Selasa, 23 Juni 2009

Sastra Lisan Jemblung Katong Wecana 2

BAB II
KAJIAN TEORI


A. Cerita Rakyat Jemblung
Seni Jemblung Katong Wecana adalah cerita rakyat yang diciptakan oleh Raden Bathara Katong , Bupati Ponorogo yang pertama. Raden Bathara Katong adalah seorang punggawa kerajaan Demak yang diutus oleh Raden Patah untuk ”babad alas” di wilayah sekitar gunung Lawu , tepatnya di sekitar daerah Magetan (sekarang) hingga sampai ke arah gunung Wilis dan laut selatan, termasuk di dalamnya wilayah Ponorogo. Di samping mendapatkan amanat untuk “babad alas”, Raden Bathara Katong juga mendapatkan perintah untuk melakukan penyebaran agama Islam di daerah baru tersebut. Dan akhirnya Raden Bathara Katong memilih menetap di Ponorogo hingga akhir hayatnya (Wawancara dengan Moh. Yususf, 21 April 2007)*.
Penamaan Jemblung Katong Wecana tersebut karena Raden Katong ingin mengabadikan namanya di dalam seni yang beliau ciptakan, sekaligus juga agar kesenian jemblung ini dapat digunakan untuk sarana penyebaran Islam di Ponorogo dengan mudah.
Dalam sejarahnya kesenian Jemblung Katong Wecana awalnya hanya terdiri dari dalang saja. Sedangkan mendongengnya dengan lisan seperti macapat sebagaimana sastra lisan gaya Pesisiran seperti di daerah Demak, asalnya. Dan inilah yang tidak begitu diminati oleh masyarakat Ponorogo, karena pada waktu itu masyarakat Ponorogo lebih menyukai wayang kulit dan seni reog, karena penampilannya yang lebih komplit dan menarik. Kemudian dengan mempertimbangkan selera masyarakat yang seperti tersebut, Jemblung Katong Wecana dalam perkembangannya digubah meniru apa yang dilakukan dalam pertunjukan reog dan wayang kulit. Bedanya kesenian Jemblung ini tetap pada dongeng lisan tanpa boneka kulit seperti halnya wayang kulit, yang ditiru sebatas pada instrumen gamelannya saja.
Kata jemblung lahir dari suara instrumen musiknya yang berbunyi blung…blung…blung….Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata jemblung didasarkan pada salah satu tokoh cerita Menak yang bernama Jemblung-Marmadi, yaitu seorang tokoh cerita yang berperut buncit. Di dalam bahasa Jawa orang yang berperut buncit disebut njemblung (Hutomo,2001:35)
Pendapat yang terakhir merupakan pendapat yang kurang tepat, sebab dalang jemblung tidak hanya menuturkan cerita Menak saja, akan tetapi dalang jemblung juga menuturkan cerita-cerita lainnya, misalnya cerita Panji dan cerita Sawungggaling. Adapun kata jemblung banyak terdengar di daerah Kediri, Tulungagung, dan Ponorogo (Hutomo,2001:35)
Gamelan yang dipakai dalam pergelaran jemblung hanya dipilih empat macam saja yaitu; saron, kenong, kendang, dan gong, kemudian perangkat gamelan tersebut dipoles dengan makna Islam. Ningna menurut Muhammad Yusup merupakan keratabasa (memaknai kata dengan mengotak-atik dan dihubung-hubungkan dengan kata yang bermakna.(Lihat Purwadi:2001:49)) berarti camkan secara mendalam ajaran Islam, berasal dari suara gamelan saron; thukna, dalam keratabasa berarti terapkan atau amalkanlah ajaran Islam yang telah diperoleh , suara dari gamelan kenong; ndang-ndang dalam keratabasa berarti bersegeralah memeluk Islam dan mengamalkan ajarannya. Sedangkan sang dalang ketika mendongeng memegang alat musik terbang sambil membawakan cerita yang dilakonkan. Terbang ini adalah perangkat asli yang terdapat dalam kesenian jemblung. Alat terbang ini bersuara heem yang dimaknai oleh Muhammad Yusup sebagai ekspresi kepuasan orang yang telah mengamalkan ajaran Islam dengan sempurna. Sementara adegan gara-gara yang terdapat dalam adegan wayang kulit, diganti dengan adegan tingkahan dan selingan (carangan). Adegan ini ditandai dengan senggakan”Ya lailo Rasolollah” atau “Ella allo hake lollah, allah allo allah”, atau “Ibrohim Hailollah”. Pada adegan selingan ini diisi dengan cerita humor dan penyuluhan sesuatu yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan (Wawancara 29 April 2007)*.
Menurut Muhammad Yusup sang dalang jemblung , bahwa kata “jemblung” berarti “mendengarkan” , artinya ketika orang menyimak cerita yang sedang dipaparkan oleh sang dalang, maka mereka akan ‘jenjem’ (tentram hatinya ), karena apa yang dipaparkan itu benar-benar mampu menyentuh kalbu dan perasaan damai. (Keterangan ini terdapat dalam kaset rekaman pergelaran cerita “Payung Tunggulnaga”). Selain itu mereka terpana dengan kemampuan sang dalang yang tiba-tiba bisa menguasai seluruh cerita dan ilmu pedalangan, padahal sang dalang tidak pernah belajar kepada siapapun tentang ilmu pedalangannya
Cerita jemblung bagi masyarakat desa bukan sekedar cerita fiksi untuk hiburan saja, tetapi cerita ini mengandung pasemon atau lambang kehidupan manusia. Dengan demikian cerita jemblung Katong Wecana ini memegang peranan penting dalam gerak hidup masyarakat Ponorogo umumnya, dan warga Kelurahan Setono khususnya. Karena itulah cerita ini dipergunakan oleh masyarakat Ponorogo untuk berbagai keperluan, misalnya ; acara perkawinan, khitanan, tingkeban, ngruwat (ritual untuk membersihkan tempat dari gangguan roh jahat), dan sebagainya. Sifat pementasan jemblung berarti bisa dilakukan secara individual dan kolektif. Harapan yang mereka inginkan adalah sebuah kehidupan yang tenteram damai, terhindar dari segala mara bahaya, setelah sang dalang membersihkan ‘sukerta’ atau gangguan roh jahat yang ada di sekelilingnya (Hutomo,2001:35-36).
Apabila upacara merayakan tingkeban, yakni perayaan atau upacara orang hamil tujuh bulan, maka rang Islam santri akan memilih cerita Laire Nabi Musa, Laire Nabi Yusup, sedangkan bagi mereka yang Islam abangan, maka cerita Laire Jaka Tarub, sangat cocok dengan mereka (Hutomo,2001:36).
Jemblung di dalam kepustakaan Poensen (1972 ) dikaitkan dengan kentrung dalam kaitan instrumen musiknya yang sama-sama menggunakan terbang. Kemudian menyusul karangan Pigeaud (1938a) menyebut bahwa kata jemblung dan kentrung ada kaitannya dengan seni bercerita yang dijajakan secara berkeliling atau ngamen dengan iringan terbang. Dan kata jemblung kadang-kadang diucapkan cemblung, juga digunakan untuk menyebut gamelan speler atau pemain gamelan di daerah Banyuwangi (Hutomo,2001: 53 ).
Pigeaud sebagaimana yang dikutip Suripan Sadi Hutomo mengatakan bahwa kemunculan kata kentrung sesudah kata jemblung sebenarnya berkaitan dengan instrumen terbang yang berukuran besar , yang bila dipukul tangan berbunyi blung…blung…blung… . Terbang berukuran besar ini kurang praktis apabila dibawa tukang jemblung pergi ngamen , karena perlu dipikul oleh dua orang. Bagi tukang jemblung yang ingin ngamen sendirian tentu terbang yang berukuran besar ini tidak akan terbawa, sebab terlalu berat ,maka untuk memudahkan membawa alat itu ngamen kemana-mana diciptakanlah instrumen terbang yang lebih kecil ukuranya, kemudian suaranyapun berubah menjadi ..trung…trung…trung.. dan kemudian masyarakat menyebutnya dengan kentrung (2001:55).
Menurut pendapat Suripan Sadi Hutomo dalam sebuah penelitiannya yang berjudul “Sinkretisme Jawa Islam”. Menemukan akar sejarah yang sama antara seni kentrung dan seni jemblung. Keduanya merupakan salah satu genre sastra lisan, dengan menggunakan instrumen baku terbang. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran instrumen yang dipakai keduanya. Kentrung menggunakan instrumen lebih kecil dari instrumen jemblung. Instrumen jemblung bersuara blung..blung..blung…, sedangkan instrumen kentrung berbunyi trung…trung…trung…(Hutomo,2001:55). Keduanya dimainkan ketika ditanggap oleh orang untuk keperluan hajatan . Bedanya lagi adalah kentrung dapat digunakan ngamen keliling, karena alat musiknya mudah untuk dibawa, sedangkan jemblung harus menunggu siapa yang mau nanggap, hal ini dikarenakan alat musiknya memerlukan tenaga yang banyak untuk membawanya pada acara tanggapan.
Kesenian jemblung juga terdapat di daerah Banyumas bagian timur, yaitu di desa Sumpiuh. Menurut Kunst dan Goris (1927:69) seperti yang dikutip Suripan Sadi Hutomo, di desa tersebut ada gamelan yang disebut gamelan Djembloeng. Adapun gamelan ini terbuat dari batang bamboo, namun apakah gamelan ini ada hubungannya dengan seni jemblung ?. Hingga saat sekarang belum pernah diteliti orang (2001:53).
Suripan Sadi Hutomo menyimpulkan bahwa kata jemblung untuk menyebut seni bercerita, lebih tua usianya daripada kata kentrung sebab pada tahun 1872 kata ini telah dikenal oleh Poensen, sedangkan kata kentrung baru disebut Pigeaud pada tahun 1938. Disamping itu, hal yang menarik ialah kata ini daerah pemakaiannya cukup luas. Hal ini menurut Suripan Sadi Hutomo menandakan bahwa jemblung mempunyai akar yang mendalam di dalam masyarakat Jawa sebelum munculnya seni kentrung (2001:54).
Instrumen pengiring cerita yang dipergunakan seni kentrung jumlah dan jenisnya antara satu daerah dengan daerah lain tidak sama. Ini disebabkan oleh perubahan kecil yang pernah terjadi di daerah tradisi kentrung. Misalnya di daerah Blitar, kesenian jedhor adalah kesenian yang disukai rakyat, maka mau tidak mau apabila kentrung tidak ingin kalah bersaing maka kesenian kentrung ini juga harus mempergunakan alat musik jedhor. Demikian halnya dengan daerah Ponorogo, masyarakatnya sangat mencintai kesenian reyog Ponorogo dan juga mencintai wayang kulit , maka Basuni dan Muhammad Yusup sebagai dalang jemblung menambah perangkat musik yang ia pakai. Basuni menambah instrumen yang terdiri dari kendang (sebuah), terbang besar (sebuah), kethuk dan kenong (dua buah); sedangkan Muhammad Yusup mempergunakan instrumen kendang (sebuah), kenong (sebuah), saron (seperangkat),dan kecrek. Dengan demikian, bunyi instrumen kentrung Basuni seperti instrumen reyog Ponorogo; sedangkan bunyi instrumen kentrung Muhammad Yusup seperti bunyi instrumen wayang kulit (Hutomo,2001:63).
Muhammad Yusup yang ditulis Suripan Sadi Hutomo mengatakan bahwa orang Islam dan orang Jawa Islam ialah sama-sama makhluk Tuhan. Mereka harus hidup bersaudara. Kentrung ialah kesenian hiburan milik orang Islam yang Jawa. Karena itu kentrung harus dapat diterima oleh kedua masyarakat ini. Kata Muhammad Yusup seterusnya, ia meniru wayang purwa sebab tidak ingin kalah bersaing dengan wayang purwa. Wayang ini merupakan kesenian orang Jawa , karena itu wayang purwa harus tetap dipelihara sebab orang-orang Arab datang ke tanah Jawa tidak membawa kesenian mereka, melainkan hanya membawa al-Quran. Karena itu, Bathara Katong setelah memeluk Islam, menciptakan seni kentrung di Ponorogo (2001:64).
Rombongan kentrung Muhammad Yusup mempunyai seorang panjak yang bertugas sebagai pesindhen, yaitu penyanyi jawa pengiring lagu-lagu dalam pertunjukan. Mengenai hal ini Muhammad Yusup, yang ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo, menerangkan bahwa pemakaian pesindhen dimaksudkan untuk meniru adegan “gara-gara” seperti dalam pertunjukan wayang purwa. Bedanya di dalam kentrung tidak ada tokoh Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Tetapi diambilkan dari tokoh-tokoh prajurit yang sedang mengikuti perjalanan tuannya (2001:65).
Koentjaraningrat yang dikutip Bambang Purnomo berpendapat bahwa salah satu aspek seni yang menonjol dalam kebudayaan pesisir adalah seni mendongeng yang disebut dengan istilah seni kentrung. Seni kentrung ini merupakan bagian dari sastra lisan Pesisiran Jawa Timur. Lebih jauh Koentjoroningrat menyebutkan bahwa seni kentrung di daerah pesisir Jawa Timur sering mengetengahkan cerita-cerita Menak dan kisah-kisah Nabi. Cerita lain yang juga sering dikemukakan oleh para panjak kentrung (dalang kentrung) adalah legenda-legenda Arab dan Hindu Jawa, sejarah kehidupan para Wali, cerita-cerita setengah sejarah dari Jawa seperti Bondhan Kejawen, Jaka Tarub, Damarwulan, cerita babad lain, dan sebagainya (2000:18-19).
Suripan Sadi Hutomo dalam kesimpulan akhirnya menyatakan bahwa secara esensial seni kentrung dan jemblung adalah sama, karena istilah penamaan kentrung dan jemblung hanya karena dilatari oleh penamaan masing-masing masyarakat yang ada di daerah yang ditempati. Di Blitar nama kesenian tersebut menjadi banyak versi diantaranya; kentrung, templing, tumbling, thumpling dan kempling. Demikian halnya dengan yang di Tuban, Banyuwangi, Tulungagung dan sebagainya. Khusus di Kediri dan Ponorogo kesenian tersebut dikenal dengan sebutan Jemblung. Cerita-cerita yang dimuat dalam kentrung atau jemblung benar-benar merupakan cermin atau proyeksi kehidupan orang Jawa yang tinggal di pedesaan. Dari paparan cerita ini orang dapat melihat realitas kehidupan rakyat kecil, rakyat pedesaan. Ia juga menambahkan bahwa cerita kentrung atau jemblung merupakan simbol pandangan hidup orang Jawa yang senantiasa mendambakan keharmonisan hidup (2001: 31).
Pada dekade 1945 hingga 1970-an kesenian jemblung ini terbilang laris ditanggap orang. Hal ini karena disamping ada nilai seninya, jemblung juga sarat dengan nilai magis, mitos, religi, dan ilmu pengetahuan dimana hal-hal yang disebutkan itu bercampur-aduk dan hidup berdampingan dengan damai di tengah-tengah masyarakat Jawa. Pada gilirannya unsur-unsur itu saling mempengaruhi, dan akhirnya menjadi tradisi (folklor) yang hidup subur dalam kehidupan orang Jawa (Herusatoto,2000:87)
Suripan Sadi Hutomo memetakan pandangan masyarakat, terkait dengan apresiasi dan pendapat mereka tentang jemblung. Pertama, masyarakat yang simpati terhadap kesenian ini, mereka adalah orang Islam yang beranggapan bahwa seni jemblung merupakan alat dakwah bagi rakyat jelata, mereka tidak merasa ragu menanggap jemblung. Kedua, sikap antipati , yaitu mereka –orang Islam- yang beranggapan bahwa seni jemblung sebagaimana seni kentrung merupakan seni maksiat, karena didalamnya mempermainkan Nabi yang suci. Oleh karenanya tidak jarang ketika jemblung atau kentrung ditanggap, seringkali acara ini diganggu oleh mereka yang tidak suka, dengan melempari batu atau apa saja. Melihat kenyataan yang demikian tidak jarang untuk menanggap dalang jemblung, seorang dalang jemblung atau kentrung harus melengkapi dirinya dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh Muspika yaitu, Camat, Dansek, Danramil dan Kepolisian setempat. Ketiga, kelompok orang yang tidak suka menanggap kentrung atau jemblung oleh karena takut kuwalat (mendapat azab ). Pandangan ini dikaitkan dengan bukti yakni setiap orang yang mendalangkan jemblung atau kentrung selama ini adalah orang-orang yang buta matanya. Mereka beranggapan semua itu terjadi karena mereka kwalat kepada nabi (2001:78).

B. Ajaran Moral Islami Dalam Masyarakat Jawa
Koentjoroningrat menyatakan bahwa ajaran Islam dalam masyarakat Jawa dibedakan atas dua hal yakni : (1) Ajaran Islam yang sinkretisme, yang menyatukan unsur-unsur pra Hindu dan Islam, dan (2) Ajaran Islam yang puritan ,atau yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan Alqur’an dan al-Hadits (1984:310).
Ajaran Islam yang sinkretis yang selanjutnya dikenal dengan Agama Jawi (Kejawen ), sebenarnya juga meyakini akan adanya Allah SWT dan juga percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi Allah. Mereka juga sadar bahwa yang baik akan masuk surga sedangkan yang senantiasa berbuat dosa atau banyak dosanya, akan masuk neraka. Mereka juga percaya kepada firman Allah yang tertulis dalam al-Qur’an dan juga dengan sunnah-sunnah yang telah dicontohkan Nabi. Perbedaannya adalah mereka juga mengakui adanya kekuatan lain yakni, pada konsep-konsep kepercayaan adat-istiadat yang animisme, dinamisme, Hinduisme dan Budhisme. Misalnya mereka mempercayai adanya hari baik dan hari jelek, kekuatan makhluk-makhluk gaib seperti Rara Kidul, Jin , Setan, Tuyul, arwah-arwah, dan sebagainya. Mereka juga melakukan berbagai ritus dan upacara keagamaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan doktrin-doktrin agama Islam yang resmi. Tetapi mereka tetap mengadopsi ajaran Hindu Budha yang cenderung ke arah Mistik, kemudian menyatukannya dengan ajaran Islam.
Bentuk dari Agami Jawi atau Kejawen adalah suatu yang kompleks yang menyangkut pada sebuah keyakinan dan kebetulan konsep-konsep itu bersentuhan dengan ritual yang bercampur menjadi satu dan diindikasikan sebagai bagian dari ajaran Islam. Namun demikian pada intinya Ajaran Islam Kejawen lebih menekankan pada ketentreman batin, oleh karena itulah kemudian dalam masyarakat Jawa bermunculan Aliran Kebatinan. Hal ini sependapat dengan Niels Mulder, bahwa Javanisme yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima ing pandum , menerima terhadap segala pemberian dan peristiwa yang menimpa dirinya , sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (1984:12).
Menurut Niels Mulder Kejawen berisikan kosmologi, mitologi, dan seperangkat konsepsi yang hakikatnya bersifat mistik yang menimbulkan antropologi Jawa tersendiri, dan merupakan suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa (1985:16).
Mengenai landasan sistem keyakinan Agami Jawi dan agama orang Islam di kalangan santri , Koentjaraningrat berpendapat bahwa sistem Agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut oleh orang Jawa. Didalam Agami Jawi terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti yakin adanya Allah, yakin bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, yakin adanya nabi-nabi yang lain, yakin adanya tokoh-tokoh semisal wali, yakin adanya tokoh-tokoh sakti, yakin adanya dewa-dewa tertentu yang membantu mengatur alam semesta ini, yakin adanya makhluk-makhluk halus, yakin adanya roh-roh penjaga,, yakin adanya hantu, dan yakin adanya kekuatan gaib dalam alam semesta ini (1984:319).
Sistem keyakinan orang Islam santri sendiri menurut Koentjaraningrat dibagi menjadi dua yakni; golongan masyarakat pedesaan dan golongan masyarakat perkotaan. Sistem keyakinan penduduk pedesaan maupun perkotaan sejak awal terkena proses enkulturasi, mereka dilatih membaca Qur’an yang terdiri dari konsep-konsep puritan mengenai Allah, Nabi Muhammad, mengenai penciptaan dunia akherat, yang semua telah dipastikan adanya (1984:320).
Subijantoro Atmosuwito menguraikan isi “Serat Sasanasunu” karangan Yasadipura II yang berisi filsafat moral Jawa yang mulai ada sejak abad XIX . Dalam buku itu menurut Prof. Poerbatjaraka, seperti yang ia kutip , mengandung “piwulang lampahing gesang” (filsafat kehidupan) (1989:107-109).
Secara ringkas isi Serat Sasanasunu seperti berikut: (terjemahan bebas dari peneliti)
1.Yen tinitah dados tiyang dening Allah
(Apabila ditakdirkan menjadi manusia)
2.Yen pinaringan sandhang tedha
(Apabila diberikan sandang dan pangan)
3. Yen anggenipun pados sandhang tedha wau medala saking tapak tanganipun
(Apabila mencari sandang dan pangan carilah dengan jerih payahnya sendiri)
4. Yen saking dhawuhing Allah kadhawuhan Islam, manut kangjeng nabi Mohammad saw.
(Apabila ada perintah dari Allah untuk memeluk Islam, ikutilah tuntunan yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw.)
5. Bab pengangge lan pakareman
(Ajaran tentang busana dan kesenangan)
6. Bab lampahipun tiyang memitran, kekancan, sesaminipun
(Ajaran tentang etika dalam pergaulan dengan sesama manusia)
7. Bab nedha, tilem, lumampah, kekesahan
(Ajaran tentang tatacara makan, tidur, berjalan,dan bepergian)
8. Bab angurmati tamu
(Ajaran tentang menyambut dan menghormati tamu)
9. Bab wedaling catur utawi wedaling pikiran
(Ajaran tentang tatacara berbicara dan menyatakan pendapat)
10. Bab dados tiyang ageng punapa tiyang alit
(Ajaran tentang budi pekerti bagi seorang pejabat dan rakyat jelata )


C. Adab Sopan Santun Berbahasa dalam Adat Jawa
Istilah tingkat tutur (speech level) merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh anggapan penutur terhadap lawan tuturnya. Pernyataan tersebut telah mengisyaratkan dua faktor yaitu faktor lingual berupa variasi bahasa dan faktor non lingual berupa anggapan penutur terhadap lawan bicaranya. Adanya anggapan tersebut melibatkan faktor sosial dalam peristiwa komunikasi; yang dapat berupa status sosial lawan bicara, keakraban hubungan antara penutur dan lawan tutur, tujuan tutur, usia penutur dan sebagainya. Faktor sosial tersebut dapat mempengaruhi wujud tuturan dalam peristiwa komunikasi dalam adat Jawa.
R.A. Hudson (1980)) yang dikutip oleh Dwihardjo berpendapat bahwa didalam bahasa Jawa, variasi bahasa yang dimaksud dapat ditemukan adanya perbedaan bentuk leksikon atau kosa kata. Maksudnya dilihat dari kosa katanya saja, sudah dapat mencerminkan adanya perbedaan tingkat tuturnya. Hal ini oleh Hudson dinyatakan sebagai vocabulary level atau tingkat kosa kata, yang dapat menyatakan identitas sosial bagi penuturnya. Dalam pernyataan aslinya Hudson menyatakan speech as signal social identity, yang maksudnya tuturan sebagai suatu tanda identitas sosial. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tuturan dapat merefleksikan hubungan sosial antara penutur dengan lawan tuturnya (1991:365).
Sehubungan dengan bentuk leksikon tersebut , di dalam bahasa Jawa sudah dikenal adanya kosakata ngoko dan kosakata krama. Adanya perbedaan bentuk kosakata tersebut harus dipatuhi secara konsisten dalam pembentukan tataran kebahasaan yang lebih tinggi. Misalnya saja dalam pembentukan frasa, klausa, kalimat , atau wacana tidak boleh terjadi campur aduk. Apabila hal ini terjadi pencampuradukan antara kosakata ngoko dan kosakata krama maka dirasa bentuk kebahasaannya dirasa kurang pas dan kurang selaras, sehingga dianggap tidak punya unggah-ungguhing basa. Tidak sopan !.
Sopan santun barbahasa disebut juga dengan istilah etiket tutur . Istilah itu merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh Clifford Geertz yaitu linguistic etiquette yang ditulis dalam bukunya yang berjudul , Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) dalam terjemahan tersebut diartikan sebagai sopan santun.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam sopan santun berbahasa Jawa , yaitu pilihan bentuk linguistik atau bentuk lingual dan sikap andhap asor. Sikap yang demikian berarti ‘ merendahkan diri sendiri’ dengan tidak memalingkan wajah ketika berbicara, dengan tidak memotong pembicaraan, dengan lemah lembut ketika berbicara, dengan bahasa yang sopan dan tidak kasar , intonasinya selalu rendah, dan tidak menengadahkan kepala atau berkacak pinggang ketika berbicara, dan sebagainya. Hal ini menurut Clifford harus ditunjukkan kepada siapa saja yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi tingkat umur dan tingkat sosialnya (Suwadji,1985:14-15).
Adanya bentuk tuturan yang dapat mencerminkan rasa sopan santun berarti pula tingkat tutur berkaitan erat dengan sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa itu sendiri merupakan ajaran moral yang patut untuk dilaksanakan dalam masyarakat Jawa. Suwadji menyatakan hal tersebut sebagai berikut:
1. Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu warisan budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang.
2. Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
3. Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur Jawa menghormati lawan tuturnya.
4. Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat Jawa (1985:15).

D. Folklor, Tradisi Lisan, Sastra Lisan, Bahasa Lisan, dan Komunikasi Lisan: Ciri-ciri Pengenal Utama
Secara etimologis istilah folklore berasal dari kata folk dan lore. Folk memiliki pengertian kolektif . Menurut James Dananjaya folk adalah sekelompok orang yang memiliki cirri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Namun yang lebih menonjol adalah mereka telah memiliki suatu tradisi , yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-menurun , sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama (Sudikan,2001:11).
Di pihak lain yang dimaksudkan dengan lore adalah tradisi, folk yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Hutomo,1991:5).
Ciri-ciri pengenal utama folklor di antaranya: (a) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut, (b) folklor bersifat tradisional , yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar, (c) folklor ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, (d) folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi, (e) folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola (pakem: Jawa), (f) folklor memiliki kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif, (g) folklor bersifat pralogis, yaitu memiliki logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum, (h) folklor menjadi milik bersama dari kelompok tertentu, dan (i) folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan (Sudikan,2001:12).

E. Sosiologi Sastra Dalam Kerangka Kritik Sastra
Sosisologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Oleh sebab itu telaah sosiologis suatu karya sastra mencakup tiga hal :
a. Konteks sosial pengarang yakni yang berhubungan dengan faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai individu termasuk di dalamnya masyarakat pembaca dan isi karya sastranya.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yakni sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Maka telaah yang dilakukan adalah seberapa jauh sastra dapat mencerminkan keadaan yang nyata dalam masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra , telaah sastra pada tataran ini adalah seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur, sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pendukungnya (Semi:1993:54)
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan adalah cara atau upaya manusia untuk mengatur hidupnya.
Kebudayaan itu memiliki tiga unsur :
1. Unsur Sistem sosial : sistim ini terdiri dari semua sendi kehidupan manusia, mulai dari sistem politik, sistem kekeluargaan, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan, sistem perundang-undangan, dan sebagainya. Intinya dalam komunitas masyarakat terdapat sistem yang mengatur hubungan antar individu dan antar kelompok.
2. Sistem nilai dan ide : yaitu sistem nilai atau norma-norma yang memberi makna kepada kehidupan masyarakat. Sistem nilai ini juga menyangkut upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga dari yang lain.
3. Peralatan budaya : yaitu penciptaan perangkat dalam bentuk perkakas material yang dapat digunakan untuk menunjang kehidupannya (Semi:1993:55).

F. Struktur Umum Fiksi Naratif Pesisiran
Struktur karya sastra terbangun dari jalinan personase (tokoh ), aktifitas serta makna secara kohesif (padu ). Pada Mulanya karya sastra Jawa Pesisiran lebih bercorak religius, baru dalam perkembangan berikutnya lebih bervariasi setelah adanya usaha untuk menuliskan kembali karya-karya sastra Jawa Kuna. Penulis pesisiran kemudian menyadur naskah-naskah Jawa Kuna itu dengan mentransformasikan nuansa-nuansa yang Islami. Dengan demikian cerita-cerita gubahan ini berkembang menjadi cerita –cerita didaktis lain, yang antara lain berupa cerita-cerita epik atau cerita kepahlawanan.
Salah satu aspek seni yang menonjol dalam gaya pesisiran adalah seni mendongeng yang disebut dengan istilah kentrung. Seni kentrung ini adalah merupakan bagian dari kegiatan sastra lisan Pesisiran Jawa Timur. Koentjaraningrat yang dikutip oleh Bambang Purnama, berpendapat bahwa seni kentrung sering mengetengahkan cerita Menak dan kisah-kisah nabi. Cerita lain yang juga sering dikemukakan adalah legenda-legenda Arab, legenda Hindu-Jawa, sejarah kehidupan para Wali, cerita setengah sejarah seperti Bondhan Kejawen, Jaka Tarub, Damarwulan, cerita-cerita babad , dan sebagainya (2000:18).
Banyak sekali naskah-naskah lama yang membuktikan hal itu. Hingga kini, masih dijumpai naskah-naskah tentang para nabi, seperti Serat Ambiya, Serat Yusup, Serat Menak, Serat Abdul Kadir Jaelani, Serat Bustam Salatin, dan cerita-cerita asli Jawa, seperti Serat Jaransari Jaran Purnama, Serat Damarwulan, Serat Andhe-andhe Lumut, Serat Sungging Prabangkara, Panji Laras Liris, dan bahkan Serat Rama, dan Babad Demak, Babad Gresik , Babad Banyuwangi, dan sebagainya yang kesemuanya adalah naskah dari pesisiran.
Secara garis besar seperti yang ditulis oleh Bambang Purnomo karya Jawa Pesisiran terbagi dalam kelompok besar yaitu, karya-karya etik (baik religius maupun didaktis lain, baik yang berupa karya dongeng maupun suluk pada umumnya ), dan karya-karya epik , baik yang berasal dari luar maupun yang asli dari Jawa (2000:107).
Lebih jauh Bambang Purnomo berpendapat bahwa secara konvensional, karya sastra Jawa Pesisiran umumnya disampaikan dalam bentuk tembang macapat pesisiran. Kedua, karya-karya Jawa Pesisiran disampaikan dengan media bahasa Jawa yang dalam beberapa hal disampaikan istilah-istilah khusus pesisiran. Ketiga , jika karya sastra itu berbentuk tulisan, maka ia akan dituliskan dengan tulisan Arab Pegon, yaitu huruf arab yang telah dimodifikasikan dengan bahasa Jawa (2000:107).
Sedangkan pola cerita yang dikembangkan dalam sastra ini menurut Bambang Purnomo bagian pendahuluan umumnya bercerita tentang asal-usul semua tokoh penting, baik protagonisnya maupun antagonisnya, lengkap dengan konflik awal yang kelak melahirkan peristiwa-peristiwa besar. Pada bagian selanjutnya masa-masa muda yang membawakan sub-tema “memayu hayuning bawana”, di sini diceritakan bagaimana tokoh-tokoh utama mulai mencari jati dirinya, semenjak masa anak-anak hingga dewasa. Pada alur ini tokoh-tokoh mulai mendapatkan berbagai masalah hingga ia menjadi seorang yang sakti, lengkap dengan senjatanya yang bertuah dan wadya bala atau pengikutnya yang banyak jumlahnya yang kelak akan mampu menolongnya jika ada rintangan kelak. Pada babak ke tiga, dinamakan adegan Sabrangan ( klimaks, yaitu menyatunya segala rintangan dan bahaya ), tokoh utama digambarkan dalam masalah yang paling berbahaya dan sangat menentukan nasibnya, di sini membutuhkan banyak pengorbanan ( Jer Basuki Mawa Bea ). Adegan yang ke empat membawakan sub tema “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti “ dalam adegan ini digambarkan semua tokoh mulai menemukan berbagai solusi , semua tokoh yang bermusuhan dipertemukan hingga terjadi sebuah peleraian. Adegan yang ke lima, mengambil sub-tema “ngundhuh wohing pakarti “, pada bagian ini diceritakan tokoh-tokoh utama mengakhiri semua konflik , dan tokoh-tokoh utama menyerahkan jabatan kepada anak keturunannya untuk melanjutkan perjuangannya. Kelak merekalah yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa (2000:113).

G. Drama Wayang Purwa
Drama wayang mengambil sumber cerita epos Ramayana, Mahabarata . Drama wayang purwa dengan boneka kulit disebut drama wayang kulit. Drama wayang purwa yang tokohnya dimainkan orang disebut drama wayang orang. Drama wayang orang yang khusus mengambil cerita epos Ramayana disebut langen Mandra Wanara.
Pola cerita dalam wayang kulit sudah berpola seperti berikut ini:
a. Janturan negara pertama
b. Janturan ‘kedhatonan’ setelah selesai prosesi ‘pisowanan agung’ pada adegan pertama, raja pulang ke istana disambut oleh permaisuri.
c. Janturan paseban njawi , setelah raja kembali ke istana, patih mengumpulkan para panglima perang beserta prajuritnya untuk melaksanakan perintah raja.
d. Janturan ‘padhepokan’ adegan di pertapaan, pendeta dihadap satria dan cantrik.
e. Janturan adegan di hutan.
f. Janturan adegan negara kedua.
g. Akhir cerita (Padmopuspito,1991:521).

H. Islam dan Budaya Jawa
Kebudayaan sering dikatakan sebagai proses atau hasil krida cipta, rasa dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan dari alam sekelilingnya. Alam ini selain memberikan fasilitas yang indah, juga menghadirkan tantangan yang harus dihadapi.
Dalam “Islam dan Pergumulan Budaya Jawa” (2003) Simuh memaparkan kondisi awal penyebaran Islam di Jawa. Ia mengatakan bahwa penyebaran agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan budaya kejawen, yaitu lingkungan budaya Istana , di bawah pengaruh Majapahit yang telah tertanam unsur-unsur Hinduisme dan Budhisme. Dan budaya kawula alit ( wong cilik ), yang masih hidup di alam pedesaan dengan nuansa dinamisme dan animisme, dan hanya luarnya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme. Dalam hal yang demikian Islam sulit diterima pada kalangan istana , bahkan dalam cerita babad Tanah Jawa dijelaskan bahwa raja Majapahit menolak agama baru itu. Karenanya , para penyebar agama Islam kemudian menekankan kegiatan dakwahnya di lingkungan masyarakat pedesaan, khususnya daerah-daerah pesisir pulau Jawa (2003:13).
Simuh dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat kemungkinan Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbaharui budaya lokal, tetapi mungkin pula Islam yang justru diwarnai oleh berbagai budaya lokal. Masalahnya di tengah-tengah konflik itu bergantung kepada tokoh masing-masing. Artinya apakah sang tokoh itu adalah pendukung Islam yang aktif atau malah sebaliknya, karena jika yang menjadi tokoh itu adalah pendukung budaya lokal maka Islam akan menurut kacamata warisan budaya lokal mereka. Barangkali dari aspek inilah kemudian timbul Islam Kejawen, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur sufisme warisan sastra Jawa pada zaman Hindu (2003:14).

I. Kerangka Pikir
Fungsi pergelaran wayang krucil, seperti folklor lisan dan setengah lisan, yaitu (1) sebagai alat pendidikan anggota masyarakat, (2) sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektiva, (3) sebagai alat yang memungkinkan seseorang bertindak dengan penuh kekuasaan terhadap orang yang menyeleweng, (4) sebagai alat untuk mengeluarkan protes terhadap ketidak adilan, (5) memberi kesempatan bagi seseorang untuk melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dalam dunia khayalan yang indah , dan lain-lain (Sudikan,2001:110).
Fungsi folklor tersebut berlaku juga bagi kesenian jemblung Katong Wecana yang dipergelarkan Ki Muhammad Yusuf dari Desa Setono, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Ki Muhammad Yusup sadar betul terhadap fungsi-fungsi sosial cerita rakyat, karena sebagai pewaris aktif tradisi lisan ia berkewajiban untuk melestarikan pakem pergelaran yang diturunkan oleh Bathara Katong kepada dirinya.
Cerita jemblung ‘ Payung Tunggulnaga ‘, sebagai alat pendidikan menghadirkan tema perlawanan terhadap nafsu jahat pada diri manusia, yang dilukiskan melalui tokoh-tokoh yang digambarkan dalam cerita lisan. Anggota masyarakat (kolektiva) yang sedang mendengarkan merasakan bahwa Ki Muhamamad Yusup sedang mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa dan Islam yang berisi tentang moral kejujuran, kesetiaan, kebenaran, sikap tolong- menolong , hati-hati, waspada, sabar, nrima, prihatin, tidak serakah, dan sebagainya. Fungsi pendidikan moral terdapat pada sikap hati-hati, waspada, sabar, nrima, prihatin, tidak serakah, dan sebagainya. Dengan demikian fungsi pendidikan moral pada pergelaran jemblung itu nyata sekali, karena anggota kolektiva menyadari kekurangan yang ada pada dirinya masing-masing.
Dalam penelitian ini peneliti memanfaatkan konsep fungsi sosial folklor William R. Bascom dan Alan Dundes. Menurut William R. Bascom sastra lisan mempunyai empat fungsi, yaitu: (a) sebagai sebuah bentuk hiburan, (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak-anak, (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektivanya (Sudikan,2001:162).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar