Jumat, 16 Desember 2011

Mandura Komplang (4) Ki Setyo Racethocarito

Surem-surem diwangkara kingkin lir manguswa kang layon, ooooong… denya ilang memanise, wadananira landhu kummel kucem rahnya maratani…..
Sinigeg ing cinarita. Katika Prabu Baladewa tengah menjalankan tugas, Mandura menjadi kota mati. Pembangunan menjadi macet total. Pemerintahan ndak bisa berjalan normal. Perdagangan justru dikuasai oleh minimarket dari mancanegara. Pun demikian keadaan kota menjadi semakin tidak terurus. Taman-taman kotadan tempat wisata terlihat semakin kotor, semrawut, banyak kondom-kondom berserakan di bawah kursi-kursi taman, dan bawah rerindangan pohon. Tak kalah parahnya hotel-hotel local, kafe, warnet, dll. menjadi ajang sex bebas antara kaum pelajar yang sudah meninggi libidonya.
Memang, semenjak Prabu Baladewa pergi meeting ndik Karang Kedempel, pemerintahan digantikan oleh Pragota, atau patih –sederajat dengan wabup- yang ada di Mandura. Akan tetapi karena latar akademis sang patih yang sangat kurang, maka pemerintahan hanya bagaikan kaset dagelan yang dibunyikan berulang-ulang. Maksudnya, bagi yang baru mendengar sambutan sang patih, maka akan menilai kalau sang patih, lucu, merakyat, dan pinter membawa suasana. Akan tetapi bagi yang mengerti kemampuan sang patih, maka ia akan mengatakan kampungan ,membosankan Ndeso!!!. Nggak ada bedanya orang warungan dan pejabat sekelas patih. Omongannya nggak koneks, ngawur, ngelantur, tidak berbobot, tidak ilmiah, dan tidak kompeten. Ndeso!!!
Begitulah hari-hari pemerintahan Pragota yang dipaksakan. Tingkah laku aparatnya selalu diliputi dengan kepalsuan dan kepura-puraan. Kelihatanya saja hormat kepada Pragota, tapi dalam hatinya mereka mencibir, karena memang kemampuan manajerial dan akademis sang patih jauh dari standar kepemimpinan.
Pun demikian sang Pragota kepalsuannya semangkin kentara. Contoh kecil, sambutan-sambutan dalam acara resmi tak ubahnya seperti obrolan di warung kampung, selalu menampilkan guyonan basi dan jorok.Sambutannya nggak berisi, ngelantur tak terukur, membosankan, sok pede, sok ngerti, sok merakyat, sok pintar, padahal sebenarnya bagaikan Jaka Sembung naik Patas. Artinya gak nyambung blaaasss.
Hadirin pun tertawa prihatin. Sambutan sang patih nggak pernah nyasar pada bidang pemerintahan yang berkualitas. Sambutannya tak ubahnya seperti pelawak. Kocak, koplak, ngakak-ngakak, semakin ditertawakan semakin melonjak, jingkrak-jingkrak, tanganya naik turun bagaikan orator sekelas Bung Tomo. Hadirin pun semakin gerah mendengarnya. Tak ada bedanya bakul jamu di jaman kuno. Nggedabrus, apus-apus…
“He para kawula Mandura…, ingsun sekarang yang berkuasa. Hayo kumpulkan para wanita, ingsun pingin wanita-wanita cantik menjadi penghiburku di tahta… ha..ha..ha…”
Sang Pragota-pun lupa kepayang. Hoby lama, bermain wanita kabarnya kambuh lagi. Dan konon kabarnya suatu ketika ia kepergok oleh wartawan local sedang bercumbu dengan wanita selingkuhannya di hotel. Tak ayal perbuatan tak senonoh itu dijadikan wartawan bodrek untuk memeras Sang Patih Pragota.
“Niki pripun, mas patih? Sampeyan wis konangan selingkuh, main perempuan ndik sini. Oooo, sampeyan itu pejabat tinggi lho, kalau berita ini saya muat di Koran… oooo sampeyan mesti kewirangan, dan salah-salah sampeyan ndak matih lagi… hayoooo sekarang sampeyan pilih tetep jadi patih apa pilih dipecat?”
“Sudahlah begini saja mas wartawan, tolong berita ini jangan diterbitkan. Sampeyan minta berapa juta? Seratus juta???”
“Lha wong patih kok Cuma seratus juta. Lima ratus juta gitu lho?”
“Waaa duwit dari mana, sudahlah, kalau gitu aku naikkan, dua ratus juta bagaimana??”
“Naaa, begitu lho, nggak apa-apalah dua ratus juta. Sampeyan aman, saya pun juga untung. Jadi kita untung dua-duanya. Tul kan???”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar