Senin, 15 Juni 2009

Pamong Kanthong Bolong

Gendhing ayak-ayakan disambung dengan Pathetan Manyura, bertalu mengiringi rombongan Panembahan Dewa Resi dan Raden Janaka ke pertapaan. Sementara sang fajar pagi sebentar lagi akan bangkit dari peraduannya. Ayam jantan mulai terdengar berkokok bersautan. Para penduduk yang tengah terbaring ada sebagian yang segera bangkit membasuh tangan, berkumur, mensucikan diri , jiwa raganya, menghadap ke Sang Khalik , meminta sebuah keteguhan, ketegaran, kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan dalam meniti jalan hidup yang telah diputuskan oleh Yang Maha Kuasa. Namun sebagian besar, mereka hanya terbangun untuk sekedar buang ’hajat’ kencing di jamban atau hanya kencing-kencingan di kamar kecil, kamar berukuran sempit di sebuah komplek pelacuran yang menawarkan paket dosa dan bingkisan penyakit raja singa , HIV, ataupun AIDS.

Meh rahina semubang Hyang Haruna kadi netraning angga rapuh sabdaning kukila ring, kanigara kaketer, ooong, kini dunganing kung, lir wuwusing pinipanca, lawan pepetoging ayam wana ing pagakan, mrak manguwuh bremara ngrabaseng kusuma ring wara baswara rum....

Lah ing kana ta wau, Raden Harjuna yang tengah berbaring sakit, nampak berbaring lemas di pertapan Ngawiyat. Sementara Punakawan dan Dewa Bagus nampak meracikkan obat penenang berdosis tinggi pemberian mantri pertapan Ngawiyat sore tadi. Raden Harjuna belum siuman. Panembahan Dewa Resi segera memberikan cairan infus, pada punggung tangan kiri Raden Harjuna. Raden Harjuna nampak meringis kesakitan menahan jarum infus yang menusuk pembuluh darahnya.
”Tenang ndara, ini semua agar ndara cepat sehat” ujar Petruk sambil mengusap lengan Raden Janaka yang nampak sedikit bengkak.

Kita tinggalkan dulu kisahnya Raden Janaka alias Syeh Harjuna tokoh poligami dari Negeri Madukara, yang tengah berbaring sakit di rumahnya Dewa Resi. Sementara itu di Paseban negeri Ngamarta , Sang Prabu Puntadewa, tengah menerima kedatangan raja dari Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna yang didampingi oleh Raden Gathutkaca , satriya dari Pringgondani. Mereka disambut oleh para Nataprja dan diiringi juru pengrawit dengan alunan gendhing Kuwung-kuwung laras Slendro Pathet Manyura .
Hanenggih inilah negeri Ngamarta yang sedang dikisahkan. Yaitu sebuah negri yang gemah ripah loh jinawi. Para pamong desa hidup ayem tentrem rakyatnya guyub rukun. Bengkok tanah desa, ternyata telah memberikan semangat hidupnya untuk mengabdikan dirinya melayani masyarakat sepenuh hati. Sang Prabu Puntadewa sadar betul kalau ia tidak bisa memberikan insentif lebih kepada para pamong yang telah mencurahkan seluruh masa hidupnya untuk mengabdi kepada pemerintahan yang dipimpinnya. Mereka bukan pegawai negeri, akan tetapi sukarelawan yang suatu saat harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada pemerintah yang berkuasa. Mereka sebenarnya mengharap agar pemerintah sudi menjadikannya sebagai pegawai negri, dengan gaji yang layak. Sebab mereka juga bekerja luar biasa beratnya, namun kenyataannya mereka seakan luput dari apresiasi warga dan pemerintah. Gajinya hanya utuh dari tanah bengkok yang kini merana karena ulah para pencoleng pupuk yang sengaja menyembunyikan pupuk murah untuk para petani. Nasib pamong desa harus banyak gigit jari. Bahkan jaminan kesehatannya pun luput dari perhatian sang penguasa. Pemerintah sepertinya hanya menuntut prestasi kerjanya saja, sedangkan perhatian agar mereka dapat hidup layak ndak pernah sedikitpun terpikirkan. Pemerintah lebih perhatian kepada pegawai negeri yang suka cangkrukan di warung kopi dengan prestasi kerja yang sangat rendah sekali.
”Yayi Samiaji, aku seringkali mendapat pengaduan dari para pamong desa kalau mereka kini hidupnya sangat memprihatinkan. Tanah bengkok yang dijadikan sumber penghidupan sehari-hari sudah nggak bisa lagi dijadikan pengharapan. Apakah kira-kira pemerintah sini sudah nggak bisa menggantinya dengan gaji rutin yayi?”
Prabu Yudistira, ya Prabu Puntadewa, Dwijakangka, Guna Talikrama, Sang Anjathasatru, ya Prabu Darmakusuma, nampak gugup dengan pertanyaan yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Raja yang klemak-klemek ini nampak bingung mau menjawabnya. Kitab undang-undang yang biasa ia bawa tidak terselip di saku kantong bajunya. Padahal kitab itulah yang selalu dijadikan rujukan untuk menjawab pertanyaan.
”Jlitheng kakangku, aku tidak mengira jika engkau ke sini hanya ingin menanyakan masalah yang sepele itu. Aku kecewa dengan sikapmu. Aku mengira jika kedatanganmu untuk menghibur Si Punta, namun kenyataannya malah sebaliknya...nambahi susah”
Prabu Kresna nampak tersipu malu dengan kata-kata yang diucapkan oleh Werkudara. Ia tersadar kalau Ngamarta kini tengah berduka karena Raden Janaka hingga beberapa bulan belum diketemukan. Prabu Kresna kemudian tersadar dan memperbaiki tempat duduknya. Tidak lama kemudian , protokoler kerajaan Ngamarta mengumandangkan jalanya pasamuan hari itu. Tidak lama kemudian dari bangsal ’diskotik’ terdengar lamat-lamat gendhing Kuwung-kuwung berganti dengan alunan gendhing Pathet Manyura Ngelik. Suasana bangsal Pendhapa Kanarendran menjadi semarak dan sakral

1 komentar:

  1. ceritanya bagus dan menarik
    dari alfin kls 9b smpn 2kauman

    BalasHapus