Senin, 15 Juni 2009

Negeri Portopolio

Setelah lama mendapatkan saran dari Petruk, akhirnya Raden Janaka yang tengah dijadikan bulan-bulanan oleh para gandarwa dari Kahyangan Dhandhang Mangore nampak mulai siuman. Matanya yang sembab sedikit demi sedikit mulai terkuak lebar. Raden Harjuna sedikit kaget karena baju waroknya yang sedang disandangnya dalam rangka peringatan grebeg suro, ternyata sudah sobek semua. Sedangkan baju warok yang satu stel lainnya tertinggal di rumah mertuanya, Kahyangan Suralaya sana. Dan konon pikulun Bathara Guru disodori baju itu oleh Bathara Brama, dia ndak setuju jika baju itu harus dikenakannya. Beliau amat risih mengenakan baju itu karena dia sudah terlanjur mendapat gelar guru , dan memang rasanya kurang pas untuk dewa sekelas pukulun Manikmaya. ”Baju warok tidak pas untuk memberikan pembelajaran di kelas, guru ya guru, warok ya warok, wis ngger Brama, buang sekalian bajunya menantumu ini ke dalam Kawah Candradimuka pisan, ulun Bethara Guru ora bakal lukar busana, ganti sandanganya titah” kata Bathara Guru sambil memulangkan kembali baju penadhon warok kepada Bathara Brama.
Sementara itu jauh di bawah sana Raden Janaka nampak sedang berperang dengan Buta Cakil. Yaitu buta yang memiliki rahang bawah yang amat panjang. Sehingga proses kelahirannya harus dilakukan bedah caesar lantaran rahangnya ’nyanthol’ di jalan lahir mamanya. Kaciaan deh lu!. Tapi alkhamdulillah proses persalinannya termasuk lancar, walau sang dokter kandungan menarget dengan dana pelicin yang tidak sedikit jumlahnya. Broool, Buta Cakil keluar dari rahim kemudian berjingkrak-jingkrak menantang Raden Janaka yang lagi jengkel hatinya. Seketika Raden Janaka marah besar kemudian memiting kepalanya, menendang perutnya, dan memilin kedua tangan dan kakinya, hingga sang Cakil terjerembab krodit dan tak bisa ke mal lagi.
”Wis Reng, Gong , buang kesungai saja mayat jelek itu” pinta Petruk sambil membenahi puntung rokok ilegal buatan lokal yang masih dikulum pada bibirnya yang nampak mulai menghitam.
Namun tidak lama kemudian- ketika mereka masih asyik mengevakuasi mayat Buta Cakil, tiba-tiba dari arah timur ada dua resi yang berboncengan sepeda motor menghampiri para punakawan yang tengah mengevakuasi mayat Mr. Cakil
”Assalamu ngalaikum !!, halo lagi ngapain loe pade” tanya seorang resi yang pakai celana jeans dengan serban yang membalut seluruh leher dan kepalanya.
”Oh, gus resi, ngalaikum salam, sembah bekti katur gus” sahut Petruk penuh dengan hormat sambil mencium tangannya.
”Ooo mas resi ta, sembah kula katur mas ” sambut Gareng sambil terpincang-pincang
”Eaalahh mbah resi ta ini, nomere mbinjing medal pinten mbah?” kata Bagong sambil membenahi sarungnya yang mulai nampak aus berlobang.
”Gareng, Petruk dan Bagong, ...”
”Lho !, sampeyan kok sudah kenal dengan nama kami” sahut ketiganya nyaris bersamaan, heran.
”Ya iyalah, masak ya iya dong, aku kenal dengan kalian ketika loe-loe pade mendaftar CPNS di pertapanku beberapa hari yang lalu. Aku mengenalmu setelah seluruh berkas aku kembalikan padamu lagi ya to?”
”Waaah sampeyan itu benar-benar sudah ndak bisa dipercaya lagi, dan ndak bijaksana lagi, malah sekarang justru sebaliknya saya lantas meragukan kredibilatas sampeyan berdua, buktinya apa?, sampeyan itu ndak bisa membaca , lha wong genah ijazah kula niku pun tertera ijazah ini bisa digunakan untuk mengajar tingat SLTP dan SLTA, ateges serat niki secara jernih dan luas njlentrehaken bilih sanesipun SLTP kaliyan SLTA saged dipun ginakaken ataminipun dateng SD, lha kecuali, menawi ta wonten ijazah menika tertera ’ijazah ini hanya untuk Mengajar SLTP dan SLTP saja’ na .. ini panjenengan tidak banyak yang menyalahkan”
”Ora ngono sampeyan itu siapa sih sebenarnya, aku kok kuwatir jangan-jangan gelar sarjana sampeyan itu hanya beli dipasaran sana?”
”Namaku Dewa Resi, Bagong”
”Namaku Dewa Bagus, gelarku, Raden Resi Kiyai, Gus, Drs, Ir. BA, MM”
”Waah sakjannya gelare ya ndrembel, tapi kurang jernih jalan pikirannya, mestinya mbok ya diolehi test ngono wae kan ya ora nglarakne ati. Perkara ditampa lan orane kan mengko ing tembe mburine wae”
”Kadang nggih nuwun sewu lho panembahan, tiyang niku sok-sok nggih mboten sesuai lho kalian gelaripun, langkung-langkung ing jaman menika kathah tiyang ingkang kadereng mbujung gelar namung kangge kenaikan pangkat, menawi sampun kecepeng etos kerja niku blas ’jas bukak iket blankon’ sami saja sami mawon. Bukti pisik yang berupa portopolio hanya benar kertas bisu yang bisa disulap menjadi milik siapa saja tanpa ada jaminan mutu dan kualitasnya. Sementara awake dewe niki luwih percaya kepada lembar kertas daripada kemampuan dari dalam diri seseorang. Buktinipun kakekne Semar niku tanpa sekolah mawon saged mbangun kahyangan, saged ngguyubaken sedaya warga Karangkedempel, lha niku rak tegesipun tiyang niku rak inggih kedah dipun uji sedayanipun, mpun gampil percaya begitu saja kepada portopolio yang diajukan, niku nuwun sewu sok mung apus-apus”
”Wah tidak mengira , ternyata walaupun kalian itu hanya jebolan universitas lokal tapi jalan pikiranmu dhuwur Petruk, ya ta, yen kaya mangkono bakal tak leksanakake, sebab pikiranku sak iki dadi padhang, matur nuwun Petruk, eh iya ..., itu kenapa si Janaka kok kelihatanya sungkawa, hayo Petruk, Gareng dan Bagong, kita hibur dia”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar