakit seperti keju linu, stroke, nyeri sendi, diabetes, kanker, mata katarak, alergi, bisul, apalagi jerawatan, semuanya ndak pernah sama sekali. Inilah barangkali konsep tradisional ala ndeso, yang selalu diugemi oleh Ki Lurah Badranaya di sepanjang hidupnya. Konsepnya sederhana, yaitu makan sebelum lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang. Menunya serba alami, ndak pakai bumbu kimia, seperti penyedap rasa, boraks, potas, baygon, nuklir, uranium, soda api, sodium nitrit, karbit, dan sebagainya. Di samping itu Ki Lurah Badranaya juga nglakoni tirakat (bukan ketingal rapi terus disikat), akan tetapi sebuah konsep ketat yang menjaga seluruh hawa rakusnya dengan meninggalkan bujukan-bujukan iblis dan demit yang menyaru sebagai duta kenikmatan sesaat.
Wasi Rajamala hanya plengggang-plenggong menyaksikan ulah Ki Nayantaka yang tidak gentar melawan dirinya. Dia sadar betul bahwa yang dihadapi adalah bukan orang sembarangan, tetapi makhluk yang sekelas dengan dewa atau wali. Jadi kalau Anda menyaksikan pertempuran kali ini, maka sebenarnya adalah perang saudara antara wali vs wali memperebutkan bendera, kursi, pengaruh, dan lauk pauk yang sama. Akan tetapi jika Anda jeli, maka hanya ada salah satu dewa sejati yang ada di sana, yaitu orang yang rendah hati, hidupnya sederhana, selalu menolong kepada sesama, tata tuturnya lemah lembut hati-hati, jujur, amanah, dan selalu berada di pihak yang benar, tidak menganggap dirinya dewa, kiai, orang besar ataupun apa saja yang mengharap agar dirinya dipuja ataupun disembah-sembah oleh orang lain, baik ketika masih hidup maupun kelak nanti sudah dimakamkan.
”Heh Semar !, apakah di dunia ini kekurangan anak muda yang lebih perkasa, apa cuma orang tua sepertimu yang berani maju mangadapiku, hayo kalau berani ajak semua preman-preman , perampok, para pencoleng di negeri ini , lawanlah aku bertiga ini ...”
”Auuuuh, mbregegeg ugeg..ugeg sakdulito hml...hml..., sumbarmu kaya-kayoa bisa njebolne gunung..., heh Rajamala !, apa mbok kira Semar bakal gigrik ngadepi kowe hiyo !!!, ah , no way..., hayo kalau berani jangan sumbarmu saja yang keluar, buktikan mana ajianmu yang kamu bilang tadi bisa mematikan orang jarak jauh ...”
”Oh , hiya Semar, ... ini adalah aji pamungkasku, namanya aji high tech, aku mendapatkan dari dewa tehnologi informatika, siapa saja yang menerima telepon atau SMS bakal mati kesetrum, kjet...kjet... terus muooodaaar ”
”Ah rumangsamu sing nggawe nyawa dan kehidupan itu apa kamu..., lha yen pancen tekdire mati pas telepon lha ya pancen mung tekan semono garise urip, jangan berpendapat mati karena telepon, tapi wis jadi kodrat..., kowe ojo nggawe kisruhe keyakinan penduduk Saptaarga kene, hayo yen pancen ajianmu itu bisa membunuhku jarak jauh , buktikan”
Wasi Rajamala segera merogoh kantong jubahnya. Diraihnya HP keluaran terbaru yang kelihatan teramat canggih, ada kamera, internet, televisi, sinar infra merah yang dapat untuk memotret organ tubuh wanita ketika berada di sekitarnya.......

”Nah Semar, lihatlah ini .....”
”Truk...Gong... Reng, coba thole delengen kae, Dewa iku yen kemajon gawanane HP, apa rumangsane yen wis bisa nggawe resahe penduduk terus marem apa piye ..”
”Kok nggawe resah iku piye ta Mo...”
”Lha iya, lha wong kirim SMS, jare aku oleh hadiah tujuhpuluhlima juta rupiah, karena berkat undian SMS yang ada di stasiun TV swasta, aneh !, lha wong romo ini gableg HP saja tidak, terus kirim SMS karo opo ?”
”Lha terus apa komentar sampeyan pak ?”, tanya Bagong, sambil mendongakkan wajahnya yang cebol
”Terus aku manggil anake Gareng, eh ngger reneo sebentar, ini simbah dapet SMS, tulung balesana...”
”Mbok balesi piye Mo ...”
”Tak kon nulis ngene thole ”Matur nuwun mas Bajingan, gandeng kula pun gadhah arta, pun hadian niku sampeyan untal piyambak ”
”Waah sampeyan itu nggak sopan Mo...”
”Lha yen kowe piye Truk ?”
”Lha nek aku, tak balesi ngene ’matur nuwun mas Bajingan, mbenjing injing sampeyan mang mriki, kula pethel ndas sampeyan....”
”Interupsi Mo !!, terus apa hubungannya si Rajamala dengan HP itu tadi ?”
”Oh iya Reng , dia pamer HP untuk mengeluarkan aji-aji Serat Merah 08660666, jare sapa sing nampa iku mau bakal mati kesetrum, piya kowe percaya apa ora....”
”Allaaaaah gombale mukiyo, hayo mo !, dicoba saja , seperti apa hebatnya ajian tersebut…”
“Eh hiyo hayo thole, nanging kamu jangan kehilangan kewaspadaan, sebab Rajamala dan teman-temannya itu terkenal licik...”
”Iyo Mo jangan kawatir, aku tetep prayitna, eh ayo Gong, ayo Truk Hpmu jangan sampai dimatikan, hayo kita buktikan kesaktian Wasi Rajamala...”
Keempat Punakawan segera menggeber gasnya , berlari kencang menembus debu-debu pekat sisa pertempuran Ki Lurah Semar dengan kubu Wasi Rajamala . Bersambung.

Duta Bathara Guru Ki Setyo Handono

Dipastikan pertempuran sengit bakal terjadi. Nala Gareng yang mempunyai penyakit darah tinggi, kontan ubun-ubu wasi Rajamala hingga mulutnya nyosor pas di kubangan kotoran kuda. Kontan sang wasi bangkit tertatih-tatih sambil misuh-misuh ...
”Jiangkrik , iblis laknat !, semprool , kurang ajiar !, asu eidan !! ”, sergah Wasi Rajamala sambil memegangi matanya yang penuh dengan kotoran kuda.
Bagong dan Petruk hanya cengengesan melihat ulah lucu wasi tolol yang baru saja kena tendangan ’warming up’ alias tendangan pemanasan. Sedangkan Ki Lurah Semar hanya mesam-mesem sambil sesekali menyedot cerutu lintingan yang selalu mengisi gembolannya .
”Heh Wasi Rajamala, ini baru pukulan pemanasan, hayo majuo kalau kamu pingin jadi jenang abang , hayo hadapi Nala Gareng, kalau perlu temenmu yang dua itu sekalian hadapi bersama-sama , Nala Gareng tidak bakal tinggal gelanggang colong playu !!”
”Wah sumbarmu seakan-akan bisa menghancurkan gunung batu, opo kamu itu ndak bermimpi Gareng, lihatlah tubuhmu yang cacat, berjalan saja ndak bisa tegak, apa ya mungkin kalau pertempuran ini dilanjutkan kamu terus bisa mengalahkanku..”
”Oooo, dasar kamu itu menungsa ora enak, opo dikiro kalau sudah cacat begini akau tidak berani denganmu. Lu jangan menyepelekan Gareng, jelek-jelek begini aku pernah jadi Ratu, aku sering mendapatkan penghargaan, jangankan hanya melawan denganmu hayo kalau berani sekalian Bethara Guru kamu ajak ke sini !!”
”Sik...sik... Reng !, sadar...sadar..., omonganmu jangan ngawur... kamu sadar enggak Bethara Guru itu siapa ?, dia itu pikulun panutane awake dhewe, dia itu dewane para Guru ing jagad pendidikan, kamu jangan sembrana lho”
”Ora opo-opo sing penting aku sak iki jadi jagoan yang bakal menghancurkan kemaksiatan yang ada di Saptaarga ini, aku pokoke tidak takut dengan siapa saja termasuk Bethara Guru...”
”Wis Truk , ora usah diurus ccangkeme Gareng, ibarate dia itu seperti api yang lagi membara, jangan dihalang-halangi , nanti malah semua diamuk, dewekne itu kan juga lagi banyak masalah..”
”Masalah apa Gong ”
”Dia kan itu akhir-akhir ini lagi mangkel dengan Pikulun bethara Guru, gara-gara ada SK terbaru yang mengharuskan setiap pegawai termasuk kang Gareng untuk membayar iuran wajib pembuatan gedung pertemuan Guru, milik pikulun Bethara Guru sendiri...”
”Terus pira Gong potongan gajine ”
”Beda-beda Truk !, lha yen seperti kita ini cukup pitungpuluh lima ewu rupiah, lha yen kaya kekekne satusewu rupiah diangsur ping lima...”
”Waaa...pantes Gareng ngamuk, lha wong potongane sakmono akehe, sejene ngono kan Gareng sendiri kan masih banyak menanggung hutang, seluruh ijasah, sertifikat, piagam penghargaan, semua disekolahkan agar dapat beasiswa, durung anake kang Gareng yang kebetulan akhir-akhir ini mau melanjutkan sekolah...”
”Lha nek manut keterangane Gareng, daripada untuk membangun gedung baru, lha mbok iyao gedung-gedung yang tidak dimanfaatkan itu difungsikan, contohnya gedungnya ketua dewan, dan sebagainya. Itu jelas lebih bermanfaat dan lebih ngirit, jangan dipandang angsuran itu sedikit bagi orang seperti kang Gareng itu”
”Eih...eih... mbregegeg ugeg-ugeg sakdulita hml...hml..., thole Bagong dan Petruk , aku kok jadi ora betah ngrungokkan omonganmu, kabeh mau ona benere dan juga ada salahnya, kabeh-kabehe sama-sama memerlukan solusi yang arif dan bijaksana, jangan malah mengedepankan emosinya...”
”Waah iya kok Mo !, awake dewe kudu luwih dewasa lan bijaksana, aja kaya para punggawa lan para panguwasa yang ada di atas sana, sedikit-sedikit menimbulkan perselisihan, perpecahan, yang akibatnya merugikan wong cilik seperti kita-kita ini.., wis ngene wae thole jangan hilang kewaspadaanmu, coba lihat kakangmu di sana sedang berjuang sendirian, eh hayo thole mesakne kakangmu, hayo podho direwangi...”
”Oh hiya Mo, ayo Gong ”
“Ayo Truk “

Ketiganya segera berlari membantu Nala Gareng yang tengah bertempur melawan tiga wasi yang konon katanya utusan Bethara Guru itu.
Gareng kelihatan mulai kehabisan pertamina, eh stamina. Tubuhnya yang dekil dan pincang, sempoyongan menjadi bulan-bulanan , hantam kanan kiri, depan belakang. Ki Nayantaka yang melihat keadaan ini segera berlari secepat kilat...
”Heh Rajamala !, pantes kowe bisa mengalahkan anakku Nala Gareng. Hayo yen wani aja karo bocah cilik , iki adepana dlondonge Karang Kedempel...”
”Wah ora sumbut karo sesumbare, nyatane Gareng yang katanya bisa mengalahkan Bathara Guru, tapi hanya satu kali pukulan saja sudah ndlosor, apalagi yang maju sekarang hanyalah orang tua yang sudah tidak punya kekuatan lagi, heh hayo Semar, kalu kamu memang berani hayo majulah...”
”Oh bakal ndak gawe wirang kowe “
Pertempuran jilid baru tak bisa dihindari. Ki Lurah Nayantaka langsung menghadapi tiga wasi. Walau tubuhnya sudah kelihatan renta tapi kesigapannya nampak luar biasa dan sangat mematikan lawan yang menghadangnya.
“Heh Semar !, nampaknya kalau kita hanya perang pisik sepertinya pertempuran ini tidak bakal berakhir, untuk itu bagaimana kalau kita adu kanuragan saja...”
“Waah itu aku sangat setuju, hayo Rajamala ndang bukalah cadar yang ada diwajahmu itu, Semar ora pangling dengan wajah palsumu itu “
Dalam hati ketiga wasi itu mulai grogi, sebab yang dihadapi bukanlah orang sembarangan, tetapi manusia setengah dewa , sejajar dengan wali ke sepuluh yang kini hidup menjadi sesembahan manusia di mayapada.
“Oh iya Semar kalau begitu terimalah pukulanku yang pertama ini... ciaaaaattttttttttttt !!!”
“Iya Rajamala..., kamu juga wajib mencium bau kentut uraniumku ini ...., eih !!, rasakan Rajamala ...wuuuuuuussssssss”
“Adu !!!!!, kakang Semar....”
Bersambung

Wasi Rajamala Ki Setyo Handono

Bekas perayaan pesta wisuda masih nampak berserakan. Sampah-sampah plastik bekas gelas air mineral, kotak kardus bekas pembungkus ‘nasi kotak’ , tisu kertas berwarna jambon, potongan-potongan janur bekas dekorasi, semuanya masih tercecer disekitar pendapa Alang-alang Kumitir. Pasukan kuning nampak kelihatan loyo, lamban kurang gizi. Maklumlah mereka adalah lambang-lambang kehidupan manusia yang hidupnya kesrakat, mereka adalah manusia yang besar jasanya, tapi tak seorangpun mau memberikan imbalan yang pantas kepadanya. Sementara para pejabat lebih perhatian kepada para pengusaha, kolega, dan para wanita muda jelita yang suka menggoda. Pasukan kuning tetaplah giginya kuning, penyakitnya kuning, ndak mampu membeli odol dan sikat gigi, apalagi membeli sekilo gula untuk mengobati penyakit kuningnya. Tapi walau demikian mereka adalah manusia yang senantiasa memikirkan kebersihan, mereka tidak membiarkan begitu saja sampah-sampah kota , kotoran-kotoran selokan, kotoran-kotoran hati bersemayam dalam kehidupannya. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa sejati, gaji rendah tapi tetap berbakti, walau lampu kuning penuh janji tetap menyinari raut wajahnya.
Sementara itu nun jauh di ujung perbatasan antara Kahyangan dengan atmosfir mayapada, nampak rombongan Begawan Kamunayasa dihantar oleh Punakawan, Kyai Semar, Nala Gareng, Lurah Kanthongbolong, dan Bagong kelihatan tergesa-gesa seperti ingin segera sampai di pertapan Saptaarga. Tak jemu-jemu Semar selalu mengingatkan Begawan Kamunayasa untuk berhati-hati, sebab tidak mustahil di tengah perjalanan bakal ketemu preman, tukang jambret, tukang kutil, dan sebagainya. Begawan Kamunayasa dan Bambang Sekutrem alias Bathara Darma sangat menghormati semua nasihat dari Ki Nayantaka tersebut. Mereka paham betul siapa Ki Lurah semar tersebut. Baru saja mereka mengangguk tiba-tiba dari balik semak belukar muncul tiga orang yang menghadangnya…
“Heh ! keparat iblis laknat, siapa kalian ber-tujuh berani masuk wilayah kekuasaanku, hayo !!, mengakulah “
“Omm, awignam astu, kisanak, jauh asalku, aku lewat tanpa sengaja ternyata ini adalah wilayah kekuasaan panjenengan ta, oh kalau begitu kisanak, berilah ampun kesalahanku ini, sebab aku ndak sengaja kok “
“Ha…ha…ha…, kok enak banget, lha wong jelas-jelas kalian ini telah melanggar hokum lha kok hanya minta maaf …”
“Nanti dulu kisanak , kenalkan nama saya Semar, aku akan menjelaskan duduk perkara bendaraku ini, sampeyan jangan grusa-grusu mau menghukum bendaraku, teliti dulu dong, kami ini tahu hokum , tau tatakrama, tidak mungkin kami ngawur masuk wilayah otrang tanpa ijin, kami ini benar-benar kehilangan arah…” sahut Semar dengan nada tinggi.
“ Ha…ha…ha…, kalian aku ijinkan pulang tapi ada syaratnya, yaitu barang yang kalian bawa itu harus diserahkan kepadaku bertiga ini, kalau nggak mau menyerahkan maka sebagai gantinya kalian semua akan aku lumatkan ….”

Jumangkah hanggra sesumbar, lindhu bumi gonjing, gumaludhug guntur ketug, umob kang jaladri, onggggg…

Mendengar kenekatan seseorang yang menghadangnya membuat Ki Lurah Badranaya beserta anak-anaknya sudah tidak bisa dibendung lagi. Gareng, Petruk dan Bagong segera melompat memegang tiga preman yang nekad tersebut
“Heh menungsa keparat !, wujudmu adalah seorang wasi, seorang resi, seorang brahmana, tapi kenapa sifatmu seperti raksasa saja, hayo berterus teranglah siapa kalian ini sebenarnya” sergah Petruk sambil tangannya berkacak pinggang.
“Heh bocah duwur elek rupamu, jenengmu Petruk, yang belakakangnya Gareng , dan yang lambene ndomble itu mesti Bagong… iya ta”
Petruk agak kaget begitu namanya disebut, demikian pula dengan Gareng dan Bagong. Petruk segera menggeser posisi kakinya ke belakang. Dalam hatinya ia harus meningkatkan kewaspadaan.
“Ketahuilah Petruk, namaku Wasi Rajamala, yang dibelakangku Wasi Jayathoklik, dan yang paling besar itu Wasi Banaspati..”
“Terus niat sampeyan menyegat rombongan saya ini apa ?”
“Tidak tedheng aling-aling bahwa niatku hanyalah satu yaitu merebut brankas yang kalian bawa itu, kedua kalinya aku diutus oleh Sang Hyang Guru untuk melenyapkan Bambang Sekutrem. Karena Bambang Sekutrem dianggap menyaingi kekuasan para dewa…”
“Sik…sik … aku tak motong pembicaraanmu, heh ! Resi Rajamala, nitik jenengmu wae aku wis curigation, dari luarnya saja kamu itu pendeta, tapi dalammu itu seperti udun alias bisul, baik luarnya tapi busuk dalamnya, kowe jangan ngaku-aku kalau kamu utusan dewa, wis sekarang juga kalian harus pergi dari hadapanku, kalau kamu ndak mau minggat maka Semar yang akan menghajarmu !!”

Tandya bala Pandhawa mbyuk gumulung mangungsir, ring sata kurawa kambah…ooong…
“Weladalah iblis laknat jag-jagan.. keparat !, ini sajaknya sudah ndak bisa di ngeman lagi, he adimas Jayathoklik, dan adimas Banaspati, hayo menungsa Punakawan ini kita rangket, kita cincang tubuhnya untuk kita jadikan ramuan pupuk bersubsidi..”
“Oh kasinggihan kakang !”, “sendika dhawuh kakang , hayo dhi majuuuuu”
Tanpa membuang waktu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong segera meladeni tiga wasi tersebut dengan peralatan seadanya. Bersambung

Bathara Darma Winisuda Ki Setyo Handono

Pagi itu sudah tiba saatnya wisuda dan pelantikan Bambang Sekutrem mendapatkan gelar Bethara Darma dimulai. Suasana menjadi hening seketika. Para undangan mulai dari adipati hingga lurah dan ketua RT se Kabupaten Alang-alang Kumitir hadir semua. Nampak juga para politisi wakil rakyat duduk di tengah-tengah undangan, sambil menikmati tidurnya dengan pulas, setelah semalaman kluyuran menghambur-hamburkan honor sidang pleno PERDA (PERumusan Dum-duman Anggaran), di hotel-hotel setempat. Mereka ndak peduli dengan acara yang baginya tidak menarik blas, biarlah media masa menyorotnya, paling-paling mereka bosan sendiri, wakil rakyat harus kebal ndableg dan menghindari sifat malu, jawabnya dalam hati ketus.
Sementara itu di luar arena sidang, nampak kerumunan LSM sedang membuat acara terpisah, syukuran atas kepindahan kepala pengadilan yang arogan. Mereka berharap kepada pengganti yang baru lebih lunak, alias Lumayan eNak, sehingga luar dalam menjadi nyaman. Tidak beberapa lama kemudian dari dalam gedung terdengar pembawa acara wisuda membacakan acara , bahwa Bathara Narada segera mewisuda Bambang Sekutrem menjadi Bethara Darma. Hadirin nampak berdiri. Seluruh undangan nampak berseri-seri dengan mengenakan jas pejabat dan berdasi. Kontan seluruh punggawa LSM semburat menyaksikan prosesi tersebut. Hanya mantan Adipati Alang-alang Kumitir yang ndak kelihatan batang hidungnya. Dia mungkin sengaja tidak hadir setelah ketahuan bahwa dirinya korupsi mengenai pengadaan seragam Hansip. Kini yang menjadi tertuduh hanyalah orang-orang yang ndak tahu permasalahannya.
Alunan gamelan segera terdengar melembut syahdu. Ki Dalang Megelne Ati, segera mengalunkan suluk sebagai pertanda prosesi puncak dimulai. Gendhing Pathet Lasem terdengar melemah, “Ong…ooongggg, dene utamaning nata, berbudi bawa leksana, Oooong, lire berbudi mangkana, lila legawa ing ndriya, hanggung denya paring dana, hanggeganjar sabendina, lire kang bawa leksana, hanetepi pangandika… Ooooong … ooong.
“Pragenjong-pragenjong pak..pak pong anggota dewan udele bodong, matane ngantuk pikirane kosong, theklak-thekluk ora isin dideleleng wong, usulane mung kanggo kanthong, esuk ngomong sore bolong, kanthong bolong pikirane mung nyolong….heh Bambang Sekutrem ngger, mbokmenawa Jawata sudah menakdirken kepadamu ngger, dene hari ini Kemis Kliwon pitulas April mbarengi terbite Koran iki, jeneng kita antuk penghargaan tertinggi dari jawata, berupa gelar baru yaitu Bathara Darma. Gelar ini amat pas nggo awakmu minangka penghargaan atas prestasimu mengalahkan musuh-musuh dewa di Kahyangan Suralaya ini, untuk itu ngger Bethara Darma, Pimpinan Pusat Kadewatan telah menetapkan kepada siapa saja yang menerima gelar ini, kelak besuk akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa yang unggul dan berbudi bawa leksana, berhubung yang menerima awakmu maka secara otomatis maka kamu besuk bakal memperoleh keturunan yang luhur itu …”
“Aduh pikulun …, tidak bisa terbayangkan betapa bahagia hati kami, ibaratnya seperti tertimbun guguran bunga melati, tersiram lautan madu, hati hamba jadi teduh dan bahagia, pikulun . Hamba hanya mengucapkan ribuan terima kasih dan syukur sedalam-dalamnya ….”
“Eih …eih mbregegeg ugeg ugeg sakdulita hml…hml…, semono uga aku Nerada, aku sak omah juga ikut berbahagia atas pemberian gelar ini, untuk itu Nerada aku , Semar , dan seluruh anakku berjanji bakal mengawal dan mengabdi kepada anak turun Bethara Darma , menjaga dari mara bahaya dan melindungi dari semua perbuatan-perbuatan jahat, untuk itu ngger Gareng, Petruk , dan Bagong, tugase awaknya dewe hayo segera kita antar Bathara Darma pulang, memperbaiki moral-moral penduduk sana yang telah rusak…”
“Weeeee, mbok ya jangan kesusu ta kakang, hidangannya belum dikeluarkan, la mbok besok pagi saja , nanti kan masih ada hiburan Seleb Show, ha…ha…ha..”
“Eh ora Nerada, aku kudu ndang mulih, eh hayo thole podho pamitan karo om-mu Bandhul Nerada “
“Pikulun , kula Petruk, Kang Gareng dan Bagong nyuwun pamit “.
“Eh Nerada, ini sajaknya aku wis entuk gawe, bendaraku Bambang Sekutrem sudah dapat anugrah dewa, mula saka kuwi aku sak rombongan bakal njaluk pamit, mesakkan kawula Saptaarga sing lagi nandang sengsara, wis Nerada, aku pamit “
“Oh iya kakang , aku mung muji muga-muga kakang slamet …, salamku wae untuk semuanya “ Bersambung

Amanah Sang Hyang Wenang

Tidak dapat dibayangakan betapa nikmatnya tinggal di swarga dahana Alang-alang Kumitir, para Punakawan nampak enggan beranjak meninggalkan tempat itu. Mereka rasanya ingin berlama-lama tinggal di sana, namun karena tugasnya belum selesai, maka mereka harus secepatnya meninggalkan Alang-alang Kumitir , untuk segera menemui Begawan Kamunayasa beserta pengikutnya di Kahyangan Pangudal-udal tempat Resi Narada tinggal.
Memang orang-orang pengikut Resi Wicaradora ketika di Saptaarga mengira bahwa Begawan Kamunayasa dipenjara, akan tetapi rupanya dewa lebih tahu tentang hukum, sehingga mereka tidak akan ‘mengadili’ seseorang tanpa melalui proses hukum positif yang berlaku. Lurah Saptaarga mengira bahwa posisinya sekarang sudah aman, seandainya Begawan Kamunayasa menuntut balik, maka pasal-pasal berlapis akan justru bisa menjeratnya masuk ke dalam penjara. Mulai dari melecehkan orang didepan umum, bahkan menasional lewat media siar, memanggil secara paksa, mengadili –yang bukan menjadi wewenangnya-, memfitnah, menghina di hadapan orang banyak, memalsu data, menghasut masa, menipu , dan sebagainya. Untung Resi Narada bisa meredam gejolak emosi Begawan Kamunayasa,
“Eh, pak-pak pong kayu glondong di colong wong, alas gede kari critane, eh ngger Kamunayasa, you jangan emosi berlebihan, wis ngger iklasken saja, percayalah dan yakin bahwa siapa yang sabar bakal subur, elingana ya ‘becik ketitik ala ketara’ , sapa sing nandur bakal ngundhuh, siapa yang menanam kejahatan mesthi ujung-ujungnya bakal menerima kesengsaraan, wis ya ngger… aja diwales…aja diwales, kowe ngibadaha sing mempeng lan sabar , istiqomah tidak mencampuradukkan yang benar dan yang salah, jangan ada syirik , riak, takabur, dalam setiap amal dan ngibadahmu, methi Gusti Kang Akarya Jagad bakal paring ganjaran kemuliaan, sebaliknya jika seorang hamba atau kelompok sudah punya niat jahat , titenana ngibadah lan dongane ora bakal ditampa karo sing Kuasa..”
“Inggih pikulun “
“Wis ngger , hayo ulun anter ke sanggar pamujan , buanglah semua kotoran hatimu”
“Mari pikulun”
Sementara itu di Alang-alang Kumitir , Ki Lurah Semar beserta anak-anaknya tengah mengikuti pembekalan semacam work shop dengan pembelajaran Accelerated Learning , banyak hal yang telah mereka dapatkan, diantaranya adalah pembelajaran yang kontekstual, dan menyenangkan. Lumayan bisa digunakan untuk mendidik para anak-anak kesatria yang bakal di suwitani.
“Ismaya , mbokmenawa bekal yang ulun beriken kepadamu ulun rasa sudah cukup untuk menghantarken kalian sebagai insane kamil, untuk itu Ismaya dua hari kemudian kalian harus meninggalkan tempat ini, terus pergilah ke Kahyangan Pangudal-udal..”
“Lho kok ke rumah pikulun Narada ?”
“ Hiya Petruk, ndik sana Begawan Kamunayasa tengah menunggu kalian semua, untuk itu Petruk , kamu ulun percaya membawa SK Wahyu Witaradya ini, nanti beriken kepada Resi Narada biar wahyu ini diberikan kepada Begawan Kamunayasa, sebab dialah yang mempunyai nomer pin-nya”
Tanpa banyak membuang waktu Petruk segera meneima SK tersebut, kemudian bersama dengan Ki Lurah Semar, Gareng , dan Bagong segera berpamitan menuju kahyangan Pangudal-udal. Bersambung

Batara Darma

“Hong thethe dewangkara Rudra manik raja dewaku , ini seperti Drs. Dewa Srani , M.Si. putraku yang datang, kulup ngger Dewa Srani kepriye ngger apakah wahyu Witaradya berhasil kamu dapatken….”
Oooonggg, surem ..surem diwangkara kingkin, lir manguswa kang layon…..denya ilang kang memanise, wadana- nira layung kumel kucem rahnya maratani, ooooong…..
Dewa Srani tiba-tiba merangkul ibundanya, air mata kekecewaan telah membasahi baju PSH terbarunya. Bethari Durga tersenyum kecut, diraihnya anaknya dalam pelukannya. Dewa Srani bertambah haru, suara tangisnya tambah menjadi-jadi, Bethara Kala yang biasanya garang dan galak nampak terharu melihat tingkah polah ibu dan saudaranya itu. Bethara Kala ikut meneteskan air mata, diambilnya gombal lap lantai untuk mengusap mukanya yang basah oleh air matanya…, tapi dia tiba-tiba misuh-misuh lantaran lap lantai yang dipakainya ternyata terdapat tai kucing yang masih basah….”jiangkrik asu edan !!!, gobale penuh tai kucing !”, desah Bethara kala sambil lari ke jading.
“Sorry mami, anakmu gagal mendapatkan wahyu Witaradya, aku kalah voting melawan Begawan Kamunayasa…”
“Hong thethe dewangkara Rudra manik raja dewaku , ngger Srani, awakmu jangan kuwatir ngger, mami akan selalu berusaha agar wahyu itu bisa diberiken kepadamu, untuk itu ngger, kamu berdua ndak usah ikut mami, mami akan langsung merebut wahyu itu di kahyangan Pangudal-udal, wis ya ngger hati-hati di rumah, jaga seluruh pintu masuk, hati-hati jangan menerima tamu sembarangan, matikan kompor dan berhemat penggunaan listrik, mami akan pergi “
“Ya mami “
Bethari Durga segera melesat terbang menuju kahyangan Pangudal-udal , untuk membuat keonaran, melobi tokoh-tokoh di sana agar mau menuruti niatnya memboyong wahyu Witaradya yang bukan menjadi haknya. Memang tokoh yang satu ini licik, bengis dan pinter adu-adu, tak heran jika banyak pejabat atau pimpinan pusat yang goyah imannya.
Sementara itu di DOME kahyangan Pangudal-udal suasananya nampak meriah. Para undangan nampak berbusana adat daerahnya masing-masing, Semar , Gareng , Petruk, dan Bagong kelihatan duduk di kursi undangan paling depan, didampingi Resi Narada. Undangan pada waktu itu disuguhi hiburan group Band BBM Semakin Langka, penyanyi wanitanya cantik-cantik, pengiring musiknya kelihatan profesional sekali, maklum jika sekarang tanggapanya selangit, orang kecil nggak bisa menjangkaunya
“Gong, sejak tadi kamu itu kok nggak bisa diam to ?“
“Ah !, ini lho Truk, baju jas-nya terlalu ketat, perutku mbledeh, udelku kelihatan, napasku jadi sesak, sementara acaranya ndak dimula-mulai, jam karet, jam kolor terus membudaya molor, ayo Truk bilang sama pikulun Bandhul Nerada, acaranya ndang dimulai, aku sudah ndak betah “
“Iya Truk cepat bilang sana pada ulun Narada, aku jga ndak betah, jasku kebesaran, celananya kedodoran” ujar Gareng sambil menahan celana panjangnya yang bolak-balik melorot.
“Huuuuuuu, mbregegeg ugeg-ugeg sak dulita hemel…hemel … he thole kamu jangan membikin kemaluan , hayo duduk !, lihat sana pembawa acaranya segera memulai acaranya”
“Iya Mo”
Hadirin segera menghentikan canda tawanya. Pembawa acara dari stasiun televisi lokal nampak membacakan secarik kertas, tata upacara penyerahan SK Wahyu Witaradya segera dimulai. Begawan Kamunayasa, Cantrik Supalwa, dan Bambang Sekutrem nampak duduk di kursi VIP didampingi oleh Resi Narada. Wajahnya nampak berbinar bercahaya ceria. Begitupun Sang Resi Kanekaputra alias Narada, wajahnya nampak ceria, ditambah baju warna merah yang bermotifkan kembang, menambah keceriaan itu semakin berbunga-bunga. Tidak beberapa lama protokol memberitahukan bahwa acara pertama adalah sambutan yang akan disampaikan Pikulun Narada. Hadirin diminta berdiri. Spontan merekapun berdiri, Pikulun Narada yang cebol nyaris tidak nampak ketika beliau berjalan di tengah para undangan. Hal ini tentu saja menyulitkan para juru kamera yang mau mengabadikannya.
Dalam sambutannya Resi Narada menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan wayang. Beliau meminta kepada yang kalah voting agar merelakan dengan tulus dan ikhlas, bahwa semua itu sudah diatur oleh Sang Hyang Wenang, seorang wayang harus menerimanya , sebab sifatnya wahyu tidak bisa diminta, akan tetapi akan diberikan langsung oleh Sang Hyang Wenang kepada siapa saja yang pantas dan berhak, atau kewahyon. Dalam akhir sambutannya beliau membacakan SK. Pimpinan Pusat Kahyangan Alang-alang Kumitir, bahwa wahyu ditetapkan kepada Bambang Sekutrem putra Begawan Kamunayasa. Hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan meriah sekali.
“Hadirin, fadilah wahyu Witaradya ini adalah kelak nantinya Bambang Sekutrem akan melahirkan tokoh-tokoh satriya yang memiliki keunggulan dan kompetensi yang luar biasa, untuk itu kepada kamu ngger Sekutrem atas nama dewa-dewa di Kahyangan, ulun mengucapken selamat atas anugrah ini, dan ulun tadi pagi mendapatkan tlepon dari Sang Hyang Wenang, bahwa kamu juga mendapatkan gelar mulia dengan sebutan nama baru “Batara Darma”, karena kamu sudah banyak darmanya kepada kahyangan, kamu telah berhasil menumpas teroris yang membahayakan kahyangan, untuk itu ngger mulai hari ini awakmu mempunyai nama baru yaitu Betara Darma, dan kepada petugas catatan sipil, agar segera membukukan nama ini kedalam catatan resmi “. Bersambung