Selasa, 23 Juni 2009

Sastra Lisan Jemblung Katong Wecana 5

BAB V
HASIL KAJIAN


A. Bahasa Cerita Payung Tunggulnaga ( Sebagai Pengantar Pendahuluan )
Dalam cerita Payung Tunggulnaga adab sopan santun yang menunjukkan etika budaya Jawa ditunjukkan dalam bentuk dialog bahasa Jawa yang terikat oleh konvensi pemakaian bahasa Jawa , yaitu menggunakan undha-usuk basa (speech level), atau sopan santun berbahasa. Konvensi itu berupa penggunaan bahasa krama dan ngoko.
Didalam praktek pedalangannya Muhammad Yusup tidak seutuhnya menerapkan konvensi seperti yang terdapat dalam bahasa tulisan. Hal demikian karena terpengaruh oleh tuturan secara spontan dan sifat lisannya yang dilatari oleh kebiasaan dialog sehari-hari dengan lingkungan hidupnya di Setono- khususnya- dan di dalam lingkungan budaya Ponorogo pada umunya. Sehingga yang muncul dalam dialog yang dibawakannya sering muncul istilah-istilah kedaerahan yang hanya dikenal di wilayah Ponorogo. Misalnya biyuuuh …biyuuh(ungkapan kekaguman ciri khas pujian lisan Muhammad Yusup), sejarah (Ziarah atau berkunjung ke tempat sanak saudara ketika hari raya Idul Fitri),mah (omah atau rumah),kancinge (uang lelah), jale ta (jajale ta atau coba ta), melep-melep (penuh sesak untuk mengungkapkan pemberian yang melimpah ruah), yahene (wayah kene atau saat sekarang),prail (dibagi),njeborok: jorok, dodot( selongsong yang dipergunakan untuk melapisi kerangka pusaka, lek (apabila),posah-pasihan (berkasih-kasihan),diayati (dilakukan),piyuyun (jatuh cinta), kudung buyuk (topi anyaman dari bambu mirip ember, khas Ponorogo), dacin sama dengan 60 kilogram.
Penggunaan bahasa krama dan ngoko di dalam cerita Payung Tunggulnaga diatur oleh Ki Dalang Muhammad Yusup sebagai berikut:
• Pertama , pendahuluan dan penutup cerita : bagian naratifnya memakai bahasa ngoko, kadang dicampur dengan bahasa krama dan bahasa Indonesia, hal itu semata-mata untuk memudahkan komunikasi dengan penonton yang merupakan generasi saat ini.
• Kedua, di dalam batang tubuh , pada bagian dialog memakai bahasa krama dan ngoko disesuaikan dengan kedudukan tingkat sosial dan usia para pelaku cerita.
• Ketiga, penggunaan bahasa krama dipaparkan untuk menjelaskan adegan yang sedang terjadi. Hal itu disebabkan karena Ki Dalang Muhammad Yusup terikat pada adat kesopanan Jawa, bahwa seseorang yang bertemu dengan orang lain yang belum atau baru dikenalnya maka orang tersebut harus mempergunakan bahasa krama. Sebab para pendengar pertunjukan Jemblung Katong Wecana pada umumnya ialah orang yang tidak dikenal oleh dalang. Jadi bahasa krama bersifat sopan dan resmi, sehingga dilihat dari segi penggunaan krama, ngoko, dan dialek cerita Payung Tunggulnaga , berfungsi sebagai pengikat perasaan solidaritas kelompok orang Jawa pada umumnya maupun sebagai orang Jawa yang bertempat tinggal di daerah Ponorogo dan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan fungsi kedua dari teori Dundes (1965a:277). Contohnya: “Wekdal sak mangkin ngarengga tan njejeraken kawontenaning negari Kuparman inggih Tanah Suci. Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib , wekdal dinten semangkin kersa sluku sedakep nutupi babahan hawa sanga , tansah tafakur, maksudipun tafakur menika pikir-pikir menapa ingkang dipun gayuh, mboten sanes putra kekalih Baginda Umar dalah Baginda Amir dipun utus dumateng Pondok nuntut ngelmu antawis sampun tigang candra mboten wonten kekabarane, mila ndadosaken penggalihan wontenipun negari Kuparman. Lajeng mboten sauntawis dangu Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib kersa medar sabda , mboten wonten kalih tiga ingkang saged nampi kejawi kakang Tambi Jembiril , inggih warangka dalem patih negari Kuparman”.

Di dalam pemakaian gelar kebangsawanan , terdapat juga gelar-gelar kebangsawanan orang Jawa yang pernah ada dalam Kerajaan Jawa. Misalnya gelar Raden, Adipati,Patih,Perjurit, Jayengrana, Jayeng Palugon,Wong Agung, Raja, Dewi. Yakni orang-orang yang memegang jabatan itu diklasifikasikan sebagai kaum priayi , yang patut dihormati dan diikuti petuah-petuahnya.
Untuk menarik pendengar yang menyaksikan pertunjukan Jemblung, bahasa cerita Payung Tunggulnaga juga diselingi dengan wangsalan dan tembang-tembang Jawa dengan iringan gending. Wangsalan yang dilontarkan oleh Ki Usup yaitu semacam teka-teki Jawa misalnya disangoni cengkir, disangoni pacul, mbesuk wis jangkane bakal menangi kreta tanpa jaran, maju mundur lelakune, akeh wong kang mangan watu, ngombe tlethong, banjur menange suara sing dititipne ora kasat mripat,kuwi apa ?(dibekali kelapa muda, dibekali cangkul, besuk akan terjadi kereta tanpa kuda, maju mundur jalannya, banyak orang memakan batu, meminum kotoran sapi, selanjutnya menangnya suara yang dititipkan tidak kelihatan mata, itu apa?)
Kadang-kadang Ki Usup juga mempergunakan bahasa parikan yang bernilai humor. Misalnya; orek-orek ya mas wadhahe kendi, kembang gambas mekrok sore (orek-orek ya mas wadhahnya kendhi bunga gambas mekar sore), jawane atau maksudnya menurut Ki Usup apa ora ngerti arek saiki , aku ora sudi wekas mara dhewe, awan-awan aja ngrajang kates , semut ireng ngrubung tempe, dadi prawan aja kenes-kenes jaka seneng nggoleki dhewe, Semarang kaline banjir, kudhung buyuk ilang blengkere, prawan ngepluk ilang nomere (Apa tidak tahu sekarang,aku tidak mau titip pesan –apabila memang naksir-ya datang sendiri,siang-siang jangan merajang pepaya, semut hitam merubung tempe, jadi perawan jangan genit-genit jejaka senang mencari sendiri, Semarang kalinya banjir topi buyuk hilang kerangkanya, perawan ngantukan hilang nomernya).
Bahasa humor semacam ini oleh Dundes berfungsi sebagai penglipur lara. Sedangkan wangsalan di dalam cerita Payung Tunggulnaga berfungsi sebagai pengunggul orang lain , dalam hal ini untuk mengunggulkan kemampuan Bathara Katong yang di anggap orang yang tahu sebelum terjadi (weruh sajroning winarah).
Di dalam cerita Payung Tunggulnaga juga terdapat kata-kata mutiara , yaitu kata-kata yang karena maknanya baik, dapat digunakan sebagai pegangan hidup orang . Misalnya “ngelingana urip ning ngalam ndonya mung pirang ndina, diumpamakne wong nyang pasar mampir ngombe. Jer basuki mawa bea, Sing diarani wong wedok sejati iku sing gelem ngenggo mo papat, ngo telu. Maksude mo papat dadi wong wadon pintera macak, nomer loro pintera masak, nomer telu mapakka kakunge yen bar tindak, nomer papat;
Manggakne…ning kosok bali wong wedok nggoni nga telu ora oleh kulakane, maksude nga telu , siji; senenge ngrasani bojo, loro;ngobrol, telu;ngantuk-an (ingatlah hidup di dunia hanya beberapa hari, diumpamakan orang pergi ke pasar singgah minum ,ingin kemakmuran harus berkorban, yang disebut orang perempuan sejati harus mau menggunakan eM empat dan NG tiga, jadi orang perempuan pintar-pintarlah berdandan, nomer dua pintarlah memasak, nomer tiga pintarlah menyambut kedatangan suami yang baru saja pulang kerja , akan tetapi sebaliknya jika orang perempuan menggunakan Nga tiga tidak akan memperoleh keuntungan, yaitu ; satu kesukaannya membicarakan suaminya, dua; ngobrol, tiga; tidak bisa menahan rasa kantuk).
Dari segi pemakaian kata, cerita Payung Tunggulnaga mengandung kata bahasa Arab, Sansekerta, dan bahasa Kawi. Kata Arab umumnya berkaitan dengan nama-nama Islam seperti Amir Umar, Ngabsi, Yaman, Maktal, astaghfirullahhal adzim, laa haula wala quwwata, Allah, Mohammad, dan sebagainya.
Kata-kata bahasa Kawi, misalnya pasenggang, puspanjana, barunggung, obah mosik, jalasutra, dan sebagainya.

B. Analisis Ajaran Moral Kejawen dan Ajaran Moral Islam
Menurut Niels Mulder Kejawen berisikan kosmologi, mitologi, dan seperangkat konsepsi yang hakikatnya bersifat mistik yang menimbulkan antropologi Jawa tersendiri, dan merupakan suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa (1985:16).

Bentuk dari Agami Jawi atau Kejawen adalah suatu yang kompleks yang menyangkut pada sebuah keyakinan dan kebetulan konsep-konsep itu bersentuhan dengan ritual yang bercampur menjadi satu dan diindikasikan sebagai bagian dari ajaran Islam. Namun demikian pada intinya Ajaran Islam Kejawen lebih menekankan pada ketentreman batin, oleh karena itulah kemudian dalam masyarakat Jawa bermunculan Aliran Kebatinan. Hal ini sependapat dengan Niels Mulder, bahwa Javanisme yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima ing pandum , menerima terhadap segala pemberian dan peristiwa yang menimpa dirinya sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (1984:12).
Mengenai landasan sistem keyakinan Agami Jawi dan agama orang Islam di kalangan santri , Koentjaraningrat berpendapat bahwa sistem Agami Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut oleh orang Jawa. Didalam Agami Jawi terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai, seperti yakin adanya Allah, yakin bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah, yakin adanya nabi-nabi yang lain, yakin adanya tokoh-tokoh semisal wali, yakin adanya tokoh-tokoh sakti, yakin adanya dewa-dewa tertentu yang membantu mengatur alam semesta ini, yakin adanya makhluk-makhluk halus, yakin adanya roh-roh penjaga,, yakin adanya hantu, dan yakin adanya kekuatan gaib dalam alam semesta ini (1984:319).
C. Pandangan Muhammad Yusuf Tentang Moral Islam Kejawen
Keselarasan hubungan antara Tuhan Allah , manusia, dan alam menjadi ajaran pokok Islam yang dibawa oleh Muhammad Yusuf.
Hubungan manusia dengan Tuhannya yang bersifat teologis tercermin dalam ungkapan manunggaling kawula gusti dan curiga manjing warangka. Sedangkan hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropoekologis, tercermin dalam ungkapan mengasah mingising budi, dan memayu hayuning bawana, yang bermuara pada pembentukan jalma sulaksana, insan kamil, sarira bathara (manusia seperti dewa), manusia paripurna yang imbang antara lahir dan batinnya, jiwa dan raganya, sisi intelektual dan spiritualnya, serta pikiran dan hatinya (Wawancara,27 Januari 2008)
Ungkapan mati sajroning ngaurip menurut Muhammad Yusup memberi isyarat persuasif kepada manusia agar selalu eling lan waspada, bersahaja, mengendalikan diri, mengurangi kesenangan dan kenikmatan badaniah duniawi, bersedia lara lapa tapa brata, urip rekasa, prihatin, nrima ing pandum dan selalu bersyukur meskipun lagi kekurangan. Perjuangan hidup di alam fana ini; dalam setiap kali digambarkan dalam pementasan lakon jemblung, berkaitan dengan usaha untuk memahami sangkan paraning dumadi, atau asal dan tujuan kehidupan manusia, yaitu khusnul khatimah atau perjalanan hidup yang bahagia (Wawancara,27 Januari 2008)
Dalam ngelmu kejawen, sangkan paraning dumadi, adalah ngelmu kasampurnan (ilmu kesempurnaan hidup). Ngelmu semacam ini diperoleh melalui laku prihatin dan pengekangan hawa nafsu secara istiqomah, teratur dan terprogram. Karenanya dalam Serat Wirid yang merupakan ‘kitab suci’ bagi penganut mistik kejawen, istilah tersebut masih terbagi menjadi beberapa hal yakni: asaling dumadi atau asal mula suatu wujud, sangkaning dumadi atau dari mana datangnya dan bagaimana arah perkembangan wujud itu, purwaning dumadi permulaan suatu wujud, tataraning dumadi martabat suatu wujud, paraning dumadi arah perkembangan suatu wujud (Endraswara,2000:34).
Asaling dumadi, menyatakan badan wadag (badan kasar) manusia berasal dari padma sari, yaitu inti sari ‘bahan makanan yang diperlukan mutlak demi tegaknya hidup. Makanan ini dalam pandangan agama disebut woh kuldi. Muhammad Yusup menyebutnya dengan wijining ngaurip, yang kelak menurunkan manusia pertama yaitu Adam (Wawancara 27 Januari 2008)
Paraning dumadi (tujuan hidup) seperti digambarkan dalam hitungan angka, yakni: eka padma sari artinya mulai turunnya bekal hidup, dwi maratani (rasa mengenai hati dan hasrat), tri kawula busana (mulai pembentukan badan), wanara rukem (lahir, karena memerlukan makanan), pancasura panggah (menginjak masa dewasa), sad guna weweka (masa tua yang selalu hati-hati bertindak), hasta kukila warsa (masa tua bangka), nawa angga lupa (nol, kosong, hanya mengingat maut) (Endraswara,2003:34).
Menurut Muhammad Yusup bagi mereka yang telah menemukan kesatuan dengan hakikat hidup, maka manusia akan menemukan kesempurnaan hidup, yang meliputi cipta karsa, dan rasa. Manusia sempurna telah menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Ia menyebutnya mulih mula mulanira atau meninggal dengan khusnul khotimah (Wawancara,27 Januari 2008)
Menurut Muhammad Yusuf untuk memperoleh kesempurnaan hidup manusia harus mampu mengolah rasa, melalui semadi, tapa brata, atau cipta rasa. Karena hal tersebut merupakan bentuk panembah Islam Kejawen , atau paham-paham Islam yang telah diterima dari para pendahulunya. (Wawancara,27 Januari 2008)
Untuk melakukan olah rasa atau semadi menurut Muhammad Yusup harus melalui tahap-tahap:
1. Tata
Yakni melakukan persiapan menyangkut kebersihan tempat busana, tubuh, dan qalbu, seperti halnya orang akan melakukan sembahyang.
2. Titi
Yakni melakukan pemusatan pikiran kepada kekuasan Yang Maha Kuasa, hingga mencapai kehenengan. Untuk memperoleh pemusatan yang sempurna, dalam hal ini seseorang harus lebda mangreh cipta (pandai mengolah rasa), jika hal ini dapat dilakukan maka ia akan mendapatkan jawaban dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
3. Ngati-ati
Artinya hatinya tidak boleh tertekan oleh apapun, demikian juga dengan tempat dan busana yang dikenakan harus nyaman, bebas dari tekanan-tekanan dari luar.
4. Ajeg
Latihan tersebut harus dilakukan secara kontinu (istiqomah), tlaten, tekun, ungkapan Jawa mengatakan sopo tekun bakal ketekan siapa yang istiqomah bakal tercapai keinginannya. Atau dalam istilah per-semadia-an orang yang tekun bersemadi akan mencapai tahap waspaos atau kewaspadaan tinggi.
5. Nepi , Menyepi ( Meninggalkan keramaian ; Uzlah)
6. Tapa Ngrame
Dalam konsep Islam, dikenal sangat proaktif melakukan tapa ngrame , karena itu mereka tetap bergaul dengan masyarakat umum, tetapi mereka menggenggam hakikat nilai-nilai spiritual yang esensial. (Wawancara,27 Januari 2008)
Substansi dua langkah nepi dan tapa ngrame di atas pada prinsipnya sama; yakni bagaimana seseorang bisa senantiasa eling (dzikir) dalam setiap jengkal nafasnya, sehingga hidupnya bisa terkendali dengan hati yang suci, sehingga hidupnya akan ayem tentrem, memberikan manfaat yang mulia kepada dirinya dan kepada semua makhluk di dunia ini (Wawancara,27 Januari 2008).
D. Langkah-langkah Analisa Data
Untuk menganalisa ajaran moral yang terdapat dalam naskah cerita Payung Tunggulnaga , penulis melakukan tahapan dengan menulis:
1. Sub thema cerita
2. Naskah Asli
3. Terjemahan cerita
4. Mengnalisa Ajaran Moral Kejawen
5. Menganalisa Ajaran Moral Islam
6. Menganalisa Fungsi menurut William R. Bascom (1965:3-20)
7. Menganalisa Fungsi menurut Dundes (1965:290-294).

• Babak 1 Adegan Pembuka (Naskah Asli dan Terjemahan)
Pasenggang Pusponcana ratuning dewa
(Pasenggang Puspancana ratunya dewa)
Puspa Handana ratuning banyu
(Puspa Handana ratunya air )
Sang Hyang Barunggung para ratuning rewanda
(Sang Hyang Barunggung ratunya bangsa kera)
Sang Hyang Durga Ratuning lelembut
(Sang Hyang Durga Ratunya makhluk halus)
Sang Hyang Bethara Kala Ratuning setan
(Sang Hyang Bathara Kala Ratunya setan )
Sang Hyang Antaboga ratuning ula
(Sang Hyang Antaboga Ratunya ular)
Sang Hyang Baruna ratuning iwak
(Sang Hyang Baruna ratunya ikan)
Raja Maruti rajane angin,
(Raja Maruti rajanya angin)
Raja Namri ratune semut
(Raja Namri ratunya semut)
Lintang Jalasutra sundul ing angkasa
(Bintang Jalasutra meninggi di angkasa)
Hawu-hawu samodra,
(Mendung bergelayut di samodra)
Jer kang siniwaka …
(Inilah yang sedang di pertemuan agung…)
Wekdal sak mangkin ngarengga tan njejeraken kawontenaning negari Kuparman inggih Tanah Suci. Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib , wekdal dinten semangkin kersa sluku sedakep nutupi babahan hawa sanga , tansah tafakur, maksudipun tafakur menika pikir-pikir menapa ingkang dipun gayuh, mboten sanes putra kekalih Baginda Umar dalah Baginda Amir dipun utus dumateng Pondok nuntut ngelmu antawis sampun tigang candra mboten wonten kekabarane, mila ndadosaken penggalihan wontenipun negari Kuparman. Lajeng mboten sauntawis dangu Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib kersa medar sabda , mboten wonten kalih tiga ingkang saged nampi kejawi kakang Tambi Jembiril , inggih warangka dalem patih negari Kuparman.
(Saatnya sekarang merangkai cerita keadaan negara Kuparman atau Tanah Suci. Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib , saat itu sedang duduk bersemedi menahan sembilan pintu hawa nafsu, sambil tafakur. Tafakur maksudnya berfikir secara mendalam apa-apa yang sedang dicita-citakan tentang kedua anaknya Bagindha Umar dan Bagindha Amir yeng tengah menuntut ilmu di Pondok Pesantren. Sudah tiga bulan ini mereka tidak mengirimkan kabar, oleh karenanya membuat pemikiran Sang Adipati di negeri Kuparman. Tidak lama berselang, Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib berkenan memberikan komentarnya. Tidak ada dua tiga yang bisa mengerti kecuali patih Tambi Jembiril , patih dari negeri Kuparman )
“ Brada Irawan .. “
(“Brada Irawan ..”)
“ Ingkang dipun maksudaken Brada menika sinten ? “
(“Yang dimaksud Brada itu siapa ?”)

Penggalihipun Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib kados rembulan kemendhungan , peteng riyem-riyem , lajeng byar padhang ketrawangan kesorot sangking Hewangkara. (Hatinya Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib seperti rembulan yang tertutup mendung, gelap remang-remang, terus terang benderang kena sorotnya matahari)
Hooooong… hong … hong …ong …
(Hooooong …hong…hong…ng…)
“ Kakang Tambi Jembiril …, mula jeneng para adoh sun awe, cedak sun raketake , aja keduga nampa ganjaran sabuk kang dawa upete, curiga kang abyor pamore pendhok ngunir bosok “
(“Kakang Tambi Jembiril…, maka ketika engkau jauh aku panggil, dekat aku rekatkan, jangan salah menduga bakal menerima hadiah ikat pinggang yang panjang talinya,keris pusaka yang bersinar cemerlang kuning kunyit busuk)
“ Aduh gusti punden kula , sesembahan kula gusti …, warangka dalem Patih Tambi Jembiril mboten pindah-pindah ngajeng-ajeng ganjaran sabuk kang dawa upete, curiga kang ambyor pamore , pendhok kang ngunir bosok , kejawi mung ngestokaken dhawuhipun gusti kula “
(“Aduh gusti pujaan hamba, sesembahan hamba gusti, kami Patih Tambi Jembiril , kami tidak akan sekali-sekali mengharap ikat pinggang yang panjang talinya, keris pusaka yang cemerlang pamornya,selongson pusaka dari emas yang berwarna kunyit busuk, kecuali hanya melaksanakan tugas dari sang Adipati”)
“ Patih Tambi Jembiril , syukur banget seketi jumurung , kakang .., kejaba saka iku kakang, aku minta pekabarane kepriye kahanane negari Kuparman ya Tanah suci Negara Ngarab kene “
(“Patih Tambi Jembiril, syukur membuat hatiku bangga kakang…, selain itu kakang , aku meminta kabar, bagaimana keadaan negeri Kuparman ya Tanah Suci Negara Arab ini “)
“ Wah sampun… sampun … sampun sedaya para narapraja , sedaya perjurit anggenipun sami makarti piyambak-piyambak kangge nyengkuyung kawontenanipun bangunan enggal sukses makaten “
(“Wah sudah…sudah…sudah, semua masyarakat dan semua prajurit saling bekerja sendiri-sendiri untuk mendukung pelaksanaan pembangunan supaya segera sukses, begitulah”)
“ Syukur banget seketi jumurung , kejaba saka iku seje sing tak aturake, iki dina aku sajroning pitung dina pitung bengi tansah lam-lamen ketok putraku si Bagindha Umar, Bagindha Amir, wis suwi banget ora kendhur ora ana kekabaran banjur piye kakang, kakang Tambi Jembiril “
(“Syukur hatiku menadi bahagia, selain daripada itu , lain yang aku sampaikan, hari ini selama tujuh hari tujuh malam selalu teringat putraku si Bagindha Umar, Bagindha Amir, sudah lama sekali tidak pulang tidak ada kabar, terus bagaimana kakang, kakang Tambi Jembiril”)
“ Nuwun sewu !, menawi petangan kula jangkep keng putra Bagindha Umar, Bagindha Amir taksih tetep, malah menika kemawon bilih pikantuk inggih menika ilham utawi ganjaran ingkang langkung ngremenaken , mbok bilih sanes wekdal Insyaallah menika enggal badhe dhateng … “
(“Mohon maaf !, kalau perhitungan saya genap, ananda Bagindha Umar, Bagindha Amir, masih tetap, malah barangkali mereka telah mendapatkan ilham atau penghargaan yang lebih menyenangkan, barangkali tidak beberapa lama lagi mereka akan segera pulang”)
“ Syukur banget seketi jumurung kaya kesiram banyu sewindu penggalihku kakang …”
(“Sukur, hatiku bangga, hatiku seperti tersiram air sewindu kakang”)
“ Nun inggih ! “ (“Ya !”)
*Teh sepindah mboten kenging nengleng rambut pinara pitu , sabda mituhu pandhitaning ratu saksampunipun Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib medar sabda dhateng warangka dalem Patih Tambi Jembiril, tumrap tiyang nginang dereng abrid , tiyang ngidu dereng asat sampun kesaru praptaning Bagindha Umar, Bagindha Amir …*
(Sekalipun tidak boleh melenceng sekecil rambut yang dibelah tujuh , semua sabda yang telah disampaikan oleh raja, Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib memberikan petuah kepada Patih Tambi Jembiril , bagi orang yang sedang memakan sirih belum merah bibirnya, orang meludah belum kering, sudah disusul kedatangan Bagindha Umar , Bagindha Amir …)
“ Kanjeng rama… kanjeng rama…, kula ingkang sowan, kanjeng ….”
(“Ayahnda …ayahnda …, saya yang datang, ayah …”)

( Iringan gendhing )

“Rama… punden kula rama, putra panjenengan Bagindha Amir ingkang sowan, rama …rama…”
(“Ayahnda , tempat pujaan saya ayah, ananda Bagindha Amir, yang menghadap ayah…ayah…”)
“Aduh ngger putraku Bagindha Amir…Bagindha Amir, olehku ngarep-arep sliramu kaya-kaya ibumu menyang pasar aku pingin jajane ngger Bagindha Amir,… Bagindha Amir”
(“Aduh nak putraku Bagindha Amir… Bagindha Amir, betapa aku sangat mengharapkan kedatanganku , ibaratnya seperti ibumu tengah ke pasar aku ingin oleh-olehnya , Bagindha Amir …Bagindha Amir”)
“Nuwun inggih kanjeng rama pepunden kula sesembahan kula, sakderengipun putra panjenengan Bagindha Amir ngaturaken sungkema mugi konjuk rama “
(“Iya ayahnda pujaan dan panutan saya, sebelumnya ananda Bagindha Amir, memberikan hormat dan patuh kepada ayahnda”)
“Iya ngger kowe ngaturake pangabekti tak tampa ora liwat pangestune kanjeng rama tampanana ya ngger Bagindha Amir “
(“Iya nak, kamu menyampaikan baktimu tak terima, jangan lupa doa dan restu ayah kamu terima ya nak Bagindha Amir”)
“Kula tampi kula petekaken mustaka mugi ndadosaken jimat paripih kanjeng rama pepunden kula”
(“Saya terima saya masukkan dalam rongga kepala semoga menjadi benda yang berharga , ayahnda pujaan saya”)
“Iya..iya “
(“Iya…iya”)
“Paman !!, semanten ugi kula Bagindha Umar ngaturaken sungkem mugi konjuka paman ! “
(“Paman !!, demikian juga saya Bagindha Umar menyampaikan hormat kepada paman”)
“E..e…e, putraku bagus Bagindha Umar , iya…iya, kowe ngaturake pangabekti tak tampa Umar, ora liwat pangestuku tampanen Umar “
“Sampun kula tampi kula petekaken mustaka mugi ndadosna jejimat “
(“E…e…e, putraku tampan Bagindha Umar, iya..iya, kamu memberikan baktimu aku terima, jangan lupa doa dan restuku kamu terima”)
“Kanjeng rama kula ngaturaken sungkem rama ! “
(“Ayahnda saya menyampaikan hormat ayah!”)
“E..e..e.., tobat…tobat putraku ngger Bagindha Umar… Bagindha Umar… olehku ngarep-arep kaya-kaya biyung…biyung godhong mlumah tak kurepne godhong murep tak lumahne , ngger … Bagindha Umar !, kepriye sliramu tak utus nyang pondok wis suwe ora eneng pekabarane lho ngger putraku “
(“E..e..e, ampun…ampun putraku nak Bagindha Umar…Bagindha Umar…betapa aku merindukanmu ibarat biyung…biyung, daun terjatuh aku singkapaku bolak-balik ,nak…Bagindha Umar !, bagaimana dirimu aku utus ke pondok sudah lama tidak ada kabarnya lho nak putraku”)
“Nuwun inggih kanjeng rama pancen kula wonten pondok rama ..”
“Semanten ugi kula ngaturaken mugi konjuk …”
(“Demikian juga saya menyampaikan semoga diterima”)
“Ya … ya… Bagindha Amir, ya…ya…, iki kaya-kaya kok wis ora kuwat rasane atiku , pingin-pingin enggal mirengne ngger Bagindha Umar –Amir , njur kepiye asile nggonmu nyang pondok kuwi ngger !?”
(“Ya…ya..Bagindha Amir, ya…ya…, ini sepertinya kok sudah tidak sabar lagi ingin segera mendengarkan nak, Bagindha Umar-Amir, terus bagiamana hasilnya dirimu berada di pondok itu nak !”)
“Aduh kanjeng rama pepunden kula, pangestu panjenengan tansah dipun ridloni Gusti Allah langsung ditebihaken saking sedaya balak lan saget kaleksanan sedaya cita-cita kula kanjeng rama, wontenipun kitab-kitab sedaya sampun khatam sedaya. Sak sampunipun sampun khatam kanjeng rama, kula jengkar saking pondok Mbleki, wusana keraya-raya dumugi wana gung liwang –liwung , kula manggih gedhong isi mas picis rajabrana sak gedhong melep-melep, menika bandha karun wonten tulisanipun, ingkang kiyat kanggenan Bagindha Umar, Bagindha Amir supados dipun boyong dumateng negari Kuparman nggih Tanah Suci, kangge nyuksesaken kawontenanipun bangunan , kejawi saking menika taksih wonten malih kanjeng rama , kawastanan Kasang Kertas Aji utawi malih nggih menika Payung Tunggulnaga, nggih Payung Bawat, menika ingkang kiyat kanggenan Payung Tunggulnaga,Payung Bawat inggih negari Kuparman menika kanjeng rama “
(“Aduh ayahnda pujaan saya, doa restu ayahnda senantiasa mendapat ridho Allah, langsung dijauhkan dari semua bahaya dan bisa terlaksana semua cita-cita saya ayahnda, sedangkan semua kitab-kitab telah dikuasai semua. Setelah semua tamat ayahnda , kami meninggalkan Pondok Mbleki, akhirnya dengan susah payah melewati hutan belantara , kami menemukan harta karun yang melimpah, harta karun itu ada tulisannya bahwa yang bisa membawa hanyalah Bagindha Umar-Bagindha Amir supaya diboyong ke negara Kuparman ya Tanah Suci, untuk mensukseskan keadaan pembangunan , selain itu masih ada lagi ayahnda, yang dinamakan Kasang Kertas Aji , atau lagi Payung Tunggulnaga ya Payung Bawat, itu yang kuat ketempatan Payung Tunggulnaga ya Payung Bawat hanya negera Kuparman ayahnda “)
“Aduh ngger putraku ngger … beja kemayangan ya ngger, iki seratus persen bangunan enggal bisa sukses, yaiku mau anggonmu nemu bandha karun ana alas gung liwang-liwung , lha banjur kersamu piye ngger Bagindha Umar, Bagindha Amir …”
(“Aduh nak putraku nak…, beruntung sekali ya nak, ini seratus persen pembangunan segera dapat sukses, karena dari penemuanmu harta karun yang ada di hutan belantara, lha terus apa keinginanmu nak, Bagindha Umar, Bagindha Amir…”)
“Nuwun sewu kanjeng rama, mbok bilih kanjeng rama menika marengaken utawi kersa mbok inggiha menika dhawuh dhumateng para narapraja lan para perjurit sedaya , menika dipun boyong dhumateng negari Kuparman wontenipun bandha ingkang wonten wana gung liwang-liwung kangge nyuksesaken kawontenan bangunan menika”
(“Mohon maaf ayahnda, barangkali ayahnda itu merelakan atau mau alangkah lebih baik utusan kepada para pegawai istana dan para prajurit semuanya , untuk memboyong harta karun yang ada di hutan belantara itu ke negara Kuparman , untuk menyukseskan pembangunan itu”)

“Oh iya… ya…ya, pancen ya cocok sing dadi kandhamu kabeh , lha iki kabeh para perjurit !!”
(“Oh iya…ya…ya, memang ya cocok yang jadi usulmu semua, he ! prajurit semuanya !!”)
“Wonten dhawuh !…wonten dhawuh …wonten dhawuh !!”
(“Siap !…Siap !…Siap !!”)
“Iki padha mlumpuk , lan padha midhanget kabeh kanggo sing bakal tujuan –tujuan kebecikan “
(“Ini sudah berkumpul, dan mendengar semua untuk tujuan-tujuan kebaikan”)
“Inggih !! “
(“Ya !!”)
“Lha ora liwat Raja Yuyupati nguntapake wadya bala kabeh unta dicawisake. Cacahe ana pira untane iki mbanjur ngetutne tindake si Bagindha Umar, Bagindha Amir menyang alas gung liwang-liwung perlu kanggo mboyong maspicis rajabrana raja keputren , ora kur cukup kuwi , ketambahan Jaran Kalisak, mbanjur yaiku Payung Tunggulnaga, Payung Bawat, ya Kasang Kertas Aji, iki pancen beja kemayangan Pangeran maringi kemurahan menyang kawulane supaya kanggo nyuksesake kahanan bangunan”
(“Lha selanjutnya Raja Yuyupati memberengkatkan seluruh prajurit serta untanya disiapkan. Jumlahnya ada berapa, ini segera menghatar jalanya Bagindha Umar, Bagindha Amir ke hutan belantara untuk memboyong emas perhiasan, tidak cukup itu saja, ditambah Jaran Kalisak, terus Payung Tunggulnaga, Payung Bawat, ya Kasang Kartas Aji, ini memang sebuah keberuntungan Tuhan memberi kemurahan kepada hambanya spaya untuk mensukseskan pemabngunan”)
“Inggih sampun sedaya perjurit sampun lengkap wonten njawi, wontenipun unta sampun penuh sanget mboten kekirangan “
(“Ya sudah semua prajurit sudah lengkap berada di luar, sedangkan untanya sudah cukup tidak ada yang kekurangan”)
“Sak iki ngene kanca, aja kesuwen kanca, supaya enggal di ayati enggal diboyong “
“Inggih !”

*Teh sepindhah mboten kenging menceng sarambut pinara pitu, sabda mituhu sabdaning Pandhita ratu, saksampunipun Adipati Ibnu Ngabdul Munthalib medar sabda dhumateng sedaya para narapraja, narapraja sami nguntabaken mas picis rajabrana, raja keputren *
(*Kemudian sekali saja tidak boleh melenceng sebesar rambut dibelah tujuh , taat dan patuh terhadap perkataan ratu, setelah Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib memberikan petuahnya semua staf kerajaan bersama-sama menghantar-rombongan prajurit- untuk memboyong harta karun*)

( Gendhing )

“Nuwun sewu para raja para ratu, para narapraja sampun dumugi papan panggenanipun wontenipun gedhong menika “
(“Mohon maaf para prajurit, para ratu, para staf kerajaan sudah sampai di tempat penimbunan harta karun”)
“ Oh inggih !”
(“Oh iya !”)
“Oh inggih !”
(“Oh iya !”)
“Oh inggih !”
(“Oh iya !”)
“Mangga sami dipun celakaken sedaya untanipun “
(“Mari sama-sama didekatkan semua untanya”)
“Iki piye..”
(“Ini bagaimana..”)
“Iki piye ..”
(“Ini bagaimana..”)
“Lho… lhaaa “
(“Lho …lhaaa”)
“Eh kanca alon-alon …”
(“Eh teman pelan-pelan…”)
“Aja nganti kesusu-susu ayo kene …”
(“Jangan sampai tergesa-gesa ayo sini…”)

• Sekedhap netra Bagindha Umar, Bagindha Amir sak andahannipun menika mboyong mas picis rajabrana , raja keputren sak gedhong kamot sedaya malah menika Kasang Kertas Aji , Payung Tunggulnaga, Payung Bawat, Turangga Kalisak, sampun komplit *
• (Dalam waktu sekejap Bagindha Umar, Bagindha Amir beserta para prajuritnya memboyong harta karun raja keputren satu peti besar termuat semuanya bahkan Kasang Kertas Aji, Payung Tunggulnaga, Payung Bawat, Turangga Kalisak, sudah komplit *)

“Eh kanca … iki wis kamot kabeh ayo enggal diasta kundur, nanging iki ngene kanca supaya ora tumpang suh lakune..”
(“Eh kanca…, ini sudah termuat semuanya, ayo segera dibawa pulang, tetapi begini teman, supaya tidak saling bertubrukan jalannya …”)
“Lha ora…, iki ngene lho kang , saking maremku ketekan bandha sak mene akehe, iki mengko kundure trah dadi apa-apa aku njaluk gendhing ndangdut sing puenak supaya lakune unta kepenak “
(“Lha tidak… ini begini lho kang, sebagai ungkapan puasku menemukan harta benda sekian banyaknya , ini nanti pulangnya sudah menjadi apa-apa aku meminta gending jawa berirama dangdut yang nikmat, supaya perjalanan unta nyaman “)
“Lha sing mbok jaluk apa …”
(“Lha yang kamu minta lagu apa …”)
“Lha iku kepenake ora susah angel-angel, Goyang Semarangan “
(“Lha itu enaknya nggak usah sulit-sulit, Goyang Semarangan “)
“Eh ayo kanca …mangkono kanca..”
(“Eh ayo kawan…begitulah kawan ..”)

• Tembang gendhing Goyang Semarangan cipt. Ki Narta Sabda *

“Ha..ha..ha… kanca-kanca bareng lagune Goyang Semarang lha kok iki wis teka negara kene … eee”
(“Ha..ha..ha… kawan-kawan setelah lagunya Goyang Semarang , lha kok –tahu-tahu- sudah sampai negara sini …eee”)
“Aduh ngger putraku Bagindha Amir…”
(“Aduh nak putraku Bagindha Amir …”)
“Wonten dhawuh kanjeng rama”
(“Iya ayahnda”)
“Iki sak wise banda kamot diusung menyang negara Kuparman iya Tanah Suci kene, mbanjur iki penake kepiye ngger Bagindha Amir”
(“Ini setelah harta karun termuat diusung ke negara Kuparman ya Tanah Suci ini, terus ini enaknya bagaimana nak Bagindha Amir”)
“Kula sumanggaaken kanjeng rama kadosa pundi”
(“Saya serahkan kepada ayahnda mau diapakan’)
“Ora !, sak iki sing kuasa pancen sliramu, asal usule bisa mboyong mas picis rajabrana sakmene mbane, kabeh saka sliramu , mulane kowe nduweo putusan ngger Bagindha Amir “
(“Tidak !, sekarang yang berkuasa adalah kamu, sebab yang bisa memboyong harta karun sekian banyaknya ini adalah kamu, untuk itu kamu berhak memutuskan nak, Bagindha Amir”)
“Nuwun sewu sak derengipun kanjeng rama, bilih mangke wonten keklintuanipun keng putra Bagindha Amir tansah nyuwun pangapunten ingkang sak ageng-agengipun “
(“Mohon maaf sebelumnya ayahnda, barangkali nanti ada kekurangannya ananda senantiasa mohon dimaafkan yang sebesar-besarnya”)
“Iya…iya… piye…piye..”
(“Iya…iya..bagaimana…bagaimana…”)
“Menika saking penyuwun dalem, kanjeng rama , menika dipun prail dados wolu “
(“Ini berdasar kemauan ananda ayah, ini dibagi menjadi delapan bagian”)
“Oooo, dadi diprail dadi wolu , terus sing duwe bageyan sapa ?”
(“Oooo, jadi dibagi menjadi delapan, terus yang punya bagian siapa ?”)
“Ingkang sak bageyan dhateng pekir miskin”
(Yang sebagian kepada fakir miskin”)
“Ooo…hiya “
(“Ooo..iya”)
“Ingkang sak bagiyan dhateng tiyang ingkang utange kathah “
(“Yang sebagian kepada orang yang punya hutang banyak”)
“He eh”
(“He eh”)
“Ingkang sak bagiyan dhumateng kanjeng rama “
(“Yang sebagian kepada ayahnda”)
“iya “
(“Iya”)
“ Ingkang sak begiyan kangge alat perang , ingkang sak bagiyan malih dhumateng randha-randha kembang menika “
(“Yang sebagian untuk alat perang, yang sebagian lagi untuk janda-janda kembang itu”)
“ Ohh.. ngono ! “
(“Ohh..begitu !”)
“ Iki sing mbok karepne diprail dadi wolu , ning aku usul !”
(“Ini yang kamu maksudkan, jadi dibagi menjadi delapan, tetapi aku usul !”)
“ Inggih “
(“Iya”)
“ Saka karepku tambah siji “
(“Menurut mauku tambah satu”)
“ Kados pundi “
(“Bagaimana”)
“ Tambah siji kanggo asok gelondhong pengareng-areng kanggo negara Kiyaman , sebab negara kene iki kebawah negara Kiyaman , ketekanan bandha semene mbane lamun ora enggal asok glondhong pengareng-areng wis mesti negara Kuparman didadekne karang abang, merga raja Kiyaman ora kena sangga sembrana, duwe putra-putri Kesumaningayu Kumandhiten wah wis bobote yaiku mau ngidap-idapi, mula saka iku kudu asok glondhong pengareng-areng”
(“Tambah satu untuk upeti bagi negara Kuparman, sebab negera kita ini di bawah kekuasaan negara Kiyaman, kedatangan harta benda yang sekian banyaknya kalau tidak segera memberikan upeti pasti negara sini akan dihancurkan dan itu tidak bisa diremehkan, sebab raja Kiyaman punya putri Kesumaningayu Kumanditen yang beratnya menakjubkan , maka oleh sebab itu kita harus menyerahkan upeti”)
“ Aduh kanjeng rama punden kula, sesembahan kula kanjeng rama, Raja Yaman menika raja ingkang langkung sugih sanget, wonten paripaosipun bade dipun aturaken dumateng negari Yaman padha karo nguyahi segara, mboten guna kanjeng rama digunaaken dateng pekir miskin kemawon, menika ingkang langkung manfangatipun ageng kanjeng rama, menawi dipun aturaken dateng negari Yaman putra panjenengan Bagindha Amir mboten setuju kanjeng rama, sebab nguyahi segara kanjeng rama …”
(“Aduh ayahnda tempat pujaan saya, sesembahan saya ayahnda , Raja Yaman itu raja yang lebih kaya sekali, ada peribahasa mau diberikan kepada negeri Yaman sama dengan menggarami lautan, tidak manfaat ayah, diberikan kepada fakir miskin saja , itu lebih besar manfaatnya ayah, kalau diberikan kepada negeri Yaman ananda Bagindha Amir tidak setuju, sebab menggarami lautan”)
“ Bagindha Amir “
(“Bagindha Amir”)
“ Wonten dawuh “
(“Iya”)
“ Manuta wong tuwa ya ngger “
(“menurutlah sama orang tua ya nak”)
“ Yayi Bagindha Amir “
(“Adik Bagindha Amir “)
“ Apa kakang Bagindha Umar “
(“Apa kanda Bagindha Umar”)
“ Saiki wong tuwa iku ora perlu dibantah ya, sebab wong tuwa iku tembunge mandi tenan. Sebab menawa ngarani kowe dadi kodok, mula dadi kodok tenanan mengko, mula ya diiyani ngono wae, amrih mareme wong tuwa, sebab maremake wong tuwa iku apik, merga wong tuwa iku Gusti Alloh katon, yen diwaneni woooo…, kuwi tenan “
(“Sekarang orang tua itu tidak perlu dibantah ya, sebab orang tua itu ucapannya manjur sekali. Sebab jikalau sampai mengumpat kamu jadi katak, maka kamu jadi katak betul nanti, maka ya disetujui saja, agar orang tua senang, sebab menyenangkan orang tua itu baik, karena orang tua itu Tuhan yang kelihatan, kalau dilawan wooo, itu sungguh “)
“ Ya kakang Bagindha Umar, kula sumanggaaken kanjeng rama…”
(“Ya kanda Bagindha Umar, saya serahkan kepada ayahnda”)
“ Iya..ya.., wis lila ya “
(“Iya…ya..sudah rela ya”)
“ Sampun “
(“Sudah”)
“ Ngger putraku Dullah “
(“Nak putraku Dullah”)
“ Wonten dhawuh kanjeng rama “
(“Iya ayahnda”)
“ Sliramu tak utus ya ngger ya, ngejaka kanca aja kurang saka selawe wong, iki mengko nggawa unta kabeh, asok bulu bekti marang negara Yaman, iki mengko aturna marang raja Yaman, matura menawa negara Kuparman ketekan banda sing ora karuan akehe “
(“Kamu aku utus ya nak ya, carilah teman jangan sampai kurang dari duapuluh lima orang, ini nanti membawa unta semuanya memberikan upeti ke negara Yaman , ini nanti berikan kepada raja Yaman, bilanglah kalau negara Kuparman baru saja mendapatkan harta benda yang melimpah”)
“ Nun inggih “
(“Iya”)
“ Nah aja nganti kesuwen , kowe mengko selak konangan sedulurmu si Bagindha Amir “
(“Nah jangan terlalu lama, kamu nanti keburu ketahuan saudaramu Bagindha Amir”)
“ He !, kanca-kanca aja kesuwen kanca ayo kanca untane inggal digelak “
(“He !, kawan-kawan jangan sampai terlalu lama ayo kawan untanya segera dipacu”)
“ Yo kanca budhal “
(“Ayo kawan berangkat”)

Berdasarkan naskah cerita di atas, dapat kita petik ajaran moral sebagai berikut:
1. Dalam dialog Patih Tambi Jembiril dengan Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib dipergunakan bahasa Jawa Kromo yang menunjukkan kepatuhan dan kesopanan seorang bawahan (abdi:Jawa) kepada atasannya (Raja). Hal ini sesuai dengan ajaran Jawa yang termuat dalam Serat Sasanasunu karangan Yasadipura II, bab 10 (lihat halaman 24), yaitu Bab dados tiyang ageng punapa tiyang alit. Dalam ajaran ini fungsi bahasa ditentukan oleh faktor non lingual berupa anggapan penutur terhadap lawan bicara . Anggapan tersebut melibatkan faktor sosial dalam peristiwa komunikasi yang berupa status sosial yang terikat dalam konvensi adat Jawa. Hal ini oleh Hudson dinyatakan sebagai Vocabulary level atau tingkat kosakata yang dapat menyatakan identitas sosial bagi penuturnya.
2. Dalam dialog Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib dengan kedua anaknya Bagindha Umar dan Bagindha Amir terdapat ajaran moral yang menggambarkan kesopanan dan kepatuhan dua orang anak terhadap ayahnya baik ketika sedang berdialog, dan memutuskan sesuatu yang dilandasi oleh musyawarah mufakat. Hal itu ditunjukkan oleh Bagindha Amir ketika diminta memutuskan perolehan harta karun yang baru diketemukannya, semula Bagindha Amir menentukan pembagian harta karun berdasarkan hukum Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat AT-Taubah ayat 60 yang terjemahannya :”Hanya sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu ditentukan bagi orang:1. fakir, 2. miskin,3. yang diserahi mengurus zakat;(memungut dan membagikan), 4. yang sedang diperlembut hatinya, 5. budak-budak belian (dalam memerdekakan dirinya), 6. yang berhutang, 7. sabilillah (membela agama Allah) dan 8. anak jalan (yang kehabisan bekal dalam perjalanan yang tidak untuk bermaksiat)”. Adapun zakat fitrah bagikanlah kepada fakir dan miskin ( HPT,1967:156). Dalam hal ini Ki Dalang Muhammad Yusup menyampaikan :
“Menika saking penyuwun dalem, kanjeng rama , menika dipun prail dados wolu “
(“Ini berdasar kemauan ananda ayah, ini dibagi menjadi delapan bagian”)
“Oooo, dadi diprail dadi wolu , terus sing duwe bageyan sapa ?”
(“Oooo, jadi dibagi menjadi delapan, terus yang punya bagian siapa ?”)
“Ingkang sak bageyan dhateng pekir miskin”
(Yang sebagian kepada fakir miskin”)
“Ooo…hiya “
(“Ooo..iya”)
“Ingkang sak bagiyan dhateng tiyang ingkang utange kathah “
(“Yang sebagian kepada orang yang punya hutang banyak”)
“He eh”
(“Ya”)
“Ingkang sak bagiyan dhumateng kanjeng rama “
(“Yang sebagian kepada ayahnda”)
“iya “
(“Iya”)
“ Ingkang sak begiyan kangge alat perang , ingkang sak bagiyan malih dhumateng randha-randha kembang menika “
(“Yang sebagian untuk alat perang, yang sebagian lagi untuk janda-janda kembang itu”)
Dari gambaran dialog di atas sudah dapat digambarkan bahwa Muhammad Yusup ingin memasukkan ajaran moral Islami , ketika kita menemukan harta benda yang melimpah , yaitu wajib dizakati, diberikan sebagian kepada yang berhak menerima.
3. Dalam dialog di atas terdapat ajaran moral Jawa yang intinya jangan membantah kemauan orang tua, sebab bisa kuwalat. Hal itu ditunjukkan dalam dialog : “ Saiki wong tuwa iku ora perlu dibantah ya, sebab wong tuwa iku tembunge mandi tenan. Sebab menawa ngarani kowe dadi kodok, mula dadi kodok tenanan mengko, mula ya diiyani ngono wae, amrih mareme wong tuwa, sebab maremake wong tuwa iku apik, merga wong tuwa iku Gusti Alloh katon, yen diwaneni woooo…, kuwi tenan “
(“Sekarang orang tua itu tidak perlu dibantah ya, sebab orang tua itu ucapannya manjur sekali. Sebab jikalau sampai mengumpat kamu jadi katak, maka kamu jadi katak betul nanti, maka ya disetujui saja, agar orang tua senang, sebab menyenangkan orang tua itu baik, karena orang tua itu Tuhan yang kelihatan, kalau dilawan wooo, itu sungguh “)
4. Dalam dialog di atas terdapat ajaran moral tentang kejujuran, dan kewajiban seorang bawahan terhadap atasannya , dalam hal ini Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib sebagai bawahan dari Raja Yaman merasa wajib memberikan upeti kepada raja Yaman tersebut. Hal ini sesuai dengan ajaran moral Kejawen yang termuat dalam Serat Sasanasunu bab sepuluh yang berisi bab dados tiang ageng punapa tiyang alit.
5. Dalam dialog di atas juga terdapat ajaran moral Islam yang berisi ajaran syukur dan pengagungan nama Tuhan atas segala limpahan keselamatan dalam meraih cita-cita. Hal itu terdapat dalam dialog :
“Aduh kanjeng rama pepunden kula, pangestu panjenengan tansah dipun ridloni Gusti Allah langsung ditebihaken saking sedaya balak lan saget kaleksanan sedaya cita-cita ……. (“Aduh ayahnda pujaan saya, berkat doa restu ayahnda saya senantiasa mendapatkan ridho Allah, langsung dapat dijauhkan dari segala macam bahaya dan bisa terlaksana semua cita-cita….)
6. Menurut William R. Bascom cerita folklor pada babak pendahuluan ini termasuk dalam fungsi folklor sebagai (a) sebuah bentuk hiburan, hal itu ditunjukkan oleh Ki Usup dalam dialog ketika prajurit pulang membawa harta karun dari hutan belantara menuju negeri Kuparman , diselingi dengan lagu Jawa “Goyang Semarangan”, (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata ; hal itu ditunjukkan dengan penggunaan bahasa kromo dan penghormatan dari yang muda kepada yang tua, dari prajurit kepada panglima (Komandan), dari yang tua kepada yang muda, dari adipati kepada raja, (c) sebagai alat pendidikan , (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi. Sedangkan apabila mengacu pada teori fungsi Dundes fungsi folklor yang terdapat pendahuluan yaitu (1) membantu pendidikan anak muda, (2) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok, dalam hal ini Ki Usup telah mampu mewujudkan komunikasi yang selaras dengan gaya khas masyarakat Ponorogo sebagai kolektifa pendukung kesenian ini. (4) sebagai sarana kritik sosial , hal ini ditunjukkan dalam dialog Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib ketika , harta karun itu harus diserahkan kepada yang bukan berhak. (5) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan. Dalam hal ini Ki Usup memberikan sebuah tontonan dalam bentuk cerita fiksi kemudian mengemasnya menjadi sebuah hiburan segar yang dapat membuat orang melupakan beban-beban dalam hidupnya.


Babak Kedua:
Sub thema “ Memayu Hayuning Bawana” di sini diceritakan bagaimana tokoh-tokoh utama mulai mengawali sebagai seorang kesatriya yang mengembara mencari jati dirinya, dalam kisah ini diawali dari masa-masa awal tugas sebagai pangeran hingga memperoleh gelar terhormat sebagai seorang penguasa . Pada alur ini tokoh-tokoh mulai mendapatkan berbagai masalah , rintangan dan cobaan hingga ia menjadi seorang yang sakti, lengkap dengan senjatanya yang bertuah dan wadya bala atau pengikutnya yang banyak jumlahnya. Kelak pengikutnya inilah yang akan menolongnya jika ada rintangan dalam hidupnya.

Narasi cerita pada babak ini adalah sebagai berikut:
“ Sik !!!, leren …, iki ana priyayi nggawa banda sakmene mbane ayo sapa ngakua, kudu leren dina iki !!”
(Stop!!!, berhenti…,ini ada orang membawa harta benda sekian banyaknya , ayo mengaku siapa, harus berhenti !!)
“ Kowe sapa !”
(“Kamu siapa !”)
“ Ora tedheng aling-aling aku putra Ngalabani , Raden Maktal sing kondhang kaonang-onang , tukang gepuk !!, tukang kroyok !, tukang begal ya aku iki !!”
(“Terus terang aku putra Ngalabani, Raden Maktal yang sudah terkenal dimana-mana, jago pukul, jago keroyok,perampok, ya aku ini !!”)
“ Kowe putra Ngalabani Raden Maktal !?”
(“Kamu putra Ngalabani, Raden Maktal !?”)
“ Balik sapa kowe !! “
(“Balik siapa kamu !!”)
“ Aku Dullah “
(“Aku Dullah “)
“ Oooo… Dullah, kowe nyawa apa banda !, banda apa nyawa “
(Oooo… Dullah, kamu pilih nyawa atau harta !, harta atau nyawa”)
“ Kok bisa naker bandha lan nyawa !?”
(“Kok bisa menimbang harta atau nyawa !?)
“ Yen kowe ngeman nyawamu bandhamu semene mbane iki lungna, nanging yen kowe ngeman bandhamu , nyawamu minggata kowe !!”
(“Bila kamu berat nyawamu , hartamu sekian banyaknya ini serahkan padaku, tetapi bila kamu berat hartamu, maka nyawamu lepaskan kamu !!”)
“ Tak kukuhi tenan yen pancen ora kena !! “
(“Tak pertahankan betul, bila memang tidak bisa !!”)
“ Lho !, Bagindha Amir !? “
(“Lho !, Bagindha Amir !?”)
“ Nun inggih kula ingkang sowan “
(“Ya, saya yang datang “)
“ Raden Maktal Putra Ngalabani, iki ora perlu kowe musuh Raden Dullah, mungsuhen wae Bagindha Amir , pancen tak kukuhi tenan menawa kowe arep ngrampas bandha donya sing sak akehe iki ! “
(“Raden Maktal Putra Nagalabani, sekarang kamu tidak usah memusuhi Raden Dullah, lawanlah saja Bagindha Amir, memang aku pertahankan betul apabila kamu mau merampas harta benda yang sekian banyaknya ini”)
“ Oh Bagindha Amir… Bagindha Amir … wujudmu ora sepiroa, hayo sakiki perang tanding Bagindha Amir !! “
(Oh Bagindha Amir…Bagindha Amir…, badanmu tidak seberapa
“ Kowe ngajak perang tanding sak karepmu , sing nanting disik kowe apa aku !? “
(“Kamu mengajak perang tanding, terserah, yang membanting dulu kamu apa aku !?”)
“ Coba tak tanting Bagindha Amir ! “
(“Coba aku banting Bagindha Amir !”)
“ Yoh mara cobanen ! “
(“Ayo kemari cobalah”)

• Sekedap netra Bagindha Amir dipun tanting Raden Maktal putra saking Ngalabani. Saking rosanipun ingkang nanting saking awratipun ingkang dipun tanting, Raden Maktal sukune ambles sak dengkul, Bagindha Amir tanpa obah tanpa mosik sebab Bagindha Amir bobote sewu dacin , Bagindha Amir…*
• (Dalam waktu sekejap Bagindha Amir dibanting oleh Raden Maktal putra dari Ngalabani, karena sangat kuatnya yang dibanting, dan karena sangat beratnya yang dibanting, Raden Maktal kakinya tenggelam kedalam tanah setinggi lutut, Bagindha Amir tak sedikitpun bergerak, sebab Bagindha Amir beratnya seribu dacin, Bagindha Amir …*)

Gending

“ Aduh Bagindha Amir … Bagindha Amir …, dudu majating manungsa, Bagindha Amir pranyata kowe tak tanting tanpa obah tanpa mosik Bagindha Amir, yo !, saiki utang wirang tak saur wirang , utang isin ya nyaur isin , coba tantingen aku Bagindha Amir , lamun Bagindha Amir bisa nanting Raden Maktal putra Ngalabani , ora ujar ora kaul aku ninggal negara Ngalabani salawase, arep suwita selawase urip Bagindha Amir “
(“Aduh Bagindha Amir …Bagindha Amir…bukan orang sembarangan, Bagindha Amir ternyata kamu aku banting tanpa sedikitpun bergerak Bagindha Amir , ya !, sekarang hutang malu aku kembalikan malu, coba sekarang bantinglah aku Bagindha Amir, seandainya kamu bisa membanting Raden Maktal putra Ngalabani, aku bersumpah akan meninggalkan negara Ngalabani selamanya, akan mengabdi seumur hidup Bagindha Amir”)
“ Cobanen yen mangkono ! “
(“Cobalah kalau begitu !”)

• Sekedap netra Bagindha Amir kanthi ucapan Bissmillahirrahmanirrahim, Raden Maktal dipun tanting, prasasat bobot merang seblak dipun keplekaken …
• (Sekejap mata Bagindha Amir dengan mengucapkan Bissmillahhirrahmanirrahim, Raden Maktal Putra Nagalabani dibanting, ibarat seperti beratnya batang padi kering yang dipakai untuk sapu,dia dikibaskan …)

“ Aduh ! … mati aku Bagindha Amir , aduh kangmas Bagindha Amir …, kula ndhawahaken mbok bilih panjenengan saget nanting kula , kula bade ninggalaken negara , selaminipun gesang badhe suwita dateng panjenengan kakang Bagindha Amir …”
(“Aduh ! … mati aku Bagindha Amir, aduh kanda Bagindha Amir …., saya menyerah seandainya- Bagindha Amir- dapat membanting saya, saya akan meninggalkan negara selamanya hidup akan mengabdi kanda Bagindha Amir”)
“ Yayi Raden Maktal !, yen watake wong Islam , yaiku ora bakal munasika marang sak padha-padha mung dasarku iki mung amar makruf nahi munkar, nggugurake kuwajiban mbok menawa kowe kersa , dene ora kersa ya ora dibaya ngapa, sing wis kandha kowe dewe , lha sak iki njur piye ? “
(“Adik Raden Maktal !, wataknya orang Islam yaitu tidak akan menyakiti kepada sesama hanya dasarku ini hanya amar makruf nahi munkar, mengugurkan kewajiban barangkali anda mau, namun jika tidak berkenan ya tidak apa-apa, yang sudah berjanji anda sendiri, lha sekarang terus bagaimana ?”)
“ Inggih sampun kula angkat tangan, nderek panjenengan dados menepa cemet gepeng kula nderek panjenengan “
(“Ya sudah saya menyerah , ikut- Bagindha Amir – jadi apa itu penyet atau pipih saya ikut anda”)
“ Iya yen mangkono , sak iki ayo derekna , iki para narapraja saka negara Kuparman bakal asok glondhong pengereng-areng menyang negara Yaman “
(“Iya kalau begitu, sekarang ayo hantarkan, ini para warga negara Kuparman akan menyetorkan upeti ke nagara Yaman”)
“ Nun inggih sumangga menawi mekaten “
(“Ya, marilah kalu begitu”)

*Sekedhap netra wadyabala saking Kuparman tambah wadyabala, Raden Maktal saking negari Ngalabani arsa nerusaken lampah asok glondhong pengareng-areng dhateng negari Yaman
*(Sekejap mata pasukan dari Kuparman bertambah Raden Maktal dari negeri Ngalabani akan melanjutkan perjalanan menyerahkan upeti ke negara Yaman)

“Astaghfirullah hal adzim la khaula walaquwwata ila billahilaliyyil adzim, sak wise aku angancik alun-alun negara Yaman , keranta-ranta rasaning atiku, kanjeng rama kok dhawuh sing semene supaya nguyahi segara mangka saka iku Raja Yaman wah … bandhane mblegedhu sing ora karuan , negara Kuparman lagi oleh kaya lan ganjaran sing mung sak mene supaya diasokake minangka glondhong pengareng-areng cacahe selawe unta, rumangsa kaya ora lila banget , iki luwih apik diwenehake wong pekir miskin utawa marang bangunan supaya enggal sukses, yen ngono aku tansah tafakur “
(“Astaghfirullah hal adzim la khaula wala quwwata il billahhil aliyyil adzim, setelah menginjak alon-alon negara Yaman, merasa iba hatiku, ayahnda kok menyuruh yang sekian supaya menggarami lautan padahal Raja Yaman wah… hartanya berlimpah yang tidak karuan, negara Kuparman lagi mendapatkan harta yang hanya sekian supaya diberikan sebagai upeti , jumlahnya duapuluhlima unta , merasa seperti tidak rela , ini lebih baik diberikan kepada fakir miskin atau kepada pembangunan agar cepat sukses, kalau begitu aku akan memohon kekuatan Tuhan”)
Sekedhap netra Bagindha Umar-Amir tansah sluku sedhakep nutupi babahan hawa sanga, tansah nyuwun dhumateng ngarsanipun dalem Gusti Allah, kocapa Punakawan kekalih Maruta kalih Dahana ….
(Sekejap mata Bagindha Umar-Amir duduk bersila, bersedekap menutup nafsu sembilan senantiasa memohon kepada Tuhan Allah , tersebutlah dua orang sahabatnya Maruta dan Dahana…)

Dari gambaran cerita di atas dapat kita petik sebuah ajaran moral sebagai berikut:
1. Sikap Andhap Asor yang ditunjukkan oleh Bagindha Amir ketika baru pertamakali bertemu dengan begal Raden Maktal Putra Ngalabani. Hal ini sesuai dengan kepribadian orang Jawa dalam ajaran Serat Sasanasunu dalam bab lampahipun tiyang memitran , kekancan sesaminipun. Darmanto Jatman berpendapat, jika ada tingkah laku, tindakan, sikap, atau kata-kata kasar dari seseorang , maka yang bersangkutan belum Jawa (Purnama,2001:5)
2. Sikap Ksatria yang ditunjukkan oleh Bagindha Amir dalam meladeni tantangan Raden Maktal, dan ketika memperlakukan Raden Maktal setelah dapat ditundukkan. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang dinukilkan dari sebuah Hadits Nabi yang diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah meriwayatkan dari bapaknya bahwa; Rasulullah apabila mengangkat komandan suatu pasukan mewasiatkan agar bertakwa kepada Allah dan berlaku baik terhadap orang Islam, kemudian beliau bersabda : “Berperanglah dengan Bissmillah di jalan Allah, perangilah orang kafir kepada Allah, berperanglah dan jangan melanggar, jangan mengkhianati , jangan bertindak kejam, dan jangan membunuh anak kecil”(Sabiq,2004:37).
3. Sikap Jujur ditunjukkan oleh Raden Maktal terhadap janji yang telah diucapkannya, bahwa setelah ia kalah maka ia akan mengabdi sumur hidup kepada Bagindha Amir. Dalam ajaran Islam hal demikian termasuk dalam Sumpah Mun’aqadah, ialah sumpah yang diniatkan oleh pelakunya benar-benar dan tulus ikhlas. Sumpah semacam tersebut merupakan sumpah yang sebenarnya , dengan niat dan maksud tertentu dan bukan gurauan yang biasa diucapkan di dalam kebiasaan sehari-hari (Sabiq,2001:101).
4. Sikap berserah diri dan sabar dengan selalu mohon ampunan Tuhan. Hal ini ditunjukkan oleh Bagindha Amir ketika hatinya gundah gulana atas pembagian harta yang tidak sesuai dengan keinginannya yaitu pada saat pertamakali memasuki alon-alon negara Yaman. Kemudian ia membaca Istighfar dan menyatakan bahwa tidak ada kekuatan selain Allah. Dalam Hadits Nabi dijelaskan: “Barangsiapa yang tetap melakukan Istighfar, maka Allah akan membebaskan dari segala kesusahan dan melapangkannya dari setiap kesempitan serta akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak diduganya “ (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i , Ibnu Maajah, dan Hakim menyatakan sanadnya Sahih).
5. Ajaran moral tentang jangan sombong atau jangan meremehkan orang lain. Dalam peribahasa Jawa disebutkan Adigang, adigung, adiguna, yaitu orang yang menyombongkan karena merasa perkasa, merasa besar, merasa berkuasa, dan merasa segalanya. Gedhe endhase, orang yang punya watak sok hebat, becik ketitik ala ketara, orang baik bakal dikenang orang jahat akan kelihatan.
6. Menurut Bascom makna cerita tersebut di atas termasuk fungsi folklor ; (a) sebagai alat pengesahan pranata-pranata kebudayaan, (b) sebagai alat pendidikan anak-anak, (c) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi. Sedangkan Dundes mengkatagorikan dalam fungsi; (1) membantu pendidikan anak muda, (2) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok. Dalam hal ini ditunjukkan ketika Raden Dullah mendapatkan lawan yang tidak seimbang, kemudian Bagindha Amir datang membantunya. (3) sebagai kritik sosial. Dalam cerita di atas kritik ini ditujukan kepada penguasa dan orang kaya, intinya bahwa harta benda yang mereka dapatkan jangan dimakan sendiri, tetapi berikanlah sebagian kepada fakir miskin.

Adegan Carangan ( Adegan Selingan )
“ Ehm …ehm …, pancen gampang angel urip ning ngalam ndonya jenenge dina iki bendaraku lagi ketaman kesusahan kaya mangkene , owel marang bandha kang bakal disetorake. Mangka ya bener banget gustiku Bagindha Amir, sebab wong Islam iku dasare Qur’an, yaiku amar makruf nahi mungkar, ora kok maido menyang sapa wae, sebabe ana serat wis didhawuhake lakum dinukum waliyadin , agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku, nanging wong Islam byuh …., wis…wis , agama sing tak rasuk isine mung mathuk thok. Sasi pasa sapa wonge gelem pasa bisa nutug, dosane putih memplak, kaya kertas durung ditulis, yen wis bar malem rongpuluh , sapa wonge gelem aweh pangan nyang wong miskin ora ketang mbolo enom padha karo ngibadah sewu sasi … byuuuh…byuuh bada sesuk , sholat Ied , mbanjur sejarah, kulanuwun nggih !, ayo dhe ! dosamu bisa dilebur dina iki, inggih , salaman wae wis bisa nglebur dosane karo sapodha-podho, dimanggakake terus mangan gedang wae entek sak lirang, wedange entek sak ceret, pinten mas!?, gratis tidak mbayar !!, …wah jebul mathuk maneh. Nyang kulon mah kulon ngono, ora suwe ana kang nothoki lawang, thok-thok ! kulanuwun !, sinten ?, kula, kula dikengken Pak Suta mangke jam pitu diaturi genduren, nggih !!. Tekan nggene nggone , dhayoh diparani terus dipapakne wedange sak gelas , lempere loro, byuuuh…byuuh , mathuk thok maneh, bareng ngono tahlil sedhela , bar tahlil didumi gule sate sak piring melep-melep, byuuh…byuuh…, jale ta kaya ngono kuwi ta, wis, bareng mangkono, karo ngundurne piringe, pladene nyangking gedang ambon nguwehi tamba pedes cacahe ngloro-ngloro, byung…byuuung, karo ngguwak kulit gedang ambon , ijik nyangking cething maneh isine rena-rena, kancinge nyewu –nyewu, biyuuuh …biyuuh , wong Islam iku isine kok mathuk thok, jale ta kaya ngono kuwi lho wong Islam ”
(“Ehm…ehm…, memang gampang sulit hidup didunia, namanya hari ini tuanku lagi menyandang kesusahan yang seperti ini, tidak tega dengan harta benda yang bakal diberikan. Padahal memang benar tuanku Bagindha Amir, sebab orang Islam itu dasarnya al-Qur’an yaitu amar makruf nahi munkar, tidak kok asal mencela kepada siapa saja, sebab di dalam surat sudah dijelaskan agamu ya agamamu, agamaku ya agamaku akan tetapi orang Islam byuuuh…sudah..sudah, agama yang saya anut isinya hanya senang saja. Bulan puasa siapa yang orangnya bisa sampai selesai puasanya, dosanya putih bersih , seperti kertas yang belum ditulisi, bila selesai malam duapuluh , siapa orangnya mau memberi makan kepada orang miskin walau hanya sekedar ubi jalar muda sama dengan beribadah seribu bulan, byuh…byuh…lebaran, besuk sholat ied, terus bersilaturahim, permisi ..ya !, mari bude/pakde!, dosamu bisa disucikan hari ini, ya, dengan berjabat tangan saja bisa melebur dosa dengan sesama, dipersilahkan masuk terus menyantap pisang habis satu tandan, minumnya satu ceret, berapa mas?, gratis alias tidak bayar!!, … wah ternyata nikmat lagi. Ke rumah barat sana, tidak berapa lama ada yang mengetuk pintu, tok…tok…, permisi !, siapa ?, saya diutus Pak Suta nanti jam tujuh diminta kenduri, ya !!. Sampai di tempat , tamu dijemput terus diberi minuman satu gelas, lempernya dua, byuuuh…byuuuh, nikmat lagi, setelah itu Tahlil sebentar, usai Tahlil dibagi nasi gulai sate satu piring penuh sekali, byuuuh…byuuuh.., bayangkan seperti itu lho, setelah itu, sambil menarik piring, pelayannya membawa pisang ambon, masih ditambah lagi satu tempat nasi isinya macam-macam, uang jasanya seribuan, biyuuuh…biyuuuh, orang Islam itu kok nikmat terus, seperti itu lho orang Islam “ )

“Lho nganti yah ene dulurmu Dahana kok durung teka, nyang endi ya , he !, Dahana ayo ndang rene iki lho bendaramu lagi sedih, ayo ndang rene !”
(Lho sampai saat sekarang saudaramu Dahana kok belum datang kemana ya. He ! Dahana ayo segera kemari ini lho tuanmu lagi sedih, ayo segera kemari !”)
“Iya kang !”
(“Iya kak !”)

Gendhing “Aja Umuk”

“Gendhing kok grobyakan kaya cikar bubrah ta di…di…”
(“Musik kok berirama gaduh seperti gerobak lembu ta dik..dik..”)

“Iya kang, wong dadi kelangenanku kok kang !, cekake yen ora gendhing Aja Umuk aku wis wegah “
(“ya kak, memang jadi idolaku kok kak!, pokoknya kalau tidak gending Aja Umuk (jangan membual)aku tidak mau”)
“Ora , lha sirahmu kok mbok tutupi kuwi apa ?”
(“Tidak, kepalamu kok kamu tutup itu apa ?”)
“Lho kowe kuwi ketinggalan jaman kang !, iki ngono jenenge helm kang “
(“Lho kamu itu ketinggalan jaman kak !, inilah yang namanya helm kak”)
“Lho kok nganggo helm ?”
(“Lho kok pakai helm ?”)
“Wooo…, kanggo njaga kebaikan kang !, mulane wis didhawuhke bola-bali, rujak kunir jenenge parem, bubuk kopi gula jawa , kowe nyetir nganggo helm cethuk polisi ora apa-apa…(penonton tertawa !!), lho iki lho kanggo njaga keamanan , mulakna aja sembrana “
(“Wooo…, untuk menjaga keamanan kang !, makanya sudah dikatakan seringkali, rujak kunyit namanya parem, bubuk kopi gula Jawa, kamu nyetir pakai helm ketemu polisi tidak apa-apa…, lho ini lho untuk menjaga keamanan, makanya jangan sembrono”
“Layak ta , nganggo helm penthelang-pentheleng !”
(“Layak to,pakai helm matanya melotot”)
“Lha iya ta kaya ngene iki “
(“Lha iya ta seperti ini”)
“Piye ta dik tenane iki “
(“Bagaiamana ta dik sebenarnya ini”)
“Ngene lho kang, tenane, tenan awake dina iki wah, pira-pira tansah ngonjukake sukur nyang Ngarsa Dalem Gusti Allah , dina iki diparingi wekdal panjenengane mbahe ingkang kawogan , supaya yaiku ikut meriahkan utawa yaiku mau ikut pentas ning kene, byuuuh…biyuuh, wis warangganane nyos!!!, banjur yaiku mau pradanggane jegeg , geke, tempate hemm, I love you, aku ya ngono , pokoke yes !, aku ya ngono “
(“Begini lho kak, sejatinya, betul kita hari ini wah, berapapun harus selalu memanjatkan rasa syukurkehadhirat Allah, hari ini diberi kesempatan beliau yang berkuasa, supaya yaitu ikut memeriahkan atau yaitu ikut pentas di sini, byuuuh…biyuuuh, sudah penyanyi wanitanya hebat !!!, dan penabuh gamelannya hebat sedangkan tempatnya hmm, Aku cinta padamu, pokoknya hebat, aku ya begitu”)
“Ora dik kok cara Inggris , I love you iku kepriye ?”
(“Tidak dik kok pakai istilah Inggris I love you itu bagaimana?”)
“ Oooo… I love you iku aku cinta kepadamu , mulane aku pliiss, silahkan , maka daripada itu aku masih jadi orang , I love donak belum bekerja yo hora apa-apa, ngono lho kang”
(“Oooo…I love you itu aku cinta padamu, makanya aku pliss, silahkan, maka daripada itu aku masih jadi orang, I love donak belum bekerja ya tidak apa-apa, begitu lho kak”)
“Lha iki sir kepiye penake”
(Lha ini maunya bagaimana enaknya”)
“lha iki gandeng bendaramu lagi kesusahan, mathuke aku karo kowe, sak ora-orane ya nglipur penggalihe “
(Lha ini berhubung tuanmu lagi kesusahan, enaknya akau denganmu, setidak-tidaknya ya menghibur hatinya”)
“apa”
(“apa’)
“nglipur penggalih “
(“menghuibur hati”)
“lha sing kok jaluk !?”
(“lha permintaanmu!?”)
“bisa sesuai karo jamane”
(“bisa menyesuaikan jamannya”)
“aku arep njaluk Randha Nunut !!”
(“aku mau minta tembang Randha Nunut”)
“lho kok Randha Nunut ?”
(“lho kok Randha Nunut ?”)
“ya !, nunutake randha-randha –ke aku mesakake, merga para syuhada , para pahlawan direwangi pecahing dhadha wutahing ludira, kanggo ngrebut kamardikan, iki okeh randha kembang, okeh bocah yatim, okeh wong miskin kudu dipikirke, mulane aku njaluk randha nunut, lho iki ya jelas ta “
(“Ya, mengikutkan janda-janda itu aku kasihan , sebab para syuhada, para pahlawan sudah merelakan jiwa raganya sampai darah penghabisan, untuk merebut kemerdekaan, ini banyak janda kembang, banyak anak yatim, banyak orang miskin harus diperhatikan, makanya aku minta temang Randhane Nunut, lho ini jelas ta”)
“jaman semana aku kelingan rikala negara jik dicengkeram karo penjajah, byuh !, masyarakat uripe piyeee ngono, gaplek wae ora nyore tenan, lho di !, kuwi tenan , kuwi kok ora sembrana , kuwi tenan, jaman semono, sandangan wae biyuuh..biyuuh, lek rowak-rawek, tumane sak mlinjo-mlinjo. Bareng pemerintah cancut taliwanda, dina iki , biyuuuh…biyuuuh , ndesa-ndesa omah tingkat-tingkat, sandangan jempol-jempol, ngene iki mau buahe para syuhada lan para pahlawan kang direwangi pecahing dhadha wutahing ludira kanggo ngrebut kamardikan iki, mulane kudu disyukuri, eneng bangunan apa wae kudu nyengkuyung , mulane ana tarikan saka pemerintah ayo padha ditindakake, ya nyicil sethithik mbaka sethitihik lewat RT, awit yen kabeh pingin apik kudu jer basuki mawa bea , lha yen njaluk apik tanpa bea apa ya isa “
(“jaman itu aku teringat ketika negara masih dicengkeram penjajah, byuh !, itu sungguh, itu kok bukan bualan, itu sungguh, makan gaplek saja tidak sampai sore lho dik !, itu sungguh jaman itu pakaian saja biyuh…biyuuh sobek semuanya, kutunya sebesar buah mlinjo. Setelah pemerintah berjuang sekuat tenaga, hari ini biyuuuh…biyuuuh, desa-desa banyak rumah susun , pakaian bagus-bagus, begini ini adalah buahnya para syuhada dan para pahlawan yang sudah merelakan pecah dadanya tumpah darahnya untuk merebut kemerdekaan ini , makanya harus disyukuri, ada pembangunan apa saja harus didukung makanya ada tarikan dari pemerintah ayo sama dilaksanakan, ya mengangsur sedikit demi sedikit lewat RT, sebab bila semua ingin baik harus mengeluarkan biaya, lha bila kepingin baik tanpa biaya apa ya bisa”)
“Ooo…,ya cocok , wis lek ngono , Randha Nunut, mangga dados !! “
(“Ooo…ya cocok,sudah kalau begitu, Randha Nunut, silahkan jadi!!”)

Gendhing Randha Nunut

“Lha ya enak ta kang Randha nunut , mulane iki mau ngene , jane lek warangganane miturut sing usul calone enem, wasana ana aral sing siji gerah, sing siji eneh putune lahir, Semarang kaline banjir , berase ora larang putune lahir, ngene iki byuuuh…byuuh “
(“Lha iya enak ta kak Randha Nunut, makanya ini tadi, sebenarnya penyanyi wanitanya mestinya ada enam, ternyata yang satu ada halangan sakit, yang satu lagi cucunya lahir, Semarang kalinya banjir, berasnya tidak mahal cucunya lahir, begini ini byuuuh…byuuuh”)
“Ora lho dik aku takon, ora !, seni Jemblung Katong Wecana pokok-pokoke kepriye sing ana Ponorogo kuwi piye sejarahe ?”
(“Tidak lho dik aku mau tanya, seni Jemblung Katong Wecana pokok-pokoknya bagaimana yang ada di Ponorogo sejarahnya?”)
“Seni Jemblung Katong Wecana kuwi ora ana gambare, mung dongengan, merga jaman semana nalika Raden Bathara Katong sing babad Ponorogo diutus karo kangmase saka Demak Bintara supaya mbabadi alas oleh sak kidul etane Gunung Lawu, bareng mangkono teka kene dikandani diden-deni aja pisan-pisan kowe mbabadi alas kene, merga kene iki ana ompleng-omplenge sing luwih pinunjul yaiku Ki Ageng Kutu , balik maneh !, bareng balik karo Kangmas Raden Patah, didhawuhi supaya disampiri sampur kon balik jumeneng Adipati digawani Basusena, yaiku Patih Sela Aji , bareng digawani Patih Sela Aji , teka kene banjur musyawarah kecethukan karo kiai muslim yaiku Kiai Ageng Mirah , piye penake arep mbabadi alas iki , sing menghambat kok gedhe banget , sak iki ngenekake musyawarah Ki Ageng Muslim takon “Ora ,aku arep takon dhisik , karo kangmasmu, disampiri sampur supaya mababad alas iki, digawani apa kowe ?”
(“Seni Jembung itu tidak ada gambarnya, hanya mendongeng, sebab jaman itu ketika Raden Bathara Katong yang babad Ponorogo diutusoleh kakaknya dari Demak Bintara supaya membuka hutan disekitar selatan timur Gunung Lawu, setelah sampai di Ponorogo diberitahu dan ditakut-takuti jangan sekali-kali kamu membuka hutan di sini sebab di sini ada orang kuat yang lebih hebat yaitu Ki Kutu. Kembali lagi, setelahkembali bersama dengan Raden Patah supaya diberi tugas disuruh balik menjabat sebagai adipati didampingi Basusena , yaitu Patih Selo Aji, sampai di sini terus musyawarah ketemu dengan kiai muslim yaitu Ki Ageng Mirah, bagaiman enaknya mau membuka hutan di sini, yang menghambat kok besar sekali, sekarang mengadakan musyawarah , Ki Ageng muslim bertanya, tidak aku mau bertanya terlebih dahulu dengan kakakmu dibekali apa untuk membuka hutan di sini”)
“Sepisan kula disangoni cengkir”
(“Yang pertama dibekali cengkir (kelapa muda:Pen.)”)
“Nggih “
(“Ya”)
“Iku maksude piye ?”
(“Ini maksudnya bagaimana ?”)
“Cengkir niku kencenge pikir, maksude pacul, niku ngelmune papat aja nganti ucul , siji syahadat, loro sholat, telu zakat, papat puasa, lima dohrane, maksude adoh parane , dina iki limang yuta , iki supaya mencar-mencarake njejegake agama Islam ana sak kidule Gunung Lawu , lha bareng mangkono arep babad alas lha sing usul dhisik Patih Marga Ewuh , woo .. panjenengan badhe mababadi wana menika, ohhh kathah penghambatipun . Lajeng musyawarah . Sakwise musyawarah Patih Selo Aji usul…
(“Cengkir itu teguhnya pikir, maksudnya pacul, itu ilmu empat jangan sampai lepas, satu syahadad, dua sholat, telu zakat, empat puasa, lima jauh perginya, hari ini lima juta, ini supaya menyebarkan menegakkan Islam disekitarnya gunung Lawu, lha setelah itu bareng mau membuka hutan yang usul Patih Mergo Ewuh, woo anda mau membuka hutan ini, banyak penghalangnya. Terus bermusyawarah. Setelah musyawarah Patih Sela Aji usul..”
“Pun sak niki ngaten mawon , menika kelangkung sae dipun wontenaken bedamen , lha kula mawon gadhah wawasan supados nunjuk dhumateng mubalek Kiai Danasuka , niku supados inggih menika dakwah wonten prapatan Medhang Kawit, jaman rumiyin , lha tenan !, bareng mangkono tekan Prapatan Medhang Kawit , dakwah ya dhasare amar makruf nahi munkar , aja nyuwiya sak padha-padha ,dhasarku arep gawe apik mangkono sakwise mangkono kedaden “
(“Sudah sekarang begini saja, ini lebih baik diadakan perdamaian, lha saya saja punya pandangan supaya menunjuk pada mubalik Kiai Danasuka, itu supaya yaitu dakwah di perempatan Medhang Kawit, jaman dahulu, lha betul !, setelah sampai di perempatan Medhang Kawit , dakwah yang didasari amar makruf nahi munkar, jangan menyakiti sesama, dasarnya mau berbuat baik, setelah itu terlaksana”)
“Waa…, banjur si Kiai Danasuka, dakwah , bangsane wong-wong , bangsane jin-jin padha ngrungokne “
(“Waa…, selanjutnya Kiai Danasuka dakwah, bangsanya manusia dan jin saling mendengarkan”)
“Lek ngono bener tenan , wong-ke yen nggawe kapitunane sak padha-padha ora apik kedadehane, lek ngono pikirku kaya digugah , rumangsa jenjem …, rumangsa jenjem “
(“Kalau begitu benar betul, orang itu bila membuat kerugiannya sesama tidak baik jadinya, kalau begitu pikiranku seperti dibangunkan, merasa tentram …, merasa tentram”)
“Raden Katong dhawuh , ‘mbesuk ana rejane jaman jenengna Jemblung !! ‘, dadi Jemblung mau saka tembung jenjem penggalihe, mulane Jemblung Katong Wecana , sebab sing meca Raden Katong “
(“Raden Katong memrintahkan, besuk kalau ada ramainya jaman namakan kesenian ini Jemblung !!, jadi jemblung itu diambil dari kata jenjem penggalihe (tentram hatinya), makanya namanya jemblung Katong Wecana sebab yang mendongeng Raden Katong”)
“Kuwi apa lho kang ?”
(“Itu apa lho kak ?”)
“Yaiku seni Jemblung Katong Wecana , sing meca iku eyang Katong , nalika babad Ponorogo . Bareng babad dhes !!, terus dadi negara …, lha Prapatan Medhang Kawit dhek semana terus dicorek , mbesuk golekana iki lho eneng sandhinge iki lho, iki papat karo telu , tibake dina iki dicocokne karo kahanan pas !, prapatan Medhang Kawit tibake prapatan siji sing nyangga patang ndesa, digoleki satus dusun ora temu loro, manggone ana ngendi ?, prapatan PasarPon, sing mloncong ngidul mangulon sing nyangga Desa Mangunsuman kecamatan Siman, sing mloncong ngalor ngulon, Kelurahan Patihan Kecamatan Babadan, sing mloncong ngalor ngetan , Kelurahan Kadhipaten Kecamatan Babadan, sing mloncong ngidul ngetan , Kelurahan Singosaren, Kecamatan Jenangan. Patang ndesa , telung kecamatan , mungel pitu, wong ngurip ning ngalam ndonya nggolek pituduh sing bener, pitutur sing apik, lho kaya ngono kuwi lho kang !, iki seni jemblung Katong Wecana , mulane sok kesilep-kesilep , apa ta mundhak mung ngomong wae kok !, ning riwayate Raden Katong nalika babad Ponorogo, terus tentrem, terus aman, terus sak iki dinggoni nenek moyang , mulane iki ayo sak iki aja ninggalne kesenian asli Ponorogo, seni jemblung Katong Wecana, kanthi dasar ngurip-urip, memetri babade eyang Katong, pahlawan Islam sing disarek-ke ana Sentana Dalem “
(“Yaitu seni Jemblung Katong Wecana, yang mendongeng itu eyang Katong ketika mendirikan Ponorogo. Setelah membuka hutan dhes!!, terus jadi sebuah negara…,sedangkan perempatan Medhang Kawit pada waktu itu terus dicoret, besuk carilah, ini lho di sampingnya ini lho, ini empat dengan tiga,ternyata hari ini dicocokkan pas dengan keadaan. Perempatan Medang Kawit perempatan satu yang menyangga empat desa, dicari seratus dusun tidak ketemu dua, tempatnya ada di mana ?, perempatan Pasar Pon, yang membujur ke selatan dan ke barat yang menyangga Desa Mangunsuman Kecamatan Siman, yang membujur ke utara dan ke barat, Kelurahan Patihan Kecamatan Babadan, yang membujur ke selatan dan ke timur, Kelurahan Singosaren, Kecamatan Jenangan. Empat desa, tiga kecamatan, berbunyi tujuh, orang hidup di dunia mencari petunjuk (pitu-duh) yang benar, lho seperti itu lho kak!, iniseni jemblung Katong Wecana, makanya sok remehkan, apa ta hanya Cuma mendongeng saja kok !, tetapi riwayatnya Raden Katong ketika pertamakali mendirikan Ponorogo, terus tentram, terus aman, terus sekarang ditempati anak keturunan kita, makanya ini ayo sekarang jangan meninggalkan kesenian asli Ponorogo, seni Jemblung Katong Wecana, dengan dasar melestarikan, dan mengenang perjuangan eyang Katong, pahlawan Islam yang dimakamkan di Sentana Dalam”)
“Lho kaya ngono kuwi “
(“Lho seperti itu “)
“Oooo.. iya…ya “
(“Oooo..iya..ya”)

Dari uraian narasi cerita di atas dapat dipetik ajaran moral sebagai berikut:
1. Sikap sabar dalam mengemban tugas sebagai seorang abdi yang bertugas melayani tuannya. Hal itu ditunjukkan oleh Maruta dan Dahana ketika tuannya sedang mengalami kesusahan, kemudian dia menghiburnya. Suripan Sadi Hutomo berpendapat bahwa sebagian orang Jawa di pedesaan beranggapan bahwa penderitaan merupakan syarat untuk memperoleh kebahagian dan kemuliaan (2001:238). Sedangkan dalam Serat Sasanansunu pada bagian ke sepuluh dan ke enam dijelaskan tentang bab dados tiyang ageng punapa tiyang alit, dan bab lampahipun tiyang memitran , kekancan sesaminipun. Di dalam Serat Kalatidha oleh R. Ng. Ranggawarsita; Sageda sabar santosa, mati sajroning ngaurip, kalis ing reh haru hara, murka hangkara sumingkir, terlen meleng melatsih, sanityasing tyas mematuh, badharing sapudhendha, antuk mayar sawetawis, barong anggo suwarga mesi martaya. (Supaya sabar dan sentosa, mati di dalam hidup / mati nafsu jahatnya, terhindar dari gelisah dan cemas, terjauhkan dari angkara murka, senantiasa memohon belas kasih Tuhan, senantiasa tunduk patuh, setelah dosa diampuni, hati merasa ringan, hamba serahkan hidup kepada Tuhan di sorga yang penuh kedamaian : pen.).
2. Ajaran hidup guyub rukun dengan menghormati perbedaan kepercayaan dan keyakinan. Hal ini sesuai dengan konsep hidup bermasyarakat dalam tradisi Jawa yaitu hidup damai dan gotong royong. Dalam budaya jawa terdapat pepatah “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”(Bersatu menjadikan kuat, berselisih menjadikan rusak).
3. Ajaran untuk tetap teguh dalam menganut dan mengamalkan agama Islam, suka berpuasa, suka memberi makan serta mencintai sesama muslim. Dalam hadits Nabi dijelaskan: Dari Abdullah bin Amr ra. Bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw.:”Islam apakah yang lebih baik ?, Beliau bersabda:”Kamu memberikan makanan dan mengucapkan salam atas orang yang kamu kenal dan belum kamu kenal”. Dari Anas ra. Dari Nabi saw., beliau bersabda:”tidak beriman salah seorang diantaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”.
4. Mengagungkan pahlawan yang telah gugur yang telah berjasa dalam babad Ponorogo dan pahlawan kemerdekaan yang telah berjasa dalam merebut kemerdekaan. Dalam konsep budaya Jawa , Simuh berpendapat bahwa sastra keagamaan Mahabarata dan Ramayana juga telah mengangkat konsep satria Jawa menjadi kelas elit Jawa, yakni golongan kusuma rembesing madu, yang mengembangkan watak kepahlawanan (2003:54). Lebih jauh Simuh berpendapat bahwa ciri khas religi animisme –dinamisme dalam budaya Jawa asli adalah kepercayaan terhadap ruh yang bersifat aktif. Prinsip ruh aktif menurut kepercayaan animisme adalah bahwa ruh orang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan atau mensejahterakan masyarakat manusia (2003:41).
5. Menjadi warga negara yang baik, selalu mendukung pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam ajaran Kejawen tertulis dalam Serat Sasanasunu yang dimasukkan dalam bab dados tiyang ageng punapa tiyang alit.
6. Bascom dan Dundes mengklasifikasikan fungsi folklor sebagai; (c ) sebagai pendidikan , (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata kebudayaan , (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi. Sedangkan Dundes mengklasifikasi fungsi folklor sebagai; (1) membantu pendidikan anak muada, (2) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok, (4) sebagai sarana kritik sosial,(5) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan. Dalam kaitanya dengan fungsi nomer 4 terdapat dalam ucapan dalang tentang pemasyarakatan helm, iuran warga untuk membangun, dan perhatian masyarakat dan pemrintah dengan kelestarian seni jemblung yang menurut Muhammad Yusup merupakan kesenian asli Ponorogo yang banyak jasanya dalam mendirikan Ponorogo.
7. Dilihat dari bentuk cerita yang disajikan pada bab di atas, Ki Usup ingin menonjolkan kehebatan Raden Katong dalam memprediksi keadaan yang bakal terjadi di Ponorogo. Dilihat dari cerita semacam tersebut di atas, maka cerita Payung Tunggulnaga oleh Ki Usup dimanfaatkan untuk kembali menghormati, mengagumi dan mengenang kehebatan Raden Katong selama tinggal di Ponorogo. Suripan Sadi Hutomo mengklasifikasikan cerita semacam ini sebagai “sastra puja”. Artinya kesusastraan yang dipergunakan untuk memuja dan menghormati seorang tokoh (2001:259). Dengan demikian ajaran moral yang hendak diberikan oleh Ki Usup adalah menghormati orang lain yang punya kelebihan dan berjasa dalam membangun bangsa.

Bagian Batang Tubuh Cerita dengan Sub Thema: “Memayu Hayuning Bawana”
“Punakawan loro padha sesuka , kowe ora ngerteni iki dina yaiku mau Raja Yaman, ngedekne sayembara, putra-putri kuwi dirawuhi para raja , para ratu sewu negara, kuwi banjur milih repot Kusumaningayu Ratu Kumanditen nduwe patembaya, sapa sing bisa nanting yaiku mau Kumanditen bakal diladeni suwita salawase urip pisan, ping pindhone sapa sing bisa njemparing ali-ali sing dingge …”
(“Punakawan berdua sedang bersenang-senang, kamu tidak mengetahui hari ini yaitu Raja Yaman, mengadakan sayembara, putra-putri itu didatangi para raja dan para ratu seribu negara, itu membuat repot Kusumaningayu Ratu Kumanditen punya taruhan, siapa yang bisa mengalahkan bakal dijadikan suaminya selama hidupnya, kedua kalinya siapa yang bisa memanah cincin yang dipakai …”)
“Ooo… dadi mangkono ? “
(“Ooo…jadi begitu ?”)
“O, iya “
(“O, iya”)
“Lho iki sapa ana satriya penthelang-pentheleng ana ngarepku !”
(“Lho ini siapa, ada satriya jelalatan didepanku !)
“Takon marang sapadha-padha, aku Raja Ngabsi , iki krungu kabar ana negara Yaman ngedekake sayembara sapa sing bisa nanting Kesumaningayu Kumanditen bakal disuwitani selawase urip, aku sing bakal ngleboni sayembara !”
(“Tanya kepada sesama, aku Raja Ngabsi, ini terdengar di negara Yaman mengadakan sayembara siapa yang bisa mengalahkan Kesumaningayu Kumanditen bagal dijadikan suami selama hidupnya, aku yang bakal mengikuti sayembara”)
“He Raja Ngabsi, yen mangkono kena kowe ngleboni sayembara, coba ayo padha diayati !”
(“He raja Ngabsi, kalau begitu bisa kamu mengikuti sayembara, coba ayo laksanakan !”)
“Yoh !, yen ngono ati-atinen “
(“Ya !, kalau begitu hati-hatilah”)

Sekedhap netra Kesumaningayu Kumanditen dipun tanting kalih Raja Ngabsi, mbegegeg mboten menapa-menapa, menika sangking amratipun Kumanditen
(Sekejap mata Kusumaningayu Kumanditen dibanting oleh Raja Ngabsi , tidak bergerak sama sekali, hal itu karena terlalu beratnya Kumanditen)

“Astaghfirullah hal adzim, laa haula wala quwwata ilabillah, iki Raja Ngabsah ora bisa ngayati “
(“Astaghfirullah hal adzim, laa haula wala quwwata ilabillah, ini Raja Ngabsi tidak bisa mengalahkan”)
“Iki ana satriya bagus rupane, alus tindake, sapa teka ngarsaku! “
(“Ini ada satriya tampan, lembut budinya, siapa datang didepanku”)
“Yen takon karo aku , ana mangsi padha-padha mangsiono, aku wali nabi sangka negara Kuparman, Ngarab, aku Bagindha Amir “
(“Bila Tanya denganku, ada yang belum kenal, kenalkan, aku wali Nabi dari negara Kuparman, Ngarab, aku Bagindha Amir”)
“Bagindha Amir, Bagindha Amir, kowe apa bakal ngleboni sayembara ?”
(“Bagindha Amir, Bagindha Amir, kamu bakal mengikuti sayembara?”)
“Iya, pancen doh kana doh kene tak niyati aku bakal ngleboni sayembara “
(“Iya memang , jauh-jauh dari sini aku niati aku akan mengikuti sayembara “)
“Aja maneh kur kowe Bagindha Amir, kakekamu kabeh para raja, para ratu, ora bisa nanting wong sing kaya aku, Bagindha Amir ! “
(“Jangankan Cuma kamu Bagindha Amir, kakekmu semua para raja, para ratu, tidak bisa mengalahkan aku, Bagindha Amir !”)
“Ora kena riak kibir, sebab Gusti Allah iku sifat rahman lan sifat rahim , iki iyik-iyik bakal nanting, bisa ora, ora kewuhan, gagah perkosa wujude nanging bisa ya ora kewuhan “
(“Tidak bisa sombong dan meremehkan, sebab Tuhan Allah itu sifat rahman dan sifat rahim, walaupun ini masih anak kecil, bisa tidak, tidak sulit, gagah perkasa wujudnya tetapi bisa juga tidak kesusahan”)
“Bagindha Amir !!”
(“Bagindha Amir !!)
“Apa !!!”
(“Apa !!!”)
“Yen mangkono ayo padha diayati, coba tantingen aku Bagindha Amir !!”
(“Kalau begitu ayo dicoba, coba lawan akau Bagindha Amir”)
“Kowe bakal tak tanting “
(“Kamu akan aku kalahkan”)
“Piye !!”
(“Bagaimana !!”)
“Kowe bakal tak tanting “
(“Kamu akan aku lawan”)
“Iya jajalen “
(“Iya cobalah”)

Sekedhap netra Bagindha Amir dipun tanting kalian Kesumaningayu Kumanditen, sangking amratipun ingkang dipun tanting, sangking rosanipun ingkang nanting, Kesumaningayu Kumanditen sukune ambles sak dhengkul , Bagindha Amir mboten obah mboten mosik, Bagindha Amir bobot sewu dacin…Bagindha Amir …
(Sekejap mata, Bagindha Amir dicoba diangkat oleh Kusumaningayu Kumanditen, karena terlalu beratnya yang dibanting, karena sangat kuatnya yang dibanting, Kusumaningayu kakinya amblas setinggi lutut, Bagindha Amir sedikitpun tidak bergerak ataupun goyah, Bagindha Amir beratnya seribu dacin …Bagindha Amir…)

“Bagindha Amir…Bagindha Amir, dudu majate menungsa Bagindha Amir, bareng tak tanting sikilku ambles sak dhengkul, Bagindha Amir tanpa obah tanpa mosik Bagindha Amir, utang wirang nyaur wiring utang isin ya nyaur isin , ya Bagindha Amir coba aku tantingen Bagindha Amir !”
(“Bagindha Amir…Bagindha Amir, bukan manusia sembarangan Bagindha Amir, setelah aku banting kakiku amblas setinggi lutut, Bagindha Amir tanpa bergerak sedikitpun Bagindha Amir, hutang malu mengembalikan malu, ya Bagindha Amir, coba sekarang bantinglah aku Bagindha Amir!”)
“Aku oleh prentahmu ya.., supaya nanting kowe, coba…coba ayo tak ayatane “
(“Aku dapat perintahmu, ya, supaya membanting kamu, coba..coba ayo aku lakukan”)

Sekedhap netra Bagindha Amir kanthi ucapan Bismilahirrahmanirrahim, Kumanditen dipun tanting, prasasat bobot merang seblak, dipun umbulaken dhel !!!, ngantos inggilipun sedasa jungul sangking ampuhipun Bagindha Amir
(Sekejap mata Bagindha Amir dengan ucapan Bissmillahirrahmanirrahim, Kumanditen dibanting, ibaratnya seperti batang padi kering seperti tangkai daunnya yang kering, diangkat dhel !!!, sampai tingginya sepuluh orang berdiri, karena hebatnya Bagindha Amir”)

Gendhing

“Aduh kangmas !, pepunden kula, sesembahan kula, pantes kula suwitani kangmas,sakderengipun kula sampun persapa, sinten ingklang saget nanting dhumateng kula, pantes kula sembah kangmas, punden kula ..”
(“Aduh kanda !, pujaan hati, sesembahan saya, pantas aku jadikan suami kanda, sebelumnya aku sudah berjanji, siapa yang bisa mengalahkan saya, pantas aku jadikan suami, pujaan hatiku”)
“Kepiye !!”
(“Bagaimana!!”)
“Inggih kula sampun angkat tangan, dados menapa-menapa kula badhe suwita dhateng panjenengan kangmas “
(“Ia saya angkat tangan , jadi apa-apa saya mau mengabdi kepada kanda”)
“Hmm, ora tak ladeni ke kepiye, ora tak ladeni ke ya kepiye … hmm … raga..raga..ditinggal nyawa mbesuk dadi apa ga…raga, kaya ngene …hmm.., jenenge wong kuning kok dienggo dhewe aduh, manuta ya ning , sun pondhong-pondhong ojo mingkar-mingkur ya ning ya .., adiku bocah ayu Kumanditen !, iki ana paribasane sunnah dadi wajib, aku kawin karo sliramu iku sunnah , nanging dadi bojoku kowe kuwajibanku , aku kuwajiban nagayomi , aku kuwajiban ngomah-ngomahi, dadi kangmasmu aku kuwajiban tutur marang sliramu, anggonen selawase, wadon wani karo lanang, ngelingana urip ning ngalam ndonya mung pirang dina , diumpamakne wong nyang pasar mampir ngombe, umpamane sak suwi-suwining ning ngalam ndonya ijik suwe ning jaman akherate mbesuk ya di, ya ..”
(“Hmm, tidak aku layani itu bagaimana, tidak aku layani ya bagaimana…hmm… raga…raga… ditinggal nyawa besuk jadi apa ga…raga, seperti ini hmm, namanya orang kuning kok dipakai sendiri, aduh menurutlah ya ning aku peluk jangan berbalik badan ya ning ya…, adikku anak cantik Kumanditen !, ini ada peribahasa sunnah jadi wajib, aku kawin denganmu itu sunnah, tetapi jadi istriku kamu jadi kewajibanku, aku kewajiban melindungi, aku kewajiban membuatkan rumah, jadi suamimu aku berkewajiban memberi nasehat kepadamu, pakailah selamanya, wanita berani sama lelaki, ingatlah hidup di dunia hanya berapa hari, diumpamakan orang pergi ke pasar singgah minum, umpamanya selama-lamanya di duniamasih lama di akheratnya besuk ya dik ya …”)
“Nun inggih kangmas punden kula, sesembahan kula “
(“Ya kanda pujaan saya, sesembahan saya”)
“Iya !, sing kena diarani wong wadon sejati iku sing piye ?, sing diarani wong wedok sejati iku sing gelem ngenggo ma papat, nga telu. Maksude ma papat, dadi wong wadon pintera macak, nome loro pintera masak, nomer telu mapakka kakunge yen bar tindak, nomer papat manggakake , wong wedok sejati , esuk-esuk tangi turu, ndang adus terus macak sing mening-mening, wedhakan rembet-rembet , liven njlirit, biyuuuh…wong lanang kuthuk ora tahu lunga , iku tenan , nanging yen wong wedok njeborok !, biyuuuh…biyuuh wong lanang kesit…kesit, sing kakung bar ka kantor diesemi !, sugeng kangmas ?”
(“Iya !, yang dapat disebut wanita sejati itu yang bagaimana?, yang disebut wanita sejati itu adalah yang mau mengamalkan eM empat dan nG tiga, maksudnya jadi wanita yang pintar berbusana dan berhias, nomer dua pintarlah memasak, nomer tiga pintarlah menyambut suami yang pulang dari kerja, nomer empat melayani suami, wanita pagi-pagi bangun tidursegera mandi terus berdandan yang cantik, pakai bedak tipis, liven tipis, byuuuh…suami jinak tidak pernah keluyuran, itu betul, tetapi kalau istri jorok !, byuuhh…biyuuuh suami lari terbirit-birit, suami habis pulang dari kantor istri senyum !, Selamat datang kanda..?)
“Biyuuuung…biyuung , aja mati-mati aku karo kowe bune…bune…, masyaallah , kuwi tenan , ning kosok bali wong wedok ngenggoni nga telu , ora oleh kulakane, maksude nga telu, siji; senenge ngrasani bojo, loro; ngobrol, telu; ngantukan, kudung buyuk ilang blengkere , prawan ngepluk ilang nomere, mulane wong wadon aja ngangggo nga telu , awit nga telu bageyane pak lanang, gelem ora kowe lek rabi kuwajiban duwe nga telu, siji; ngayani, loro; ngayemi, telu aku lali …(penonton tertawa bersahutan) aku lali diajeng , mula sangka iku kon sing padha setiti kon sing padha waspada , urip ning ngalam ndonya iki ora-orane bisa-a duwe pitung bahasa, iki wis rada mumpuni, apa , Inggris duwe, Cina duwe, Jawa duwe, Arab duwe, Bahasa Indonesia duwe, lan liya-liyane, paling ora sak kecap isa dadi mumpuni , mulane dadi wong wadon diajeng, sing padha setiti , sebab simbah biyen sak durunge teka wis nggawa jangka, mbesuk wis jangkane dewe , lek njangka piye, ‘thole..thole titenana mbenjang lami kowe mbesuk menangi kreta tanpa jaran maju mundur lelakune , okeh wong kang mangan watu, ngombe tlethong, sembarang sing teka ditanting , mbanjur yaiku mau menange suara sing dititipake ora kasat mripat, kuwi apa ?’, Kuwi ngene ya, kreta tanpa jaran , maju mundur lelakune , okeh wong ngombe tlethong…, dina iki tanduran kalah rabuk ya kalah tenan, banjur okeh wong mangan watu, byuuuhh…byuuh, dina iki watu dadi gedhang goreng , rosokan ember-ember iki sakiki dadi gedhang goreng lho dina iki, menange suara sing dititipne ora kasat mripat, kabukten jaman sak iki yen duwe gawe mung cukup tip-tipan , ora kasat iku kaset , banjur sembarang sing kok cekel ditanting, iki lho, iki lho, tibake kilon, trasi di kilo, uyah di kilo, godhong di kilo, dina sak iki cethuk apa sing tak omongne, dedege oleh, wonge apik, nabine duwit, cethuk sajake cocok, orek-orek ya mas wadahe kendhi, kembang gambas mekrok sore, Jawane apa ora ngerti arek sak iki, aku ora sudi wekas … mara dewe, mateng aku !.. weh … kaya ngono mau, la tenane ngene, awan-awan aja ngrajang kates, semut ireng ngrubung tempe, dadi prawan ora perlu kenes-kenes, jaka seneng wis nggoleki dhewe,(penonton gemuruh), lho kuwi tenan , sliwer kae cah ngendi ya, anake sapa ya kuwi, ngentekne pirang kwintal , diincer wae , lho kaya ngono kuwi lho, mulane mamangane siji dadi loro , lek wis dadi loro dadi telu, siji eneh piye, maune ijen njur rabi terus nduwe anak , yen anake wis rabi mbalik loro eneh, contone aku dewe, yen wis tuwek banjur mati, eling-eling sira manungsa mbesuk mati tumpakanmu kreta dawa rodane papat wujud manungsa nyang daleme ngisor semboja, ora lawang ora jendela, tanpa bantal tanpa klasa, ditutupi rada arang , dulurmu yen muji kaya wong nembang, mulane mumpung urip sak oleh-oleh amalmu sing okeh, amal kudu diilmoni , ngelmune amal apa ?, iklas ora sak ketang bobot semut ireng, ning iklas iki mbesuk bakal ditampa Gusti Allah . Bandha donya iki mbesuk ditinggal, ora ana sing kena diarep-arep kejaba mung amal, mula iku kon sing padha teliti kon sing padha waspada, mumpung urip ning ngalam ndonya iki. Sebab bandha donya, emas sak genthong, bojo ayu, kabeh bakal ditinggal, aku wegah ngamal, aku wgah ngamal…hooo, Gusti Allah ngedhunke balak, netesi geni sak tetes …bar !, omah sak isine entek kabeh , mula mumpung ijik urip ayo bebarengan amar makruf nahi munkar, semono uga kanggo waranggana, uga landasana Allah, wooo.., donyane oleh, ngakerate uga oleh. Waranggana iku tegese Wara; wadon, nggana iku tengah, tegese arang wong wadon wani ning tengahe kalangan . Mulane saben arep tindak kudu diniati kanthi Bismillahirrahmanirrahim , merga niat ngibadah, mbesuk ning ngakerat nampa ganjaran kang tanpa kira-kira, eling-eling sira manungsa temenana padha ngaji , mumpung sira urung mati, ferdu sunah lakonono, luwih sara luwih susah kang ana ndalem neraka, klabang kores kalajengking, lintah kadut uler jedhung minangka cawisane wong kang ana neraka, wong kang ndaga dhawuhe Gusti, lek cawisane wong kang mestuti ya widadari kasur babut kari nuroni, kuwi nggo wong lanang, menawa wong wadon cawisane widadara. Ning ya kuwi mau munggah karo medun kuwi abot, sak wise mangkono tumanjane kowe kabeh iki …”
(“Biyuuung..biyuuung, jangan mati-mati akau denganmu ibunya…ibunya…, masyaallah, itu sungguh, tetapi kebalikannya wanita menggunakan nG tiga, tidak akan laku dagangannya, maksudnya nG tiga adalah, senangnya menggunjing suami, dua ngobrol kesana-kemari, tiga ngantukan.Kudhung buyuk ilang blengkere (Topi kurung hilang kerangkanya), perawan ngantuk hilang nomernya, sebab nG tiga bagiyannya suami, mau apa nggak kamu nikah dengan nG tiga, satu memberi nafkah lahir, dua, membahagiakan, tiga aku lupa …(penonton tertawa bersahutan), aku lupa adinda, maka dari itu harus saling hati-hati dan waspada, hidup di alam dunia ini setidak-tidaknya punya tujuh bahasa, ini sudah termasuk terampil, apa,Bahasa Inggris punya, Bahasa Cina punya, Bahasa Jawa punya, Bahasa Arab punya, Bahasa Indonesia punya, dan lain-lainnya. Paling tidak satu ucapan, jadi mumpuni, makanya jadi wanita adinda, yang teliti, sebab nenek-moyang dahulu, sebelum datang sudah membawa prediksi, besuk kalau sudah tiba saatnya, kalau memprediksi bagaimana” anak-anak, buktikan besuk yang akan datang kamu bakal melihat kereta tanpa kuda, jalannya maju-mundur, banyak orang yang memakan batu, minum kotoran sapi, sembarang yang datang diangkat-angkat, dan menyaksikan suara yang dititipkan tanpa terlihat mata, itu apa ?, itu begini ya, kereta tanpa kuda, maju mundur jalannya, banyak orang meminum kotoran sapi…, hari ini tanaman kalah pupuk ya kalah betul, terus banyak orang makan batu biyuuuh…byuuh, hari ini batu jadi pisang goring , ember-ember rusak sekarang jadi pisang goring lho hari ini, menyaksikan suara yang dititipkan tidak terlihat mata, tidak kasat itu ternyata kaset, terbukti jaman sekarang orang yang punya hajat hanya membunyikan kaset saja, terus yang setiap kamu pegang diangkat-angkat, iki lho…iki lho(ini lho…ini lho), ternyata kiloan, trasi ditimbang perkilo, garam dikilo, daun dikilo, sekarang terwujud apa yang sudah saya bilang, model badannya baik, orangnya baik, nabinya uang.Ketemu sekiranya cocok, orek-orek ya mas, wadhahe kendhi, kembang gambas mekrok sore, maksudnya apa tidak tahu anak sekarang, aku tidak mau titip pesan…datang sendiri, matang aku !,…weh …seperti itu lho, dan sejatinya begini. Awan-awan aja ngrajang kates, semut ireng ngrubung tempe, jadi perawan jangan kenes-kenes, jejaka senang mencari sendiri. Lho itu betul, lewat itu anak mana, anaknya siapa ya itu, menghabiskan beras berapa kwintal, diincar terus, lho sperti itu lho, makanya awalnya satu terus jadi dua, kalau sudah jadi duaterus jadi tiga, satu lagi bagaimana, tadinya sendirian terus nikah punya anak, kalau anaknya sudah nikah kembali jadi dua lagi, contohnya aku sendiri, kalau sudah tuwa terus mati, ingat-ingatlah hei kamu manusia besuk mati kendaraanmu kereta panjang rodanya empat wujud manusia pergi ke rumah bawah kamboja, tidak berpintu tidak berjendela , tanpa bantal tanpa tikar, ditutupi agak jarang, saudaramu kalau berdoa seperti orang menyanyi , makanya mumpung hidup sedapat-dapatmu mengumpulkan amal yang banyak, amal harus didasari ilmu, ilmunya amal apa?, ikhlas walau sebesar semut hitam, tetapi ikhlas ini akan diterima Allah. Harta benda ini bakal ditinggal, tidak ada yang bisa diharapkan kecuali hanya amal, maka dari itu kita harus hati-hati dan waspada, mumpung masih hidup di dunia. Sebab harta benda, emas satu tempayan , istri cantik, semua bakal ditinggal, aku tidak mau beramal, aku tidak mau beramal…hoo, Tuhan Allah menurunkan bencana, meneteskan apai satu tetes …ludes !, rumah seisinya habis semuanya, maka mumpung masih hidup ayo bersama-sama mengajak kebaikan dan meninggalkan kemungkaran , demikian juga kepada penyanyi wanita, juga landasilah Allah, wooo…, dunianya dapat, akheratnya juga dapat. Waranggana itu artinya ; wadon(wanita), nggana itu tengah , artinya oaring wanita itu jarang yang berani berada di tengah kaum laki-laki, makanya setiap mau pergi harus diniati dengan Bissmillahirrahmanirrahim, karena itu niat ibadah, besuk di akherat menerima pahala yang tidak terduga-duga, ingat-ingat kamu manusia bersungguhlah menuntut ilmu Islam, mumpung kamu belum meninggal, wajib dan sunah jalankan lebih sengsara lebih susah yang berada di dalam neraka, kelabang, binatang kala, lintah, ular, ulat berbulu lebat , kalau orang bertakwa disiapkan bidadari kasur babut tinggal dipakai tidur, itu untuk lelaki, kalau wanita disiapkan bidadara. Tetapi ya itu tadi naik dengan turun itu berat, setelah begitu tujuannya untuk kamu semua ini …”)
“Nuwun sewu kula ingkang sowan !”
(“Permisi, saya yang datang !”)
“Lho sapa ?”
(“Lho siapa ?”)
“Kula utusan saking Puser Bumi , perlu nyaosi pirsa dhumateng gusti kula Bagindha Umar, Bagindha Amir, inggih menika negari Ngarab dipun kepung wakul binaya mangap, pramila kula inggal nyaosi pirsa dhumateng panjenengan “
(“Saya utusan dari Puser Bumi, perlu memberi tahu kepada tuan saya Bagindha Amir, bahwa negeri Ngarab tengah dikepung oleh musuh, oleh karena itu saya harus segera memberitahukan kepada tuan”)
“Ooo… dadi sak iki negara Ngarab dikepung wakul binaya mangap ?”
(“Ooo…jadi sekarang negara Ngarab dikepung musuh ?”)
“Lho inggih “
(“Lho iya”)
“Ya…ya.., lek mangkono kakang Bagindha Umar , aja enak lan kepenak , ngobrol okeh-okeh, sebabe wektune terbatas , mula sangka iku ayo padha diayati enggal kondur wae “
(“Ya..ya, kalau begitu kanda Bagindha Umar, jangan enak-enakan, ngobrol terlalu banyak, sebab waktunya terbatas, oleh kerena itu ayo segera kita pulang saja”)
“Iya yen kaya mangkono “
(“Iya kalau begitu”)
“Diajeng Kumanditen , mangsa bodhoa , andum slamet !”
(“Diajeng Kumanditen, ku serahkan kepadamu, berbagi selamat”)
“Sampun ngantos dangu-dangu kangmas …”
(“Jangan terlalu lama kanda…”)
“Iya “
(“Iya”)

Sekedhap netra Bagindha Amir–Bagindha Umar sak andhahanipun kondur dhumateng negari Ngarab, negari engkang nembe dipun kepung wakul binaya mangap prajurit sangking Negeri Kaos, Raja Jobin
(Sekejap mata Bagindha Amir, Bagindha Umar beserta pasukannya pulang ke negeri Ngarab, negeri yang sedang dikepung oleh musuh, prajurit dari Negeri Kaos, Raja Jobin)

Gendhing

“Ayo leren…ayo leren…,iki ana satriya nggawa bandha semene mbane sapa iki !!”
(“Ayo berhenti…ayo berhenti…, ini ada satriya membawa harta benda sekian banyaknya siapa ini !!”)
“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ilabillahhil aliyyiladzim, yen takon aku, aku Bagindha Umar-Amir “
(“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ila billahilaliyyiladziim, kalau Tanya kepadaku, aku Bagindha Umar-Amir”)
“Hmmm…Bagindha Umar-Amir , sak iki bandhane tak jaluk !!!”
(Hmmm…Bagindha Umar-Amir, sekarang hartamu aku minta!!!”)
“Kowe sapa !”
(“Kamu siapa !”)
“Yen durung tepang karo aku, aku Raja Marmadi saka negara Ngekoh Korib, tukang gepuk, tukang rayah, tukang njaluk, bandhamu tak jaluk !!!”
(“Kalau belum kenal denganku, aku Raja Marmadi dari negara Ngekoh Korib, tukang pukul, tukang rebut, tukang meminta, hartamu aku minta !!!”)
“Raja Marmadi, aja pisan-pisan kowe nggawe kapitunane liyan “
(“Raja Marmadi, jangan sekali-kali kamu membuat sengsaranya orang lain”)
“Wis !, pokoke oleh ora oleh bandhane tak jaluk !!”
(“Sudah !, pokoknya boleh nggak boleh hartamu aku minta !!”)
“Tak kukuhi !!“
(“Aku pertahankan !!”)
“Oooh lamun mbok kukuhi , kowe ndak dadekne ndog amun-amun, Bagindha Amir”
(Oooh kalau kamu pertahankan, kamu akan aku jadikan debu, Bagindha Amir “)
“Piye karepmu !?”
(“Bagaimana maumu !?”)
“Wis !, tak tanting Bagindha Amir, oh menawa aku nanting kowe nganti ora kuwat, aku bakal ninggal negaraku, sedulurku dadi ratu ya tak tinggalke, aku bakal suwita kowe, Bagindha Amir selawase urip “
(“Sudah !, aku banting Bagindha Amir, oh kalau aku membantingmu tidak kuat, aku akan meninggalkan negaraku, saudaraku jadi ratu ya aku tinggalkan, aku akan mengabdi kamu, Bagindha Amir seumur hidup”)
“Hayo mara gage jajalen “
(“Ayo segera dicoba”)

Sekedhap netra Bagindha Amir dipun tanting dening Raja Marmadi. Sangking rosane engkang nanting, sangking amratipun engkang dipun tanting, Raja Marmadi sukune ambles sak dhengkul, Bagindha Amir mboten obah, mboten mosik , amargi bobotipun Bagindha Amir sewu dacin ..Bagindha Amir…
(Sekejap mata Bagindha Amir, dibanting oleh Raja Marmadi, karena terlalu kuat yang membanting, terlalu berat yang dibanting, Raja Marmadi kakinya terbenam amblas setinggi lutut, Bagindha Amir tidak bergerak dan bergeser, sebab beratnya Bagindha Amir seribu dacin ..Bagindha Amir…)

Gendhing

“Adhuh … Bagindha Amir, dudu majate manungsa Bagindha Amir , bareng tak tanting ora obah ora mosik , aku bakal suwita selawase urip, iki ninggal negaraku Bagindha Amir ..”
(“Aduh …Bagindha Amir, bukan sembarang manusia Bagindha Amir, setelah aku banting tidak bergerak sama sekali, aku bakal mengabdi seumur hidup, ini meninggalkan negeraku Bagindha Amir…”)
“Ya ta mangkono, Raja Marmadi , kudu manut apa sing dadi pakonmu “
(“Ya kalau begitu, Raja Marmadi harus mengikuti apa yang menjadi janjimu”)
“Nggih menawi mekaten, kula nderek panjenengan mawon “
(“Ya kalau begitu, aku mengikuti anda saja”)

Sekedap netra Bagindha Umar-Amir tambah kekiyatan, tambah karosannipun tambah rejanipun, Bagindha Amir lajeng Bagindha Amir menika dilajengaken anggenipun badhe kondur negari Puser Bumi , kebacut dumugi negari Medayin, Bagindha Amir ..
(Sekejap mata Bagindha Umar-Amir tambah kekuatan, tambah kekuatannya tambah ramainya, Bagindha Amir terus Bagindha Amir yaitu diteruskan rencananya mau pulang ke Ngera Puser Bumi, tersesat samapi negara Medayin Bagindha Amir…)

Gendhing

“Ayo leren…leren…, iki barisane Bagindha Umar Bagindha Amir bakal kondur negara Kuparman kebacut teka negara Medayin , kenek kowe ngancik negara Medayin nanging ora kena metu gapura sing lor, kudu metu gapura sing kidul “
(“Ayo berhenti…berhenti…ini barisan Bagindha Umar Bagindha Amir, mau pulang ke Negara Kuparman tersesat samapi negara Medayin, boleh kamu masuk negara Medayin tetapi tidak boleh melewati pintu gerbang sebelah utara, harus melewati pintu gerbang sebelah selatan”)
“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ilabillahil aliyyil adzim, jenenge ujian kok semene mbane , ya…ya.. lek pancen shobar bakal kaleksanan , yen ora shobar ora bakal kaleksanan , Patih Cecak , kok semono ya, iki aku bareng ngambah negara Medayin kebacut, kudu metu kidul ya…ya…”
(“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ilabillahil aliyyil adzim,namanya ujian kok sekian banyaknya, ya…ya.. kalau memang bersabar bakal tercapai, kalau tidak sabar bisa terlaksana, Patih Cecak, kok sebesar itu ya, ini setelah kita berada di negara Medayin tersesat, harus lewat pintu gerbang sebelah selatan”)
“Waa…Mir..Amir !”
(“Waa…Mir..Amir !”)
“Apa kakang Umar “
(“Apa kanda Umar”)
“Byuh…byuuuh…, kowe mengko yen metu kidul bakal kedrawasan tenan, sebab ora sembarangan, sing njaga ana gapura mau si Abru. Awit apa, sapa wonge sing dikedhepi Abru bakal kejungkel-jungkel , mulane aja gelem kowe metu kidul “
(Byuh…byuuuh… kamu nanti apabila lewat selatan bakal celaka betul, sebab tidak boleh sembarangan, yang menjaga pintu gerbang tadi si Abru. Sebab apa, siapa yang dikedipi Abru bakal tersungkur, makanya jangan mau kamu lewat selatan”)
“Ora kakang Bagindha Umar, lha yen ngono kurang satriyane kakang, ya kudu diayati kakang Bagindha Umar”
(“Tidak kanda Bagindha Umar, lha kalau begitu kurang kesatrianya kanda, ya harus dihadapi kakang Bagindha Umar”)
“Ya yen ngono mangsa bodhoa”
(“Ya kalau begitu terserah”)
“Coba kakang Bagindha Umar tak cedhakane dhewe …Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ilabillahhil aliyyil adzim, sin njaga Abru sak mene gedhene , ya ta ya… aku tansah kelingan jaman aku nyang pondok , iki lamun eneng wujude musibah apa wae kudu sing sabar , sak durunge ngrapalake artine surat al-An’am , kabeh bisa badar , Bismillahirrahmanirrahim , Laatudrikuhul abshooru wahuwa yudrikul abshaara wahuwal-lathiful khabiir , Abru…Abru …wasna mripatmu Abru aku mlebu kowe ngablak…ngablak sing kaya mangkono , tak tamani jemparing ora dadi ndog amun-amun…”
(Coba kanda Bagindha Umar aku mendekati sendiri……Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ilabillahhil aliyyil adzim yang menjaga Abru yang begitu besar, ya …aku selalu teringat saat aku berada di pondok, ini seandainya ada wujudnya musibah apa saja harus selalu sabar, sebelumnya mengamalkan artinya surat al-An’am, semuanya bisa selesai Bismillahirrahmanirrahim , Laatudrikuhul abshooru wahuwa yudrikul abshaara wahuwal-lathiful khabiir, Abru…Abru, aku masuk melutmu menganga, menganga yang seperti itu, kau lepaskan anak panah, pasti jadi debu kamu…”)

Sekedhap netra Bagindha Amir namakaken pusaka menika kalawau Abru, gumlundhung sirahipun si Abru , sangking ampuhipun pusaka Bagindha Amir kanthi ucapan Bissmillahirahmanirrahim …
(Sekejap mata Bagindha Amir menancapkan pusaka pada tubuh Abru, berguling kepalanya si Abru, karena ampuhnya pusaka Bagindha Amir dengan mengucap Bissmillahirahmanirrahim …)


Gendhing

“Alahamdullahhirobbil’alamin kakang Bagindha Umar, iki mau si Abru tak jemparing , gumlundhung sirahe “
(“Alahamdullahhirobbil’alamin kanda Bagindha Umar, ini tadi Abru aku panah, berguling kepalanya”)
“Alahamdulillah yayi Bagindha Amir ..Bagindha Amir , rawe-rawe aja mati-mati, matia bakul uyah susah byah bocah yayi…yayi Bagindha Amir”
(“Alahamdulillah adik Bagindha Amir..Bagindha Amir, halangan-halangan jangan mati, matilah penjual garam, susah semua anak adik…adik Bagindha Amir”)

“Ya…ya kakang Bagindha Umar “
(“Ya…ya kanda Bagindha Umar”)
“Sak iki ngene ya dhi , kesempatan iki bakal mlebu menyang njerone alun-alun , iki aku bakal nyunggi ndhase Abru, supaya kabeh iki mengko nonton aku banjur padha kepincut kabeh !”
(“Sekarang begini ya dik, kesempatan ini akan aku- pergunakan –masuk ke dalam alun-alun, ini aku akan memanggul kepala Abru, supaya semua melihat –atraksiku- biar semua tertarik melihatnya !”
“Oh iya !”
(“Oh iya !”)

Sekedhap netra Bagindha Umar ugal-ugalan nyunggi ndhase Abru, tindakipun langkung sekeca kados Bujangganong Bagindha Umar mlebet ngalun-alun nyunggi ndhas Abru menika kalawau
(Sekejap mata Bagindha Umar ugal-ugalan memanggul kepala Abru, tingkahnya lebih leluasa seperti penari Reog Bujangganong, Bagindha Umar memasuki alun-alun memanggul kepala Abru itu tadi )


“Geger kanca…geger kanca !!..”
(“Gempar teman …gempar teman !!”)

Menika saksampunipun Bagindha Umar jejogedan ngleter ana ngalun-alun , kocapa Kesumaningayu Dewi Bestari putranipun Patih Bestak manglung-manglung wonten cendela kaca, Bagindha Umar mboten kiat brangtane, mlumpat manglung-manglung wonten cendela kaca posah-pasihan kalian Kusumaningayu Bestari, semanten ugi Kesumaningayu Siti Muninggar putrinipun Raja Medayin, manglong-manglong wonten cendela kaca , Bagindha Amir mboten kiat brangtane, manglong-manglong wonten cendela kaca posah-pasihan kalian Kesumaningayu Siti Muninggar putranipun Raja Medayin , wondene Kusumaningayu Kestabun putranipun Raja Kestahan, manglong-manglong wonten cendela kaca , kocapa Marmadi mlompat posah-pasihan menika wonten salebeting kamar …
(Begitu Bagindha Umar berjoget dengan semangatnya di alun-alun, tak disangka Kusumaningayu Dewi Bestari putranya Patih Bestak, melihat dari balik jendela kaca, Bagindha Uma rtidak tahan menahan panah asmara, segera melompat mendekat jendela kaca mengungkapkan perasaan hatinya dengan Kusumaningayu Dewi Bestari. Demikian juga Kusumaningayu Siti Muninggar putrinya Raja Medayin, melihat-lihat dari jendela kaca, Bagindha Amir tidak kuat menahan asmara, melongok menuju jendela kaca mengungkapkan perasan hatinya dengan Kusumaningayu Siti Muninggar putrinya Raja Medayin, sedangkan Kusumaningayu Kestabun patranya Raja Kestahan, melihat-lihat dari jendela kaca, seketika Marmadi melompat mengungkapkan perasaan hatinya di dalam kamar…)

Gendhing

“Aduh kangmas punden kula Bagindha Amir…Bagindha Amir, kula Siti Muninggar ngaturaken sembah sungkem mugi konjuka kangmas ..”
(“Aduh kanda pujaan saya Bagindha Amir…Bagindha Amir, saya Siti Muninggar menyampaikan hormat kepada kakanda”)
“Adhiku ya, ngaturake pangabekti tak tampa ya diajeng, ora liwat pangestuku wae tampanana “
(“Adikku iya, baktimu aku terima ya dinda, tidak lupa doa restuku terimalah”)
“Sampun kula tampi kula petekaken mustaka mugi ndadosna jejimat kangmas”
(“Sudah aku terima, aku masukkan dalam kepala semoga menjadikan cahaya kanda”)
“Hmm… iya..”
(“Hmm…iya”)
“Kangmas !, kula seratus persen badhe ngladosi panjenengan , ning kula gadhah punagi kangmas ..”
(“Kakanda !, aku seratus persen akan melayani kakanda , tetapi aku punya permintaan kanda …”)
“Nduwe panjaluk apa ?”
(“Punya permintaan apa ?”)
“Menawi panjenengan saged nelukaken Raja Joinambar, ingkang wonten negari Basunasar , awit Raja Basunasar ing dina menika kumalungkung dados Gusti Allah , sedaya perjuritipun didadosaken malaikat , menawi panjenengan saged numpes Raja Joinambar nggih Raja Basunasar menika seratus persen kula badhe ngladosi panjenengan …”
(“Kalau kakanda bisa mengalahkan Raja Jinambar, yang ada di negeri Basunasar, sebab Raja Basunasar di hari ini yaitu sewenang-wenang jadi Tuhan, semua prajuritnya dijadikan malaikat, apabila kanda bisa menumpas Raja Joinambar ya Raja Basunasar, itu seratus persen aku melayani kakanda…”)
“Mir…Mir… abote kok semono ya, arep oleh wanita wae kok ndadak kon mungsuh Raja Joinambar , byuh…byuhh…, mangka Raja Joinambar iku kondhang kaonang –onang , Rajane Basunasar negarane Joinambar, kuwi Raja Joinambar ke kemlungkung dadi Gusti Allah, kabeh perjurit didadekne malaikat, piye Mir ?”
(“Mir…Mir… beratnya kok begitu ya, mau mendapatkan wanita saja kok disuruh melawan Raja Joinambar…byuh…byuh…, padahal Raja Joinambar itu termasyhur sekali, Rajanya Basunasar negaranya Joinambar, itu Raja Joinambar menyombongkan diri jadi Tuhan, prajuritnya dijadikan malaikat, gimana Mir ?”)
“Kakang Bagindha Umar, ora perlu kowe ragu-ragu, Gusti Allah ke sifat rahman sifat rahim, janji tenan –tenan diridloi Gusti Allah, dilindungi dening Gusti Allah, ning paitane tenan lan ikhlas kakang “
(“Kanda Bagindha Umar, tidak perlu kanda ragu-ragu, Tuhan Allah , tetapi modalnya serius dan ikhlas kanda “)
“Wis mangsa bodhoa “
(“Sudah terserahlah”)
“Ayo kakang padha diayati “
(“Ayo dilawan kakang”)

Sekedhap netra Bagindha Umar-Bagindha Amir, nglurug dhumateng negari Joinambar badhe nundhukaken Raja Basunasar, Bagindha Umar, Bagindha Amir
(Sekejap mata Bagindha Umar, Bagindha Amir menyerbu ke negara Joinambar akan menaklukkan Raja Basunasar, Bagindha Umar, Bagindha Amir)

Gendhing

“Iki para malaikat kabeh padha mlayu-mlayu ana apa , para malaikat ?”
(“Ini para malaikat semua saling berlarian ada apa, para malaikat ?”)
“Aduh gusti ngaturaken kedrawasan menika negari Joinambar kedhatengan wali Nabi sangking negari Ngarab , menika badhe ngobrak-abrik prenatan-prenatan , sedaya malaikat badhe dipun cabut badhe dipun apus sedaya kalian Bagindha Amir”
(“Aduh tuan , melaporkan akan terjadi bencana, negeri Joinambar kedatangan wali Nabi dari negeri Ngarab, mereka akan mengobrak-abrik peraturan-peraturan, semua malaikat akan dicabut akan dihapuskan semua oleh Bagindha Amir”)
“Ho..o.. Bagindha Amir , kaya ngapa wonge “
(“Ho..o..Bagindha Amir, seperti apa orangnya”)
“Lha menika sampun dhateng menika “
(Lha itu, dia sudah datang”)
“He Bagindha Amir !!!”
(“He Bagindha Amir !!!”)
“Apa…sapa kowe !”
(“Apa …siapa kamu !”)
“Kowe ora kulak warta adol perungon , ya !, aku Raja Basunasar kondhang maonang-onang kabeh perjuritku tak dedekne malaikat, aku Gusti Allahe mangkono !”
(“Kamu tidak beli berita jual pendengaran, ya !, aku Raja Basunasar yang sudah termashur semua prajuritku aku jadikan malaikat, aku Tuhan Allah begitulah !”)
“Ngelingana Raja Basunasar ,sesembahan kuwi mung miturut keyakinanku ara ana loro telu, kowe aja pisan-pisan kemlungkung dadi Gusti Allah “
(“Ingatlah Raja Basunasar, Tuhan yang aku sembah berdasar keayakinanku tidak ada dua tiga, kamu jangan sekali-kali mengaku sebagai Tuhan”)
“Aaah , ora cocok , penak turu kukut padha tangi basan padha tangi kon nekuni wadhuk, ah !, wong Islam padha lara kabeh, yen kaya mengkono ora cocok , lulang ditemplekne kayu gedhi terus ditabuhi nggrebegi kuping , yen kaya ngono kuwi ora cocok he !”
(“Aaaah , tidak cocok, enak-enak tidur nyenyak disuruh bangun, setelah bangun disuruh makan, ah !, orang Islam sakit semua, kalau seperti itu tidak cocok, kulit binatang ditempelkan batang kayu besar terus dipukul, memekakkan telinga, kalau seperti itu tidak pas he !”)
“Ya, kowe aja riak kibir, sing kaya mangkono lakum dinukum waliadin , agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku, yen watake wong Islam ke yen bakal nekan marang sapa wae ora gelem . Dhasarku iki mung nduduhne dalan kang bener supaya aja nganti kleru, eman-eman, ngelingana urip ning ngalam ndonya ke mung pirang dina “
(“Ya, kamu jangan sombong dan meremehkan, yan seperti itu lakum dinukum waliadin, agamu ya agamamu, agamaku ya agamaku, kalau wataknya orang Islam tidak mau memaksa kepada siapapun, dasarku hanya menunjukkan jalan yang benar jangan sampai keliru, kasihan, ingatlah hidup di dunia hanya berapa hari …”)
“Ah kowe ora perlu kakehan punika, bayi lair dhek wingi sore kok ndongengi , wis pokoke kabeh kudu manut karo aku, kabeh manuta, kowe yen ora manut , dijabut nyawamu karo malaikatku, kowe …”
(“Ah kamu jangan banyak bicara, bayi yang baru lahir kemarin sore saja kok mendongeng , sudah pkoknya semua harus menurut denganku, semua menurutlah, kamu kalau tidak menurut, dicabut nyawamu oleh malaikatku, kamu…”)
“Hmm…dadi ngono ta…ya..ya.., lho iki karepmu piye ?”
(“Hmm… jadi begitu to..ya…ya.., lho ini maumu bagaimana?”)
“Ya wis ,yen kowe ora manut , tetep tak rudhapeksa, dina iki kudu manut !!”
(“Ya sudah, kalau kamu tidak mengikutiku, tetap aku paksa, hari ini harus menurut !!”)
“Pancen tak kukuhi, ana paribasane rembulan karo srengenge mbok dunake, srengenge kok cekel tangan tengen, rembulan ning tangan kiwa, aku tetep ngukuhi Agama Islam lan aku tetp njejegne Islam “
(“Memang aku tetap bertahan, ada peribahasa rembulan dan matahari kamu turunkan , matahari kamu pegang tangan kanan, rembulan kamu pegang tangan kiri, aku tetap merengkuh agama Islam dan aku tetap menegakkan Islam”)
“Ooooh lena pangendhamu tak gaglak untal malang “
(“Ooooh terlena menghindarmu aku telan melintang”)
“Ooo sing gedhe prayitnamu Raja Basunasar “
(“Ooo yang besar kewaspadaanmu Raja Basunasar”)
“Gudel tenan Bagindha Amir , dudu majate menungsa , Bagindha Amir tak kapak-kapakne mung mesem , sak jebukan iki Bagindha Amir kowe tak tanting kok nganti aku ora kuwat nanting kowe Bagindha Amir , wis kabeh wong negara kene manut pernatanmu Bagindha Amir “
(“Anak kerbau kamu Bagindha Amir, bukan manusia sembarangan, Bagindha Amir aku hajar hanya tersenyum, satu pukulan lagi Bagindha Amir, kamu aku banting seandainya tidak kuat membantingmu Bagindha Amir semua orang di negara ini akan mengikuti peraturanmu Bagindha Amir”)
“Dadi !, kandamu cobanen “
(“Jadi !, ucapanmu cobalah”)
“Yoh uwasna mripatmu tak tanting kowe !”
(“Ayo lihatlah dengan matamu aku banting kamu !”)

Sekedhap netra Bagindha Amir dipun tanting, sangking rosanipun ingkang dipun tanting, Bagindha amir mboten obah mboten mosik, sebab Bagindha Amir bobot sewu dacin
(Sekejap mata Bagindha Amir dibanting, karena terlalu kuat yang dibanting, Bagindha Amir tidak bergerak sedikitpun, sebab Bagindha Amir beratnya seribu dacin)

Gendhing

“ Ca … ca…kanca …, cilik gedhe, tuwa , enom … wis sak iki manut kanca !!, Bagindha Amir dudu majate menungsa , aku wis kadhung ndhisiki , Bagindha Amir tak tanting aku ora kuwat , wis aku bakal manut peraturane Bagindha Amir , sak andahanku kabeh , wis aku manut karo kowe, tak tanting kowe tanpa obah tanpa mosik ya Mir “
(“Kawan, besar kecil tua muda, sudah sekarang menurut kawan !!, Bagindha Amir aku banting aku tidak kuat, sudah aku akan mengikuti peraturannya Bagindha Amir, seluruh rakyatku semua, sudah aku mengikutimu , aku banting kamu sedikitpun tidak bergerak ya Mir”)
“Yen pancen kowe wis manut karo kandhaku “
(“Kalau memang kamu sudah menurut dengan ucapanku”)
“Yo … aku wis manut , engko yen ana sing manut aku sing bakal numpes “
(“Ya,… aku menurut , nanti kalau ada yang membangkang, aku yang akan menumpasnya”)
“ ya…ya..”
(“Ya..ya..”)
“Kakang Umar “
(“Kanda Umar”)
“Apa Mir !”
(“Apa Mir !”)
“Iki Raja Basunasar wis tumungkul njur piye ?”
(“Ini Raja Basunasar sudah tunduk, terus bagaimana ?”)
“Sak iki ngene wae, sak iki gandeng wis nungkul sing luwih apik iki cekake cara Islam lho iki, amrih apike dilongi thithik ngono wae”
(“Sekarang begini saja, sekarang berhubung sudah tunduk, yang lebih utama ini singkatnya memakai cara Islam lho ini, biar menjadi baik dikurangi sedikit begitu saja “)
“Lha gek apane ?”
(“Lho terus apanya yang- dikurangi- ?”)
“Huss !!, wong kalah iku manut wae, ora usah ngeyel, lhawong wis kalah wae, pokoke manut wae rak ya wis “
(“Huss !!, orang kalah itu menurut saja, tidak usah protes, orang sudah kalah saja, yang penting menurut begitu kan sudah “)
“Ya Umar lan Amir, aku manut”
(“Ya Umar dan Amir, aku menurut”)
“Yen manut, sak iki clanane cucul, ganti sarung ngono wae, kabeh malaikat-malaikat kuwi !”
(“Bila menurut, sekarang celananya dicopot, ganti sarung, semua saja termasuk malaikat-malaikat itu !”)
“Lha kon ngapa ???”
(“Lha disuruh apa ???”)
“Kakang Umar !”
(“Kakakng Umar!”)
“Apa adhiku Amir “
(“Apa adikku Amir “)
“Iki wonge sak mene mbane , terus nggo lungguh apa kakang?”
(“Ini orangnya sekian banyaknya, terus untuk duduk apa kakanda ?”)
“Oalaah , lha wong ngono wae kok bingung, kene lungguh ning nduwur rinjing, karo jejer-jejer ning ndhuwur ngloning kene, lha dalah, wis ayo kabeh manut , bareng ya !!!”
(“Oalaah, hanya begitu saja kok bingung, sini duduk di atas keranjang dengan berjajar di atas ngloning sini, lha dalah, sudah ayo semua menurut, bersama-sama ya !!!”)
“Iya aku manut Mir “
(“Iya aku menurut Mir”)
“aduuuh !!, aku selawase urip ya lagi iki disunati”
(“Aduuuh !!, aku seumur-umur baru sekali ini merasakan disunat”)
“Aku ya ngono”
(“Aku juga begitu”)
“aku ya ngono”
(“Aku juga begitu”)
“aku ya ngono”
(“Aku juga begitu”)
“Wis…wis … kabeh kudu manut “
(“Sudah…dah…semua harus menurut”)
“Mir, nyata-nyata kowe kanggo seksi ya, iki mau Kesumaningayu Siti Muninggar saka Negara Medayin nduwe patembaya yen bisa nundukake Raja Basunasar, iki kudu nganggo bukti, lha iki ikute sak glempo , terus dibuntel, diwenehke kabeh ya ngono piye “
(“Mir, kamu jadi saksi ya, ini tadi Kusumaningayu Siti Muninggar dari Negara Medayin punya permintaan kalau bisa menundukkan Raja Basunasar, ini harus pakai bukti, lha ini potongan ujung kulit kelamin pria satu wadah besar(karung), terus dibungkus, diberikan semua bagaimana kalau begitu “)
“Iya…ya “
(“Iya…ya”)
“adhiku dhi… Siti Muninggar aja kaget ya, aku bakal menehi bukti ikut sak buntel, bakal tak caosne nggo bukti kalawau”
(“Adikku dik… Siti Muninggar jangan kaget ya, aku akan memberikan bukti potongan ujung kulit kelamin pria satu bungkusan besar, akan aku berikan sebagai bukti “)


Sekedhap netra Bagindha Umar-Amir menika mbungkus ikut badhe dipun paringaken kangge bukti menika kalawau
(Sekejap mata Bagindha Umar-Amir itu membungkus ujung kulit kelamin akan diberikan untuk bukti itu tadi)

Gendhing

“Kangmas sesembahan kula, pepunden kula , kados pundi sampun kasil kangmas ?”
(“Kanda sembahan saya, pujaan saya, bagaimana sudah berhasil kanda ?”)
“Ya pangestumu Siti Muninggar, ya iki Raja Joinambar sak andhahane kabeh padha nindakake peraturan negara Tanah Suci kene, iki kabeh wis padha manut “
(“Ya doa restumu Siti Muninggar, ya ini Raja Joinambar beserta bawahannya semua sudah melaksanakan peraturan Tanah Suci sini, ini semua sudah menurut”)
“Menawi panjenengan ngendikan sampun sami tumungkul, buktinipun menapa?”
(“Kalau kanda memberitahukan sudah tunduk, buktinya apa ?”)
“Coba tampanana “
(“Coba terimalah ini”)
“Aduuuh kangmas … , niki menapa ?” (Penonton tertawa)
(“Aduuuh kanda…, ini apa ?”)
“Ya iki buktine kaya mangkene “
(“Ya inilah buktinya seperti ini’)
“Aduuuuh nggilani emen kangmas “ (penonton bersorak riuh)
(“Aduuh menjijikkan sekali kanda”)
“Yo, ora kok nggilani ngono , iki engko yen ora ono buktine aku di tarani goroh, sangka sak ithik sangking akehe perjurit , sak pethuk kaya mangkene kehe iki…, ya wis mangsa bodhoa iki “
(“Ya, tidak kok menjijikkan begitu, ini nanti kalau tidak ada buktinya aku didakwa bohong, dari sedikit karena banyaknya prajurit, satu bungkus besar seperti ini banyaknya…, ya sudahlah terserah ini semua”)
“Aduuh kangmas … kangmas , kok semanten kathahipun ..”
(“Aduh kanda…kanda, kok sekian banyaknya..”)
“Yo .. he em “
(“Ya he em”)
“Sak menika ngaten nggih kangmas , sak sampunipun Raja Joinambar sampun tumungkul , manut peraturan negari Kuparman niki, nembe setunggal malih kangmas !”
(“Sekarang begini ya kanda, setelah Raja Joinambar sudah tunduk. Mengikuti peraturan Negara Kuparman, ada satu lagi kanda !”)
“Hmm… piye ?”
(“Hmm…bagaimana ?”)
“Menawi panjenengan saged nundukaken Raja Jobin sangking negari Kaos menika kala wau seratus persen kula badhe suwita ngladosi panjenengan, sebabipun Raja Kaos menika piyuyun sanget dhumateng kula, lan kula babar pindah mboten remen kangmas ..”
(“Kalau kanda bisa menundukkan Raja Jobin dari negara Kaos, saya seratus persen akan mau jadi istri kanda, sebabnya Raja Kaos itu jatuh cinta kepada saya, dan saya sama sekali tidak mencintainya kanda”)
“Lhoo !!, dadi aku supaya nundhukake Raja Jobin, sangka negara Kaos ?”
(“Lhoo !!, jadi aku supaya menundukkan Raja Jobin dari negara Kaos ?”)
“Terus barisanne ana ngendi diajeng ?”
(“Terus pasukannya ada di mana ?”)
“Menawi mboten kesupen, menika baris wonten ara-ara Bakdiatar kangmas …”
(“Kalau tidak lupa, yaitu berada di Ara-ara Bakdiatar, kanda “)
“He eh , hmmm…., abot banget rasane , ya….ya…, arep ora tak nyangi ke ya piye, yen tak nyangi ke ya mabnjur piye …, iya ta iya.., yen dipesthi dening Tuhan , kabeh mau mung ana Tuhan dewe , yen patiku karo Raja Jobin ya wis … ora dadi baya ngapa … ya…ya…, tak saguhi diajeng !!!”
(“Iya, hmm…, berat sekali rasanya, ya…ya.., tidak akan aku jalani, ya bagaimana, kalau aku jalani terus bagaimana…iyalah, kalau ditakdirkan oleh Tuhan, semua hanya tangan Tuhan sendiri, bila matiku dengan Raja jobin ya sudahlah…tidak jadi masalah..ya..ya.., aku sanggupi dinda !!!”)
“Mirr !!! “
(“Mir !!!”)
“Apa kangmas Umar “
(“Apa kanda Umar”)
“Aja mbok saguhi …, tenan … aja mbok saguhi …, sebab Raja Jobin kuwi dudu sak majate menungsa, duwe piandel pusaka pedhang pamungkas, wah wis ngidap-idapi , aja meneh jamake menungsa, gunung disuding jugrug Mir !, tenan …, tak elingke aja kok saguhi siji kuwi, gene jedheg –jedhege ora dadi karo kuwi, ora dadi apa, wong ijik duwe wae kok angel-angel lho Mir …”
(“Jangan kamu sanggupi…benar…jangan kamu sanggupi.., sebab Raja Jobin itu bukan orang sembarangan, punya senjata andalan pusaka pedang pamungkas, wah menakjubkan dan menakutkan, jangankan manusia, gunung kena ujungnya longsor Mir !, benar…, aku ingatkan jangan kau sanggupi yang satu itu, mentok-mentoknya tidak jadi dengan Siti Muninggr tidak mengapa, orang masih punya saja kok susah lho Mir…”)
“Ya aja ngono kakang Umar, ngono kuwi jenenge rak putus asa. Kakang ya aja ngono kakang …, ya sak iki kudu leksanani, iki negara Medayin dikepung wakul binaya mangap, saka Raja Jobin sangka negara Kaos, ya penake ya diayati “
(Ya jangan begitu kanda Umar, begitu itu namanya kan putus asa, kanda ya jangan begitu kanda,… ya sekarang ini harus dilaksanakan, ini negara Medayin dikepung musuh oleh Raja Jobin dari negara Kaos, ya enaknya dilawan”)
“Ah wis mangsa bodhoa, sak iki aku bakal manut karo kowe Mir !, wis Bagindha Umar bakal ngoncati, ora bakal ngetutne kowe …”
(“Ah sudah terserahlah, sekarang aku akan mengikuti dengan kamu Mir ! sudah Bagindha Umar akan pergi, tidak akan mengikutimu”)
“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ila billahhil aliyyil adziim, lakon kok kaya mangkene…, yayi… Raden Maktal …“
(“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ila billahhil aliyyil adziim, nasib kok seperti ini…adik Raden Maktal…”)
“Wonten dhawuh kangmas, panjenengan kersa nimbali rayi paduka Raden Maktal “
(“Ada apa kanda, memanggil Raden Maktal”)
“Dina iki ya dhi … sliramu tak utus aja wedi kangelan, wanita Kumanditen, loro Siti Muninggar, telu Bestari, papat Kestabun , iki ungsekna nyang Tanah Suci kabeh, iki negara Medayin bakal kanggo ajang perang, aku bakal ngenyangi marang barisane Raja Jobin “
(“Hari ini ya dik..kamu aku utus jangan takut kesukaran, Wanita Kumanditen, dua Siti Muninggar, tiga Bestari, empat Kestabun, ini ungsikan ke Tanah Suci semua, ini negara Medayin bakal untuk ajang perang, akau akan melawan pasukan Raja Jobin”)
“Ooo… dadosipun mekaten kangmas …, kula supados ngungsekaken wanita sekawan menika “
(“Ooo…jadinya begitu kanda…, saya harus mengungsikan wanita empat tadi “)
“Ya…ya…”
(“Ya..ya..”)
“Inggih … mangga…mangga.., peneran.. wilujeng !..”
(“Iya..mari…mari…kebetulan…selamat!”)

Sekedhap netra Bagindha Amir mlebet dhumateng palagan, mangsulaken Raja Kaos saking negari Jobin kala wau ..
(Sekejap mata Bagindha Amir memasuki arena pertempuran, mengusir Raja Jobin tadi)

Gendhing

“O..oo…o..lha dalah sun ndak waspadakake ora ana loro telu sing teka kajaba Bagindha Amir, … oleh ku ngarep-arep kaya wong tuwa nyang pasar aku arep njaluk jajan !, bagindha Amir…Bagindha Amir…”
(O..oo..o..lha dalah aku lihat, tidak ada dua tiga yang datang kecuali Bagindha Amir,…begitu senangnya aku mengharapkan kedatanganmu seperti orang tua pergi ke pasar aku akan meminta jajanmu Bagindha Amir…Bagindha Amir..”)
“Kowe wis ngerti nyang aku sapa kowe !!”
(“Kamu tahu padaku siapa kamu !!”)
“Ya aku raja sangka Kaos, Raja Jobin , ehmm, iki aku sangka negara Kaos arep nyang negara Medayin , tujuanku mung siji, bakal nglamar Siti Muninggar, ning jebule wis mbok dhekem dhewe he …”
(“Ya aku Raja dari Kaos, Raja Jobin, ehm, ini aku dari negera Kaos akan ke negara Medayin, tujuanku hanya satu, melamar Siti Muninggar, tap ternyata sudah kamu erami sendiri he …”)
“Aku ora ngrumangsani ndhekemi…, wong ya padha geleme …”
(“Aku tidak merasa mendekam..orang ya sama-sama maunya…”)
“Ah wis ora perlu kokehan punika , he Bagindha Amir !!”
(“Ah sudah tak perlu kamu kebanyakan alasan, he Bagindha Amir!!!”)
“Apa !!”
(“Apa !!”)
“Lamun ora kok wenehke, Siti Muninggar wooo… kowe tak gaglak mangsa nglelegana “
(“Seandainya tidak kamu berikan, Siti Muninggar wooo, kamu aku telan tidak bakal menyumbat kerongkongan”)
“Ya njajala “
(“Ya cobalah”)
“Oh .., lena pangendhamu tak gaglak ..Bagindha Amir “
(“Oh terlena kamu aku telan, …Bagindha Amir”)

Gendhing

“E…e…e…, Bagindha Amir … wujudmu ora ndayani, digdayamu ngidap-idapi… , ayo coba delengen !!, apa Bagindha Amir kang katon “
(“E..e..e..Bagindha Amir…wujudmu tidak seberapa, kesaktianmu hebat, …ayo sekarang lihatlah !!., apa Bagindha Amir yang kelihatan”)
“Kowe bakal namakne pusaka ?”
“Kamu bakal menggunakan pusaka?”)
“Ooo… lena pangendhamu, ketaman pusakaku pedang pamungkas dadi endhog amun-amun …”
(“ooo…terlena tubuhmu, kena pusakaku pedang pamungkas jadi debu …”)
“Coba leganing atimu “
(“Cobalah senangnya hatimu”)
“Yoh tampanana Bagindha Amir “
(“Ya terimalah Bagindha Amir”)

Sekedhap netra Bagindha Amir lena, sangking ampuhipun pusaka pedang pamungkas, Bagindha Amir kenging pusaka piliganipun, njungkel ! Bagindha Amir. Sak sampunipun Bagindha Amir menika njungkel, wusana trampil sanget Turangga Kalisak, Bagindha Amir kesaut turangga, kalih ngambah jumantara kondur dhumateng negari Puser Bumi, minggahipun kadyo thathit, Bagindha Amir …
(Sekejap mata Bagindha Amir terlena, karena hebatnya pusaka pedang pamungkas, Bagindha Amir terkena pelipisnya, terjungkal Bagindha Amir. Setalah Bagindha Amir terjungkal, tiba-tiba dengan cekatan Turangga Kalisak, Bagindha Amir disambar kuda sambil terbang di udara pulang ke negara Puser Bumi, terbangnya secepat kilat, Bagindha Amir…)

Gendhing

“Oh…hmm… sun waspadakake kaya putraku Bagindha Amir…, he Bagindha Amir…Bagindha Amir…, kenepa ngger sliramu…, sirahmu biyuuuung….biyuung , lha jenenge rai kok kaya ….adhuh !!…, gek kena apa Bagindha Amiiir…Bagindha Amir …”
(“Oh hmm… aku lihat seperti putraku Bagindha Amir…he Bagindha Amir…Bagindha Amir…, kenapa nak kamu.., kepalamu biyuuung…biyuung, lha wajah kak seperti…aduh !!, terus kena apa Bagindha Amiir…Bagindha Amir …”)
“Paman !!, kula engkang dhateng paman …, sak derengipun ngaturaken sungkem mugi konjuka dhateng paman …”
(“Paman !!, saya yang datang paman …, sebelumnya menyampaikan hormat aku sampaikan paman …”)
“Iya…ya…ya.. Bagindha Umar…Bagindha Umar..”
(“Iya…ya..ya.., Bagindha Umar…Bagindha Umar..”)
“Ngaturaken kedrawasan paman… menika Bagindha Amir sampun kula engetaken ampun ngantos mungsuh kaliyan Raja Jobin sangking negari Kaos, sebabipun Raja Jobin menika nggadhahi piandel wujud pedang pamungkas, sampun malih jamakipun manungsa, gunung dipun suding jugrug , pramila Bagindha Amir kumawani mlebet dhateng palagan kenging pusakanipun inggih menika Raja Jobin ..”
(“Celaka paman…yaitu Bagindha Amir sudah aku ingatkan jangan sampai melawan dengan Raja Jobin dari negara Kaos, sebab Raja Jobin itu punya pusaka wujud pedang pamungkas, jangankan manusia biasa, gunung terkena tusukannya hancur, karena Bagindha Amir terlalu berani berperang maka dia terkena pusaka Raja Jobin…”)

Dari gambaran cerita di atas dapat dipetik ajaran moral sebagai berikut:
1. Jangan berlagak sombong. Dalam ajaran Jawa terdapat pepatah Gedhe Endhase artinya jangan memiliki watak sombong (gumedhe: Jawa),dan pepatah Giri lusi, janma tan kena ingina, artinya jangan sok menghina orang lain, sebab belum tentu orang lain lebih jelek daripada kita.
Kesombongan ini ditunjukkan dalam diri Kusumaningayu Kumanditen, dia merasa sebagai wanita yang perkasa, cantik sempurna, anak seorang raja dan merasa tiada yang bisa mengalahkannya, maka dia mengadakan sayembara. Dia tidak menyadari bahwa secara fisik dia pasti kalah dengan kekuatan fisik laki-laki.
2. Godaan seorang yang dipandang berpangkat dalam menajalankan tugas adalah wanita. Bagindha Amir sebagai seorang pangeran lupa bahwa tugas utamanya adalah menyerahkan upeti kepada Raja Yaman. Cerita ini adalah merupakan pesemon atau perlambang yang mengkritik kaum lelaki terhadap aneka godaan yang terjadi dalam karier hidupnya. Mereka sering terjerumus oleh godaan semacam ini. Dalam ajaran Jawa terdapat pepatah “Ora ana tekan wedi ing jeblokan”, maknanya orang yang suka mengumbar nafsu tidak ada yang takut dengan bahaya yang mengancamnya. Kalau nafsu sudah menguasainya maka ada pepatah Jawa “Nir daya, nir wikara” maknanya; orang yang sudah dikuasai oleh nafsunya maka akan kehilangan kesadaran batin, kehilangan kewaspadaan dan kehilagan kekuatan. Dalam cerita di atas banyak digambarkan bagaimana orang yang bersifat Adigang, adigung, adiguna, semuanya menemukan kekalahan.
3. Di dalam sub cerita di atas ada satu jenis pendidikan kepada wanita pedesaan , yaitu bagaimana menjadi seorang wanita yang baik. Diantaranya ialah jangan menjadi wanita pemalas, suka menggunjing suaminya, dan suka mengobrol kesana-kemari.
4. Pedoman menjadi istri yang dicintai suami, yaitu : pintar berdandan, pintar memasak, pintar menyambut suaminya yang pulang dari kerja.
Pedoman hidup bagi seorang suami, yaitu : melindungi istri, memberi nafkah lahir dan batin.
5. Hidup harus mempunyai bekal pengetahuan yang cukup. Dalam ajaran Kejawen yang termuat dalam serat Wedhatama dikatakan “Yen tan mikaning rasa, sayekti sepa-sepi lir sepah samun” (Kalau tidak cakap dalam rasa ,benar-benar tanpa rasa, kosong, laksana ampas). Islam mengajarkan agar menuntut ilmu sampai negeri Cina, atau tuntutlah ilmu dari dalam kandungan hingga ke liang lahat.
6. Hidup harus pantang menyerah, hidup dalam masyarakat harus sesuai dengan aturan pemerintah dan norma agama. Dalam ajaran Kejawen yang termuat dalam bait awal Serat Nitipraja (dalam Sudewo,1991:647) disebutkan; “Harti hartati palu palupi, jurang sengkan dharatan linakyan, ewuh munggeng sanane, mangkana ing tumuwuh, dipun emit kramaning dadi, satataning wong praja, den kapti kawengku, rehning amawi sujana, silakrama rempungen dipun nastiti, dadia saekaprana (Dalam hal makna keindahan dan hukum suatu aturan, untuk itu tebing serta daratan hendaknya ia jalani, segala kesukaran yang ada di hadapan, hendaknya ingat aturan yang pantas, aturan orang hidup di masyarakat, hendaknya dipahami dan dijadikan pedoman, sebab mengandung derajat sarjana, hendaknya aturan sopan santun dihayati dengan cermat, sehingga menjadi pedoman hidup).
7. Hidup harus selalu waspada dan ingat kepada Yang Maha Kuasa . Ranggawarsita pujangga terkhir Keraton Surakarta mewariskan kalimat “Sabeja-bejane kang lali, isih beja wong sing eling lan waspada” (Seuntung-untungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang ingat Tuhan dan tetap waspada). Dalam ajaran Jawa terdapat pepatah “Kesandung ing rata, kebentus ing tawang”, maknanya setiap orang akan menemukan bencana yang tidak disangka-sangka. Untuk menggambarkan cerita itu Ki Usup menceriterakan kisahnya Bagindha Amir sewaktu tersesat ke negara Medayin dan bertemu dengan Abru.
8. Senantiasa mengingat (dzikir) kepada Allah SWT. Dalam Qur’an ar Ra’d, ayat 28 ( Alaa bidzikrillahi tathma’innulquluub ;” Ingatlah hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram”), kemudian dalam Qur’an , surat al- Ahzab ayat 41 –42 Allah SWT berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadanya pada waktu pagi dan petang”.
9. Jangan berbuat syirik. Allah SWT berfirman yang artinya “Beribadahlahlah kamu sekalian kepada Allah (saja) dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya”. (An-Nisa’:36). Kemudian dalam surat Al –Isra’ ayat 22, Allah SWT berfirman yang artinya “Janganlah kamu menjadikan bersama Allah sesembahan yang lain, agar kamu tidak menjadi terhina lagi tercela”.Untuk menggambarkan ajaran ini Ki Usup membuat pasemon Raja Basunasar yang menobatkan dirinya sebagai Tuhan, kemudian dapat ditundukkan oleh Bagindha Amir. Dari cerita ini dapat ditarik intisari cerita yaitu, orang yang mengaku dirinya Tuhan ternyata hanya manusia biasa yang tidak punya kekuatan apa-apa. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Israa’ ayat 37: “Dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”.
10. Orang yang baru masuk Islam dianjurkan untuk khitan. Suripan Sadi Hutomo berpendapat , berdasar kebudayaan Jawa-Islam di pedesaan , salah satu tanda bahwa seseorang, baik laki-laki maupun perempuan , telah Islam dengan sempurna apabila telah dikhitan. Itulah sebabnya kata sunatan atau khitanan sering disebut dengan bahasa Jawa krama: nyelamaken, artinya mengislamkan. Oleh karena itu kata sunat atau khitan, bila dijadikan bahasa Jawa krama menjadi selam. Kata ini berasal dari kata “Islam” . Dan bagi orang Jawa yang mengaku Islam tetapi tidak sunat , diklasifikasikan sebagai orang kafir (2001:199). Cerita ini digambarkan pada saat Raja Basunasar yang mengaku Tuhan dapat ditaklukkan oleh Bagindha Amir, kemudian dia dengan seluruh bawahannya disunat oleh Bagindha Umar.
11. Ajaran moral yang terakhir dalam cerita di atas adalah sesuai dengan pepatah Jawa “Yuwana mati lena”, pepatah ini mengingatkan kepada kita agar selalu barhati-hati dalam menentukan sebuah keputusan yang sangat penting . Jangan keburu nafsu hanya menuruti sebuah keinginan yang tidak begitu penting. Jangan meninggalkan nasihat orang lain dan jangan meninggalkan persatuan, sebab sepandai-pandai tupai melompat akan jatuh juga di pelimbangan. Dalam hal ini digambarkan bagaimana Bagindha Amir mendapatkan sabetan pedang pamungkas Raja Jobin, sehingga tubuhnya terungkur tak tersadarkan diri. Hal itu sebenarnya sudah diingatkan oleh Bagindha Umar agar mengurungkan niatnya untuk berperang melawan Raja Jobin, sebab Umar mengetahui kekuatan dan kelemahan Bagindha Amir, tapi rupanya Bagindha Amir tidak begitu mengindahkannya, sehingga yang terjadi adalah kekalahan fatal yang dialaminya. Pepatah Jawa di atas artinya “Orang yang baik budinya celaka akibat kurang berhati-hati”.

Babak Ketiga ( Adegan Sabrangan )
Pada bagian ini digambarkan bagaimana tokoh utama mengalami banyak masalah yang membutuhkan banyak pengorbanan. Sub tema yang dikembangkan adalah ”Jer Basuki Mawa Bea”. Dalam cerita ini muncul tokoh jahat yang disebut dengan tokoh sabrang. Ki Usup menampilkan tokoh sabrang dengan nama Raja Jobin dari negara Kaos, yang akhirnya dapat dikalahkan oleh Marionani.
Adapun naskah asli dari adegan ini adalah sebagai berikut:
“Nuwun sewu kangmas Bagindha Amir, kangmas Bagindha Amir, kula rayi panjenengan , kula Siti Muninggar kangmas, sumerep tatu panjenengan kula mboten kiat kangmas !, senajan putri, kula nggih prajurit kangmas, dados menapa-menapa kula mboten trima kangmas, cobi kula ingkang badhe majeng dhateng palagan , Raja Jobin …Raja Jobin.. aja kaget !, iki lho Siti Muninggar cintamu sing bakal mungsuh kowe …”
(“Mohon maaf kanda Bagindha Amir, kanda Bagindha Amir, saya adik kakanda, saya siti Muninggar kanda, melihat luka kakanda saya tidak kuat kanda !, walaupun wanita, saya juga prajurit kanda, jadi apa-apa saya tidak terima kanda, coba saya yang akan meju perang, Raja Jobin…Raja Jobin…aja kaget !, ini lho Siti Muninggar kekasihmu sing bakal melawanmu”)

Gendhing

“Raja Jobin…Raja Jobin …, pusakamu saka kadohan katon murub ngalad-alad, iya ta… iya aku ora trima , aku Siti Muninggar bakal mbela marang Bagindha Amir, aku bisa mancalaputra mancalaputri, aku bakal malih kakung, aku tak jejeneng Kosim , mula aja kaget Bagindha Amir iki aku Kosim, sing bakal ngrampungi wong kaya kowe Raja Jobin …”
(“Raja Jobin pusakamu dari jauh kelihatan menyala berkobar-kobar, iya-lah…iya aku tidak terima , aku Siti Muninggar akan membela kepada Bagindha Anir, aku bisa berubah wajah, aku bakal menjadi lelaki, aku akan meberi nama Kosim, maka jangan kaget Bagindha Amir ini aku Kosim, yang bakal menghabisi orang sepertimu Raja Jobin…”)

Gendhing

“Ha…ha…ha…ora antara suwe ana bocah cilik teka ning ngarsaku penthelang-pentheleng mripate !, Sapa!!”
(“Ha…ha…ha… tidak beberapa lama ada anak kecil datang di hadapanku melotot matanya !, siapa !!”)
“Yen takon marang aku mangsia padha-padha jenengku Kosim, balik sapa kowe !”
(“Kalau nanya kepadaku manusia sama-sama namaku Kosim, balik siapa kamu !”)
“Aku Raja Jobin saka negara Kaos, kowe pernah apa karo Bagindha Amir !?”
(“Aku Raja Jobin dari negara Kaos, kamu ada hubungan apa dengan Bagindha Amir !?”)
“Dudu sanak dudu kadang , yen ilang melu kelangan, ayo Raja Jobin kudu minggat sangka negara Oro-oro Bakdiatar kene !! “
(“Bukan sanak bukan keluarga, kalau hilang ikut kehilangan, ayo Raja Jobin harus pergi dari negara Oro-oro Bakdiatar sini !!”)
“Ho…ho…ho…, wujudmu ora nyepirani Kosim , kowe tak eman aja mbok terusne Kosim “
(“Ho…ho…ho…, tubuhmu tidak seberapa Kosim, kamu aku ingatkan jangan kamu teruskan Kosim”)
“Pancen aku yen durung bisa mondhong sirahe Raja Jobin, ora trima !!! “
(“Memang aku bila belum bisa menggendong kepalanya Raja Jobin, tidak terima !!!”)
“Ooooo… lena pangendhamu , gaglag mangsa nglelegana …”
(“Oh terlena menghindarmu, aku telan tidak bakal berhenti di tenggorokan”)

Gendhing

“Ora kena sangga sembrana Raja Jobin, hayo manut ora kowe…”
(“Tidak bisa diremehkan Raja Jobin, hayo menurutlah kamu …”)
“Sak iki ora manut, sesuk ya ora manut !! “
(“Sekarang tidak nurut, besuk juga tidak menurut !!”)
“Ooo…lamun kowe ora manut, kesampe pedang ora pedhot gulumu, ooo… tak guroni “
(“Ooo…kalau kamu tidak menurut, tersambar pedang tidak putus leehermu, ooo aku gurui”)

Sekedhap netra Raja Jobin namakaken pedang pamungkas dumateng Kosim, sakala wujudipun ical, lajeng dados wanita cintanipun Raja jobin, Siti Muninggar…
(Sekejap mata Raja Jobin menebaskan pedang pamungkas kepada Kosim, seketika wujudnya hilang, terus jadi wanita kekasihnya Raja Jobin, Siti Muninggar…)

Gendhing

“Aduh kangmas… pepunden kula, sesembahan kula ..”
(“Aduh kanda…pujaan hatiku, sesembahan saya”)
“Aduh…aduh … Muninggar…Muninggar…, kok iso-isane, Nggar.., Muninggar…, aku saka negara Kaos, menyang negara Oro-oro Bakdiatar kene, yo among kowe diajeng … diajeng…, kok isa-isane malih kakung… tujune tak tibani pusaka ora apa-apa…”
(“Aduh…aduh…Muninggar…Muninggar…, kok bisa-bisanya, Nggar..Muninggar…aku dari negara Kaos, pergi ke negara Oro-oro Bakdiatar sini, hanya padamu adinda , beruntung pedangku mengenai dirimu tidak apa-apa..)

“Ingkang sak estunipun kula namung neter, kadigdayan panjenengan …”
(“Sebenarnya saya hanya ingin mencoba kesaktian kakanda…”)
“Oh… iya…ya.., byuh …byuh…byuh…, manuta ya diajeng, kowe tak boyong nyang negara Kaos, ya…”
(“Oh..iya…ya.., byuh…byuh..byuh…, menurutlah ya dinda, kamu aku boyong ke negara Kaos, ya…”)
“Awit siyen, sak jatosipun kula dhumateng Bagindha Amir menika naming lapisan njawi, sejatosipun seratus persen kula tresna dhumateng panjenengan kangmas…kangmas Raja Jobin..”
(“Sejak dulu, sejatinya saya dengan Bagindha Amir itu hanya pura-pura, sejatinya seratus persen saya mencintai kakanda…kanda Raja Jobin..”)
“Byuuuh…byuh… yo…yoo..manuta tenan ya ning …”
(“Byuuuh..byuh…ya…ya..menurutlah sungguh ya ning …”)
“Inggih kangmas …”
(“Iya kanda..”)
“Iki aku rak mentas wae perang gedhen-gedhen karo Bagindha Amir. Bagindha Amir, ketiban pusakaku njungkel –njungkel tenan, aja maneh jamake manungsa, gunung tak sundik nganggo pusakaku iki wis mesthi jugrug, la mulane Bagindha Amir keplayu…, ya ning..ya…mulane sak iki kari kowe karo aku …”
(“Ini kan baru saja selesai pertempuran besar-besaran dengan Bagindha Amir. Bagindha Amir terkena pusakaku, tersungkur betul, jangankan manusia biasa, gunung aku tusuk dengan pusakaku ini pasti hancur, la makanya Bagindha Amir terus melarikan diri, ya ning ya, makanya sekarang yang tinggal kita berdua…”)
“Inggih kangmas …”
(“Iya kanda…”)
“Kangmas…kangmas…”
(“Kanda…kanda…”)
“Iya apa…apa…”
(“Iya apa…apa...”)
“Sak sampunipun sajak panjenengan sampun sayah kangmas… kula pijeti kangmas.., mangga kula aturi sare kangmas…, kula tak tak rengeng-rengeng…kangmas…”
(“Sesudahnya sepertinya kanda sudah kelihatan letih kanda…, aku pijat kanda.., mari saya persilahkan tidur kanda,..aku akan mendendangkan lagu kanda”)
“Aku kok kon turu terus mbok rengeng-rengengi ngono?”
(“Aku kamu suruh tidur terus kamu menyanyikan lagu untukku?”)
“Inggih kangmas…”
(“Iya kanda …”)
“Biyuuung…biyuuung , wong ayu sak ngalam ndonya kok ora ana sing padha , tur eseme…aku …adhuh biyuuung…biyuuung…biyung, lagi dilirik wae aku wis kejungkel-jungkel.., wong ayu… kok ya dipek dhewe…, ning…aku kok kon sare terus kok rengeng-rengengi …”
(“Biyuuung..biyuung, orang cantik sedunia kok tidak ada yang menyamai, ditambah senyumnya..aku..aduh biyuuung..biyuuung..biyung, sekali dilirik saja aku jadi terjungkal-jungkal, orang cantik, kok dimiliki sendiri, ning …aku kau minta tidur terus kamu menyanyi..”)
“inggih kangmas, pancenipun , pundhen kula..”
(“Ya kanda, memangnya begitu pujaaan hatiku..”)
“terus sing mbok senengi sindhen sapa ? “
(“Terus yang kau senangi pesinden yang mana?”)
“Kula piyambak mawon kangmas..”
(“Saya sendiri saja kanda..”)
“Biyuuuung…mendah mareme penggalihku, hayo coba nembanga cah ayu …”
(“Biyuuung.. alangkah puasnya hatiku , hayo coba bersenandunglah anak manis..”)

Gendhing Dhandhang Gula

“Raja Jobin…, sak iki kowe aja keplok tangan mbanting sikil , sejatine kowe tak lipur sing kaya mangkene aku nduweni pamrih pedang, sak iki pedhang wis ana tanganku, yen pancen ora trima tututana Siti Muninggar , tak gawa oncat menyang negara Ngarab kana Raja Jobin…”
(“Raja Jobin …, sekarang jangan bertepuk tangan membanting kaki, sebenarnya kamu aku hibur yang seperti ini aku hanya menginginkan pedangmu, sekarang pedang sudah ada di tanganku, kalau kamu tidak terima kejarlah Siti Muninggar, aku bawa kabur ke negara Ngarab sana Raja Jobin…”)

Gendhing

“E…e..e…e…, Siti Muninggar …Siti Muninggar, monyet wadon kowe…hmmmm, sida kapusan aku, ora nyana ora ngipi, ujude wanita nek ringik-ringik kaya mangkono wusana , biyuh…biyuh, pusaka digawa …, rumangsa kaya ilang bayuku aku, pancen piandelku ana pedang pamungkas, banjur diboyong karo Muninggar…, hoh bajingan wadon kowe …, he !! perjuritku kabeh saka negara Kaos, cilik gedhe, tuwa enom, aja ana sing keri ana Oro-oro Bakdiatar, ayo dibroki iki negara Ngarab, dadekne karang abang kabeh, he kanca ayo budhal yen kaya mangkono “
(“E..e…e.., Siti Muninggar…Siti Muninggar, monyet perempuan kamu, hmmm…jadi tertipu aku, tidak menyangka tidak mimpi, wujudnya hanya wanita, tapi kalau merayu seperti itu dan akhirnya, biyuuuh..biyuuh pusakaku dibawa…terasa hilang seluruh kekuatanku, memang andalanku hanya di pedang pamungkas, terus dibawa lari Muninggar…hoh penjahat wanita kamu.., he !!, prajuritku semua dari negara Kaos, besar kecil tua muda jangan ada yang tertinggal di Oro-oro Bakdiatar, ayo diserang negara Ngarab, dijadikan banjir darah , he kawan ayo berangkat semua!!!”)

Gendhing

“Oooeeeek…ooeeek…oooeeek…!! “
“Ooo…kakang Patih Jumegog , iki lelakon apa , lha wong ning negara Yaman kene ora ana wong ngandheg kok ana tangise bayi, iki bayine sapa ?”
(“Ooo..kanda Patih Jumegog, ini akan ada peristiwa apa, padahal-di dalam istana- negara Yaman ini tidak orang hamil, kok ada suara tangis bayi, ini bayinya siapa ?”)
“Pramila gusti, kula piyambak inggih radi ngungun lan emeng sanget, negari Yaman menika kula tliti-tliti mboten wonten tiyang ingkang ngandheg , menika kok lajeng mireng suwantenipun bayi lahir menika wonten pundi apa kira-kira bangsane demit …”
(“Untuk itu tuan, saya sendiri ikut heran dan aneh sekali, negara Yaman ini saya teliti tidak ada orang yang mengandung, itu kok terus mendengar suara bayi lahir itu ada di mana, apa kira-kira bangsanya setan…”)
“Lha enggih menika kula kok nggih ngungun…, cobi mangga kita mirengaken malih…, he para nara praja kabeh !”
(“Lha iya saya kok juga heran…, coba mari kita dengarkan lagi…, he para punggawa kerajaan semua !”)
“Nggih …nun inggih !”
(“Ya… ya..!)
“Nun inggih …”
(“Ya”)
“Nun inggih ..”
(“Ya”)
“Lha iya patih suara kok ning ndhuwur meret kae suara apa, suara bayi kok ning ndhuwur…iku kan nganeh-anehi ta, mangka sing ana ndhuwur mau ora ana liya kejaba mung peti , lha peti kuwi isine,piandele Bagindha Amir , slimut lan dodot pusaka, bisa nangis , coba kanca ayo mirengna maneh”
(“Lha iya patih, suara kok di atas kamar itu suara apa, suara bayi kok di atas blandar itu kan aneh sekali to, padahal yang di atas sana hanya sebuah peti, lha peti itu berisi pusakanya Bagindha Amir, slimut dan selongsong wadah pusaka, bisa menangis, coba kawan ayo dengarkan lagi”)
“Oeeek…oeeek…oeek “
“Oh yen kaya mangkono nyoto tenan, …. Yen kaya ngono kakang patih, menika terus dhukna petimu “
(“Oh kalau begitu nyata betul,…kalau seperti itu kanda patih, itu segera turunkan petinya”)

Sekedhap netra Patih Jumegog ngandhapaken peti menika dipun caosaken inggih menika Raja Yaman, menika wau
(Sekejap mata Patih Jumegog menurunkan peti itu terus diberikan Raja Yaman tadi)

Gendhing

“Sekesenana para nara praja !, pethi iki bakal tak bukak “
(“Sakasikan para punggawa kerajan !, peti segera kubuka”)

Sareng menika peti dibukak pancen wonten wujud bayi…
(Setelah peti dibuka memang ada bayi …)

“Oh lha dalah …, oooo yen ngono para perjurit, seksenana ya, iki putuku tak paringi tenger Maryonani !!”
(“Oh lha dalah…, oooo kalau begitu para prajurit, kamu saksikan ya, ini cucuku aku beri nama Maryonani !!”)
“Nun inggih “
(“Ya”)
“Eyang pundhen kula sesembahan kula, kula wayah panjenengan Maryonani , kanjeng rama kula sinten eyang ?”
(“Kakek pujaan hatiku, sesembahanku, saya cucu kakek Maryonani, ayahnda saya siapa kakek ?”)
“Oh ngger putuku Maryonani …, yen kowe takon wong tuwamu ya ngger, iki wali Nabi sangka negara Ngarab, yaiku Bagindha Umar, Bagindha Amir “
(“Oh nak cucuku Maryonani…, bila kamu menanyakan orang tuamu, ini wali Nabi dari negara Ngarab, yaitu Bagindha Umar, Bagindha Amir”)
“Nyuwun idi pangestu eyang, kula badhe sowan kanjeng rama,…kanjeng rama…kanjeng rama…, kula ingkang sowan…”
(“Mohon doa restu kakek, saya mau menemui ayahnda, ayahnda…ayahnda…saya yang datang…”)

Gendhing

“Yayi Bagindha Amir “
(“Adik Bagindha Amir”)
“Apa kakang Umar “
(“Apa kanda Umar”)
“Iki ana bocah bakal sungkem ning ngarsamu “
(“Ini ada anak mau berbakti kepadamu”)
“Sapa ngger sliramu ?”
(“Siapa nak kamu ?”)
“Menawi panjenengan dereng priksa, kula putra panjenengan Maryonani “
(“Kalau paduka belum tahu, saya putra paduka Maryonani”)
“Maryonani, aku bisa nampa bektimu nanging aku iki ning ngara kene lagi nandhang pepeteng , yen kowe bisa mbalekne perjurit sangka negara Kaos Raja Jobin , kowe bakal tak tampa”
(“Maryonani, aku bisa menerima baktimu tetapi di negera sini baru berduka, bila kamu dapat mengusir prajurit dari nagera Kaos, Raja Jobin, kamu bakal aku terima”)
“Nun inggih !, kula bade lumebet dhateng palagan kanjeng rama “
(“Terima kasih !, saya akan memasuki peperangan ayahnda”)

Gendhing

“Oh !, ora antara suwe kok ana bocah cilik mlebu palagan sapa !!”
(“Oh !, tidak bebarapa lama kok ada anak kecil memasuki peprangan, siapa !!”)
“Takon karo aku ora tedheng aling-aling aku Marionani !!”
(“Tanya dengan aku, tidak aku tutup-tutupi aku Marionani !!”)
“Oh, Marionani…Marionani, aja maneh kur kowe Marionani , kabeh kakekamu padha mundur “
(“Oh, Marionani…Marionani, jangankan Cuma kau Marionani semua kakekmu semuanya mundur”)
“Durung karuan yen mungsuh cah cilik “
(“Belum tentu kalau melawan anak kecil”)

Sekedhap netra Marionani ngusap epek-epekipun ingkang nuwuhaken gara-gara lesus wat-watan,menika Raja Jobin dipun sentor lesus, dipun obat-abitaken mboten kanten-kantenan Raja Jobin
(Sekejap mata Marionani mengusap telapak tangan, yang menyebabkan timbul angin lesus yang sangat kencang sekali, membuat Raja Jobin dihempaskan oleh angin lesus, di ombang-ambingkan tidak karu-karuan Raja Jobin )

Dalam naskah cerita di atas terdapat ajaran moral yang bisa dipetik, yaitu :
1. Menolong orang yang sedang mengalami kesengsaraan. Dalam budaya Jawa terdapat pepatah “Dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan”, maknanya ; walaupun orang lain, kalau sengsara ikut membela.
2. Jangan mudah percaya dengan orang yang baru kita kenal. Untuk menggambarkan peristiwa ini , Ki Usup membuat pasemon , bagaimana Raja Jobin bisa dikelabuhi dengan mudah oleh rayuan manis Siti Muninggar yang pura-pura mencintainya, hingga barang pusaka yang paling berharga bisa lenyap dari dirinya. Pepatah Jawa yang lain mengatakan Janma tan kena kinaya ngapa, artinya manusia itu tidak bisa dikira dan diterka.
Berdasarkan budaya Jawa, benda pusaka adalah barang yang mempunyai kekuatan magis, yang bisa mendatangkan kekuatan linuwih, atau saktri mandraguna. Kepercayaan ini merupakan kepercayaan animisme dan dinamisme , yaitu kebudayaan asli orang Jawa sebelum datangnya pengaruh Hindu dan Buda. Dengan demikian Raja Jobin termasuk orang yang tergesa-gesa menerima sesuatu, tanpa mengetahui maksud yang tersembunyi dalam diri Siti Muninggar. Pepatah Jawa mengatakan “Kebat kliwat goncang pincang”, maknanya perbuatan dengan serba tergesa-gesa hasilnya pasti mengecewakan.
3. Mengajarkan agar kita selalu menghadapi berbagai rintangan dengan seluruh kemampuan yang kita miliki. Pepatah Jawa mengatakan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung”. Dalam hal ini Ki Usup menggambarkan dalam ceritanya , Siti Muninggar dan Marionani menghadapi musuhnya yang bernama Raja Jobin dari negara Kaos.
4. Mengajarkan agar kita bekerja keras terlebih dahulu baru memperoleh nikmat kemudian. Pepatah Jawa mengatakan “Obah ngarep kobet mburi” maknanya; lebih baik sengsara terlebih dahulu dan akhirnya akan memperoleh kenikmatan. Hal ini digambarkan dalam cerita, ketika Marionani akan menghadap orang tuannya yaitu, Bagindha Umar dan Bagindha Amir, keduanya meminta persyaratan agar Marionani mengusir Raja Jobin yang sedang mengancam negara Ngarab.


• Adegan ke lima dengan sub tema
“Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti ”
• Pada bagian ini diceritakan bagaimana konflik mulai berada di puncak. Tokoh-tokoh utama berkumpul untuk ikut secara bersama-sama menyelesaikan masalah yang sangat penting sekali. Ki Usup menggambarkan puncak konflik ini dengan cerita Bagindha Umar , Bagindha Amir serta seluruh punggawa kerajaan tidak bisa membuka Payung Tunggulnaga. Bersyukur datang Wahas putra dari sesepuh kerajaan Puser Bumi datang menolongnya, dan akhirnya Payung Tunggulnaga yang dianggap bisa mengembalikan ketentraman dan kesusksesan pembangunan di negara Ngarab, dapat dibuka oleh Wahas.

“Marionani ngger putraku , kowe bisa madhangake pepeteng negara Puser Bumi , mbalik kaya wingi uni, perjurit sangka negara Kaos morat-marit kesentor lesus , mbalik menyang asale ya ngger, bektimu tak tampa …”
(“Marionani nak putraku, kamu bisa menerangi kegelapan nagara Puser Bumi, kembali seperti semula, prajurit dari negara Kaos kocar-kacir diterjang angin lesus, kembali ke asalnya ya nak, baktimu aku terima..”)
Saksampunipun Marionani sungkem dhateng ramanipun Bagindha Amir, ical !!!, badar dados dodot pusaka lan slimut
(Setelah Marionani menyembah kepada ayahndanya Bagindha Amir, hilang !!!, berubah wujud jadi selongsong pusaka dan selimut )

Gendhing

“Masyaallah Mir…Mir… , ora nyana ora ngimpi, layak kowe ora duwe kekuwatan , dadi kowe koncatan dodot pusaka lan slimut, yo…yo…lha sak iki pisan titimangsa Mir !, wis teka wayahe ayo pisan-pisan gawene di karne Payung Tunggulnaga “
(“Masyaalloh Mir…Mir…, tidak menyangka dan tidak bermimpi, makanya kamu tidak punya kekuatan, jadi kamu ditinggalkan selongsong pusaka dan selimut, ya…ya…, lha sekarang ini sudah tiba saatnya Mir !, sudah tiba saatnya ayo sekalian pekerjaannya membuka Payung Tunggulnaga”)
“Iya…iya kakang Umar yen mangkono kula badhe nglebeti sak ngandhape Payung Tunggulnaga “
(“Iya kakang Umar kalau begitu aku mau memasuki di bawahnya Payung Tunggulnaga “)

Sekedhap netra Payung Tunggulnaga dipun mekaraken kalian menika Raja Jemblung Marmadi , mbegegeg mboten menapa-menapa Payung Tunggulnaga
(Sekejap mata Payung Tunggulnaga dibuka oleh Raja Jemblung Marmadi, sedikitpun tidak apa-apa Payung Tunggulnaga)

Gendhing

“Ngger … putraku Wahas ..”
(“Nak putraku Wahas …”)
“Wonten dhawuh kanjeng rama …”
(“Ada apa ayahnda …”)
“Aku kanjeng ramamu Bintaljemur, yaiku sesepuh ana negara Puser Bumi kene sajak ana negara Puser Bumi kene ana hara-huru sing ora-ora , iki Bagindha Umar , Bagindha Amir lagi mekarne Payung Tunggulnaga , sapa-sapa sing ngekarne mbegegeg tanpa mekar , aku sing bagian ujung sesepuh kene ngger Wahas !, sliramu tak dhawuhi supaya ngekarake Payung Tunggulnaga , ngger Wahas ..”
(“Aku ayahmu Bentaljemur, sesepuh negara Puser Bumi, kelihatanya mendapat halangan yang tidak-tidak, ini Bagindha Umar Bagindha Amir, tengah membuka Payung Tunggulnaga, siapa-siapa yang membuka tidak ada yang bisa, aku yang berada di ujung sini nak Wahas!, kamu aku utus supaya membuka Payung Tunggulnaga, nak Wahas..”)
“Adhuh kanjeng rama sesembahan kula, pundhen kula , mbenjang napa bidhal kula “
(“Aduh ayahnda sesembahan saya, pujaan saya, kapan saya harus berangkat “)
“Aja kesuwen Wahas, enggal karna Payung Tunggulnaga , ya ngger… tak jangkung ya ngger, aku wong tuwamu Bintaljemur …”
(“Jangan terlalu lama Wahas, segera buka Payung Tunggulnaga, ya nak,.. aku dukung ya nak, aku orang tuamu Bintaljemur…”)

Gendhing

“Paman Wahas pundhen kula , kula Bagindha Amir ngaturaken sungkem mugi konjuka paman “
(“Paman Wahas pujaan saya, saya Bagindha Amir menyampaikan bakti semoga diterima paman”)
“Ya ngger putraku bocah bagus Bagindha Amir, kowe ngaturake bekti tak tampa ya ngger.., ora liwat pangestuku tampanana “
(“Ya nak putraku anak tampan Bagindha Amir, kamu menyampaikan bakti aku terima, jangan lupa doa restuku terimalah”)
“Inggih sampun kula tampi , menika kula petekaken mustaka mugi ndadosna jejimat “
(“Terima kasih sudah aku terima, ini saya masukkan di kepala semoga menjadi yang berharga”)
“Paman , semanten ugi kula Umar, ngaturaken sungkem mugi konjuk “
(“Paman, demikian juga saya Umar, menyampaikan bakti semoga diterima”)
“Ya…ya…Bagindha Umar tak tampa , iki sajakane negara Puser Bumi kene kok ana hara-huru kaya-kaya pedhut peteng iki sing kok tujokake kepiye ?”
(“Ya…ya…Bagindha Umar aku terima, ini kelihatannya negara Puser Bumi sini ada bencana seperti mendung yang gelap, ini yang kamu maksud bagaimana ?”)
“Nuwun sewu estunipun menika badhe mbangun negari, sinten ingkang saged ngekaraken Payung Tunggulnaga , inggih Payung Bawat, menika negari seratus persen menika badhe tetep bangunan menika tetep sukses lan tetep rukun sedaya warga, menawi Payung Tunggulnaga menika saget mekar … “
(“Mohon maaf sebetulnya ingin membangun negara, siapa yang bisa membuka Payung Tunggulnaga, ya Payung Bawat, itu negara seratus persen itu akan tetap pembangunan itu tetap sukses dan tetap rukun semua warga, jikalau Payung Tunggulnaga itu bisa terbuka …”)
“Oh ya…ya…ya…, ya sak iki aku bakal melu cawe-cawe sebab aku pikantuk dhawuhe kanjeng rama Bintaljemur supaya aku ngekarne Payung Tunggulnaga, iki ora kok teges aku clandhaan nanging saderma nindakake dhawuh , mula sak iki ayo ngaturake panyuwun menyang Gusti Allah , muga-muga Payung Tunggulnaga bisa mekar, lan diridhoi apa sing dikarepake kabeh, mula ayo bebarengan maca Bissmillahirrahmanirrahim …
(“Oh ya..ya..ya..ya sekarang aku akan ikut membantu membuka, sebab aku mendapat mandat ayahnda Bentaljemur supaya aku membuka Payung Tunggulnaga, ini bukan kok berarti mengambil yang bukan haknya, tetapi sekedar melaksanakan mandat, maka sekarang ayo berdoa kepada Allah SWT, semoga Payung Tunggulnaga bisa terbuka, dan mendapatkan ridho apa yang diinginkan semua, maka ayo membaca Bissmillahirrahmanirrakhim bersama-sama “)

Sekedhap netra inggih menika Wahas kanthi waosan Bissmillahirrahmanirrahim , Payung Tunggulnaga dipun asta kaliyan Wahas, Payung sanalika mekar, sigra byar padhang trawang, ingkang njalari sedaya dados ayem tentrem negari, awit sangking ampuhipun Wahas
(Sekejap mata yaitu Wahas dengan membaca Bissmillahirrahmanirrahim, Payung Tunggulnaga dipegang oleh Wahas, payung seketika terbuka, terus terang sekali, yang membuat semua jadi tentram negara, karena saktinya Wahas )

“Adhuh paman sesembahan kula , pundhen kula, saksampunipun Payung Tunggulnaga sampun mekar , kala sangking wetan wangsul ngetan, kala sangking kilen wangsul ngilen, kala sangking kidul wangsul ngidul, kala sangking ler wangsul ngaler , sedaya kala sampun wangsul dhateng panggenanipun , ketingalipun sinaripun kawontenan-kawontenanipun negari Puser Bumi mriki “
(“Aduh paman sesembahan saya, pujaan saya, setelah Payung Tunggulnaga sudah mekar, sumber bencana dari timur kembali ke timur, sumber bencana dari barat kembali ke barat, sumber bencana dari selatan kembali ke selatan, sumber bencana dari utara kembali ke utara, semua sumber bencana sudah kembali ke tempatnya, kelihatannya sinarnya keadaan-keadaan negara Puser Bumi”)
“Oh iya…ya “
(“Oh iya..ya”)
“Lha menika mekaten, sak sampunipun Payung Tunggulnaga menika sampun mekar , kula kalian panjenengan ngrumaosi tansah ngonjukaken raos suka syukur dhumateng Gusti Allah , semanten anggenipun paring dhumateng kula lan panjenengan sami “
(“Lha sekarang begini, setelah Payung Tunggulnaga itu sudah terbuka, saya dengan semuanya merasa selalu menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT, demikian besarnya karunia yang diberikan kepada kita”)
“Mula sangka iku ngger kabeh kudu ayo padha ngonjukake rasa suka syukur menyang Pangeran sebabe Gusti Allah iku sifate rahman rahim , apa tujuane kawulane waton tenan , mesthi tansah diridhoi dening Gusti Allah, mula aja ragu-ragu , lan mamang-mamang , kocap ora mamang ora ragu, wis mesthi bisa kasembadan panyuwune”
(“Maka dari itu nak , semua harus mengucapkan syukur kepada Tuhan, sebabnya Allah SWT itu bersifat rahman rahim, apa yang menjadi permintaan asal sungguh-sungguh, pasti selalu diridhoi, maka jangan sampai ragu-ragu, dan was-was, asal tidak ragu dan was-was pasti terkabul permintaannya”)
“Nun inggih “
(“Ya”)
“Ngger putraku Bagindha Umar-Amir “
(“Ananda putraku Bagindha Umar-Amir”)
“Wonten dhawuh kanjeng rama “
(“Ada apa ayahnda”)

Dari gambaran cerita di atas dapat dipetik ajaran moral sebagai berikut:
1. Senantiasa rendah hati serta tetap bertawakal dalam menghadapi masalah, hal ini sesuai dengan ajaran Islam. Dalam cerita itu bagaimana sikap lemah lembut Wahas dalam melaksanakan tugas dari ayahnya, untuk menolong Bagindha Umar dan Bagindha Amir membuka Payung Tunggulnaga yang tidak bisa terbuka.
2. Senantiasa bersyukur atas karunia kemudahan yang telah diterima dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini digambarkan oleh anjuran Wahas setelah Payung Tunggulnaga , yang mereka yakini dapat memulihkan keadaan di negeri Ngarab, dapat dibuka kembali.
Jangan ada perasaan ragu dalam berdoa. Hal ini digambarkan oleh Ki Usup “Mula sangka iku ngger kabeh kudu ayo padha ngonjukake rasa suka syukur menyang Pangeran sebabe Gusti Allah iku sifate rahman rahim , apa tujuane kawulane waton tenan , mesthi tansah diridhoi dening Gusti Allah, mula aja ragu-ragu , lan mamang-mamang , kocap ora mamang ora ragu, wis mesthi bisa kasembadan panyuwune”
(“Maka dari itu nak , semua harus mengucapkan syukur kepada Tuhan, sebabnya Allah SWT itu bersifat rahman rahim, apa yang menjadi permintaan asal sungguh-sungguh, pasti selalu diridhoi, maka jangan sampai ragu-ragu, dan was-was, asal tidak ragu dan was-was pasti terkabul permintaannya”). Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 56 , “….Dan berdoalah kepada-Nya dengan perasaan takut (tidak diterima) dan penuh harapan (akan dkabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.


Adegan Penutup dengan sub Thema
“Ngundhuh Wohing Pakarti”
“Sakwise Payung Tunggulnaga wis mekar, ya ngger permesthene durung udan bisa udan, kambil sing ora kacuk padha kacuk, masyarakat sing padha njembel sak iki padha makmur kabeh, bisa sukses seratus persen bangunan iki sangka mekare Payung Tunggulnaga, mula pisan gawene ngger Bagindha Umar-Amir, sliramu Bagindha Amir sliramu tak angkat supaya nglungguhi dhampar kencana ngger, iki sliramu Bagindha Amir, ora kekasih Bagindha Amir, sak iki tak sengkakne ngaluhur jumeneng Wong Agung Menak Jayengrana ya, Jayeng Palugon ya, Jayeng Murti ya, Jayengrana “
(“Setelah Payung Tunggulnaga sudah terbuka, ya nak yang mestinya hujan belum bisa turun menjadi turun, kelapa yang belum bisa berbuah menjadi berbuah, masyarakat yang tadinya miskin menjadi makmur semua, bisa sukses pembangunan dari terbukanya Payung Tunggulnaga, makanya sekalian pekerjaannya nak Bagindha Umar-Amir, kamu Bagindha Amir, kamu aku angkat menjadi raja , ini kamu namamu bukan lagi Bagindha Amir, sekarang aku nobatkan menjadi raja Wong Agung Menak Jayengrana,ya Jayeng Palugon, ya Jayeng Murti, ya Jayengrana”)
“Oh dadosipun mekaten kanjeng rama , kula panjenengan paringi sampur nglenggahi dhampar kencana ?”
(“Oh jadinya begitu ayahnda, ananda diberikan kepercayaan menduduki kursi kerajan ?”)
“Lho iya !, lha si Umar …, kowe tak sampiri sampur ya ngger ya.., kowe dadi generasi muda supaya nerusake perjuangane wong tuwa-tuwa “
(“Lho iya !, lha Umar.., kamu aku percaya jadi pejabat kamu jadi generasi muda supaya melanjutkan perjuangan orang tua”)
“Nggih “
(“Ya”)
“Sliramu supaya nggenteni Adipati ana Tal Kandhangan, lha sliramu tak paringi tenger Adipati Marmaya Guritwesi Tal Kandhangan, iki jejibahan mbesuk ngislamake wong sing ijik kafir, sak teruse aja waleh-waleh, aja wedi –wedi supoyoa bisa sukses apa sing dadi cita-citane”
(“Kamu mengantikan Adipati di Tal Kandangan, terus kamu aku beri gelar Adipati Marmaya Guritwesi Tal Kandhangan, ini kewajiban untuk meng-islamkan orang-orang yang masih kafir, selanjutnya jangan jemu-jemu, jangan takut-takut agar tercapai cita-citanya”)
“Paman, dadosipun kula menika kesampiran sampur supados jumneng Adipati wonten Tal Kandhangan , den paringi tenger Adipati Marmaya Guritwesi Tal Kandhangan “
(“Paman, jadinya saya memperoleh tugas menjabat Adipati di Tal Kandangan, terus diberi gelarAdipati Marmaya Guritwesi Tal Kandhangan”)
“Lho iya “
(“Lho iya”)
“Inggih “
(“Ya”)
“Lha iki mangkene pisan ya, wis teka titimangsa , Kesumaningayu Siti Muninggar, tak syahke pisan pikantuk Bagindha Amir, dene Bestari putrane patih Bestak dina iki menyang Bagindha Umarmaya, Kestabun, menyang Raja Marmadi ya…”
(Lha ini begini sekalian ya, sudah datang saatnya, Kesumaningayu Siti Muninggar, aku resmikan dengan Bagindha Amir, sedangkan Bestari putrinya Patih Bestak hari ini aku jodohkan dengan Umarmaya, Kestabun dijodohkan dengan Raja Marmadi ya…”)
“Inggih “
(“Ya”)
“Gene sing siji iki menyang Raden Maktal, putra saka Ngalabani pisan gawene, kowe supaya ngrangkani Wong Agung Menak, kowe tak sengkakne ngaluhur supaya dadi Patih ana kene “
(“Sedangkan yang satu ini dijodohkan denga Raden Maktal ptra dari Ngalabani, kamu supaya membantu Wong Agung Menak, kamu aku angkat supaya jadi Patih di sana”)
“Oh inggih, dados kula menika jejuluk Raden Patih Maktal Putra Ngalabani ?”
(“Oh terima kasih, jadi saya itu bergelar Raden Patih Maktal Putra Ngalabani”)
“Lho iya, mula ayo diatur sak apik-apike negarane iki, supaya enggal sukses apa sing dadi cita-citane masyarakat iki tentrem ayem subur makmur langsung didohake sangka balak-balak sing ora dipingini masyarakat bisa kaleksanan cita-citane ana ndonya tekan ngakerat “
(“Lh iya, maka ayo diatur sebaik-baiknya negaranya ini, supaya cepat sukses apa yang menjadi cita-citanya masyarakat, ini tentram, damai subur, makmur langsung dijauhkan dari bencana yang tidak diingini masyarakat, bisa terlaksana cita-citanya di dunia hingga akhirat”)

“Inggih “
(“Ya”)
“Kene diatur cara kuna , kene astane Bagindha Amir si Wong Agung Menak, kene naa…, Marmaya kene, Bestari kene, naaa…, iki Kestabun kene, naa…, Bissmillahirrahmanirrahim, Kucarkucur kacang kawak gudhe kawak, sak kawak-kawakane kacang lan gudhe, isik kawak temantene, babar pinangkar mbesuk putrane dadi sak latar, mula kene ayo diiringi Kalaganjur kene naa…Bissmilllahirrahminirrahim, aku tak ngrapalne Jaran Goyang, Tak goyang segara etan sat, segara kulon sat, gendirku sada lanang , upet-upetku lawe wenang tak sabetake gunung guntur, tak sabetke segara sat, tak sabetke perawan Kenya kinthil-kinthil, pucuke upat-upat Kenya-kenya sarine Kenya kala klawan tangis, manten putrid cethuk manten kakung ra bisa ngeluh , bisa nangis , nangis sangking kersane Gusti Allah , la ilaha ilalloh Muhammadar-rasulullah , hus !!, Bissmilllahirrahmanirrahim , bumi mingkem malik asih, malik atine manten putrid, asih mantene kakung asih suka ngersane Gusti Allah, hus !!, kene….kene…naaa…
(“Sini, diatur dengan cara kuna, sini tangannya Bagindha Amir, si Wong Agung Menak, sini naa…, Marmaya sini, Bestari sini, naaa…, ini Kestabun kene naaa.., Bissmillahirrahmanirrahim , kucar kucur kacang kawak, gudhe kawak, sak kawak-kawakane kacang lan gudhe, isik kawak temantene, babar pinangkar dadi sak latar, maka sini ayo diiringi tembang Kalaganjur kene naaa… Bissmilllahirrahminirrahim, aku akan membaca mantra Jaran Goyang, tak goyang segara etan sat, segara kulon sat, gendirku sada lanang, upet-upetku lawe benang, tak sabetake gunung guntur, tak sabetake segara sat, tak sebetake perawan kenya kinthil-kinthil, pucuke upat-upat, kenya-kenya sarine Kenya kala klawan tangis, manten putri cethuk manten kakung ra bisa ngeluh , bisa nangis , nangis sangking kersane Gusti Allah , la ilaha ilalloh Muhammadar-rasulullah , hus !!, Bissmilllahirrahmanirrahim , bumi mingkem malik asih, malik atine manten putrid, asih mantene kakung asih suka ngersane Gusti Allah, hus “)

Berdasarkan gambaran crita di atas , dapat dipetik ajaran moral sebagai berikut:
1. “Sapa nandur ngundhuh”, artinya seseorang akan menuai sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Bila yang ditanam adalah perkara-perkara kebaikan, maka yang ia dapatkan adalah kemuliaan, sedangkan bila yang ditanam adalah perkara-perkara yang tidak baik, maka yang diperoleh adalah kesengsaraan. Dalam ajaran Islam Allah SWT berfirman dalam surat al-Fath ayat 29: “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang kafir, namun berkasih sayang terhadap sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka terlihat dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat mereka di dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka menjadi kuat, lalu bertambah besar, kemudian tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan penanam-penanamnya, karena Allah ingin menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang Islam). Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan mengerjakan amal sholeh di antara mereka ampunan dan pahala besar”

Tamat








BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Unsur-unsur pelahir cerita Payung Tunggulnaga mempunyai dua fungsi yaitu, fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer berupa dakwah Islam di lingkungan orang-orang Islam abangan, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal di pedesaan Ponorogo dan sekitarnya termasuk di dalamnya wilayah Madiun, Ngawi, Magetan, dan Pacitan.
Strategi dakwah Islam yang dipergunakan oleh Muhammad Yusuf dilandasi oleh dakwah “bi-al-hikmat”(cara bijak) sesuai dengan dakwah yang dianjurkan Allah SWT yang tertera dalam QS. Al-Nahl:125.
Isi cerita Jemblung selalu diintegrasikan antara budaya lokal dan budaya Islam. Dengan demikian terjadi akulturasi dan inkulturasi budaya, yang menyebabkan lahirnya budaya baru ,Islam yang sinkritis. Disebut akulturasi karena Islam cukup apresiatif terhadap tradisi dan budaya lama (Hindu-Budha, Dinamisme dan Animisme) untuk diambil sebagai wadah dakwah. Sedangkan disebut inkulturasi karena Islam disebarkan melalui wadah budaya lama dengan menuansai budaya lama yang telah mendarah daging di masyarakat.
Sebagai bukti terjadinya proses akulturasi dan inkulturasi budaya di dalam pentas Jemblung Katong Wecana, Ki Dalang Muhammad Yusup selalu mengawali pentasnya dengan bacaan Bismillahirrahmanirrahim , kemudian pada batang tubuh cerita selalu diucapkan kalimat-kalimat suci dari Kitab Suci al-Qur’an, demikian juga dalam penutup cerita Ki Usup senantiasa menutupnya dengan kalimat syahadat (kalimat tauhid-peng-Esa-an Tuhan), dan permohonan kekuatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sedangkan bait-bait cerita maupun mantra adalah murni dari budaya Jawa lama.
Terjadinya akulturasi dan inkulturasi budaya juga terjadi pada simbol-simbol dalam bentuk perangkat sesaji yang digunakan selama pentas. Bahkan seluruh simbol adalah murni dari budaya Jawa, tetapi Muhammad Yusup memberikan pemaknaan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Fungsi sekunder cerita Payung Tunggulnaga untuk:
• Pertama, menghibur orang-orang desa yang mempunyai hajat, misalnya perkawinan, khitanan , dan peringatan-peringatan hari besar.
• Kedua, memproyeksikan angan-angan seorang priayi dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah yang di tempatinya.
• Ketiga, ritual menghilangkan sengkala bagi pejabat pemerintahan yang akan membangun negerinya.
• Keempat, mendidik pemuda dan pemudi supaya jangan malas berjuang dan bekerja dan jangan meninggalkan ajaran agama serta mendukung program pembangunan pemerintah.
• Kelima, mendidik wanita dan laki-laki sebagai suami dan istri selalu hidup harmonis saling membantu dalam segala problematika kesukaran. Senang susah selalu bersama-sama, sebab untuk mendapatkan kemuliaan hidup harus menempuh penderitaan terlebih dahulu.
• Keenam, memperrtebal solidaritas kelompok orang Jawa pada umumnya , atau sebagai orang Jawa yang tinggal di pedesaan Daerah Ponorogo.
• Ketujuh, menanamkan pandangan bahwa kejahatan atau angkara murka itu akan dikalahkan oleh kebaikan atau kebenaran
• Kedelapan, menanamkan pandangan bahwa perempuanpun bisa ikut berjuang memerangi keangkaramurkaan atau kejahatan.
• Kesembilan, menanamkan kebiasaan hidup guyub rukun dan menjaga persatuan dalam berjuang membangun negeri.
• Kesepuluh , menanamkan sikap selalu waspada dalam menjalankan kehidupan di dunia, sebab bahaya bisa saja terjadi tanpa disangka-sangka datangnya.
• Kesebelas, menanamkan hidup penuh dengan kesabaran dan kasih sayang kepada sesama.
• Keduabelas, menanamkan sikap menghargai perjuangan para pahlawan bangsa yang telah gugur memperjuangkan kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
• Ketigabelas, menanamkan sikap menghargai dan menghormati orang yang lebih tua.
• Keempatbelas, menanamkan pemahaman bahwa hidup didunia hanya sementara.
• Kelimabelas, menanamkan ajaran bahwa setiap orang yang menanam akan ngundhuh atau menuai sesuai yang ditanam.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas kiranya ada beberapa saran yang perlu penulis sampaikan terkait dengan keberadaan Seni Jemblung Katong Wecana , yaitu :
1. Hendaknya peneliti yang lain Ponorogo lebih meningkatkan orientasi penelitian ke arah budaya masyarakat. Hal itu sangat strategis sekali dalam rangka menggali nilai-nilai budaya bangsa yang kini telah mulai tereduksi dengan beragam kebudayaan manca negara, sehingga budaya asli yang adiluhung dapat terselamatkan ,pertimbangannya karena budaya kita ternyata mampu menyatukan dan mengharmoniskan kehidupan masyarakat yang hiterogen, dengan cara-cara yang santun ,sejuk, dan berbudaya. Kepada peneliti lanjutan hendaknya jangan berkutat dalam teori-teori bahasa yang monoton dan menjemukan. Kenalilah jati diri bangsa melalui penelitian sastra lisan dan sastra-sastra lain yang jaman dahulu pernah berjaya. Semoga dalam penelitian pada bidang folkor ini anda menemukan intan mutiara yang dapat memperkaya keluhuran budi bangsa.
2. Hendaknya Pemerintah Kabupaten Ponorogo kembali mencurahan perhatiannya terhadap seni Jemblung Katong Wecana yang telah banyak berjasa dalam membangun budaya masyarakat Kabupaten Ponorogo .
3. Dengan mempertimbangkan persentase masyarakat muslim Ponorogo , seni Jemblung Katong Wecana ini bisa dipakai lagi sebagai sarana dakwah dan penyuluhan masyarakat. Oleh karena itu Pemerintah Daerah harus memikirkan regenerasi dan upaya aktif serta dinamis untuk melakukan modifikasi seni Jemblung Katong Wecana , menyesuaikan dengan kondisi zaman dan masyarakat saat ini.
4. Berdasarkan temuan aspek-aspek ajaran moral yang terdapat dalam lakon cerita Jemblung Katong Wecana belum semuanya bisa terungkap, melalui penelitian ini direkomendasikan untuk bisa dilakukan penelitian lanjutan.








DAFTAR PUSTAKA
Atmosuwito, Subijantoro.1989.Perihal Sastra Dan Religiusitas Dalam Sastra. Bandung: Sinar Baru

Dananjaya, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta : Grafiti Pers

Depdikbud. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. I. Jakarta: Balai Pustaka

Dwihardjo, Maryono. 1991. Tingkat Tutur Dalam Bahasa Jawa Cerminan Adab Sopan Santun Berbahasa. Surakarta : Harapan Massa

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Mida’s Surya Grafind

Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan (Pengantar Studi
Sastra Lisan) . Surabaya : HISKI

-------------------------- 2001. Sinkritisme Jawa-Islam, Studi Kasus Kentrung Suara Seniman Rakyat. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

Mangunwijaya, Y.B. 1993. Sastra Dan Religiusitas. Yogyakarta : Kanisius

Mulder, Niels. 1984. Kepribadian Jawa Dan Pembangunan Nasional.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

----------------.1985. Pribadi Dan Masyarakat Jawa: Penjelajahan Mengenai Hubungannya (Yogyakarta,1970-1980). Jakarta: Sinar Harapan

-----------------. 2001. Mistisme Jawa: Idiologi di Indonesia. Yogyakarta: LKiS

Nata, Abudin. 1999. Kerangka Memahami Islam. Jakarta : Gema Insani Press

Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press

Padmopuspito, Asia. 1991. Jenis Sastra Jawa dan Ciri Pengenalnya. Surakarta: Harapan Massa

Purnomo, S. Bambang. 2000. Kesastraan Jawa Pesisiran (Sebuah
Pengantar Ringkas) Surabaya: UNESA University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan Dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Lukman

Purwadi, 2001. Sekar Mekar (Ngewrat Kawruh Basa, Kasusastran, Parama sastra, Tuwin Aksara Jawi ). Surakarta: CV Cendrawasih

Simuh. 2002. Sufisme Jawa. Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

---------. 2003. Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju

Sabiq, Sayyid. 2003. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya : Citra Wacana

Semi, Atar. 1993. Kritik Sastra . Bandung : Angkasa

Sudewo, A. 1991. Transformasi Norma Estetik Sastra Jawa. Surakarta:
Harapan Massa

Suwadji. 1985. Sopan Santun Berbahasa Jawa. Yogyakarta: Balai
Penelitian Bahasa.

Suryabrata, Sumadi.1998. Metode Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Soetarno.1995. Wayang Kulit Jawa. Surakarta: CV. Cendrawasih

Teeuw. 1991. Sastra Dan Ilmu: Pengantar Teori Sastra. Bandung:Angkasa

Yatman, Darmanto.1985. Sastra, Psikologi, dan Masyarakat. Bandung: Alumni

Zoetmulder, P.J. 1985 Kalangwan . Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang Jakarta: Djambatan
*) Catatan :
Radio Gema Surya. 10 Nopember 2006. Merekam Ulang Pentas Jemblung tahun 1995, dan menelusuri rekaman yang pernah dilakukan oleh Muhammad Yusup berdasarkan data di redaksi radio Gema Surya.
Muhammad Yusup. 21 April 2007. Wawancara dg. Tema: Sejarah Jemblung Katong Wecana
------------------------. 29 April 2007. Wawancara dg. Tema: Makna Simbolik Perangkat Pertunjukan Seni Jemblung Katong Wecana
-------------------------. 5 Mei 2007. Wawancara dg. Tema: Silsilah Ki Usup serta lakon-lakon yang sering dipentaskan.

________________________________




Lampiran: 1
SENI JEMBLUNG KATONG WECANA
Nama Informan : Muhammad Yusup
Wawancara Tanggal : 21 April 2007
Tema : Sekitar Sejarah Seni Jemblung Katong Wecana

Seni Jemblung Katong Wecana, berdasarkan sejarahnya diciptakan oleh Raden Katong, dan kemudian dinobatkan oleh Raden Patah menjadi Raja di Kabupaten Ponorogo dengan gelar “Bathara Katong “ .
Raden Katong berasal dari Kerajaan Demak dan merupakan satu di antara Pangeran Demak yang diberi tugas oleh Raden Patah untuk melakukan babad alas di wilayah sekitar gunung Lawu, tepatnya di sekitar daerah Magetan (seekarang) hingga sampai ke arah gunung Wilis dan laut selatan, termasuk didalamnya wilayah Ponorogo. Disamping mendapat amanat babad alas , Raden Katong juga mendapatkan perintah penting untuk menyebarkan agama Islam di daerah Ponorogo , berikut wilayah lain yang sudah diamanatkan kepadanya.
Berikut keterangan Muhammad Yusup seputar tentang Seni Jemblung Katong Wecana:
“Seni Jemblung Katong Wecana kuwi ora ana gambare, mung dongengan, merga jaman semana nalika Raden Bathara Katong sing babad Ponorogo diutus karo kangmase saka Demak Bintara supaya mbabadi alas oleh sak kidul etane Gunung Lawu, bareng mangkono teka kene dikandani diden-deni aja pisan-pisan kowe mbabadi alas kene, merga kene iki ana ompleng-omplenge sing luwih pinunjul yaiku Ki Ageng Kutu , balik maneh !, bareng balik karo Kangmas Raden Patah, didhawuhi supaya disampiri sampur kon balik jumeneng Adipati digawani Basusena, yaiku Patih Sela Aji , bareng digawani Patih Sela Aji , teka kene banjur musyawarah kecethukan karo kiai muslim yaiku Kiai Ageng Mirah , piye penake arep mbabadi alas iki , sing menghambat kok gedhe banget , sak iki ngenekake musyawarah Ki Ageng Muslim takon “Ora ,aku arep takon dhisik , karo kangmasmu, disampiri sampur supaya mababad alas iki, digawani apa kowe ?”
(“Seni Jembung itu tidak ada gambarnya, hanya mendongeng, sebab jaman itu ketika Raden Bathara Katong yang babad Ponorogo diutusoleh kakaknya dari Demak Bintara supaya membuka hutan disekitar selatan timur Gunung Lawu, setelah sampai di Ponorogo diberitahu dan ditakut-takuti jangan sekali-kali kamu membuka hutan di sini sebab di sini ada orang kuat yang lebih hebat yaitu Ki Kutu. Kembali lagi, setelahkembali bersama dengan Raden Patah supaya diberi tugas disuruh balik menjabat sebagai adipati didampingi Basusena , yaitu Patih Selo Aji, sampai di sini terus musyawarah ketemu dengan kiai muslim yaitu Ki Ageng Mirah, bagaiman enaknya mau membuka hutan di sini, yang menghambat kok besar sekali, sekarang mengadakan musyawarah , Ki Ageng muslim bertanya, tidak aku mau bertanya terlebih dahulu dengan kakakmu dibekali apa untuk membuka hutan di sini”)
“Sepisan kula disangoni cengkir”
(“Yang pertama dibekali cengkir (kelapa muda:Pen.)”)
“Nggih “
(“Ya”)
“Iku maksude piye ?”
(“Ini maksudnya bagaimana ?”)
“Cengkir niku kencenge pikir, maksude pacul, niku ngelmune papat aja nganti ucul , siji syahadat, loro sholat, telu zakat, papat puasa, lima dohrane, maksude adoh parane , dina iki selawe yuta , iki supaya mencar-mencarake njejegake agama Islam ana sak kidule Gunung Lawu , lha bareng mangkono arep babad alas lha sing usul dhisik Patih Marga Ewuh , woo .. panjenengan badhe mababadi wana menika, ohhh kathah penghambatipun . Lajeng musyawarah . Sakwise musyawarah Patih Selo Aji usul…
(“Cengkir itu kencengnya pikir, maksudnya pacul, itu ilmu empat jangan sampai lepas, satu syahadad, dua sholat, telu zakat, empat puasa, lima jauh perginya, hari ini duapuluhlima juta, ini supaya menyebarkan menegakkan Islam disekitarnya gunung Lawu, lha setelah itu bareng mau membuka hutan yang usul Patih Mergo Ewuh, woo anda mau membuka hutan ini, banyak penghalangnya. Terus bermusyawarah. Setelah musyawarah Patih Sela Aji usul..”
“Pun sak niki ngaten mawon , menika kelangkung sae dipun wontenaken bedamen , lha kula mawon gadhah wawasan supados nunjuk dhumateng mubalek Kiai Danasuka , niku supados inggih menika dakwah wonten prapatan Medhang Kawit, jaman rumiyin , lha tenan !, bareng mangkono tekan Prapatan Medhang Kawit , dakwah ya dhasare amar makruf nahi munkar , aja nyuwiya sak padha-padha ,dhasarku arep gawe apik mangkono sakwise mangkono kedaden “
(“Sudah sekarang begini saja, ini lebih baik diadakan perdamaian, lha saya saja punya pandangan supaya menunjuk pada mubalik Kiai Danasuka, itu supaya yaitu dakwah di perempatan Medhang Kawit, jaman dahulu, lha betul !, setelah sampai di perempatan Medhang Kawit , dakwah yang didasari amar makruf nahi munkar, jangan menyakiti sesama, dasarnya mau berbuat baik, setelah itu terlaksana”)
“Waa…, banjur si Kiai Danasuka, dakwah , bangsane wong-wong , bangsane jin-jin padha ngrungokne “
(“Waa…, selanjutnya Kiai Danasuka dakwah, bangsanya manusia dan jin saling mendengarkan”)
“Lek ngono bener tenan , wong-ke yen nggawe kapitunane sak padha-padha ora apik kedadehane, lek ngono pikirku kaya digugah , rumangsa jenjem …, rumangsa jenjem “
(“Kalau begitu benar betul, orang itu bila membuat kerugiannya sesama tidak baik jadinya, kalau begitu pikiranku seperti dibangunkan, merasa tentram …, merasa tentram”)
“Raden Katong dhawuh , ‘mbesuk ana rejane jaman jenengna Jemblung !! ‘, dadi Jemblung mau saka tembung jenjem penggalihe, mulane Jemblung Katong Wecana , sebab sing meca Raden Katong “
(“Raden Katong memrintahkan, besuk kalau ada ramainya jaman namakan kesenian ini Jemblung !!, jadi jemblung itu diambil dari kata jenjem penggalihe (tentram hatinya), makanya namanya jemblung Katong Wecana sebab yang mendongeng Raden Katong”)
“Kuwi apa lho ?”
(“Itu apa lho ?”)
“Yaiku seni Jemblung Katong Wecana , sing meca iku eyang Katong , nalika babad Ponorogo . Bareng babad dhes !!, terus dadi negara …, lha Prapatan Medhang Kawit dhek semana terus dicorek , mbesuk golekana iki lho eneng sandhinge iki lho, iki papat karo telu , tibake dina iki dicocokne karo kahanan pas !, prapatan Medhang Kawit tibake prapatan siji sing nyangga patang ndesa, digoleki satus dusun ora temu loro, manggone ana ngendi ?, prapatan PasarPon, sing mloncong ngidul mangulon sing nyangga Desa Mangunsuman kecamatan Siman, sing mloncong ngalor ngulon, Kelurahan Patihan Kecamatan Babadan, sing mloncong ngalor ngetan , Kelurahan Kadhipaten Kecamatan Babadan, sing mloncong ngidul ngetan , Kelurahan Singosaren, Kecamatan Jenangan. Patang ndesa , telung kecamatan , mungel pitu, wong ngurip ning ngalam ndonya nggolek pituduh sing bener, pitutur sing apik, lho kaya ngono kuwi lho kang !, iki seni jemblung Katong Wecana , mulane sok kesilep-kesilep , apa ta mundhak mung ngomong wae kok !, ning riwayate Raden Katong nalika babad Ponorogo, terus tentrem, terus aman, terus sak iki dinggoni nenek moyang , mulane iki ayo sak iki aja ninggalne kesenian asli Ponorogo, seni jemblung Katong Wecana, kanthi dasar ngurip-urip, memetri babade eyang Katong, pahlawan Islam sing disarek-ke ana Sentana Dalem “
(“Yaitu seni Jemblung Katong Wecana, yang mendongeng itu eyang Katong ketika mendirikan Ponorogo. Setelah membuka hutan dhes!!, terus jadi sebuah negara…,sedangkan perempatan Medhang Kawit pada waktu itu terus dicoret, besuk carilah, ini lho di sampingnya ini lho, ini empat dengan tiga,ternyata hari ini dicocokkan pas dengan keadaan. Perempatan Medang Kawit perempatan satu yang menyangga empat desa, dicari seratus dusun tidak ketemu dua, tempatnya ada di mana ?, perempatan Pasar Pon, yang membujur ke selatan dan ke barat yang menyangga Desa Mangunsuman Kecamatan Siman, yang membujur ke utara dan ke barat, Kelurahan Patihan Kecamatan Babadan, yang membujur ke selatan dan ke timur, Kelurahan Singosaren, Kecamatan Jenangan. Empat desa, tiga kecamatan, berbunyi tujuh, orang hidup di dunia mencari petunjuk (pitu-duh) yang benar, lho seperti itu lho kak!, iniseni jemblung Katong Wecana, makanya sok remehkan, apa ta hanya Cuma mendongeng saja kok !, tetapi riwayatnya Raden Katong ketika pertamakali mendirikan Ponorogo, terus tentram, terus aman, terus sekarang ditempati anak keturunan kita, makanya ini ayo sekarang jangan meninggalkan kesenian asli Ponorogo, seni Jemblung Katong Wecana, dengan dasar melestarikan, dan mengenang perjuangan eyang Katong, pahlawan Islam yang dimakamkan di Sentana Dalam”)
Pada jaman dulu Jemblung Katong Wecana hanya terdiri dari dhalang saja seperti orang yang mendongeng biasa. Dan inilah yang membuat Muhammad Yusup melakukan perombakan atau inovasi dalam penampilan mendongengnya - sebab kalau tidak ada keberanian merobah- , maka Kesenian Jemblung tidak akan laku ditanggap orang. Kemudian Muhammad Yusup meniru pementasan yang ada pada pertunjukan wayang kulit, bedanya Muhammad Yusup masih tidak menggunakan boneka kulit, seperti halnya wayang purwa. Pertimbangan ini dilakukan mengingat masyarakat Ponorogo sudah sangat menyukai pertunjukan wayang kulit.
Di dalam pentas Muhammad Yusup hanya memilih empat macam gamelan yang digunakan untuk mengiringi dongengnya. Yaitu ; saron, kenong, kendang, dan gong, sedangkan Muhammad Yusup memegang terbang untuk memberikan aba-aba selama pementasan.
Empat macam gamelan yang dipergunakan untuk pentas Muhammad Yusup, diberikan makna masing-masing dengan ajaran Islam. Misalnya suara saron berbunyi ningna dimaknai heningkan atau resapi secara mendalam ajaran Islam, kemudian suara kenong berbunyi thukna dimaknai pakailah atau amalkan ajaran Islam yang telah diperoleh, dan kendang yang bersuara ndang-ndang dimaknai bersegeralah memeluk agama Islam. Sedangkan alat musik terbang yang dipegang oleh Muhammad Yusup bersuara hmm…hmm dimaknai orang yang telah masuk Islam dengan sungguh-sungguh akan merasa puas.


Lampiran 2

SENI JEMBLUNG KATONG WECANA

Nama Informan : Muhammad Yusup
Wawancara Tanggal : 29 April 2007
Tema : Makna Simbolik Perangkat Pentas dan Do’a
Yang Dibaca oleh Ki Usup

Berbagai simbol lokal dalam pementasan Seni Jemblung Katong Wecana berikut ini selalu mengiringi di setiap penampilannya. Ritus-ritus semacam ini merupakan peninggalan budaya sebelum jemblung memasyarakat di Ponorogo. Kemudian oleh Muhammad Yusup dipakai dalam pementasan dan pemaknaannya, dipadukan dengan makna yang Islami.
Secara rinci, benda-benda itu meliputi :
1. Pohon pisang dan buahnya tanpa daun . Ini melambangkan sifat pohon pisang yang senantiasa tumbuh terus , tidak akan putus asa berhenti tumbuh sampai batangnya mengeluarkan buah , walau harus ditebang di tengah jalan ia akan tumbuh lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Seandainya dia telah berbuah maka, ia akan menunduk merendahkan diri tidak sombong kemudian menumbuhkan anakan baru untuk kemudian berbuah dan memberikan manfaat kepada makhluk lain demikian seterusnya. Dengan demikian ajaran moral dalam symbol batang pisang ini adalah , agar orang Islam jangan sombong , jangan putus asa untuk meraih cita-cita luhurnya walau harus mendapatkan rintangan yang besar. Dan hidupnya harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang lain serta memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk menumbuhkan jiwa pantang menyerah sampai cita-citanya tercapai.
2. Kelapa gadhing , melambangkan cengkir (kelapa muda), yakni akronim dari kencenging pikir, maknanya adalah , bagi semua manusia yang telah mantab dengan Islam, terus berupayalah menggali nilai-nilai Islam dengan pikiran yang cemerlang , kuning gading ,berarti melambangkan cemerlang bersinar kuning seperti emas - , dan jadikan ilmumu itu untuk orang-orang yang masih haus dengan kebenaran , siramilah mereka dengan cahaya ilmu Islam agar mereka menjadi damai dan segar .
3. Tebu Ireng ( batang tebu berwarna hitam ), melambangkan rasa manis dan rasa pahit . Tebu merupakan akronim dari ‘manteb-ing kalbu’, maknanya , kalau kita ingin tahu manisnya iman dalam Islam , maka renungkanlah dengan mendalam nilai-nilai Islam itu ke dalam sanubari , nanti akan kita jumpai manisnya Islam. Sedangkan warna hitam , orang Jawa menyebutnya ‘ cemani ‘, yaitu ayam yang semuanya berwarna hitam, baik bulunya maupun darahnya. Mereka menjadikan ayam ini sebagai obat berbagai macam penyakit. Pun demikian dalam warna hitam yang melekat pada tebu ireng melambangkan sebuah pesan bahwa; untuk meraih sebuah manisnya hidup , harus merasakan pahitnya hidup terlebih dahulu, karena pahit itu adalah obat.
4. Janur ( jan menandakan,, nur cahaya ). Penamaan janur ini , konon diambil dari kosa kata Arab “dza al-nur “ , artinya yang bercahaya. Dengan symbol ini diharapkan orang-orang yang telah mantab merasuk Islam dan mengamalkan seluruh ajaranya menjadi becahaya . Janur sendiri dalam pemaknaan Jawa berarti ‘sifat manungsa kang kemanjingan nur ‘, yaitu manusia yang telah tercerahkan hatinya oleh akhlakul karimah, sebuah gambaran muslim sejati dan berhasil membuat kemanfaatan bagi diri dan orang lain.
5. Daun Andong , diambil dari sanepan “ cumadhonga barang-barang kang suci, aja sira cumadhong maring barang-barang kang ora suci “, artinya ‘ ambillah barang-barang yang halal dan bersih ( thoyiban ), jangan memakan barang-barang yang kharam . Simbol ini mengajarkan kepada manusia , bahwa watak muslim itu selalu memghiasi hidupnya dengan kesucian, baik jiwanya maupun raganya.
6. Godong Ringin ( Daun Beringin dan tangkainya ), melambangkan kepada manusia muslim untuk segera ‘ngrembaka’, berkembang biak , hidup subur, hidup damai, kokoh, kuat dan dapat memberikan keteduhan kepada siapa saja yang mau berteduh di bawahnya. Bak pohon beringin, yang berdaun lebat bercabang banyak dan berbatang yang besar, kokoh dan kuat. Sebagai orang muslim jadilah seperti pohon beringin itu, berikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi siapa saja, dan kapan saja orang lain membutuhkan.
7. Daun Gandarasa, maknanya adalah ‘ ya ganda ya rasa, gandanen lan rasakna sak durunge sira ngganda wong liya’, ajaran moral yang dapat kita petik adalah ‘ tepa slira’, mawas diri , meneliti diri sendiri sebelum meneliti orang lain. Timbang-timbanglah dirimu terlebih dahulu , jangan terlena mencari kekurangan orang lain, sementara dirinya masih berlumuran dosa. Hati-hatilah dalam semua perbuatan , pertimbangkan dengan matang , jangan samapi perbuatan itu merugikan orang lain.
8. Mayang Jambe , bunga ini melambangkan keselamatan . Ajaran yang terkandung didalamnya adalah sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa “ slameta sing nanggap, slameta sing ndhalang “, berikan keselamatan bagi yang menanggap dan keselamatan bagi sang dhalang.
9. Daun Puring , melambangkan ‘ ngapura-ing’, menuju ampunan Allah , kita ikhlaskan semua yang telah kita berikan , dan kita tinggalkan ajaran lama yang pernah kita anut, sekarang kita bersiap berjalan masuk kepada ajaran baru yang penuh dengan ampunan , kita dengarkan apa saja yang menjadi pesan-pesan sang dhalang. Kita lahir batin siap menerimanya.
Semua perangkat nomer 1 sampai dengan nomer 9 di atas, diikat di tiang rumah bagian depan , tepatnya di pintu gerbang , seandainya ritual tanggapan jemblung diadakan di luar rumah maka benda-benda ritual itu dipasang di pintu gerbang.
Disamping perangkat-perangkat sebagaimana disebutkan di atas , ki dhalang sendiri juga diwajibkan menggunakan busana yang sarat dengan makna, seperti berikut ini :
1. Iket ( Udheng ), atau ikat kepala.
Kata udheng diambil dari kata-kata ‘mudheng’, yang berarti ‘paham’atau memahami. Udheng mengandung ajran pahamilah Islam kemudian ikat dalam hidupmu , gunakan sebagai pedoman untuk semua masalah hidupmu. Dengarkan dan pahami apa yang menjadi petuah dhalang, simak dengan seksama kemudian ikat kuat-kuat jangan sampai terlepas, kemudian terapkan dalam hidupmu sehari-hari.
2. Sabuk ( ikat pinggang )
Sabuk berasal dari akronim sayuk bukuh , dalam kosakata bahasa kawi, sayuk berarti kompak , bersatu, terjalin dalam satu ikatan yang kuat, sedangkan bukuh artinya sila tumungkul , sangat hormat, rendah hati dan menghargai semua orang. Dengan demikian sabuk mengandung ajaran moral agar semua muslim untuk berada dalam satu ikatan yang kuat, saling menghormati satu dengan yang lainnya, dan kompak ( bersatu ) dalam membangun umat .
3. Jarik Wiron ( Jarit yang diwiru )
Maksudnya “ ayo padha dilirik apa sing diujarne guru “, artinya marilah kita pakai apa yang telah disampaikan oleh guru. Laksanakan perintah yang baik dan tinggalkan larangan yang telah disampaikan oleh guru.
4. Sepatu Selop
Kata ini diambil dari kata perlop yang berarti ‘berhenti’, maknanya walau kamu kesel ora kena perlop, jika capai tidak boleh berhenti, berjuanglah terus karena kemuliaan akan datang menggapai.
5. Keris
Berasal dari akronim bahasa kawi , ‘karyenak ; karya+enak’, artinya membuat nikmat , nyaman, berseri-seri, bahagia, gembira, menyenangkan ,percaya diri dan kosakata ‘isthi’, yang artinya ‘ karep, sedya, harapan, cita-cita ‘, Purwadi (2001:111), menterjemahkan keris dengan kadarpo,kadga, pepinginan, katresnan. Dengan demikian keris memberikan pesan dan harapan kepada para penonton ‘Kersoa rinasuk Islam ( mau merasuk agama Islam ) nanti kita akan memperoleh kedamaian dan kebahagiaan seperti yang kita inginkan dan kita akan dicintai oleh Allah Yang Maha Kuasa dan dicintai oleh semua manusia, atau dengan kata lain kita juga diharapkan untuk bersegera memeluk agama Islam , masukkan pusaka Islam itu ke rangka tubuh dan jiwa kita , kita jadikan pusaka yang dapat memberikan kekuatan dan benteng hidup, sebagai gaman atau senjata yang ampuh dan agung untuk menanggulangi semua halangan dan rintangan. Keris dibuat meliuk-liuk dan seni , mengajarkan kita agar dalam berbuat senantiasa luwes, jangan sampai meninggalkan adat jawa yang andhap asor , dan adiluhung.
Sementara senjata keris yang dipakai oleh sang dhalang hanyalah perhiasan belaka , oleh karenanya jangan dipercaya bahwa benda itu bertuah, justru manusia sendiri yang memiliki daya dan kekuatan yang secara fitri telah dibekalkan oleh Allah kepada kita sebagai makhluknya yang paling mulia.

Mantra Yang Dibaca Muhammad Yusup dan Falsafahnya
Berbeda dengan pergelaran wayang kulit, ataupun wayang krucil , Jemblung dalam mengawali pertunjukannya selalu dimulai dengan pembacaan mantra . Mantra itu dibaca oleh ki dhalang dengan mengucurkan air dari kendhi ( tempat air minum dari gerabah seperti ceret ) kedalam baskom yang di dalamnya sudah terisi air dan kembang setaman. Ritual ini secara simbolis dimaksudkan untuk memberikan ajaran moral kepada kita agar kita dalam memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa , tidak boleh berhenti , harus berlangsung secara terus menerus sampai doanya terkabul, bagaikan mengucurnya air dari kendhi ke dalam kembang setaman tersebut. Sedangkan kembang setaman dipakai dalam ritual ini, untuk memberikan ajaran moral kepada kita bahwa orang yang selalu berhubungan (berdoa ) dengan Allah SWT , maka kita akan menjadi dekat dan akan memperoleh derajat manusia yang suci penuh dengan keharuman.
Doa atau mantra yang dibaca oleh ki dhalang dalam pertunjukan Jemblung Katong Wecana adalah sebagai berikut :

“Dhumilah bening,arane banyu, kumrisik ilining banyu,
Alah sira Alah ingsun Suksmanira suksmaningsun
Banyu,…
Sira aja njaluk ukuman, pan sira panunggalaningsun
Suksma rasa tiba dhadha, suksma munggah tiba wadhah
Lumiyar sejanglar, seninipu makarim
Sakathahe sato galak padha lulut,
Padha tintrem, tintrem, tintrem,
Tintrem saka kersane Gusti Allah,
La ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah,
La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim “.

Ritual ini diteruskan dengan meletakkan kendhi dan dilanjutkan dengan membaca do’a ;

Bissmillahirrahmanirrahim,
Singgah-singgah Durga singgah,
Kala godha rencana padah suminggah,
Ana gambar balekna nglatar,
Ana tenung balekna nglurung,
Sapa sing sedya ala marang …. ( disebutkan nama yang punya hajat )
Teka gog, lunga,
Gag, gog, gag, gog, gok saka kersane Gusti Allah
Bismillahirrahmanirrahim,
Ana kidung kang rumeksa wengi,
Panolake bilahi kabeh,
Panolake lara raga,
Panolake tuju guna,
Songe landak makarim,
Sakathahe sato galak padha lulut, padha tintrem,
Tintrem, tintrem saka kersane Gusti Allah,
La ilaha illallah , Muhammadur Rasulullah,
Bismillahirrahmanirrahim,
Bapake jaka nurullah, biyunge nurullah,
Si dadu singa salah, ora bisa obah,
Rep, sirep, rep saking kersane Gusti Allah “.

Secara keseluruhan isi mantra atau do’a yang dibaca oleh ki dhalang adalah untuk memohon keselamatan dari Yang Maha Kuasa.








































Lampiran 3

SENI JEMBLUNG KATONG WECANA

Nama Informan : Muhammad Yusup
Wawancara tanggal : 5 Mei 2007
Tema : Silsilah Ki Usup dan Seputar Lakon Cerita Yang
Pernah Dipentaskan

Nama lengkap dalang jemblung Katong Wecana adalah Muhammad Yusup, beliau dilahirkan di Kelurahan Setono pada tahun 1921. Ia anak ke 5 dari tujuh bersaudara dari pasangan Hasan Darmo dan Sokilah. Menurut silsilah Hasan Darmo masih merupakan keturunan Raden Katong yang ke 13 , dengan demikian Muhammad Yusup merupakan keturunan Raden Katong yang ke 14, sehingga karena pengaruh garis keturunan inilah yang kemudian menjadikan Jemblung tetap terjaga struktur cerita yang dibawakannya.
Kemampuan Muhammad Yusup mendalang Jemblung ternyata tidak dilaluinya lewat jalur akademik, ia memperolehnya melalui jalur mistis , yaitu ilmu laduni atau orang Jawa mengatakan kewahyon, tiba-tiba ilmu mendalang Jemblung itu ia dapatkan begitu saja . Dengan mempertimbangkan potensi linuwih yang dimiliki oleh Muhammad Yusup, masyarakat sekitar banyak yang memintanya untuk melakonkan cerita Jemblung. Sekitar tahun 1942 ketika Muhammad Yusup masih berusia 21 tahun ia diminta memperagakan cerita jemblung oleh Kepala Kelurahan Setono yang mewakili permintaan seluruh masyarakat Setono pada waktu itu, namun Ki Muhammad Yusup memohon kepada Kepala Kelurahan agar terlebih dahulu diizinkan untuk ‘ uji kemampuan ‘ kepada dalang jemblung yang lebih senior yaitu Kiai Danasuka dari daerah Pinggirsari ( desa di ujung barat Ponorogo ). Dengan berbekal ilmu laduni dan sertifikasi lisan dari Kiai Danasuka , Muhammad Yusup sang dalang baru tersebut, benar-benar melakukan pentas mendalang untuk yang pertama kali yang dimulai dari daerahnya sendiri Setono. Dari sini dapat diketahui bahwa hubungan antara Muhammad Yusup dan Kiai Danasuka adalah sebatas pada tataran konsultasi , sehingga dari pertemuan yang rutin ini lambat laun terjadi sebuah penampilan jemblung yang sesuai dengan pakemnya. Kiai Danasuka tinggal memoles bakat laduni yang dimiliki oleh Muhammad Yusup dengan ilmu-ilmu pedhalangan , sehingga penampilanya bisa tertata seperti pedhalangan pada umumnya (Wawancara,5 Mei 2007).

Lakon cerita yang pernah dipentaskan oleh Muhammad Yusup (Penulis mencocokkan dengan data dari Radio Gema Surya):
a. Laire Nabi Yusup
b. Laire Nabi Musa
c. Lukman Hakim
d. Ahmad-Muhammad
e. Aji Saka
f. Jaka Tingkir
g. Sungging Prabangkara
h. Lahire Jaka Tarub
i. Lokayanti
j. Prabu Rara
k. Lahire Bathara Kala
l. Payung Tunggulnaga
m. Dewi Partimah
n. Sarahwulan ( Joharmanik )
o. Murtasiyah
p. Babad Demak
q. Babad Gresik
r. Damarwulan
s. Ande-ande Lumut,
t. Tumurune Wahyu Sejati, dan sebagainya (Wawancara, 5 Mei 2007)
Catatan: Penulis dalam wawancara pernah mengajukan pertanyaan seputar
Makna kata-kata yang sering diucapkan dalam adegan jejeran serta
Makna umum dari cerita Payung Tunggulnaga, beliau menjawab bahwa beliau tidak bisa menjelaskan isi cerita kalau tidak dalam kondisi mendalang. Sampai di sini peneliti menghormati keputusan Ki Usup untuk tidak menanyakan bagian teknis dalam cerita yang pernah dipentaskan.

Dalam wawancara seputar lakon yang pernah dipentaskan Muhammad Yusup banyak yang sudah lupa. Beliau beralasan karena pengaruh faktor umur dan faktor kesehatan, sebab pada waktu wawancara Muhammad Yusup dalam keadaan berbaring karena sakit pinggang.





































B. Naskah Asli Cerita Rakyat Jemblung dalam Lakon “Payung Tunggulnaga”
Adegan Pembuka:(
Pasenggang Pusponcana ratuning dewa
Puspa Handana ratuning banyu
Sang Hyang Barunggung para ratuning rewanda
Sang Hyang Durga Ratuning lelembut
Sang Hyang Bethara Kala Ratuning setan
Sang Hyang Antaboga ratuning ula
Sang Hyang Baruna retuning iwak
Raja Maruti rajane angin,
Raja Namri ratune semut
Lintang Jalasutra sundul ing angkasa
Hawu-hawu samodra,
Jer kang siniwaka …
Wekdal sak mangkin ngarengga tan njejeraken kawontenaning negari Kuparman inggih Tanah Suci. Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib , wekdal dinten semangkin kersa sluku sedakep nutupi babahan hawa sanga , tansah tafakur, maksudipun tafakur menika pikir-pikir menapa ingkang dipun gayuh, mboten sanes putra kekalih Baginda Umar dalah Baginda Amir dipun utus dumateng Pondok nuntut ngelmu antawis sampun tigang candra mboten wonten kekabarane, mila ndadosaken penggalihan wontenipun negari Kuparman. Lajeng mboten sauntawis dangu Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib kersa medar sabda , mboten wonten kalih tiga ingkang saged nampi kejawi kakang Tambi Jembiril , inggih warangka dalem patih negari Kuparman.
“ Brada Irawan ..!? “
“ Ingkang dipun maksudaken Brada menika sinten ? “
Penggalihipun Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib kados rembulan kemendhungan , peteng riyem-riyem , lajeng byar padhang ketrawangan kesorot sangking Hewangkara.
Hooooong… hong … hong …ong …
“ Kakang Tambi Jembiril …, mula jeneng para adoh sun awe, cedak sun raketake , aja keduga nampa ganjaran sabuk kang dawa upete, curiga kang abyor pamore pendhok ngunir bosok “
“ Aduh gusti punden kula , sesembahan kula gusti …, warangka dalem Patih Tambi Jembiril mboten pindah-pindah ngajeng-ajeng ganjaran sabuk kang dawa upete, curiga kang ambyor pamore , pendhok kang ngunir bosok , kejawi mung ngestokaken dhawuhipun gusti kula “
“ Patih Tambi Jembiril , syukur banget seketi jumurung , kakang .., kejaba saka iku kakang, aku minta pekabarane kepriye kahanane negari Kuparman ya Tanah suci Negara Ngarab kene “
“ Wah sampun… sampun … sampun sedaya para narapraja , sedaya perjurit anggenipun sami makarti piyambak-piyambak kangge nyengkuyung kawontenanipun bangunan enggal sukses makaten “
“ Syukur banget seketi jumurung , kejaba saka iku seje sing tak aturake, iki dina aku sajroning pitung dina pitung bengi tansah lam-lamen ketok putraku si Bagindha Umar, Bagindha Amir, wis suwi banget ora kendhur ora ana kekabaran manjur piye kakang, kakang Tambi Jembiril “
“ Nuwun sewu !, menawi petangan kula jangkep keng putra Bagindha Umar, Bagindha Amir taksih tetep, malah menika kemawon bilih pikantuk inggih menika ilham utawi ganjaran ingkang langkung ngremenaken , mbok bilih sanes wekdal Insyaallah menika enggal badhe dhateng … “
“ Syukur banget seketi jumurung kaya kesiram banyu sewindu penggalihku kakang …”
“ Nun inggih ! “
Teh sepindah mboten kenging nengleng rambut pinara pitu , sabda mituhu pandhitaning ratu saksampunipun Adipati Ibnu Ngabdul Muntalib medar sabda dhateng warangka dalem Patih Tambi Jembiril, tumrap tiyang nginang dereng abrid , tiyang ngidu dereng asat sampun kesaru praptaning Bagindha Umar, Bagindha Amir …
“ Kanjeng rama… kanjeng rama…, kula ingkang sowan, kanjeng ….”
( Iringan gendhing )

“Rama… punden kula rama, putra panjenengan Bagindha Amir ingkang sowan, rama …rama…”
“Aduh ngger putraku Bagindha Amir…Bagindha Amir, olehku ngarep-arep sliramu kaya-kaya ibumu menyang pasar aku pingin jajane ngger Bagindha Amir,… Bagindha Amir”
“Nuwun inggih kanjeng rama pepunden kula sesembahan kula, sakderengipun putra panjenengan Bagindha Amir ngaturaken sungkema mugi konjuk rama “
“Iya ngger kowe ngaturake pangabekti tak tampa ora liwat pangestune kanjeng rama tampanana ya ngger Bagindha Amir “
“Kula tampi kula petekaken mustaka mugi ndadosaken jimat paripih kanjeng rama pepunden kula”
“Iya..iya “
“Paman !!, semanten ugi kula Bagindha Umar ngaturaken sungkem mugi konjuka paman ! “
“E..e…e, putraku bagus Bagindha Umar , iya…iya, kowe ngaturake pangabekti tak tampa Umar, ora liwat pangestuku tampanen Umar “
“Sampun kula tampi kula petekaken mustaka mugi ndadosna jejimat “
“Kanjeng rama kula ngaturaken sungkem rama ! “
“E..e..e.., tobat…tobat putraku ngger Bagindha Umar… Bagindha Umar… olehku ngarep-arep kaya-kaya biyung…biyung godhong mlumah tak kurepne godhong murep tak lumahne , ngger … Bagindha Umar !, kepriye sliramu tak utus nyang pondok wis suwe ora eneng pekabarane lho ngger putraku “
“Nuwun inggih kanjeng rama pancen kula wonten pondok rama ..”
“Semanten ugi kula ngaturaken mugi konjuk …”
“Ya … ya… Bagindha Amir, ya…ya…, iki kaya-kaya kok wis ora kuwat rasane atiku , pingin-pingin enggal mirengne ngger Bagindha Umar –Amir , njur kepiye asile nggonmu nyang pondok kuwi ngger !?”
“Aduh kanjeng rama pepunden kula, pangestu panjenengan tansah dipun ridloni Gusti Allah langsung ditebihaken saking sedaya balak lan saget kaleksanan sedaya cita-cita kula kanjeng rama, wontenipun kitab-kitab sedaya sampun khatam sedaya. Sak sampunipun sampun khatam kanjeng rama, kula jengkar saking pondok Mbleki, wusana keraya-raya dumugi wana gung liwang –liwung , kula manggih gedhong isi mas picis rajabrana sak gedhong melep-melep, menika bandha karun wonten tulisanipun, ingkang kiyat kanggenan Bagindha Umar, Bagindha Amir supados dipun boyong dumateng negari Kuparman nggih Tanah Suci, kangge nyuksesaken kawontenanipun bangunan , kejawi saking menika taksih wonten malih kanjeng rama , kawastanan Kasang Kertas Aji utawi malih nggih menika Payung Tunggulnaga, nggih Payung Bawat, menika ingkang kiyat kanggenan Payung Tunggulnaga,Payung Bawat inggih negari Kuparman menika kanjeng rama “
“Aduh ngger putraku ngger … beja kemayangan ya ngger, iki seratus persen bangunan enggal bisa sukses, yaiku mau anggonmu nemu bandha karun ana alas gung liwang-liwung , lha banjur kersamu piye ngger Bagindha Umar, Bagindha Amir …”
“Nuwun sewu kanjeng rama, mbok bilih kanjeng rama menika marengaken utawi kersa mbok inggiha menika dhawuh dhumateng para narapraja lan para perjurit sedaya , menika dipun boyong dhumateng negari Kuparman wontenipun bandha ingkang wonten wana gung liwang-liwung kangge nyuksesaken kawontenan bangunan menika”
“Oh iya… ya…ya, pancen ya cocok sing dadi kandhamu kabeh , lha iki kabeh para perjurit !!”
“Wonten dhawuh !…wonten dhawuh …wonten dhawuh !!”
“Iki padha mlumpuk , lan padha midhanget kabeh kanggo sing bakal tujuan –tujuan kebecikan “
“Inggih !! “
“Lha ora liwat Raja Yuyupati nguntapake wadya bala kabeh unta dicawisake. Cacahe ana pira untane iki mbanjur ngetutne tindake si Bagindha Umar, Bagindha Amir menyang alas gung liwang-liwung perlu kanggo mboyong maspicis rajabrana raja keputren , ora kur cukup kuwi , ketambahan Jaran Kalisak, mbanjur yaiku Payung Tunggulnaga, Payung Bawat, ya Kasang Kertas Aji, iki pancen beja kemayangan Pangeran maringi kemurahan menyang kawulane supaya kanggo nyksesake kahanan bangunan”
“Inggih sampun sedaya perjurit sampun lengkap wonten njawi, wontenipun unta sampun penuh sanget mboten kekirangan “
“Sak iki ngene kanca, aja kesuwen kanca, supaya enggal di ayati enggal diboyong “
“Inggih !”

*Teh sepindhah mboten kenging menceng sarambut pinara pitu, sabda mituhu sabdaning Pandhita ratu, saksampunipun Adipati Ibnu Ngabdul Munthalib medar sabda dhumateng sedaya para narapraja, narapraja sami nguntabaken mas picis rajabrana, raja keputren *

( Gendhing )

“Nuwun sewu para raja para ratu, para narapraja sampun dumugi papan panggenanipun wontenipun gedhong menika “
“ Oh inggih !”
“Oh inggih !”
“Oh inggih !”
“Mangga sami dipun celakaken sedaya untanipun “
“Iki piye..”
“Iki piye ..”
“Lho… lhaaa “
“Eh kanca alon-alon …”
“Aja nganti kesusu-susu ayo kene …”

• Sekedhap netra Bagindha Umar, Bagindha Amir sak andahannipun menika mboyong mas picis rajabrana , raja keputren sak gedhong kamot sedaya malah menika Kasang Kertas Aji , Payung Tunggulnaga, Payung Bawat, Turangga Kalisak, sampun komplit *

“Eh kanca … iki wis kamot kabeh ayo enggal diasta kundur, nanging iki ngene kanca supaya ora tumpang suh lakune..”
“Lha ora…, iki ngene lho kang , saking maremku ketekan bandha sak mene akehe, iki mengko kundure trah dadi apa-apa aku njaluk gendhing ndangdut sing puenak supaya lakune unta kepenak “
“Lha sing mbok jaluk apa …”
“Lha iku kepenake ora susah angel-angel, Goyang Semarangan “
“Eh ayo kanca …mangkono kanca..”
• Tembang gendhing Goyang Semarangan cipt. Ki Narta Sabda *
“Ha..ha..ha… kanca-kanca bareng lagune Goyang Semarang lha kok iki wis teka negara kene … eee”
“Aduh ngger putraku Bagindha Amir…”
“Wonten dhawuh kanjeng rama”
“Iki sak wise banda kamot diusung menyang negara Kuparman iya Tanah Suci kene, mbanjur iki penake kepiye ngger Bagindha Amir”
“Kula sumanggaaken kanjeng rama kadosa pundi”
“Ora !, sak iki sing kuasa pancen sliramu, asal usule bisa mboyong mas picis rajabrana sakmene mbane, kabeh saka sliramu , mulane kowe nduweo putusan ngger Bagindha Amir “
“Nuwun sewu sak derengipun kanjeng rama, bilih mangke wonten keklintuanipun keng putra Bagindha Amir tansah nyuwun pangapunten ingkang sak ageng-agengipun “
“Iya…iya… piye…piye..”
“Menika saking penyuwun dalem, kanjeng rama , menika dipun prail dados wolu “
“Oooo…, dadi diprail dadi wolu , terus sing duwe bageyan sapa ?”
“Ingkan sak bageyan dhateng pekir miskin”
“Ooo…hiya “
“Ingkang sak bagiyan dhateng tiyang ingkang utange kathah “
“He eh”
“Ingkang sak bagiyan dhumateng kanjeng rama “
“iya “
“ Ingkang sak begiyan kangge alat perang , ingkang sak bagiyan malih dhumateng randha-randha kembang menika “
“ Ohh.. ngono ! “
“ Iki sing mbok karepne diprail dadi wolu , ning aku usul !”
“ Inggih “
“ Saka karepku tambah siji “
“ Kados pundi “
“ Tambah siji kanggo asok gelondhong pengareng-areng kanggo negara Kiyaman , sebab negara kene iki kebawah negara Kiyaman , ketekanan bandha semene mbane lamun ora enggal asok glondhong pengareng-areng wis mesti negara Kuparman didadekne karang abang, merga raja Kiyaman ora kena sangga sembrana, duwe putra-putri Kesumaningayu Kumandhiten wah wis bobote yaiku mau ngidap-idapi, mula saka iku kudu asok glondhong pengareng-areng”
“ Aduh kanjeng rama punden kula, sesembahan kula kanjeng rama, Raja Yaman menika raja ingkang langkung sugih sanget, wonten paripaosipun bade dipun aturaken dumateng negari Yaman padha karo nguyahi segara, mboten guna kanjeng rama digunaaken dateng pekir miskin kemawon, menika ingkang langkung manfangatipun ageng kanjeng rama, menawi dipun aturaken dateng negari Yaman putra panjenengan Bagindha Amir mboten setuju kanjeng rama, sebab nguyahi segara kanjeng rama …”
“ Bagindha Amir “
“ Wonten dawuh “
“ Manuta wong tuwa ya ngger “
“ Yayi Bagindha Amir “
“ Apa kakang Bagindha Umar “
“ Saiki wong tuwa iku ora perlu dibantah ya, sebab wong tuwa iku tembunge mandi tenan. Sebab menawa ngarani kowe dadi kodok, mula dadi kodok tenanan mengko, mula ya diiyani ngono wae, amrih mareme wong tuwa, sebab maremake wong tuwa iku apik, merga wong tuwa iku Gusti Alloh katon, yen diwaneni woooo…, kuwi tenan “
“ Ya kakang bagindha Umar, kula sumanggaaken kanjeng rama…”
“ Iya..ya.., wis lila ya “
“ Sampun “
“ Ngger putraku Dullah “
“ Wonten dhawuh kanjeng rama “
“ Sliramu tak utus ya ngger ya, ngejaka kanca aja kurang saka selawe wong, iki mengko nggawa unta kabeh, asok bulu bekti marang negara Yaman, iki mengko aturna marang raja Yaman, matura menawa negara Kuparman ketekan banda sing ora karuan akehe “
“ Nun inggih “
“ Nah aja nganti kesuwen , kowe mengko selak konangan sedulurmu si Bagindha Amir “
“ He !, kanca-kanca aja kesuwen kanca ayo kanca untane inggal digelak “
“ Yo kanca budhal “

Gendhing

“ Sik !!!, leren …, iki ana priyayi nggawa banda sakmene mbane ayo sapa ngakua, kudu leren dina iki !!”
“ Kowe sapa !”
“ Ora tedheng aling-aling aku putra Ngalabani , Raden Maktal sing kondhang kaonang-onang , tukang gepuk !!, tukang kroyok !, tukang begal ya aku iki !!”
“ Kowe putra Ngalabani Raden Maktal !?”
“ Balik sapa kowe !! “
“ Aku Dullah “
“ Oooo… Dullah, kowe nyawa apa banda !, banda apa nyawa “
“ Kok bisa naker bandha lan nyawa !?”
“ Yen kowe ngeman nyawamu bandhamu semene mbane iki lungna, nanging yen kowe ngeman bandhamu , nyawamu minggata kowe !!”
“ Tak kukuhi tenan yen pancen ora kena !! “
“ Lho !, Bagindha Amir !? “
“ Nun inggih kula ingkang sowan “
“ Raden Maktal Putra Ngalabani, iki ora perlu kowe musuh Raden Dullah, mungsuhen wae Bagindha Amir , pancen tak kukuhi tenan menawa kowe arep ngrampas bandha donya sing sak akehe iki ! “
“ Oh Bagindha Amir… Bagindha Amir … wujudmu ora sepiroa, hayo sakiki perang tanding Bagindha Amir !! “
“ Kowe ngajak perang tanding sak karepmu , sing nanting disik kowe apa aku !? “
“ Coba tak tanting Bagindha Amir ! “
“ Yoh mara cobanen ! “

• Sekedap netra Bagindha Amir dipun tanting Raden Maktal putra saking Ngalabani. Saking rosanipun ingkang nanting saking awratipun ingkang dipun tanting, Raden Maktal sukune ambles sak dengkul, Bagindha Amir tanpa obah tanpa mosik sebab Bagindha Amir bobote sewu dacin , Bagindha Amir…*
Gending

“ Aduh Bagindha Amir … Bagindha Amir …, dudu majating manungsa, Bagindha Amir pranyata kowe tak tanting tanpa obah tanpa mosik Bagindha Amir, yo !, saiki utang wirang tak saur wirang , utang isin ya nyaur isin , coba tantingen aku Bagindha Amir , lamun Bagindha Amir bisa nanting Raden Maktal putra Ngalabani , ora ujar ora kaul aku ninggal negara Ngalabani salawase, arep suwita selawase urip Bagindha Amir “
“ Cobanen yen mangkono ! “

• Sekedap netra Bagindha Amir kanthi ucapan Bissmillahirrahmanirrahim, Raden Maktal dipun tanting, prasasat bobot merang seblak dipun keplekaken …

“ Aduh ! … mati aku Bagindha Amir , aduh kangmas Bagindha Amir …, kula ndhawahaken mbok biliih panjenengan saget nanting kula , kula bade ninggalaken negara , selaminipun gesang badhe suwita dateng panjenengan kakang Bagindha Amir …”
“ Yayi Raden Maktal !, yen watake wong Islam , yaiku ora bakal munasika marang sak padha-padha mung dasarku iki mung amar makruf nahi munkar, nggugurake kuwajiban mbok menawa kowe kersa , dene ora kersa ya ora dibaya ngapa, sing wis kandha kowe dewe , lha sak iki njur piye !? “
“ Inggih sampun kula angkat tangan, nderek panjenengan dados menepa cemet gepeng kula nderek panjenengan “
“ Iya yen mangkono , sak iki ayo derekna , iki para narapraja saka negara Kuparman bakal asok glondhong pengereng-areng menyang negara Yaman “
“ Nun inggih sumangga menawi mekaten “

*Sekedhap netra wadyabala saking Kuparman tambah wadyabala, Raden Maktal saking negari Ngalabani arsa nerusaken lampah asok glondhong pengareng-areng dhateng megari Yaman

“Astaghfirullah haladzim la khaula walaquwwata ila billahilaliyil adzim, sak wise aku angancik alun-alun negara Yaman , keranta-ranta rasaning atiku, kanjeng rama kok dhawuh sing semene supaya nguyahi segara mangka saka iku Raja Yaman wah … bandhane mblegedhu sing ora karuan , negara Kuparman lagi oleh kaya lan ganjaran sing mung sak mene supaya diasokake minangka glondhong pengareng-areng cacahe selawe unta, rumangsa kaya ora lila banget , iki luwih apik diwenehake wong pekir miskin utawa marang bangunan supaya enggal sukses, yen ngono aku tansah tafakur “

Sekedhap netra Bagindha Umar-Amir tansah sluku sedhakep nutupi babahan hawa sanga, tansah nyuwun dhumateng ngarsanipun dalem Gusti Allah, kocapa Punakawan kekalih Maruta kalih Dahana ….
“ Ehm …ehm …, pancen gampang angel urip ning ngalam ndonya jenenge dina iki bendaraku lagi ketaman kesusahan kaya mangkene , owel marang bandha kang bakal disetorake. Mangka ya bener banget gustiku Bagindha Amir, sebab wong Islam iku dasare Qur’an, yaiku amar makruf nahi mungkar, ora kok maido menyang sapa wae, sebabe ana serat wis didhawuhake lakum dinukum waliyadin , agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku, nagging wong Islam byuh …., wis…wis , agama sing tak rasuk isine mung mathuk thok. Sasi pasa sapa wonge gelem pasa bisa nutug, dosane putih memplak, kaya kertas durung ditulis, yen wis bar malem rongpuluh , sapa wonge gelem aweh pangan nyang wong miskin ora ketang mbolo enom padha karo ngibadah sewu sasi … byuuuh…byuuh bada sesuk , sholat Ied , mbanjur sejarah, kulanuwun nggih !, ayo dhe ! dosamu bisa dilebur dina iki, inggih , salaman wae wis bisa nglebur dosane karo sapodha-podho, dimanggakake terus mangan gedang wae entek sak lirang, wedange entek sak ceret, pinten mas!?, gratis tidak mbayar !!, …wah jebul mathuk maneh. Nyang kulon mah kulon ngono, ora suwe ana kang nothoki lawang, thok-thok ! kulanuwun !, sinten ?, kula, kula dikengken Pak Suta mangke jam pitu diaturi genduren, nggih !!. Tekan nggene nggone , dhayoh diparani terus dipapakne wedange sak gelas , lempere loro, byuuuh…byuuh , mathuk thok maneh, bareng ngono tahlil sedhela , bar tahlil didumi gule sate sak piring melep-melep, byuuh…byuuh…, jale ta kaya ngono kuwi ta, wis, bareng mangkono, karo ngundurne piringe, pladene nyangking gedang ambon nguwehi tamba pedes cacahe ngloro-ngloro, byung…byuuung, karo ngguwak kulit gedang ambon , ijik nyangking cething maneh isine rena-rena, kancinge nyewu –nyewu, biyuuuh …biyuuh , wong Islam iku isine kok mathuk thok, jale ta kaya ngono kuwi lho wong Islam ”
“Lho nganti yah ene dulurmu Dahana kok durung teka, nyang endi ya , he !, Dahana ayo ndang rene iki lho bendaramu lagi sedih, ayo ndang rene !”
“Iya kang !”

Gendhing “Aja Umuk”

“Gendhing kok grbyakan kaya cikar bubrah ta di…di…”
“Iya kang, wong dadi kelangenanku kok kang !, cekake yen ora gendhing Aja Umuk akuwis wegah “
“Ora , lha sirahmu kok mbok tutupi kuwi apa ?”
“Lho kowe kuwi ketinggalan jaman kang !, iki ngono jenenge helm kang “
“Lho kok nganggo helm ?”
“Wooo…, kanggo njaga kebaikan kang !, mulane wis didhawuhke bola-bali, rujak kunir jenenge parem, bubuk kopi gula jawa , kowe nyetir nganggo helm cethuk polisi ora apa-apa…(penonton tertawa !!), lho iki lho kanggo njaga keamanan , mulakna aja sembrana “
“Layak ta , nganggo helm penthelang-pentheleng !”
“Lha iya ta kaya ngene iki “
“Piye ta dik tenane iki “
“Ngene lho kang, tenane, tenan awake dina iki wah, pira-pira tansah ngonjukake sukur nyang Ngarsa Dalem Gusti Allah , dina iki diparingi wekdal panjenengane mbahe ingkang kawogan , supaya yaiku ikut meriahkan utawa yaiku mau ikut pentas ning kene, byuuuh…biyuuh, wis warangganane nyos!!!, banjur yaiku mau pradanggane jegeg , geke, tempate hemm, I love you, aku ya ngono , pokoke yes !, aku ya ngono “
“Ora dik kok cara Inggris , I love you iku kepriye ?”
“ Oooo… I love you iku aku cinta kepadamu , mulane aku pliiss, silahkan , maka daripada ituaku masih jadi orang , I love donak belum bekerja yo hora apa-apa, ngono lho kang”
“Lha iki sir kepiye penake”
“lha iki gandeng bendaramu lagi kesusahan, mathuke aku karo kowe, sak ora-orane ya nglipur penggalihe “
“apa”
“nglipur penggalih “
“lha sing kok jaluk !?”
“bisa sesuai karo jamane”
“aku arep njaluk Randha Nunut !!”
“lho kok Randha Nunut ?”
“ya !, nunutake randha-randha –ke aku mesakake, merga para syuhada , para pahlawan direwangi pecahing dhadha wutahing ludira, kanggo ngrebut kamardikan, iki okeh randha kembang, okeh bocah yatim, okeh wong miskin kudu dipikirke, mulane aku njaluk randha nunut, lho iki ya jelas ta “
“jaman semana aku kelingan rikala negara jik dicengkeram karo penjajah, byuh !, masyarakat uripe piyeee ngono, gaplek wae ora nyore tenan, lho di !, kuwi tenan , kuwi kok ora sembrana , kuwi tenan, jaman semono, sandangan wae biyuuh..biyuuh, lek rowak-rawek, tumane sak mlinjo-mlinjo. Bareng pemerintah cancut taliwanda, dina iki , biyuuuh…biyuuuh , ndesa-ndesa omah tingkat-tingkat, sandangan jempol-jempol, ngene iki mau buahe para syuhada lan para pahlawan kang direwangi pecahing dhadha wutahing ludira kanggo ngrebut kamardikan iki, mulane kudu disyukuri, eneng bangunan apa wae kudu nyengkuyung , mulane ana tarikan saka pemerintah ayo padha ditindakake, ya nyicil sethithik mbaka sethitihiklewat RT, awit yen kabeh pingin apik kudu jer basuki mawa bea , lha yen njaluk apik tanpa bea apa ya isa .
“Ooo… ya cocok , wis lek ngono , Randha Nunut, mangga dados !! “

Gendhing Randha Nunut

“Lha ya enak ta kang Randha nunut , mulane iki mau ngene , jane lek warangganane miturut sing usul calone enem, wasana ana aral sing siji gerah, sing siji eneh putune lahir, Semarang kaline banjir , berase ora larang putune lahir, ngene iki byuuuh…byuuh “
“Ora lho dik aku takon, ora !, seni Jemblung Katong Wecana pokok-pokoke kepriye sing ana Ponorogo kuwi piye sejarahe ?”
“Seni Jemblung Katong Wecana kuwi ora ana gambare, mung dongengan, merga jaman semana nalika Raden Bathara Katong sing babad Ponorogo diutus karo kangmase saka Demak Bintara supaya mbabadi alas oleh sak kidul etane Gunung Lawu, bareng mangkono teka kene dikandani diden-deni aja pisan-pisan kowe mbabadi alas kene, merga kene iki ana ompleng-omplenge sing luwih pinunjul yaiku Ki Ageng Kutu , balik maneh !, bareng balik karo Kangmas Raden Patah, didhawuhi supaya disampiri sampur kon balik jumeneng Adipati digawani Basusena, yaiku Patih Sela Aji , bareng digawani Patih Sela Aji , teka kene banjur musyawarah kecethukan karo kiai muslim yaiku Kiai Ageng Mirah , piye penake arep mbabadi alas iki , sing menghambat kok gedhe banget , sak iki ngenekake musyawarah Ki Ageng Muslim takon
“Ora ,aku arep takon dhisik , karo kangmasmu, disampiri sampur supaya mababad alas iki , digawani apa kowe ?”
“Sepisan kula disangoni cengkir”
“Nggih “
“Iku maksude piye ?”
“Cengkir niku kencenge pikir, maksude pacul, niku ngelmune papat aja nganti ucul , siji syahadat, loro sholat, telu zakat, papat kuasa, lima dohrane, maksude adoh parane , dina iki limang yuta , iki supaya mencar-mencarake njejegake agama Islam ana sak kidule Gunung Lawu , lha bareng mangkono arep babad alas lha sing usul dhisik Patih Marga Ewuh , woo .. panjenengan badhe mababadi wana menika, ohhh kathah penghambatipun . Lajeng musyawarah . Sakwise musyawarah Patih Selo Aji usul…
“Pun sak niki ngaten mawon , menika kelangkung sae dipun wontenaken bedamen , lha kula mawon gadhah wawasan supados nunjuk dhumateng mubalek Kiai Danasuka , niku supados inggih menika dakwah wonten prapatan Medhang Kawit, jaman rumiyin , lha tenan !, bareng mangkono tekan Prapatan Medhang Kawit , dakwah ya dhasare amar makruf nahi munkar , aja nyuwiya sak padha-padha ,dhasarku arep gawe apik mangkono sakwise mangkono kedaden “
“Waa…, banjur si Kiai Danasuka, dakwah , bangsane wong-wong , bangsane jin-jin padha ngrungokne “
“Lek ngono bener tenan , wong-ke yen nggawe kapitunane sak padha-padha ora apik kedadehane, lek ngono pikirku kaya digugah , rumangsa jenjem …, rumangsa jenjem “
“Raden Katong dhawuh , ‘mbesuk ana rejane jaman jenengna Jemblung !! ‘, dadi Jemblung mau saka tembung jenjem penggalihe, mulane Jemblung Katong Wecana , sebab sing meca Raden Katong “
“Kuwi apa lho kang ?”
“Yaiku seni Jemblung Katong Wecana , sing meca iku eyang Katong , nalika babad Ponorogo . Bareng babad dhes !!, terus dadi negara …, lha Prapatan Medhang Kawit dhek semana terus dicorek , mbesuk golekanan iki lho eneng sandhinge iki lho, iki papat karo telu , tibake dina iki dicocokne karo kahanan pas !, prapatan Medhang Kawit tibake prapatan siji sing nyangga patang ndesa, digoleki satus dusun ora temu loro, manggone ana ngendi ?, prapatan PasarPon, sing mloncong ngidul mangulon sing nyangga Desa Mangunsuman kecamatan Siman, sing mloncong ngalor ngulon, Kelurahan Patihan Kecamatan Babadan, sing mloncong ngalor ngetan , Kelurahan Kadhipaten Kecamatan Babadan, sing mloncong ngidul ngetan , Kelurahan Singosaren, Kecamatan Jenangan. Patang ndesa , telung kecamatan , mungel pitu, wong ngurip ning ngalam ndonya nggolek pituduh sing bener, pitutur sing apik, lho kaya ngono kuwi lho kang !, iki seni jemblung Katong Wecana , mulane sok kesilep-kesilep , apa ta mundhak mung ngomong wae kok !, ning riwayate Raden Katong nalika babad Ponorogo, terus tentrem, terus aman, terus sak iki dinggoni nenek moyang , mulane iki ayo sak iki aja ninggalne kesenian asli Ponorogo, seni jemblung Katong Wecana, kanthi dasar ngurip-urip, memetri babade eyang Katong, pahlawan Islam sing disarek-ke ana Sentana Dalem “
“Lho kaya ngono kuwi “
“Oooo.. iya…ya “
“Punakawan loro padha sesuka , kowe ora ngerteni iki dina yaiku mau Raja Yaman, ngedekne sayembara, putra-putri kuwi dirawuhi para raja , para ratu sewu negara, kuwi banjur milih repot Kusumaningayu Ratu Kumanditen nduwe patembaya, sapa sing bisa nanting yaiku mau Kumanditen bakal diladeni suwita salawase urip pisan, ping pindhone sapa sing bisa njemparing ali-ali sing dingge …”
“Ooo… dadi mangkono “
“O, iya “
“Lho iki sapa ana satriya penthelang-pentheleng ana ngarepku !”
“takon marang sapadha-padha, aku Raja Ngabsi , iki krungu kabar ana negara Yaman ngedekake sayembara sapa sing bisa nanting Kesumaningayu Kumanditen bakal disuwitani selawase urip, aku sing bakal ngleboni sayembara !”
“He Raja Ngabsi, yen mangkono kena kowe ngleboni sayembara, coba ayo padha diayati !”
“Yoh !, yen ngono ati-atinen “

Sekedhap netra Kesumaningayu Kumanditen dipun tanting kalih Raja Ngabsi, mbegegeg mboten menapa-menapa, menika sangking amratipun Kumanditen

“Astaghfirullah hal adzim, laa haula wala quwwata ilabillah, iki Raja Ngabsah ora bisa ngayati “
“Iki ana satriya bagus rupane, alus tindake, sapa teka ngarsaku! “
“Yen takon karo aku , ana mangsi padha-padha mangsiono, aku wali nabi sangka negara Kuparman, Ngarab, aku Bagindha Amir “
“Bagindha Amir, Bagindha Amir, kowe apa bakal ngleboni sayembara ?”
“Iya, pancen doh kana doh kene tak niyati aku bakal ngleboni sayembara “
“Aja maneh kur kowe Bagindha Amir, kakekamu kabeh para raja, para ratu, ora bisa nanting wong sing kaya aku, Bagindha Amir ! “
“Ora kena riak kibir, sebab Gusti Allah iku sifat rahman lan sifat rahim , iki iyik-iyik bakal nanting, bisa ora, ora kewuhan, gagah perkosa wujude nanging bisa ya ora kewuhan “
“Bagindha Amir !!”
“Apa !!!”
“Yen mangkono ayo padha diayati, coba tantingen aku Bagindha Amir !!”
“Kowe bakal tak tanting “
“Piye !!”
“Kowe bakal tak tanting “
“Iya jajalen “

Sekedhap netra Bagindha Amir dipun tanting kalian Kesumaningayu Kumanditen, sangking amratipun ingkang dipun tanting, sangking rosanipun ingkang nanting, Kesumaningayu Kumanditen sukune ambles sak dhengkul , Bagindha Amir mboten obah mboten mosik, Bagindha Amir bobot sewu dacin…Bagindha Amir …

“Bagindha Amir…Bagindha Amir, dudu majate menungsa Bagindha amir, bareng tak tanting sikilku ambles sak dhengkul, Bagindha Amirtanpa obah tanpa mosik Bagindha Amir, uatang wiring nyaur wiring utang isin ya nyaur isin , ya Bagindha Amir coba aku tantingen Bagindha Amir !”
“Aku oleh prentahmu ya.., supaya nanting kowe, coba…coba ayo tak ayatane “

Sekedhap netra Bagindha Amir kanthi ucapan Bismilahirrahmanirrahim, Kumanditen dipun tanting, prasasat bobot merang seblak, dipun umbulaken dhel !!!, ngantos inggilipun sedasa jungul sangking ampuhipun Bagindha Amir
Gendhing

“Aduh kangmas !, pepunden kula, sesembahan kula, pantes kula suwitani kangmas,sakderengipun kula sampun persapa, sinten ingklang saget nanting dhumateng kula, pantes kula sembah kangmas, punden kula ..”
“Kepiye !!”
“Inggih kula sampun angkat tangan, dados menapa-menapa kula badhe suwita dhateng panjenengan kangmas “
“Hmm, ora tak ladeni ke kepiye, ora tak ladeni ke ya kepiye … hmm … raga..raga..ditinggal nyawa mbesuk dadi apa ga…raga, kaya ngene …hmm.., jenenge wong kuning kok dienggo dhewe aduh, manuta ya ning , sun pondhong-pondhong ojo mingkar-mingkur ya ning ya .., adiku bocah ayu Kumanditen !, iki ana paribasane sunnah dadi wajib, aku kawin karo sliramu iku sunnah , nanging dadi bojoku kowe kuwajibanku , aku kuwajiban nagayomi , aku kuwajiban ngomah-ngomahi, dadi kangmasmu aku kuwajiban tutur marang sliramu, anggonen selawase, wadon wani karo lanang, ngelingana urip ning ngalam ndonya mung pirang dina , diumpamakne wong nyang pasar mampir ngombe, umpamane sak suwi-suwining ning ngalam ndonya ijik suwe ning jaman akherate mbesuk ya di, ya ..”
“Nun inggih kangmas punden kula, sesembahan kula “
“Iya !, sing kena diarani wong wadon sejati iku sing piye ?, sing diarani wong wedok sejati iku sing gelem ngenggo ma papat, nga telu. Maksude ma papat, dadi wong wadon pintera macak, nome loro pintera masak, nomer telu mapakka kakunge yen bar tindak, nomer papat manggakake , wong wedok sejati , esuk-esuk tangi turu, nadang adus terus macak sing mening-mening, wedhakan rembet-rembet , liven njlirit, biyuuuh…wong lanang kuthuk ora tahu lunga , iku tenan , nanging yen wong wedok njeborok !, biyuuuh…biyuuh wong lanang kesit…kesit, sing kakung bar ka kantor diesemi !, sugeng kangmas ?”
“Biyuuuung…biyuung , aja mati-mati aku karo kowe bune…bune…, masyaallah , kuwi tenan , ning kosok bali wong wedok ngenggoni nga telu , ora oleh kulakane, maksude nga telu, siji; senenge ngrasani bojo, loro; ngobrol, telu; nagntukan, kudung buyuk ilang blengkere , prawan ngepluk ilang nomere, mulane wong wadon aja ngangggo nga telu , awit nga telu bageyane pak lanang, gelem ora kowe lek rabi kuwajiban duwe nga telu, siji; ngayani, loro; ngayemi, telu aku lali …(penonton tertawa bersahutan) aku lali diajeng , mula sangka iku kon sing padha setiti kon sing padha waspada , urip ning ngalam ndonya iki ora-orane bisa-a duwe pitung bahasa, iki wis rada mumpuni, apa , Inggris duwe, Cina duwe, Jawa duwe, Arab duwe, Bahasa Indonesia duwe, lan liya-liyane, paling ora sak kecap isa dadi mumpuni , mulane dadi wong wadon diajeng, sing padha setiti , sebab simbah biyen sak durunge teka wis nggawa jangka, mbesuk wis jangkane dewe , lek njangka piye, ‘thole..thole titenana mbenjang lami kowe mbesuk menangi kreta tanpa jaran maju mundur lelakune , okeh wong kang mangan watu, ngombe tlethong, sembarang sing teka ditanting , mabnjur yaiku mau menange suara sing dititipake ora kasat mripat, kuwi apa ?’, Kuwi ngene ya, kreta tanpa jaran , maju mundur lelakune , okeh wong ngombe tlethong…, dina iki tanduran kalah rabuk ya kalah tenan, banjur okeh wong mangan watu, byuuuhh…byuuh, dina iki watu dadi gedhang goreng , rosokan ember-ember iki sakiki dadi gedhang goreng lho dina iki, menange suara sing dititipne ora kasat mripat, kabukten jaman sak iki yen duwe gawe mung cukup tip-tipan , ora kasat iku kaset , banjur senbarang sing kok cekel ditanting, iki lho, iki lho, tibake kilon, trasi di kilo, uyah di kilo, godhong di kilo, dina sak iki cethuk apa sing tak omongne, dedege oleh, wonge apik, nabine duwit, cethuk sajake cocok, orek-orek ya mas wadahe kendhi, kembang gambas mekrok sore, Jawane apa ora ngerti arek sak iki, aku ora sudi wekas … mara dewe, mateng aku !.. weh … kaya ngono mau, la tenane ngene, awan-awan aja ngrajang kates, semut ireng ngrubung tempe, dadi prawan ora perlu kenes-kenes, jaka seneng wis nggoleki dhewe,(penonton gemuruh), lho kuwi tenan , sliwer kae cah ngendi ya, anake sapa ya kuwi, ngentekne pirang kwintal , diincer wae , lho kaya ngono kuwi lho, mulane mamangane siji dadi loro , lek wis dadi loro dadi telu, siji eneh piye, maune ijen njur rabi terus nduwe anak , yen anake wis rabi mbalik loro eneh, contone aku dewe, yen wis tuwek banjur mati, eling-eling sira manungsa mbesuk mati tumpakanmu kreta dawa rodane papat wujud manungsa nyang daleme ngisor semboja, ora lawang ora jendela, tanpa bantal tanpa klasa, ditutupi rada arang , dulurmu yen muji kaya wong nembang, mulane mumpung urip sak oleh-oleh amalmu sing okeh, amal kudu diilmoni , ngelmune amal apa ?, iklas ora sak ketang bobot semut ireng, ning iklas iki mbesuk bakal ditampa Gusti Allah . Bandha donya iki mbesuk ditinggal, ora ana sing kena diarep-arep kejaba mung amal, mula iku kon sing padha teliti kon sing padha waspada, mumpung urip ning ngalam ndonya iki. Sebab bandha donya, emas sak genthong, bojo ayu, kabeh bakal ditinggal, aku wegah ngamal, aku wgah ngamal…hooo, Gusti Allah ngedhunke balak, netesi geni sak tetes …bar !, omah sak isine entek kabeh , mula mumpung ijik urip ayo bebarengan amar makruf nahi munkar, semono uga kanggo waranggana, uga landasana Allah, wooo.., donyane oleh, ngakerate uga oleh. Waranggana iku tegese Wara; wadon, nggana iku tengah, tegese arang wong wadon wani ning tengahe kalangan . Mulane saben arep tindak kudu diniati kanthi Bismillahirrahmanirrahim , merga niat ngibadah, mbesuk ning ngakerat nampa ganjaran kang tanpa kira-kira, eling-eling sira manungsa temenana padha ngaji , mumpung sira urung mati, ferdu sunah lakonono, luwih sara luwih susah kang ana ndalem neraka, klabang kores kalajengking, lintah kadut uler jedhung minangka cawisane wong kang ana neraka, wong kang ndaga dhawuhe Gusti, lek cawisane wong kang mestuti ya widadari kasur babut kari nuroni, kuwi nggo wong lanang, menawa wong wadon cawisane widadara. Ning ya kuwi mau munggah laro medun kuwi abot, sak wise mangkono tumanjane kowe kabeh iki …”
“Nuwun sewu kula ingkang sowan !”
“Lho sapa ?”
“Kula utusan saking Puser Bumi , perlu nyaosi pirsa dhumateng gusti kula Bagindha Umar, Bagindha Amir, inggih menika negari Ngarab dipun kepung wakul binaya mangap, pramila kula inggal nyaosi pirsa dhumateng panjenengan “
“Ooo… dadi sak iki negara Ngarab dikepung wakul binaya mangap ?”
“Lho inggih “
“Ya…ya.., lek mangkono kakang Bagindha Umar , aja enak lan kepenak , ngobrol okeh-okeh, sebabe wektune terbatas , mula sangka iku ayo padha diayati enggal kondur wae “
“Iya yen kaya mangkono “
“Diajeng Kumanditen , mangsa bodhoa , andum slamet !”
“Sampun ngantos dangu-dangu kangmas …”
“Iya “

Sekedhap netra Bagindha Amir–Bagindha Umar sak andhahanipun kondur dhumateng negari Ngarab, negari engkang nembe dipun kepung wakul binaya mangap prajurit sangking Negeri Kaos, Raja Jobin
Gendhing

“Ayo leren…ayo leren…,iki ana satriya nggawa bandha semene mbane sapa iki !!”
“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ilabillahhil aliyyiladzim, yen takon aku, aku Bagindha Umar-Amir “
“Hmmm…Bagindha Umar-Amir , sak iki bandhane tak jaluk !!!”
“Kowe sapa !”
“Yen durung tepang karo aku, aku Raja Marmadi saka negara Ngekoh Korib, tukang gepuk, tukang rayah, tukang njaluk, bandhamu tak jaluk !!!”
“Raja Marmadi, aja pisan-pisan kowe nggawe kapitunane liyan “
“Wis !, pokoke oleh ora oleh bandhane tak jaluk !!”
“Tak kukuhi “
“Oooh lamun mbok kukuhi , kowe ndak dadekne ndog amun-amun, Bagindha Amir”
“Piye karepmu !?”
“Wis !, tak tanting Bagindha Amir, oh menawa aku nanting kowe nganti ora kuwat, aku bakal ninggal negaraku, sedulurku dadi ratu ya tak tinggalke, aku bakal suwita kowe, Bagindha Amir selawase urip “
“Hayo mara gage jajalen “

Sekedhap netra Bagindha Amir dipun tanting dening Raja Marmadi. Sangking rosane engkang nanting, sangking amratipun engkang dipun tanting, Raja Marmadi sukune ambles sak dhengkul, Bagindha Amir mboten obah, mboten mosik , amargi bobotipun Bagindha Amir sewu dacin ..Bagindha Amir…
Gendhing

“Adhuh … Bagindha Amir, dudu majate manungsa Bagindha Amir , bareng tak tanting ora obah ora mosik , aku bakal suwita selawase urip, iki ninggal negaraku Bagindha Amir ..”
“Ya ta mangkono, Raja Marmadi , kudu manut apa sing dadi pakonmu “
“Nggih menawi mekaten, kula nderek panjenengan mawon “

Sekedap netra Bagindha Umar-Amir tambah kekiyatan, tambah karosannipun tambah rejanipun Bagindha Amir, lajeng Bagindha Amir menika dilajengaken anggenipun badhe kondur negari Puser Bumi , kebacut dumugi negari Medayin, Bagindha Amir ..

Gendhing

“Ayo leren…leren…, iki barisane Bagindha Umar Bagindha Amir bakal kondur negara Kuparman kebacut teka negara Medayin , kenek kowe ngancik negara Medayin nanging ora kena metu gapura sing lor, kudu metu gapura sing kidul “
“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ilabillahil aliyyil adzim, jenenge ujian kok semene mbane , ya…ya.. lek pancen shobar bakal kaleksanan , yen ora shobar ora bakal kaleksanan , Patih Cecak , kok semono ya, iki aku bareng ngambah negara Medayin kebacut, kudu metu kidul ya…ya…”
“Waa…Mir..Amir !”
“Apa kakang Umar “
“Byuh…byuuuh…, kowe mengko yen metu kidul bakal kedrawasan tenan, sebab ora sembarangan, sing njaga ana gapura mau si Abru. Awit apa, sapa wonge sing dikedhepi Abru bakal kejungkel-jungkel , mulane aja gelem kowe metu kidul “
“Ora kakang Bagindha Umar, lha yen ngono kurang satriyane kakang, ya kudu diayati kakang Bagindha Umar”
“Ya yen ngono mangsa bodhoa”
“Coba kakang Bagindha Umar tak cedhakane dhewe …Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ilabillahhil aliyyil adzim, sin njga Abru sak mene gedhene , ya ta ya… aku tansah kelingan jaman aku nyang pondok , iki lamun eneng wujude musibah apa wae kudu sing sabar , sak durunge ngrapalake artine surat al-An’am , kabeh bisa badar , Bismillahirrahmanirrahim , Laatudrikuhul abshooru wahuwa yudrikul abshaara wahuwal-lathiful khabiir , Abru…Abru …wasna mripatmu Abru aku mlebu kowe ngablak…ngablak sing kaya mangkono , tak tamani jemparing ora dadi ndog amun-amun…”

Sekedhap netra Bagindha Amir namakaken pusaka menika kalawau Abru, gumlundhung sirahipun si Abru , sangking ampuhipun pusaka Bagindha Amir kanthi ucapan Bissmillahirahmanirrahim …

Gendhing

“Alahamdullahhirobbil’alamin kakang Bagindha Umar, iki mau si Abru tak jemparing , gumlundhung sirahe “
“Alahamdulillah yayi Bagindha Amir ..Bagindha Amir , rawe-rawe aja mati-mati, matia bakul uyah susah byah bocah yayi…yayi Bagindha Amir”
“Ya…ya kakang Bagindha Umar “
“Sak iki ngene ya dhi , kesempatan iki bakal mlebu menyang njerone alun-alun , iki aku bakal nyunggi ndhase Abru, supaya kabeh iki mengko nonton aku banjur padha kepincut kabeh !”
“Oh iya !”

Sekedhap netra Bagindha Umar ugal-ugalan nyunggi ndhase Abru, tindakipun langkung sekeca kados Bujangganong Bagindha Umar mlebet ngalun-alun nyunggi ndhas Abru menika kalawau
“Geger kanca…geger kanca !!..”
Menika saksampunipun Bagindha Umar jejogedan ngleter ana ngalun-alun , kocapa Kesumaningayu Dewi Bestari putranipun Patih Bestak manglung-manglung wonten cendela kaca, Bagindha Umar mboten kiat brangtane, mlumpat manglung-manglung wonten cendela kaca posah-pasihan kalian Kusumaningayu Bestari, semanten ugi Kesumaninayu Siti Muninggar putrinipun Raja Medayin, manglong-manglong wonten cendela kaca , Bagindha Amir mboten kiat brangtane, manglong-manglong wonten cendela kaca posah-pasihan kalian Kesumaningayu Siti Muninggar putranipun Raja Medayin , wondene Kusumaningayu Kestabun putranipun Raja Kestahan, manglong-manglong wonten cendela kaca , kocapa Marmadi mlompat posah-pasihan menika wonten salebeting kamar …
Gendhing

“Aduh kangmas punden kula Bagindha Amir…Bagindha Amir, kula Siti Muninggar ngaturaken sembah sungkem mugi konjuka kangmas ..”
“Adhiku ya, ngaturake pangabekti tak tampa ya diajeng, ora liwat pangestuku wae tampanana “
“Sampun kula tampi kula petekaken mustaka mugi ndadosna jejimat kangmas”
“Hmm… iya..”
“Kangmas !, kula seratus persen badhe ngladosi panjenengan , ning kula gadhah punagi kangmas ..”
“Nduwe panjaluk apa ?”
“Menawi panjenengan saged nelukaken Raja Joinambar, ingkang wonten negari Basunasar , awit Raja Basunasar ing dina menika kumalungkung dados Gusti Allah , sedaya perjuritipun didadosaken malaikat , menawi panjenengan saged numpes Raja Joinambar nggih Raja Basunasar menika seratus persen kula badhe ngladosi panjenengan …”
“Mir…Mir… abote kok semono ya, arep oleh wanita wae kok ndadak kon mungsuh Raja Joinambar , byuh…byuhh…, mangka Raja Joinambar iku kondhang kaonang –onang , Rajane Basunasar negarane Joinambar, kuwi Raja Joinambar ke kemlungkung dadi Gusti Allah, kabeh perjurit didadekne malaikat, piye Mir ?”
“Kakang Bagindha Umar, ora perlu kowe ragu-ragu, Gusti Allah ke sifat rahman sifat rahim, janji tenan –tenan diridloi Gusti Allah, dilindungi dening Gusti Allah, ning paitane tenan lan ikhlas kakang “
“Wis mangsa bodhoa “
“Ayo kakang padha diayati “

Sekedhap netra Bagindha Umar-Bagindha Amir, nglurug dhumateng negari Joinambar badhe nundhukaken Raja Basunasar, Bagindha Umar, Bagindha Amir

Gendhing
“Iki para malaikat kabeh padha mlayu-mlayu ana apa , para malaikat ?”
“Aduh gusti ngaturaken kedrawasan menika negari Joinambar kedhatengan wali Nabi sangking negari Ngarab , menika badhe ngobrak-abrik prenatan-prenatan , sedaya malaikat badhe dipun cabut badhe dipun apus sedaya kalian Bagindha Amir”
“Ho..o.. Bagindha Amir , kaya ngapa wonge “
“Lha menika sampun dhateng menika “
“He Bagindha Amir !!!”
“Apa…sapa kowe !”
“Kowe ora kulak warta adol perungon , ya !, aku Raja Basunasar kondhang maonang-onang kabeh perjuritku tak dedekne malaikat, aku Gusti Allahe mangkono !”
“Ngelingana Raja Basunasar ,sesembahan kuwi mung miturut keyakinanku ara ana loro telu, kowe aja pisan-pisan kemlungkung dadi Gusti Allah “
“Aaah , ora cocok , penak turu kukut padha tangi basan padha tangi kon nekuni wadhuk, ah !, wong Islam padha lara kabeh, yen kaya mengkono ora cocok , lulang ditemplekne kayu gedhi terus ditabuhi nggrebegi kuping , yen kaya ngono kuwi ora cocok he !”
“Ya, kowe aja riak kibir, sing kaya mangkono lakum dinukum waliadin , agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku, yen watake wong Islam ke yen bakal nekan marang sapa wae ora gelem . Dhasarku iki mung nduduhne dalan kang bener supaya aja nganti kleru, eman-eman, ngelingana urip ning ngalam ndonya ke mung pirang dina “
“Ah kowe ora perlu kakehan punika, bayi lair dhek wingi sore kok ndongengi , wis pokoke kabeh kudu manut karo aku, kabeh manuta, kowe yen ora manut , dijabut nyawamu karo malaikatku, kowe …”
“Hmm…dadi ngono ta…ya..ya.., lho iki karepmu piye ?”
“Ya wis ,yen kowe ora manut , tetp tak rudhapeksa, dina iki kudu manut !!”
“Pancen tak kukuhi, ana paribasane rembulan karo srengenge mbok dunake, srengenge kok cekel tangan tengen, rembulan ning tangan kiwa, aku tetp ngukuhi Agama Islam lan aku tetp njejegne Islam “
“Ooooh lena pangendhamu tak gaglak until malang “
“Ooo sing gedhe prayitnamu Raja Basunasar “
“Gudel tenan Bagindha Amir , dudu majate menungsa , Bagindha Amir tak kapak-kapakne mung mesem , sak jebukan iki Bagindha Amir kowe tak tanting kok nganti aku ora kuwat nanting kowe Bagindha Amir , wis kabeh wong negara kene manut pernatanmu Bagindha Amir “
“Dadi !, kandamu cobanen “
“Yoh uwasna mripatmu tak tanting kowe !”

Sekedhap netra Bagindha Amir dipun tanting, sangking rosanipun ingkang dipun tanting, Bagindha amir mboten obah mboten mosik, sebab Bagindha Amir bobot sewu dacin

Gendhing
“ Ca … ca…kanca …, cilik gedhe, tuwa , enom … wis sak iki manut kanca !!, Bagindha Amir dudu majate menungsa , aku wis kadhung ndhisiki , Bagindha Amir tak tanting aku ora kuwat , wis aku bakal manut peraturane Bagindha Amir , sak andahanku kabeh , wis aku manut karo kowe, tak tanting kowe tanpa obah tanpa mosik ya Mir “
“Yen pancen kowe wis manut karo kandhaku “
“Yo … aku wis manut , engko yen ana sing manut aku sing bakal numpes “
“ ya…ya..”
“Kakang Umar “
“Apa Mir !”
“Iki Raja Basunasar wis tumungkul njur piye ?”
“Sak iki ngene wae, sak iki gandeng wis nungkul sing luwih apik iki cekake cara Islam lho iki, amrih apike dilongi thithik ngono wae”
“Lha gek apane ?”
“Huss !!, wong kalah iku manut wae, ora usah ngeyel, lhawong wis kalah wae, pokoke manut wae rak ya wis “
“Ya Umar lan Amir, aku manut”
“Yen manut, sak iki clanane cucul, ganti sarung ngono wae, kabeh malaikat-malaikat kuwi !”
“Lha kon ngapa ???”
“Kakang Umar !”
“Apa adhiku Amir “
“Iki wonge sak mene mbane , terus nggo lungguh apa kakang?”
“Oalaah , lha wong ngono wae kok bingung, kene lungguh ning nduwur rinjing, karo jejer-jejer ning ndhuwur ngloning kene, lha dalah, wis ayo kabeh manut , bareng ya !!!”
“Iya aku manut Mir “
“aduuuh !!, aku selawase urip ya lagi iki disunati”
“Aku ya ngono”
“aku ya ngono”
“aku ya ngono”
“Wis…wis … kabeh kudu manut “
“Mir, nyata-nyata kowe kanggo seksi ya, iki mau Kesumaningayu Siti Muninggar saka Negara Medayin nduwe patembaya yen bisa nundukake Raja Basunasar, iki kudu nganggo bukti, lha iki ikute sak glempo , terus dibuntel, diwenehke kabeh ya ngono piye “
“Iya…ya “
“adhiku dhi… Siti Muninggar aja kaget ya, aku bakal menehi bukti ikut sak buntel, bakal tak caosne nggo bukti kalawau”

Sekedhap netra Bagindha Umar-Amir menika mbungkus ikut badhe dipun paringaken kangge bukti menika kalawau

Gendhing

“Kangmas sesembahan kula, pepunden kula , kados pundi sampun kasil kangmas ?”
“Ya pangestumu Siti Muninggar, ya iki Raja Joinambar sak andhahane kabeh padha nindakake peraturan negara Tanah Suci kene, iki kabeh wis padha manut “
“Menawi panjenengan ngendikan sampun sami tumungkul, buktinipun menapa?”
“Coba tampanana “
“Aduuuh kangmas … , niki menapa ?” (Penonton tertawa)
“Ya iki buktine kaya mangkene “
“Aduuuuh nggilani emen kangmas “ (penonton bersorak riuh)
“Yo, ora kok nggilani ngono , iki engko yen ora ono buktine aku di tarani goroh, sangka sak ithik sangking akehe perjurit , sak pethuk kaya mangkene kehe iki…, ya wis mangsa bodhoa iki “
“Aduuh kangmas … kangmas , kok semanten kathahipun ..”
“Yo .. he em “
“Sak menika ngaten nggih kangmas , sak sampunipun Raja Joinambar sampun tumungkul , manut peraturan negari Kuparman niki, nembe setunggal malih kangmas !”
“Hmm… piye ?”
“Menawi panjenengan saged nundukaken Raja Jobin sangking negari Kaos menika kala wau seratus persen kula badhe suwita ngladosi panjenengan, sebabipun Raja Kaos menika piyuyun sanget dhumateng kula, lan kula babar pindah mboten remen kangmas ..”
“Lhoo !!, dadi aku supaya nundhukake Raja Jobin, sangka negara Kaos ?”
“Terus barisanne ana ngendi diajeng ?”
“Menawi mboten kesupen, menika baris wonten ara-ara Bakdiatar kangmas …”
“He eh , hmmm…., abot banget rasane , ya….ya…, arep ora tak nyangi ke ya piye, yen tak nyangi ke ya mabnjur piye …, iya ta iya.., yen dipesthi dening Tuhan , kabeh mau mung ana Tuhan dewe , yen patiku karo Raja Jobin ya wis … ora dadi baya ngapa … ya…ya…, tak saguhi diajeng !!!”
“Mirr !!! “
“Apa kangmas Umar “
“Aja mbok saguhi …, tenan … aja mbok saguhi …, sebab Raja Jobin kuwi dudu sak majate menungsa, duwe piandel pusaka pedhang pamungkas, wah wis ngidap-idapi , aja meneh jamake menungsa, gunung disuding jugrug Mir !, tenan …, tak elingke aja kok saguhi siji kuwi, gene jedheg –jedhege ora dadi karo kuwi, ora dadi apa, wong ijik duwe wae kok angel-angel lho Mir …”
“Ya aja ngono kakang Umar, ngono kuwi jenenge rak putus asa. Kakang ya aja ngono kakang …, ya sak iki kudu leksanani, iki negara Medayin dikepung wakul binaya mangap, saka Raja Jobin sangka negara Kaos, ya penake ya diayati “
“Ah wis mangsa bodhoa, sak iki aku bakal manut karo kowe Mir !, wis Bagindha Umar bakal ngoncati, ora bakal ngetutne kowe …”
“Astaghfirullah hal adzim la haula wala quwwata ila billahhil aliyyil adziim, lakon kok kaya mangkene…, yayi… Raden Maktal …“
“Wonten dhawuh kangmas, panjenengan kersa nimbali rayi paduka Raden Maktal “
“Dina iki ya dhi … sliramu tak utus aja wedi kangelan, wanita Kumanditen, loro Siti Muninggar, telu Bestari, papat Kestabun , iki ungsekna nyang Tanah Suci kabeh, iki negara Medayin bakal kanggo ajang perang, aku bakal ngenyangi marang barisane Raja Jobin “
“Ooo… dadosipun mekaten kangmas …, kula supados ngungsekaken wanita sekawan menika “
“Ya…ya…”
“Inggih … mangga…mangga.., peneran.. wilujeng !..”

Sekedhap netra Bagindha Amir mlebet dhumateng palagan, mangsulaken Raja Kaos saking negari Jobin kala wau ..

Gendhing

“O..oo…o..lha dalah sun ndak waspadakake ora ana loro telu sing teka kajaba Bagindha Amir, … oleh ku ngarep-arep kaya wong tuwa nyang pasar aku arep njaluk jajan !, bagindha Amir…Bagindha Amir…”
“Kowe wis ngert nyang aku sapa kowe !!”
“Ya aku raja sangka Kaos, Raja Jobin , ehmm, iki aku sangka negara Kaos arep nyang negara Medayin , tujuanku mung siji, bakal nglamar Siti Muninggar, ning jebule wis mbok dhekem dhewe he …”
“Aku ora ngrumangsani ndhekemi…, wong ya padha geleme …”
“Ah wis ora perlu kokehan punika , he Bagindha Amir !!”
“Apa !!”
“Lamun ora kok wenehke, Siti Muninggar wooo… kowe tak gaglak mangsa nglelegana “
“Ya njajala “
“Oh .., lena pangendhamu tak gaglak ..Bagindha Amir “

Gendhing

“E…e…e…, Bagindha Amir … wujudmu ora ndayani, digdayamu ngidap-idapi… , ayo coba delengen !!, apa Bagindha Amir kang katon “
“Kowe bakal namakne pusaka ?”
“Ooo… lena pangendhamu, ketaman pusakaku pedang pamungkas dadi endhog amun-amun …”
“Coba leganing atimu “
“Yoh tampanana Bagindha Amir “

Sekedhap netra Bagindha Amir lena, sangking ampuhipun pusaka pedang pamungkas, Bagindha Amir kenging pusaka piliganipun, njungkel ! Bagindha Amir. Sak sampunipun Bagindha Amir menika njungkel, wusana trampil sanget Turangga Kalisak, Bagindha Amir kesaut turangga, kalih ngambah jumantara kondur dhumateng negari Puser Bumi, minggahipun kadyo thathit, Bagindha Amir …

Gendhing

“Assalamu ‘alaikum …”
“Wa’alaikum salam Bagindha Amir…Bagindha Amir …, lena tenan Bagindha Amir , mulane Amir kudu ngenekake Umar, Umar kudu ngenekake Amir, tak tinggal oncat, Bagindha Amir kedrawasan…, ketaman pusakane Raja Jobin mbanjur njungkel kaya mangkono, tujune jaran Kalisak trampil , disaut njur ngambah jumantara …yooh … Bagindha Amir mumbula nyang langit biru tak tututi, aku kakang Bagindha Umar , ora tega , Bagindha Amir …”

Gendhing

“Oh…hmm… sun waspadakake kaya putraku Bagindha Amir…, he Bagindha Amir…Bagindha Amir…, kenepa ngger sliramu…, sirahmu biyuuuung….biyuung , lha jenenge rai kok kaya ….adhuh !!…, gek kena apa Bagindha Amiiir…Bagindha Amir …”
“Paman !!, kula engkang dhateng paman …, sak derengipun ngaturaken sungkem mugi konjuka dhateng paman …”
“Iya…ya…ya.. Bagindha Umar…Bagindha Umar..”
“Ngaturaken kedrawasan paman… menika Bagindha Amir sampun kula engetaken ampun ngantos mungsuh kaliyan Raja Jobin sangking negari Kaos, sebabipun Raja Jobin menika nggadhahi piandel wujud pedang pamungkas, sampun malih jamakipun manungsa, gunung dipun suding jugrug , pramila Bagindha Amir kumawani mlebet dhateng palagan kenging pusakanipun inggih menika Raja Jobin ..”
“Nuwun sewu kangmas Bagindha Amir, kangmas Bagindha Amir, kula rayi panjenengan , kula Siti Muninggar kangmas, sumerep tatu panjenengan kula mboten kiat kangmas !, senajan putri, kula nggih prajurit kangmas, dados menapa-menapa kula mboten trima kangmas, cobi kula ingkang badhe majeng dhateng palagan , Raja Jobin …Raja Jobin.. aja kaget !, iki lho Siti Muninggar cintamu sing bakal mungsuh kowe …”

Gendhing

“Raja Jobin…Raja Jobin …, pusakamu saka kadohan katon murub ngalad-alad, iya ta… iya aku ora trima , aku Siti Muninggar bakal mbela marang Bagindha Amir, aku bisa mancalaputra mancalaputri, aku bakal malih kakung, aku tak jejeneng Kosim , mula aja kaget Bagindha Amir iki aku Kosim, sing bakal ngrampungi wong kaya kowe Raja Jobin …”

Gendhing

“Ha…ha…ha…ora antara suwe ana bocah cilik teka ning ngarsaku penthelang-pentheleng mripate !, Sapa!!”
“Yen takon marang aku mangsia padha-padha jenengku Kosim, balik sapa kowe !”
“Aku Raja Jobin saka negara Kaos, kowe pernah apa karo Bagindha Amir !?”
“Dudu sanak dudu kadang , yen ilang melu kelangan, ayo Raja Jobin kudu minggat sangka negara Oro-oro Bakdiatar kene !! “
“Ho…ho…ho…, wujudmu ora nyepirani Kosim , kowe tak eman aja mbok terusne Kosim “
“Pancen aku yen durung bisa mondhong sirahe Raja Jobin, ora trima !!! “
“Ooooo… lena pangendhamu , gaglag mangsa nglelegana …”

Gendhing

“Ora kena sangga sembrana Raja Jobin, hayo manut ora kowe…”
“Sak iki ora manut, sesuk ya ora manut !! “
“Ooo…lamun kowwe ora manut, kesampe pedang ora pedhot gulumu, ooo… tak guroni “

Sekedhap netra Raja Jobin namakaken pedang pamungkas dumateng Kosim, skala wujudipun ical, lajeng dados wanita cintanipun Raja jobin, Siti Muninggar…

Gendhing

“Aduh kangmas… pepunden kula, sesembahan kula ..”
“Adu…aduh … Muninggar…Muninggar…, kok iso-isane, Nggar.., Muninggar…, aku saka negara Kaos, menyang negara Oro-oro Bakdiatar kene, yo among kowe diajeng … diajeng…, kok isa-isane malih kakung… tujune tak tibani pusaka ora apa-apa…”
“Ingkang sak estunipun kula namung neter, kadigdayan panjenengan …”
“Oh… iya…ya.., byuh …byuh…byuh…, manuta ya diajeng, kowe tak boyong nyang negara Kaos, ya…”
“Awit siyen, sak jatosipun kula dhumateng Bagindha Amir menika naming lapisan njawi, sejatosipun seratus persen kula tresna dhumateng panjenengan kangmas…kangmas Raja Jobin..”
“Byuuuh…byuh… yo…yoo..manuta tenanya ning …”
“Inggih kangmas …”
“Iki aku rak mentas wae perang gedhen-gedhen karo Bagindha Amir. Bagindha Amir, ketiban pusakaku njungkel –njungkel tenan, aja maneh jamake manungsa, gunung tak sundik nganggo pusakaku iki wis mesthi jugrug, la mulane Bagindha Amir keplayu…, ya ning..ya…mulane sak iki kari kowe karo aku …”
“Inggih kangmas …”
“Kangmas…kangmas…”
“Iya apa…apa…”
“Sak sampunipun sajak panjenengan sampun sayah kangmas… kula pijeti kangmas.., mangga kula aturi sare kangmas…, kula tak tak rengeng-rengeng…kangmas…”
“Aku kok kon turu terus mbok rengeng-rengengi ngono?”
“Inggih kangmas…”
“Biyuuung…biyuuung , wong ayu sak ngalam ndonya kok ora ana sing padha , tur eseme…aku …adhuh biyuuung…biyuuung…biyung, lagi dilirik wae aku wis kejungkel-jungkel.., wong ayu… kok ya dipek dhewe…, ning…aku kok kon sare terus kok rengeng-rengengi …”
“inggih kangmas, pancenipun , pundhen kula..”
“terus sing mbok senengi sindhen sapa ? “
“Kula piyambak mawon kangmas..”
“Biyuuuung…mendah mareme penggalihku, hayo coba nembanga cah ayu …”

Gendhing Dhandhang Gula

“Raja Jobin…, sak iki kowe aja keplok tangan mbanting sikil , sejatine kowe tak lipur sing kaya mangkene aku nduweni pamrih pedang, sak iki pedhang wis ana tanganku, yen pancen ora trima tututana Siti Muninggar , tak gawa oncat menyang negara Ngarab kana Raja Jobin…”

Gendhing

“E…e..e…e…, Siti Muninggar …Siti Muninggar, monyet wadon kowe…hmmmm, sida kapusan aku, ora nyana ora ngipi, ujude wanita nek ringik-ringik kaya mangkono wusana , biyuh…biyuh, pusaka digawa …, rumangsa kaya ilang bayuku aku, pancen piandelku ana pedang pamungkas, banjur diboyong karo Muninggar…, hoh bajingan wadon kowe …, he !! perjuritku kabeh saka negara Kaos, cilik gedhe, tuwa enom, aja ana sing keri ana Oro-oro Bakdiatar, ayo dibroki iki negara Ngarab, dadekne karang abang kabeh, he kanca ayo budhal yen kaya mangkono “

Gendhing

“Oooeeeek…ooeeek…oooeeek…!! “
“Ooo…kakang Patih Jumegog , iki lelakon apa , lha wong ning negara Yaman kene ora ana wong ngandheg kok ana tangise bayi, iki bayine sapa ?”
“Pramila gusti, kula piyambak inggih radi ngungun lan emeng sanget, negari Yaman menika kula tliti-tliti mboten wonten tiyang ingkang ngandheg , menika kok lajeng miring suwantenipun bayi lahir menika wonen pundi apa kira-kira bangsane demit …”
“Lha enggih menika kula kok nggih ngungun…, cobi mangga kita mirengaken malih…, he para nara praja kabeh !”
“Nggih …nun inggih !”
“Nun inggih …”
“Nun inggih ..”
“Lha iya patih suara kok ning ndhuwur meret kae suara apa, suara bayi kok ning ndhuwur…iku kan nganeh-anehi ta, mangka sing ana ndhuwur mau ora ana liya kejaba mung peti , lha peti kuwi isine , piandele Bagindha Amir , slimut lan dodot pusaka, bisa nangis , coba kanca ayo mirengna maneh “
“Oeeek…oeeek…oeek “
“Oh yen kaya mangkono nyoto tenan, …. Yen kaya ngono kakang patih, menika terus dhukna petimu “

Sekedhap netra Patih Jumegog ngandhapaken peti menika dipun caosaken inggih menika Raja Yaman, menika wau

Gendhing

“Sekesenana para nara praja !, pethi iki bakal tak bukak “

Sareng menika peti dibukak pancen wonten wujud bayi…

“Oh lha dalah …, oooo yen ngono para perjurit, seksenana ya, iki putuku tak paringi tenger Maryonani !!”
“Nun inggih “
“Eyang pundhen kula sesembahan kula, kula wayah panjenengan Maryonani , kanjeng rama kula sinten eyang ?”
“Oh ngger putuku Maryonani …, yen kowe takon wong tuwamu ya ngger, iki wali Nabi sangka negara Ngarab, yaiku Bagindha Umar, Bagindha Amir “
“Nyuwun idi pangestu eyang, kula badhe sowan kanjeng rama,…kanjeng rama…kanjeng rama…, kula ingkang sowan…”

Gendhing

“Yayi Bagindha Amir “
“Apa kakang Umar “
“Iki ana bocah bakal sungkem ning ngarsamu “
“Sapa ngger sliramu ?”
“Menawi panjenengan dereng priksa, kula putra panjenengan Maryonani “
“Maryonani, aku bisa nampa bektimu nanging aku iki ning ngara kene lagi nandhang pepeteng , yen kowe bisa mbalekne perjurit sangka negara Kaos Raja Jobin , kowe baklal tak tampa”
“Nun inggih !, kula bade lumebet dhateng palagan kanjeng rama “

Gendhing

“Oh !, ora antara suwe kok ana bocah cilik mlebu palagan sapa !!”
“Takon karo aku ora tedheng aling-aling aku Marionani !!”
“Oh, Marionani…Marionani, aja maneh kur kowe Marionani , kabeh kakekamu padha mundur “
“Durung karuan yen mungsuh cah cilik “

Sekedhap netra Marionani ngusap epek-epekipun ingkang nuwuhaken gara-gara lesus wat-watan,menika Raja Jobin dipun sentor lesus, dipun obat-abitaken mboten kanten-kantenan Raja Jobin

Gendhing

“Marionani ngger putraku , kowe bisa madhangake pepeteng negara Puser Bumi , mbalik kaya wingi uni, perjurit sangka negara Kaos morat-marit kesentor lesus , mbalik menyang asale ya ngger, bektimu tak tampa …”
Saksampunipun Marionani sungkem dhateng ramanipun Bagindha Amir, ical !!!, badar dados dodot pusaka lan slimut

Gendhing

“Masyaallah Mir…Mir… , ora nyana ora ngimpi, layak kowe ora duwe kekuwatan , dadi kowe koncatan dodot pusaka lan slimut, yo…yo…lha sak iki pisan titimangsa Mir !, wis teka wayahe ayo pisan-pisan gawene di karne Payung Tunggulnaga “
“Iya…iya kakang Umar yen mangkono kula badhe nglebeti sak ngandhape Payung Tunggulnaga “

Sekedhap netra Payung Tunggulnaga dipun mekaraken kalian menika Raja Jemblung Marmadi , mbegegeg mboten menapa-menapa Payung Tunggulnaga

Gendhing

“Ngger … putraku Wahas ..”
“Wonten dhawuh kanjeng rama …”
“Aku kanjeng ramamu Bintaljemur, yaiku sesepuh ana negara Puser Bumi kene sajak ana negara Puser Bumi kene ana hara-huru sing ora-ora , iki Bagindha Umar , Bagindha Amir lagi mekarne Payung Tunggulnaga , sapa-sapa sing ngekarne mbegegeg tanpa mekar , aku sing bagian ujung sesepuh kene ngger Wahas !, sliramu tak dhawuhi supaya ngekarake Payung Tunggulnaga , ngger Wahas ..”
“Adhuh kanjeng rama sesembahan kula, pundhen kula , mbenjang napa bidhal kula “
“Aja kesuwen Wahas, enggal karna Payung Tunggulnaga , ya ngger… tak jangkung ya ngger, aku wong tuwamu Bintaljemur …”

Gendhing

“Paman Wahas pundhen kula , kula Bagindha Amir ngaturaken sungkem mugi konjuka paman “
“Ya ngger putraku bocah bagus Bagindha Amir, kowe ngaturake bekti tak tampa ya ngger.., ora liwat pangestuku tampanana “
“Inggih sampun kula tampi , menika kula petekaken mustaka mugi ndadosna jejimat “
“Paman , semanten ugi kula Umar, ngaturaken sungkem mugi konjuk “
“Ya…ya…Bagindha Umar tak tampa , iki sajakane negara Puser Bumi kene kok ana hara-huru kaya-kaya pedhut peteng iki sing kok tujokake kepiye ?”
“Nuwun sewu estunipun menika badhe mbangun negari, sinten ingkang saged ngekaraken Payung Tunggulnaga , inggih Payung Bawat, menika negari seratus persen menika badhe tetep bangunan menika tetep sukses lan tetep rukun sedaya warga, menawi Payung Tunggulnaga menika saget mekar … “
“Oh ya…ya…ya…, ya sak iki aku bakal melu cawe-cawe sebab aku pikantuk dhawuhe kanjeng rama Bintaljemur supaya aku ngekarne Payung Tunggulnaga, iki ora kok teges aku clandhaan nanging saderma nindakake dhawuh , mula sak iki ayo ngaturake panyuwun menyang Gusti Allah , muga-muga Payung Tunggulnaga bisa mekar, lan diridhoi apa sing dikarepake kabeh, mula ayo bebarengan maca Bissmillahirrahmanirrahim …

Sekedhap netra inggih menika Wahas kanthi waosan Bissmillahirrahmanirrahim , Payung Tunggulnaga dipun asta kaliyan Wahas, Payung sanalika mekar, sigra byar padhang trawang, ingkang njalari sedaya dados ayem tentrem negari, awit sangking ampuhipun Wahas

“Adhuh paman sesembahan kula , pundhen kula, saksampunipun Payung Tunggulnaga sampun mekar , kala sangking wetan wangsul ngetan, kala sangking kilen wangsul ngilen, kala sangking kidul wangsul ngidul, kala sangking ler wangsul ngaler , sedaya kala sampun wangsul dhateng panggenanipun , ketingalipun sinaripun kawontenan-kawontenanipun negari Puser Bumi mriki “
“Oh iya…ya “
“Lha menika mekaten, sak sampunipun Payung Tunggulnaga menika sampun mekar , kula kalian panjenengan ngrumaosi tansah ngonjukaken raos suka syukur dhumateng Gusti Allah , semanten anggenipun paring dhumateng kula lan panjenengan sami “
“Mula sangka iku ngger kabeh kudu ayo padha ngonjukake rasa suka syukur menyang Pangeran sebabe Gusti Allah iku sifate rahman rahim , apa tujuane kawulane waton tenan , mesthi tansah diridhoi dening Gusti Allah, mula aja ragu-ragu , lan mamang-mamang , kocap ora mamang ora ragu, wis mesthi bisa kasembadan panyuwune”
“Nun inggih “
“Ngger putraku Bagindha Umar-Amir “
“Wonten dhawuh kanjeng rama “
“Sakwise Payung Tunggulnaga wis mekar, ya ngger permesthene durung udan bisa udan, kambil sing ora kacuk padha kacuk, masyarakat sing padha njembel sak iki padha makmur kabeh, bisa sukses seratus persen bangunan iki sangka mekare Payung Tunggulnaga, mula pisan gawene ngger Bagindha Umar-Amir, sliramu Bagindha Amir sliramu tak angkat supaya nglungguhi dhampar kencana ngger, iki sliramu Bagindha Amir, ora kekasih Bagindha Amir, sak iki tak sengkakne ngaluhur jumeneng Wong Agung Menak Jayengrana ya, Jayeng Palugon ya, Jayeng Murti ya, Jayengrana “
“Oh dadosipun mekaten kanjeng rama , kula panjenengan paringi sampur nglenggahi dhampar kencana ?”
“Lho iya !, lha si Umar …, kowe tak sampiri sampur ya ngger ya.., kowe dadi generasi muda supaya nerusake perjuangane wong tuwa-tuwa “
“Nggih “
“Sliramu supaya nggenteni Adipati ana Tal Kandhangan, lha sliramu tak paringi tenger Adipati Marmaya Guritwesi Tal Kandhangan, iki jejibahan mbesuk ngislamake wong sing ijik kafir, sak teruse aja waleh-waleh, aja wedi –wedi supoyoa bisa sukses apa sing dadi cita-citane”
“Paman, dadosipun kula menika kesampiran sampur supados jumneng Adipati wonten Tal Kandhangan , den paringi tenger Adipati Marmaya Guritwesi Tal Kandhangan “
“Lho iya “
“Inggih “
“Lha iki mangkene pisan ya, wis teka titimangsa , Kesumaningayu Siti Muninggar, tak syahke pisan pikantuk Bagindha Amir, dene Bestari putrane patih Bestak dina iki menyang Bagindha Umarmaya, Kestabun, menyang Raja Marmadi ya…”
“Inggih “
“Gene sing siji iki menyang Raden Maktal, putra saka Ngalabani pisan gawene, kowe supaya ngrangkani Wong Agung Menak, kowe tak sengkakne ngaluhur supaya dadi Patih ana kene “
“Oh inggih, dados kula menika jejuluk Raden Patih Maktal Putra Ngalabani ?”
“Lho iya, mula ayo diatur sak apik-apike negarane iki, supaya enggal sukses apa sing dadi cita-citane masyarakat iki tentrem ayem subur makmur langsung didohake sangka balak-balak sing ora dipingini masyarakat bisa kaleksanan cita-citane ana ndonya tekan ngakerat “
“Inggih “
“Kenen diatur cara kuna , kene astane Bagindha Amir si Wong Agung Menak, kene naa…, Marmaya kene, Bestari kene, naaa…, iki Kestabun kene, naa…, Bissmillahirrahmanirrahim, Kucarkucur kacang kawak gudhe kawak, sak kawak-kawakane kacang lan gudhe, isik kawak temantene, babar pinangkar mbesuk putrane dadi sak latrs, mula kene ayo diiringi Kalaganjur kene naa…Bissmilllahirrahminirrahim, aku tak ngrapalne Jaran Goyang, Tak goyang segara etan sat, segara kulon sat, gendirku sada lanang , upet-upetku lawe wenang tak sabetake gunung guntur, tak sabetke segara sat, tak sabetke perawan Kenya kinthil-kinthil, pucuke upat-upat Kenya-kenya sarine Kenya kala klawan tangis, manten putrid cethuk manten kakung ra bisa ngeluh , bisa nangis , nangis sangking kersane Gusti Allah , la ilaha ilalloh Muhammadar-rasulullah , hus !!, Bissmilllahirrahmanirrahim , bumi mingkem malik asih, malik atine manten putrid, asih mantene kakung asih suka ngersane Gusti Allah, hus !!, kene….kene…naaa…

Tamat



















































4.1. Latar Belakang Obyek
4.1.1. Lokasi Penelitian
Kelurahan Setono berada di sebelah timur laut , kurang lebih 5 km dari pusat kota Ponorogo. Kelurahan ini memiliki luas 1595 km2 , dengan penduduk 2590 jiwa dan berada di bawah kekuasaan wilayah kecamatan Jenangan. Secara geografis kelrahan Setono diapit oleh dua jalan raya yang dipakai oleh jalur transportasi umum, baik dalam maupun luar kota. Kelurahan ini dibatasi ; sebelah utara Desa Japan Kelurahan Kadipaten, sedangkan wilayah timur Kelurahan Singosaren ; sebelah selatan Desa Mrican , sedangkan sebelah barat Kelurahan Kadipaten. ( Data Observasi 3 Januari 2007 , di Kantor Kelurahan Setono ).
Berdasarkan sejarah, Kelurahan Setono memiliki akar sejarah berdirinya kota Ponorogo, sekaligus dalam kaitannya dengan penyebaran Agama Islam, oleh karenanya wajar jika dalam kelurahan ini terdapat indikasi khas yang menunjukkan geliat penyebaran Islam, misalnya dengan adanya tempat-tempat ibadah yang jumlahnya lebih dari cukup; lima buah masjid dan delapan buah surau ( Data , tanggal 3 Januari 2007 ). Di kelurahan ini pula Raden Batara Katong sang pendiri Ponorogo ini, dimakamkan. Berkat ketokohannya sebagai orang nomer satu baik pada tataran jabatan pemerintahan maupun sebagai pemuka agama, menjadikan dirinya mendapat kehormatan yang luar biasa dari masyarakat Ponorogo. Terbukti, hingga sampai hari ini makamnya masih selalu dikunjungi sebagai tempat wisata spiritual oleh masyarakat dari berbagai daerah dari luar kota Ponorogo. Bahkan setiap tanggal 1 Muharram dari tempat ini pula prosesi ritual grebeg Suro , dengan kirab Pusaka yang menandai kepindahan kota lama ke kota baru diperingati. Makam ini selalu ramai dikunjungi terutama setiap hari Jum’at Kliwon , menjelang bukan suci Ramadhan, dan menjelang Lebaran.
Di Kelurahan ini pula berdomisili anak keturunan Raden Katong, termasuk didalamnya dalang Jemblung Ki Muhammad Yusuf, dimana beliau merupakan keturunan yang ke 14, sehingga keberadaan Jemblung Katong Wecana relatif bisa terjaga keasliannya. Hal itu dikarenakan beliau adalah merupakan pewaris kesenian ini langsung dari keturunan Batara Katong.
4.1.2. Perangkat Pertunjukan Jemblung dan Nilai – nilai Falsafahnya
A.Gamelan
Alat-alat yang dipakai dalam pertunjukan Jemblung versi Muhammad Yusuf meliputi ; kendhang, saron, kenong, terbang dan rebab. Gamelan pengiring Jemblung Katong Wecana ini dilandasi oleh ajaran falsafah Jawa yaitu ; ningna, thukna, ndang-ndang , heem. Masing-masing memiliki makna ajaran moral yang luhur sekali. Ningna, berarti renungkan, camkan dan rasakan secara mendalam Islam yang telah kita rasuk ini, sehingga kita bisa merasakan lezatnya iman dalam Islam kemudian kita dapat mengamalkannya secara total (kaffat ). Pesan ini diajarkan dalam al-Qur’an , surat Al-Nahl (16) : 125 : “Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmat dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik . Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk “.Rebab dengan suara yang meliuk-liuk memberikan makna halusnya hati, maka dari bentuknya instrumen saja seperti hati, maka rebab melambangkan hati.
Thukna berarti “nggonen lan tindakna “ ( pakai dan amalkan ). Pesan ini dihasilkan leh alat musik kenong . Pesan ini mengisyaratkan kepada para pemeluk Islam agar dalam memahami Islam tidak hanya sebatas formalitas saja, akan tetapi diharapkan dapat mengamalkan semua yang telah diajarkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ndang-ndang berarti “enggal-enggala “ ( bersegeralah ). Perangkat yang digunakan untuk menyampaikan pesan ini adalah kendhang. Ajaran moral nya adalah agar manusia bersegera memenuhi panggilan Islam, dengan menyambut dan bersegera mengamalkan ajaran-ajarannya . Pesan ini juga dimaksudkan agar mereka yang telah menganut Islam untuk tidak menunda-nunda amal kebajikan dan menuju ampunan Allah SWT. Pesan ini didasarkan kepada Qur’an , surat Ali Imran ayat 133 “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertaqwa “.
Heem, menandakan hati yang puas karena telah mampu melaksanakan semua ajaran Islam dengan teguh , Gurr , akhirnya bila kita kembali ke pangkuan illahi kita ‘njegur ‘ atau masuk surganya dengan tenang dan mantab. Pesan ini disampaikan dengan bunyi gong. Dan didasarkan kepada Qur’an surat Al- Fajr , ayat 27 – 30 : “ Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai . Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku “
4.1.6.2. Simbol-simbol Benda Ritual dan Nilai Falsafahnya
Berbagai symbol lokal dalam pementasan dalam pementasan Jemblung Katong Wecana benda-benda symbol ini selalu mengiringi di setiap penampilannya. Ritus-ritus semacam ini merupakan peninggalan budaya sebelum jemblung memasyarakat di Ponorogo. Namun symbol-simbol benda itu kemudian dipadukan dengan semangat ber-Islam , melalui pemaknaan yang Islami. Secara rinci, benda-benda itu meliputi :
10. Pohon pisang dan buahnya tanpa daun . Ini melambangkan sifat pohon pisang yang senantiasa tumbuh terus , tidak akan putus asa berhenti tumbuh sampai batangnya mengeluarkan buah , walau harus ditebang di tengah jalan ia akan tumbuh lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Seandainya dia telah berbuah maka, ia akan menunduk merendahkan diri tidak sombong kemudian menumbuhkan anakan baru untuk kemudian berbuah dan memberikan manfaat kepada makhluk lain demikian seterusnya. Dengan demikian ajaran moral dalam symbol batang pisang ini adalah , agar orang Islam jangan sombong , jangan putus asa untuk meraih cita-cita luhurnya walau harus mendapatkan rintangan yang besar. Dan hidupnya harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang lain serta memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk menumbuhkan jiwa pantang menyerah sampai cita-citanya tercapai.
11. Kelapa gadhing , melambangkan cengkir (kelapa muda), yakni akronim dari kencenging pikir, maknanya adalah , bagi semua manusia yang telah mantab dengan Islam, terus berupayalah menggali nilai-nilai Islam dengan pikiran yang cemerlang , kuning gading ,berarti melambangkan cemerlang bersinar kuning seperti emas - , dan jadikan ilmumu itu untuk orang-orang yang masih haus dengan kebenaran , siramilah mereka dengan cahaya ilmu Islam agar mereka menjadi damai dan segar .
12. Tebu Ireng ( batang tebu berwarna hitam ), melambangkan rasa manis dan rasa pahit . Tebu merupakan akronim dari ‘manteb-ing kalbu’, maknanya , kalau kita ingin tahu manisnya iman dalam Islam , maka renungkanlah dengan mendalam nilai-nilai Islam itu ke dalam sanubari , nanti akan kita jumpai manisnya Islam. Sedangkan warna hitam , orang Jawa menyebutnya ‘ cemani ‘, yaitu ayam yang semuanya berwarna hitam, baik bulunya maupun darahnya. Mereka menjadikan ayam ini sebagai obat berbagai macam penyakit. Pun demikian dalam warna hitam yang melekat pada tebu ireng melambangkan sebuah pesan bahwa; untuk meraih sebuah manisnya hidup , harus merasakan pahitnya hidup terlebih dahulu, karena pahit itu adalah obat.
13. Janur ( jan menandakan,, nur cahaya ). Penamaan janur ini , konon diambil dari kosa kata Arab “dza al-nur “ , artinya yang bercahaya. Dengan symbol ini diharapkan orang-orang yang telah mantab merasuk Islam dan mengamalkan seluruh ajaranya menjadi becahaya . Janur sendiri dalam pemaknaan Jawa berarti ‘sifat manungsa kang kemanjingan nur ‘, yaitu manusia yang telah tercerahkan hatinya oleh akhlakul karimah, sebuah gambaran muslim sejati dan berhasil membuat kemanfaatan bagi diri dan orang lain.
14. Daun Andong , diambil dari sanepan “ cumadhonga barang-barang kang suci, aja sira cumadhong maring barang-barang kang ora suci “, artinya ‘ ambillah barang-barang yang halal dan bersih ( thoyiban ), jangan memakan barang-barang yang kharam . Simbol ini mengajarkan kepada manusia , bahwa watak muslim itu selalu memghiasi hidupnya dengan kesucian, baik jiwanya maupun raganya.
15. Godong Ringin ( Daun Beringin dan tangkainya ), melambangkan kepada manusia muslim untuk segera ‘ngrembaka’, berkembang biak , hidup subur, hidup damai, kokoh, kuat dan dapat memberikan keteduhan kepada siapa saja yang mau berteduh di bawahnya. Bak pohon beringin, yang berdaun lebat bercabang banyak dan berbatang yang besar, kokoh dan kuat. Sebagai orang muslim jadilah seperti pohon beringin itu, berikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi siapa saja, dan kapan saja orang lain membutuhkan.
16. Daun Gandarasa, maknanya adalah ‘ ya ganda ya rasa, gandanen lan rasakna sak durunge sira ngganda wong liya’, ajaran moral yang dapat kita petik adalah ‘ tepa slira’, mawas diri , meneliti diri sendiri sebelum meneliti orang lain. Timbang-timbanglah dirimu terlebih dahulu , jangan terlena mencari kekurangan orang lain, sementara dirinya masih berlumuran dosa. Hati-hatilah dalam semua perbuatan , pertimbangkan dengan matang , jangan samapi perbuatan itu merugikan orang lain.
17. Mayang Jambe , bunga ini melambangkan keselamatan . Ajaran yang terkandung didalamnya adalah sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa “ slameta sing nanggap, slameta sing ndhalang “, berikan keselamatan bagi yang menanggap dan keselamatan bagi sang dhalang.
18. Daun Puring , melambangkan ‘ ngapura-ing’, menuju ampunan Allah , kita ikhlaskan semua yang telah kita berikan , dan kita tinggalkan ajaran lama yang telah kita anut, sekarang kita bersiap berjalan masuk kepada ajaran baru yang penuh dengan ampunan , kita dengarkan apa saja yang menjadi pesan-pesan sang dhalang. Kita lahir batin siap menerimanya.
Semua perangkat nomer 1 sampai dengan nomer 9 di atas, diikat di tiang rumah bagian depan , tepatnya di pintu gerbang , seandainya ritual tanggapan jemblung diadakan di luar rumah maka benda-benda ritual itu dipasang di pintu gerbang.
Disamping perangkat-perangkat sebagaimana disebutkan di atas , ki dhalang sendiri juga diwajibkan menggunakan busana yang sarat dengan makna, seperti berikut ini :
6. Iket ( Udheng ), atau ikat kepala.
Kata udheng diambil dari kata-kata ‘mudheng’, yang berarti ‘paham’atau memahami. Udheng mengandung ajran pahamilah Islam kemudian ikat dalam hidupmu , gunakan sebagai pedoman untuk semua masalah hidupmu. Dengarkan dan pahami apa yang menjadi petuah dhalang, simak dengan seksama kemudian ikat kuat-kuat jangan sampai terlepas, kemudian terapkan dalam hidupmu sehari-hari.
7. Sabuk ( ikat pinggang )
Sabuk berasal dari akronim sayuk bukuh , dalam kosakata bahasa kawi, sayuk berarti kompak , bersatu terjalin dalam satu ikatan yang kuat, sedangkan bukuh artinya sila tumungkul , sangat hormat, rendah hati dan menghargai semua orang. Dengan demikian sabuk mengandung ajaran moral agar semua muslim untuk berada dalam satu ikatan yang kuat, saling menghormati satu dengan yang lainnya, dan kompak ( bersatu ) dalam membangun umat .
8. Jarik Wiron ( Jarit yang diwiru )
Maksudnya “ ayo padha dilirik apa sing diujarne guru “, artinya marilah kita pakai apa yang telah disampaikan oleh guru. Laksanakan perintah yang baik dan tinggalkan larangan yang telah disampaikan oleh guru.
9. Sepatu Selop
Kata ini diambil dari kata perlop yang berarti ‘berhenti’, maknanya walau kamu kesel ora kena perlop, jika capai tidak boleh berhenti, berjuanglah terus karena kemuliaan akan datang menggapai.
10. Keris
Berasal dari akronim bahasa kawi , ‘karyenak ; karya+enak’, artinya membuat nikmat , nyaman, berseri-seri, bahagia, gembira, menyenangkan ,percaya diri dan kosakata ‘isthi’, yang artinya ‘ karep, sedya, harapan, cita-cita ‘, Purwadi (2001:111), menterjemahkan keris dengan kadarpo,kadga, pepinginan, katresnan. dengan demikian keris memberikan pesan dan harapan kepada para penonton ‘Kersoa rinasuk Islam ( mau merasuk agama Islam ) nanti kita akan memperoleh kedamaian dan kebahagiaan seperti yang kita inginkan dan kita akan dicintai oleh Allah Yang Maha Kuasa dan dicintai oleh semua manusia, atau dengan kata lain kita juga diharapkan untuk bersegera memeluk agama Islam , masukkan pusaka Islam itu ke rangka tubuh dan jiwa kita , kita jadikan pusaka yang dapat memberikan kekuatan dan benteng hidup, sebagai gaman atau senjata yang ampuh dan agung untuk menanggulangi semua halangan dan rintangan. Keris dibuat meliuk-liuk dan seni , mengajarkan kita agar dalam berbuat senantiasa luwes, jangan sampai meninggalkan adat jawa yang andhap asor , dan adiluhung.
Sementara senjata keris yang dipakai oleh sang dhalang hanyalah perhiasan belaka , oleh karenanya jangan dipercaya bahwa benda itu bertuah, justru manusia sendiri yang memiliki daya dan kekuatan yang secara fitri telah dibekalkan oleh Allah kepada kita sebagai makhluknya yang paling mulia.
4.1.6.3. Mantra dan Falsafahnya
Berbeda dengan pergelaran wayang kulit, ataupun wayang krucil , Jemblung dalam mengawali pertunjukannya selalu dimulai dengan pembacaan mantra . Mantra itu dibaca oleh ki dhalang dengan mengucurkan air dari kendhi ( tempat air minum dari gerabah seperti ceret ) kedalam baskom yang di dalamnya sudah terisi air dan kembang setaman. Ritual ini secara simbolis dimaksudkan untuk memberikan ajaran moral kepada kita agar kita dalam memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa , tidak boleh berhenti , harus berlangsung secara terus menerus sampai doanya terkabul, bagaikan mengucurnya air dari kendhi ke dalam kembang setaman tersebut. Sedangkan kembang setaman dipakai dalam ritual ini, untuk memberikan ajaran moral kepada kita bahwa orang yang selalu berhubungan (berdoa ) dengan Allah SWT , maka kita akan menjadi dekat dan akan memperoleh derajat manusia yang suci penuh dengan keharuman.
Doa atau mantra yang dibaca oleh ki dhalang dalam pertunjukan Jemblung Katong Wecana adalah sebagai berikut :
“Dhumilah bening,arane banyu, kumrisik ilining banyu,
Alah sira Alah ingsun Suksmanira suksmaningsun
Banyu,…
Sira aja njaluk ukuman, pan sira panunggalaningsun
Suksma rasa tiba dhadha, suksma munggah tiba wadhah
Lumiyar sejanglar, seninipu makarim
Sakathahe sato galak padha lulut,
Padha tintrem, tintrem, tintrem,
Tintrem saka kersane Gusti Allah,
La ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah,
La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim “.
Ritual ini diteruskan dengan meletakkan kendhi dan dilanjutkan dengan membaca do’a ;
Bissmillahirrahmanirrahim,
Singgah-singgah Durga singgah,
Kala godha rencana padah suminggah,
Ana gambar balekna nglatar,
Ana tenung balekna nglurung,
Sapa sing sedya ala marang …. ( disebutkan nama yang punya hajat )
Teka gog, lunga,
Gag, gog, gag, gog, gok saka kersane Gusti Allah
Bismillahirrahmanirrahim,
Ana kidung kang rumeksa wengi,
Panolake bilahi kabeh,
Panolake lara raga,
Panolake tuju guna,
Songe landak makarim,
Sakathahe sato galak padha lutut, padha tintrem,
Tintrem, tintrem saka kersane Gusti Allah,
La ilaha illallah , Muhammadur Rasulullah,
Bismillahirrahmanirrahim,
Bapake jaka nurullah, biyunge nurullah,
Si dadu singa salah, ora bisa obah,
Rep, sirep, rep saking kersane Gusti Allah “.
Secara keseluruhan isi mantra atau do’a yang dibaca oleh ki dhalang adalah untuk memohon keselamatan dari Yang Maha Kuasa.
Apabila kita perhatikan dari sudut bahasa, mantra yang telah penulis sebutkan di atas ternyata mantra tidak sekedar sebagai bahasa komonikasi / dialog antara makhluk dengan Tuhannya, melainkan ada sebuah bahasa yang mencekam, difokuskan agar menimbulkan semangat dan kekuatan. Dalam ilmu bahasa Jawa , mantra menggunakan eufoni dan kakofoni. Eufoni adalah rangkaian bunyi yang harmonis, berupa bunyi konsonan, n, m, ny, ng, yang dipadukan dengan vokal a, i, o, u, sehingga menimbulkan kemerduan. Eufoni dapat menimbulkan perasaan suasana kerinduan, magis dan diharapkan dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kakofoni, berupa bunyi konsonan berat atau kasar seperti ,b, d g, h, j, k, p, r, w , dan y.yang dipadukan dengan vokal a, i, u, o, sehingga menimbulkan bunyi yang tegap, berat, tegas, mantap, dan dapat menimbulkan suasana takut, belas, dan magis. Dengan bunyi kakofoni diharapkan dapat menimbulkan daya sakti, yang gaib. Disamping itu dalam mantra di atas juga terdapat diksi, dengan diksi ini mantra menjadi puitis , dan berdaya magis. Pengarang mantra ini juga menggunakan kata-kata konotatif seperti, Durga singgah, Kala godha rencana, kidung kang rumeksa wengi, dan sebagainya.
Keseluruhan do’a atau mantra di atas berujung pada suatu harapan akan datangnya suasana aman dan tenteram. Didalam rangkaian do’a atau mantra di atas , terlihat dengan jelas paduan kosakata Islam dan Jawa Kuna secara seimbang. Keduanya saling mewarnai , namun warna Islam agaknya lebih dominan, hal itu karena yang menciptakan mantra itu adalah seorang muslim yang tangguh. Hal itu terbukti dalam setiap mengawali mantra dan mengakhirinya selalu menggunakan bacaan-bacaan Islami. Semuanya sengaja dirancang demikian agar kita dapat mengambil pelajaran moral agama, bahwa semua permohonan yang kita baca, yang kuasa mengabulkan hanyalah Allah SWT Yang Maha Tunggal, tiada yang dapat menandinginya.
4.1.3. Akulturasi dan Inkulturasi Budaya Islam dan Jawa dalam Jemblung Katong Wecana
Apakah dalam penyebaran Islam terjadi dominasi antara Islam dan budaya Jawa, marginalisasi, atau terjadi pencampuran antara keduanya ?
Strategi penyebaran Islam melalui seni Jemblung Katong Wecana , sebagaimana dipaparkan di atas bisa disebut dengan akulturasi dan inkulturasi budaya. Disebut akulturasi karena Islam menerima dengan cukup apresiatif terhadap tradisi dan budaya lama yang telah mapan, sekaligus diambil sebagai wadah dari aktifitas penyebaran Islam. Sedangkan disebut inkulturasi karena dengan wadah lama, nilai-nilai Islam itu dibumikan, dengan menuansai ( mewarnai ) dalam aspek-aspek budaya yang melekat yang telah dijalani oleh masyarakat setempat, tanpa harus memarginalkan budaya lama yang dianggapnya tidak sesuai dengan Islam.
Terjadinya proses akulturasi dan inkulturasi budaya , nampak jelas di dalam bentuk-bentuk pentas Jemblung Katong Wecana. Ajaran Islam yang mewujud dalam kalimat-kalimat kitab suci Al Qur’an “ Bismillahirrahmanirrahim “ yang selalu dijadikan mukadimah sebelum cerita itu dipaparkan, serta syahadat jika acara pergelaran itu ditutup , dan permohonan daya dan kekuatan kepada ALLah SWT , sedangkan diantara mukadimah dan penutup masih kita jumpai kosakata Jawa Kuna yang mewakili entitas budaya lama.
Disamping itu , terjadinya inkulturasi dan akulturasi budaya juga nampak pada symbol-simbol benda yang dipergunakan dalam pentas. Bahkan seluruh symbol adalah murni Jawa Kuna, hanya saja pemaknaan filosofis symbol-simbol tersebut sengaja dilekatkan dengan nilai-nilai Islam.
Melihat kenyataan yang demikian, proses inkulturasi budaya yang dilakukan oleh seni Jemblung Katong Wecana , berkonsekuensi pada sikap tengah, artinya pemihakan kepada Islam dan budaya Jawa menjadi fifti-fifti. Hal ini sangat logis , karena dua entitas budaya Jawa dan Islam mendapat tempat yang sama-sama terhormat. Sebagaimana dikemukakan oleh Simuh ( 2003 : 8 ), bahwa terjadinya interaksi Islam dengan budaya local, tentu terdapat kemungkinan Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbarui budaya local, tetapi mungkin pula Islam yang justru diwarnai oleh budaya local.
Keseluruhan isi cerita Jemblung Katong Wecana adalah murni nilai-nilai ajaran moral Islami. Cerita-cerita Nabi Musa, Nabi Yusuf, Nabi Muhammad , dan para Wali adalah diantara tema sentral dalam penyajian pentas Jemblung Katong Wecana . Hanya saja pengungkapan ajaran moral Islami kebanyakan dilakukan dengan budaya Jawa yang sarat dengan symbol-simbol , dan pasemon-pasemon. Penonton Jemblung, biasanya menerima dan menyerap apa adanya tampilan-tampilan dan pesan-pesan yang dibumikan oleh ki dhalang. Konsekuensi logisnya , mereka cenderung menerima dan tidak ada respon kritis terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, dengan demikian maka akan melahirkan kepercayaan ganda, yakni budaya sinkretik Islam Kejawen pada masyarakat Ponorogo.
Namun ada satu hal yang perlu dikritisi, yaitu pelestarian kesenian ini bisa dikatakan mandheg, sehingga yang terjadi adalah terputusnya apresiasi masyarakat terhadap kesenian ini. Bahkan masyarakat Ponorogo yang notabene sebagai empu kesenian ini , nyaris tidak mengetahui apa kesenian Jemblung Katong Wecana itu. Dengan demikian kiranya diperlukan wawasan dinamis , bagaimana agar Jemblung Katong Wecana itu bisa eksis dengan tampilan kekinian , tetapi tidak perlu merubah bentuk-bentuk lama tokoh-tokoh cerita yang ada. Akan tetapi nampaknya semuanya akan mengalami kesulitan kalau tidak ada campur tangan dari pemerintah daerah, sebab walaupun bagaimana , semuanya memerlukan daya kekuatan yang tidak kecil, perlu adanya pembinaan dan dana yang kontinyu.
Ajaran moral Islam memang menjadi misi utama dari pergelaran jemblung ini, tetapi jika dikaitkan dengan keberhasilan misi dakwah ini, justru budaya Jawa yang lebih unggul dalam mewarnai ajaran moral Islami. Maka dengan demikian misi Islamisasi melalui seni Jemblung Katong Wecana , bisa dikatakan ‘ngambang’, artinya tidak bisa menjangkau hingga akar rumput, dan juga tidak bisa menjangkau lapisan atas. Apalagi jika dikaitkan dengan sikap masyarakat Jawa terhadap agama Islam di awal kehadirannya di Pulau Jawa , dimana Islam tidak bisa diterima dengan baik oleh kalangan Istana. Namun karena para juru dakwah itu mengarahkan dakwahnya kepada masyarakat pedesaan, yakni masyarakat pesisir, ternyata Islam diterima dengan sangat baik oleh mereka. Mempertimbangkan kondisi yang demikian itulah kemudian kalangan istana memilih mengalah , mengikuti agama Islam yang justru telah dianut terlebih dahulu oleh masyarakatnya, agar mereka tidak memusuhi istana. Maka yang terjadi kemudian adalah pengakuan Islam dari kalangan istana yang bersifat semu. Karena pengakuan dan kepemelukannya tidak sepenuh hati – hanya untuk kepentingan politik belaka- maka Islam hanya menjadi legitimasi dari kepentingan pihak istana dalam rangka memperkokoh kekuasaan belaka. Sementara yang terjadi di Ponorogo, dimana Islam dibumikan melalui Jemblung , nampaknya tidak berhasil menjinakkan budaya lama yang telah lama mengakar pada masyarakat.
Logis memang, kalau kemudian agama dan kepercayaan asli masyarakat – Hindhu, Budha, Dinamisme , Animisme – sulit untuk ditaklukkan dengan agama baru apapun, termasuk oleh Islam sekalipun. Disnilah letak persoalan, kenapa setelah ajaran moral Islam mereka terima, tatapi praktik dalam kehidupan sehari-hari masih bercampur aduk dengan kepercayaan agama lama yang Budhisme, Hindhuisme, Animisme dan Dinamisme.


********


1 komentar:

  1. Hello, just wanted to tell you, I loved this blog post. It
    was inspiring. Keep on posting!

    Feel free to visit my blog: acoustic guitar chords for beginners

    BalasHapus