Jumat, 02 Oktober 2009

Dana Alokasi Kanca-kanca (DAK)

Hiruk pikuk bangsa Wayang begitu menggema saat mendengar keputusan sidang itsbat yang menetapkan keberadaan rembulan, sehingga lebaran bisa ditetapkan secara pasti. Memang yang satu ini senantiasa menjadi titik ‘perawan’ yang seringkali menimbulkan rangsangan birahi pertengkaran antara bidang sensitive yang tidak jarang melahirkan jurang-jurang perpecahan antara umat satu kitab, satu tujuan, dan satu Tuhan. Secara nalar memang menggelikan, bayangkan, di bulan yang lain, nggak pernah diributkan tentang jadual sembahyang, kalender bulanan, kalender tahunan, kalender pasaran, wuku, dan sebagainya. Padahal semua itu berdasar hitungan-hitungan. Sekarang yang menjadi pertanyaan, jika tanggal satu lebaran berubah, apakah secara serta merta tanggal-tanggal yang ada di kalender tersebut tidak berubah total?. Ternyata sampai saat ini wayang-wayang yang mengaku pakar ngelmu planet , tidak pernah mengadakan perubahan itu. Intinya bulan Syawal dengan bulan yang lain berbeda. Bulan ini hanya bisa dihitung berdasarkan kesaksian belaka, sedangkan bulan yang lain ya terserahlah. Mereka tidak pernah memasalahkan, meributkan, apalagi berselisih kemudian mengadakan perubahan tentang itu.
Sekarang adakah yang mau berpikir praktis, efektif, efisien, padahal setahun sebelumnya gerhana bulan saja bisa dihitung, kenapa bulan yang satu ini, sering dituduh mengingkari janji?, mungkinkah ada pihak-pihak yang tidak legawa dengan kecanggihan ilmu pengetahuan modern?. Jawabnya ada di kotak kuno yang menyimpan fosil-fosil tulang-tulang dan kitab-kitab peninggalan jaman batu tua. Bukalah dan cari sendiri kunci jawabanya. Wariskan ngelmu kontradiksi, dan ajarkan kekerasan untuk menentang ngelmu modern, sehingga generasi muda nanti lebih brutal menyikapi setiap perbedaan.
Kita tinggalkan dulu para pemabuk kekuasaan yang tengah gentayangan di negeri Kurukasetra tersebut. Sekarang kita kembali meniti langit singgah di kawasan Dhandhang Mangore meliput kejadian ndik sana.
“Dersanala garwane pun kakang, wong manis, ayo manuta Dewa Srani, ndak emban, ayo cah ayu ndak pondhong, jangan kuwatir kamu kelaparan, aku wis nyiapne rumah gedong magrong-magrong, olehku lumpuk-lumpuk saka Dana Alokasi Khusus, hayo cah ayu tambanana brantane pun kakang nimas..” pinta Dewa Srani merayu.
“Oh, keparat Dewa Srani, yen nganti kowe cilike nyenggol kulitku, gedhene mbeset kulitku, oh aku bakal lapor nyang komnas HAM, apa maneh kowe nawani aku Dana Alokasi Kusus, oh sorry Srani, bandamu mau ora kalal, mokal yen kowe bisa menehi aku barang karam, barang olehe mbajing, titenana kabeh mau bakal ndadekne penyakit” ancam Dewi Dersanala
“Ha … haa…, ning nggonku DAK iku wis lumrah nggo bancaan para pejabat. Mulai bupati, DPRD Tingkat I, II, Diknas dan UPDT, kabeh mau kan ya ngetokne jasane ta cah ayu…, dadi wis wajibe yen para petugas datang kerumah-rumah jemput bola nyambangi para kawula sing wis entuk dana mau banjur asok glondhong pangareng-areng, wis ta laah, kowe ora susah mempermasalahkan itu . Percuma, wong wis dadi khalal kok. Sing penting hayo sekarang manutlah…Lan mangertiya ya Dersanala, paribasan sira iku iwak kecemplung wuwu, kowe wis ora bisa obah maneh”
Belum selesai Dewa Srani merayu, tiba-tiba dari balik pendapa pertamanan, muncul Ki Lurah Petruk menyahut tubuh Dewi Dersanala, berlari secepat kilat meninggalkan Dewa Srani dan Bethari Durga. Keduanya tercengang tidak percaya, melihat kejadian yang cepat itu
“Oh keparat kowe Petruk, hayo ndelika nyang endi wae aku bisa nggoleki kowe, wis ayo ngger andum gawe, kowe mlayua ngetan, aku ndak mlayu mangulon” teriak Dewi Durga sambil melesatkan tubuhnya.
Namun baru saja terbang dengan ketinggian dua ribu kaki, tiba-tiba di depannya sudah ada Kiai Semar yang menghadangnya
“Eh Durga, ngakua ana ngendi Bathari Dersanala sak iki !!”
“Eh keparat Semar elek kaya telek, Dersanala wis kebacut tak daupake karo anakku lanang Si Dewa Srani, kowe arep papa?”
“Aih !, pancen kowe ki dewi keparat, jajal laknat, oh klakon ndak mutilasi kowe”

Gending sampak bertalu riuh. Kiai Semar segera menjambak rambut, dan menghajar habis-habisan tubuh Bethari Durga. Dewi Durga nampak babak belur. Pipinya lebam, giginya banyak yang tanggal, bajunya robek separo. Untung baju yang bagian belakang, sehingga hanya nampak seperti sundel bolong.
Tidak puas dengan yang begituan, Ki Lurah Semar terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya, kentut Lumpur lapindo
“Nyoh tampanana, kentutku Durga…. Nyuuuuuuuuusssssss”
Dewi Durga terpelanting kurang lebih satu kilometer jatuh di depan Dewa Srani. Kentut Ki Lurah Semar padahal tidak bersuara keras, tapi daya jelajahnya dan baunya ampun-ampun…..dahsyat booo..