Rabu, 24 Juni 2009

Serial Babad Pacitan Laskar Katong (3) Ki Setyo Handono

Keberangkatan para prajurit Kadipaten Ponorogo menuju Pesisir Kidul tidak banyak diketahui oleh para penduduk di sekitarnya. Mereka berangkat layaknya orang yang tengah bepergian biasa.
Pagi itu mereka menyusuri hutan lebat yang membujur dari barat ke timur. Perjalanan mereka mengusik satwa-satwa yang tengah lelap tidur di peraduannya. Burung-burung lari semburat bercicit, seakan berteriak memberi kabar kepada yang lainnya, bahwa di bawah sana ada serombongan orang melewati wilayahnya. Sementara satwa liar lainnya seperti kucing hutan, musang, ular, dan ayam hutan , nampak berlari menjauh dari pandangan, dan langkah-langkah rombongan prajurit Ponorogo yang melaluinya. Semua wilayah yang dilalui masih benar-benar rimbun dan hijau. Air-air masih mengalir bening , ikan-ikan nampak berkerlip sisiknya terkena jilatan cahaya pagi, berlarian berkejar-kejaran . Seddangkan serangga hutan terus mendendangkan irama-irama seperti peluait yang melengking, disusul oleh kicauan manja burung, kutilang, burung jalak hitam, burung jalak putih, murai batu, cocak rowo, prenjak, kokok ayam hutan, derkuku, gelatik, pipit, dan sebagainya. Sementara bunga-bunga liar sepert adenium, melati, mawar, gelombang cinta, anggrek bulan, anggrek tutul, kamboja, kanthil, dan sebagainya , nampak memperlihatkan senyum manisnya, menyapa serombongan prajurit yang melewatinya. Para prajurit nampak bangga berjalan sambil bersenda gurau, mendendangkan tembang-tembang Jawa Kuno.

Tidak terasa perjalanan mereka hampir melewati sebuah sungai. Airnya masih dalam dan jernih. Pohon-pohon besar yang ada di tepinya kelihatan akarnya menjulur ke bibir sungai. Tepat di jalan setapak yang mereka lalui kelihatan ada beberapa wismajoglo beratap daun ilalalng kering . Tiba-tiba ada seorang agak renta menyapa mendekat.
“Nuwun sewu ki sanak , badhe tindak pundi ?, ditepungaken kula Ki Danasuka, griya kula Pinggirsari mriki, terus ki sanak sinten ?”, sapa orang tua itu kepada salah satu prajurit yang hendak membasuh mukanya di pinggir sungai.
”Inggih bapa, nami kula Jayadipa, yang di belakang ini Ki Suradrana, dan yang berdua itu namanya Ki Gumbreg, dan Ki Tambir. Kami sebenarnya bersama rombongan hendak menuju Pesisir Kidul ”, jelas salah seorang prajurit yang terbilang palang muda di antara para rombongan itu.

Ki Danasuka hanya tersenyum simpul. Dalam hatinya pastilah mereka belum begitu mengenal dirinya. Sebab dia lebih senang tinggal di daerah pinggiran daripada tinggal di dalam istana kadipaten. Memang, dia adalah termasuk seorang pujangga yang ditugaskan Demak untuk menyebarkan Islam bersama dengan Raden Katong. Dia memilih mukim di pinggiran dalam upaya menyebarkan Islam kepada orang-orang yang belum melek baca tulis. Pinggirsari adalah tempat strategis tapal kuda wilayah kadipaten.
”Lha terus para prajurit sanesipun dateng pundi ki sanak ?”
”Raden Jaka Deleg dengan Syeh Maghribi, masih menjalankan sembahyang duha ,bapa ”, jawab Ki Tambir dengan membungkukkan badan.
”Wah kebetulan, hari ini Nyai kula, pas ngrebus singkong, barangkali beliau berdua sudah rampung sembahyangnya , tolong ki sanak ajak masuk ke gubug kula ”
”Inggih kiai ”, jawab Ki Suradrana agak sedikit penasaran dengan sosok yang dihadapinya.

Tidak lama kemudian dari semak rimbunnya pohon hutan yang berada di kawasan pinggir sari itu nampak datang dua orang yang berwajah putih bercahaya. Badannya tegap, yang satu menggunakan ikat kepala berwarna hitam, dan satunya menggunakan sorban putih , janggutnya berccambang lebat. Dari kejauhan mereka berdua nampak tersenyum simpul, melihat rumah berdinding anyaman bambu yang ada di depannya. Sepertinya mereka telah mengenal siapa yang ada di dalamnya.
”Assalamu’ngalaikum Kiai ?”
”Wangalaikum salam, wah mangga... mangga Raden , waaaah layak to prenjake ngganther, jebul mau ada tamu agung to , kebeneran Raden, mangga pinarak rumiyin, pas ini tadi Nyai selesai menanak ubi, mangga keparenga pinarak dahar sarapan rumiyin”

Rombongan seluruhnya terpaksa berhenti sejenak di padepokan Ki Danasuka . Banyak kisah dan banyak nasehat yang diperoleh darinya. Setelah usai berbincang-bincang , rombongan parajurit melanjutkan perjalanan.
Sampai di tepi sungai rombongan harus menyeberang satu-persatu melewati wot yang terbuat dari batang kayu yang besar.
”Kiai Danasuka, barangkali tempat ini besuk menjadi ramai, keparenga kali niki kula tengeri, Kali Sekayu ”
”Wah matur nuwun Raden, kula sarujuk, awit panjenengan tindak mriki namung melewati jalan yang besarnya hanya se-kayu, wah inggih Raden kula sampun nyekseni..”
”Mangga Kiai, kula nyuwun pamit , Assalamu ngalaikum ”
”Oh inggih Kiai Maghribi, mugi pikantuk karahayon, wangalaikum salam...”

Kiai Danasuka hanya melambaikan tangannya. Tidak berselang lama para prajurit yang gagah berani itu, lenyap di balik rerimbunan hutan di barat sungai Sekayu, melanjutkan perjalanan menuju Pesisir Selatan lewat pegunungan sebelah utara .Bersambung.

2 komentar:

  1. leluhur saya adalah masih keturunan dari bupati pacitan 2 yang bernama eyang jayaniman ( kanjeng jimat ) apakah bisa ta sejarah mengenai beliau

    BalasHapus
  2. Kirimkan saja lewat email gunowiro@gmail.com, nanti tulisan Anda bisa saya jadikan cerita

    BalasHapus