Senin, 15 Juni 2009

Pemilu Carut-marut

Baru saja pemilu usai digelar. Masih banyak persoalan klasik yang selalu bergelayut menyertainya. Mulai dari caleg stres, caleg ratrima, caleg edan, caleg mendem, caleg krodit, dan caleg kabotan hutang, dan sebagainya. Pokoknya yang menang girang, yang kalah menerima musibah. Itulah democrazy, demonya orang-orang yang gila jabatan, kekuasan, dan kedudukan. Dasar orang gila, jadi pikirannya pada eror, monkey politik; berwatak serakah seperti kera, money politik ; berwatak rentenir, yang selalu menghargai perbuatannya dengan uang yang berlipat-lipat, pokoknya kalau ada uangnya ya mau berbicara, kalau tidak ada ya matur nyuwun. Itulah wajah negeri Ngamarta yang kini berubah seratus delapan puluh derajat, tidak ada bedanya dengan negeri Kurawa, yang carut-marut.
Pagi itu kelihatan sang prabu tengah mengisi ceramah pada acara pelatihan PTK yang diikuti oleh puluhan guru-guru sekolah dasar. Sebuah pemandangan yang paradoks, karena para pemateri itu tidak tahu situasi anak-anak sekolah dasar yang sebenarnya. Sehingga hasilnyapun seperti buih di lautan, mengambang, kampul-kampul, kemudian lenyap ketika terhempas ombak yang senyatanya. Sementara sang prabu hanya senyum-senyum, karena setiap kali ada uang sakunya, dia menjadi semangat. Karena ‘keuangan yang maha esa’ merupakan semboyan hidupnya. Sehingga kalau berhubungan dengan uang saku, dia amat teliti dan rapat-rapat menggenggamnya. Tak peduli walau bukan haknya.
Kita tinggalkan dulu Sang Prabu rakus yang tengah menguasai di jagad Kurawa tersebut, kini kita ikuti kembali perjalanan spiritual Ki Lurah Badranaya atau Semar; yang merupakan saudara kembar Bathara Manikmaya, dan Tejamaya alias Togog. Ayahnya bernama Sang Hyang Tunggal, dan ibunya bernama Dewi Rekathawati – seorang peragawati – yang gagal nyaleg pada pemilu pertama negeri itu. Kini perjalanan Ki Lurah Semar sudah mendekati pendapa negeri Nagamarta. Di sepanjang jalan, Semar melihat para caleg yang gagal menuntut pemilu ulang. Mereka menilai bahwa pelaksanaan pemilu kali ini berlangsung amat semrawut, mulai dari pengadaan logistik, hingga daftar pemilih tetap yang tidak akurat.
”Ngger Wisanggeni?”
”Apa Mbah ”
”Dhek jamanku biyen, pemilu iku mesti melibatken Pantarlih. Data pemilih didata oleh ketua RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, terus nyang Kabupaten, lha sekarang ora kaya ngono kuwi, pejabat Pemilu nggawe aturan sak karepe dewe, wong wis mati barang didaptar rumangsane ijik nduwe hak pilih, lha ujung-ujunge ya kaya ngene iki ..., malah sing urip akeh sing durung kedaftar ....”
”Maksudnya ?”
”Karebku, sistem pendataan iku balia kaya biyen, aja dideleng ka data komputer, rumangsane komputer iku apa isa kluyuran ning RT ... RT, lan apa ya ngerti yen tanggane mati ?”
”Maksudnya ?”
”Kowe kok sedari tadi kok hanya bilang ’maksudnya’ ta ngger, usula, uruna rembug, supaya masalah ini segera bisa cair...”
”Mbah aku ini tidak paham dengan apa yang sampeyan omongkan itu. Dan menurutku, aku lan sampeyan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilu dan para caleg tersebut”
”Maksudnya?”
”Biarlah caleg-caleg yang kecewa, dan pemilu yang carut-marut ini menjadi bahan siaran koran-koran, radio dan televisi aja. Toh semua ini juga ada manfaatnya”
”Maksudnya?”
”Sekarang yang penting bagiku adalah mencari siapa sejatinya orang tuaku”
”Maksudnya?”
”Hayo sekarang kita temui orang yang tinggi besar itu, siapa tahu dia tahu”
”Maksudnya?”
”Kalau dia tidak mau berkata jujur, ooooh bakal aku hajar Mbah ”
”Oh hiya ngger Wisanggeni, aku setuju banget, wis hayo ditemoni ngger”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar